Iman D. Nugroho
Pasukan berani dari Kabupaten Jember, Jawa Timur menggelar latihan beladiri untuk menghadapi Front Pembela Islam atau FPI. Latihan kali ini adalah persiapan bila pemerintah tidak bertindak tegas untuk membubarkan FPI.
"Kami selama ini tidak pernah berbuat anarkhi, FPI yang anarkhi, kalau FPI tidak dibubarkan, maka Pasukan Berani Mati ini akan berangkat ke Jakarta untuk membubarkan," kata Ayub Junaidi Sekretaris Tanfidiyah DPC-PKB Kabupaten Jember yang juga koordinator Pasukan Berani Mati.
Kepada The Jakarta Post, Ayub menjelaskan latihan beladiri itu dilaksanakan oleh 300 orang dari berbagai elemen organisasi masyarakat di bawah Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Seperti Garda Bangsa, Bantuan Serbaguna (Banser), Pemuda Ansor dan santri dari berbagai pondok pesantren di Kabupaten Jember dan sekitarnya.
Lokasi latihan berada di perbukitan Dusun Sucopangetok, Jember, sekitar 25 Km dari pusat kota Jember. Jumlah keseluruhan mencapai 10 ribu orang. "Namun latihan akan dilakukan 300 orang setiap minggunya," kata Ayub. Dalam waktu beberapa bulan, seluruh pasukan akan selesai berlatih. Dalam latihan itu, Pasukan Berani Mati akan berlatih fisik maupun non fisik. Seperti latihan beladiri tangan kosong, penggunakaan senjata dan sebagainya. Juga akan disisipi dengan latihan ilmu kebal.
Pelatih bela diri adalah pendekar-pendekar beladiri yang selama ini melatih di pesantren dan desa-desa di seluruh Jember. "Pendekar-pendekar itu sengaja turun gunung untuk memberikan latihan," katanya. Ayub menegaskan, kehadiran Pasukan Berani Mati ini bukan untuk menciptakan keresahan, melainkan justru menghentikan keresahan yang selama ini dilakukan oleh FPI dan kelompoknya.
Pada awal-awal berita penyerangan FPI pada massa AKKBB di Monas Jakarta beberapa saat lalu, warga NU dan PKB di Jember sempat melakukan penggerebekan di markas FPI Jember. Pada saat itu, FPI Jember memutuskan untuk membubarkan diri, karena merasa FPI pusat di Jakarta sudah keluar dari garis perjuangan Islam yang damai. Meski dua hari lalu, FPI Jember memutuskan untuk kembali berdiri dengan membawa semangat baru yang anti kekerasan.
Pasukan Berani Mati pernah muncul di era pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ketika kondisi politik di masa itu memuncak, pasukan inilah yang berangkat ke Jakarta untuk mengamankan Istana Presiden. Meski ketika itu Gus Dur tetap berhasil "diturunkan", kehadiran Pasukan Berani Mati tetap menjadi catatan sejarah.
07 Juni 2008
05 Juni 2008
Kun, Kalam dan Nun
Sebuah Puisi Karya Agung Purwantara
KUN
Aku menari dalam hamparan kaf-Mu
Justru setelah sadar bahwa suara itu
telah menghilang dari kesadaranku.
Kini aku tercenung pada titik lembaran nun-mu
KALAM
Pernah kau bertanya kepadaku
pada suatu masa sebelum kau beri aku pena
Aku sudah lupa
andai saja, seorang sahabat tidak bersua
Dia membawa berita juga sebotol tinta.
Ini tak akan cukup untuk menulis cerita-Nya, katanya
Tujuh samudra masih kurang luasnya
Tujuh belantara masih kurang banyaknya
Aku masih curiga
seberapa tebal buku yang kau tulis
sedang aku hanya membaca sekelumit saja
Terlalu banyak teka-teki yang kau punya
tersembunyi dalam tinta dalam pena
yang kau berikan padaku bersama cinta
Kau pernah bertanya kepadaku
Pada suatu masa ketika aku masih berada di Mina
Menurut sahabat, itulah rahim dunia
Kini aku mengerti
bahwa Kau selama ini tidak sembunyi
Kau hanya menanti, tulisan dari tinta dari pena
sebuah jawab dari tanya
"Adakah Engkau selain Eengkau"
Catatan Ya' berakhir Nun
Mulai Ya' itulah cerita yang terdengar
ketika setitik kehinaan dijadikan mulia
Bumi menangis
Air menangis
Angin menangis
Api menangis
Bahkan Adam sudah berbekal pengetahuan
bahwa di bumi tempat beraneka ragam
Ada mutiara harapan di lembah Mina
di genggaman wanita cantik
yang menunggu di Arofah
Terdengan seruan...Yaa Siin
menggelar cerita perjalanan
air hina itu menjadi mulia
namun sebentar mudahlah ia membangkang
lupa pada semestinya
hina atau mulia di sini sama saja
Hanya Dia
yang berhak atas cerita
dan memaksa semua
terdiam pada Nun
Surabaya, 4 Juni 2008
KUN
Aku menari dalam hamparan kaf-Mu
Justru setelah sadar bahwa suara itu
telah menghilang dari kesadaranku.
Kini aku tercenung pada titik lembaran nun-mu
KALAM
Pernah kau bertanya kepadaku
pada suatu masa sebelum kau beri aku pena
Aku sudah lupa
andai saja, seorang sahabat tidak bersua
Dia membawa berita juga sebotol tinta.
Ini tak akan cukup untuk menulis cerita-Nya, katanya
Tujuh samudra masih kurang luasnya
Tujuh belantara masih kurang banyaknya
Aku masih curiga
seberapa tebal buku yang kau tulis
sedang aku hanya membaca sekelumit saja
Terlalu banyak teka-teki yang kau punya
tersembunyi dalam tinta dalam pena
yang kau berikan padaku bersama cinta
Kau pernah bertanya kepadaku
Pada suatu masa ketika aku masih berada di Mina
Menurut sahabat, itulah rahim dunia
Kini aku mengerti
bahwa Kau selama ini tidak sembunyi
Kau hanya menanti, tulisan dari tinta dari pena
sebuah jawab dari tanya
"Adakah Engkau selain Eengkau"
Catatan Ya' berakhir Nun
Mulai Ya' itulah cerita yang terdengar
ketika setitik kehinaan dijadikan mulia
Bumi menangis
Air menangis
Angin menangis
Api menangis
Bahkan Adam sudah berbekal pengetahuan
bahwa di bumi tempat beraneka ragam
Ada mutiara harapan di lembah Mina
di genggaman wanita cantik
yang menunggu di Arofah
Terdengan seruan...Yaa Siin
menggelar cerita perjalanan
air hina itu menjadi mulia
namun sebentar mudahlah ia membangkang
lupa pada semestinya
hina atau mulia di sini sama saja
Hanya Dia
yang berhak atas cerita
dan memaksa semua
terdiam pada Nun
Surabaya, 4 Juni 2008
03 Juni 2008
Aliran Sesat, Diajak Berdialog atau Dibiarkan Saja
Iman D. Nugroho
Keberadaan aliran sesat hendaknya disikapi lebih arif. Cara penyelesaian yang ditawarkan untuk aliran yang yang dianggap sesat itu adalah diajak berdialog atau dibiarkan saja. Hal itu yang "ditawarkan" netter pengakses ID Daily dalam polling bertema: Aliran yang dianggap sesat atau menyimpang, banyak ditemukan di Indonesia. Bagaimana cara "menyelesaikan"-nya?
Dalam polling yang dilakukan selama satu bulan itu, pilihan "Dibiarkan saja" dan "Diajak berdialog", sama-sama mendapatkan 6 (35%) dari 17 (100%) suara. Sementara 3 (17%) suara mengusulkan agar aliran sesat itu dilaporkan polisi. Sisanya, atau 3(17%) mengusulkan penyelesaian dengan cara lain.
Polling ini berangkat dari kasus aliran Ahmadiyah. Aliran yang menganut ajaran Mizra Ghulam Ahmad itu menjadi bahan pembicaraan karena akan dibubarkan oleh pemerintah. Ahmadiyah dianggap menyimpang karena dianggap menempatkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Nabi Islam terakhir, Muhammad SAW.
Dalam polling selanjutnya, ID Daily menjadikan kasus penyerangan Front Pembela Islam (FPI) pada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monumen Nasional (Monas), Minggu (1/5/08) lalu. Bagaimana Penyelesaian Kasus Penyerangan Oleh FPI? Berikan suara anda di Polling ID Daily!
Keberadaan aliran sesat hendaknya disikapi lebih arif. Cara penyelesaian yang ditawarkan untuk aliran yang yang dianggap sesat itu adalah diajak berdialog atau dibiarkan saja. Hal itu yang "ditawarkan" netter pengakses ID Daily dalam polling bertema: Aliran yang dianggap sesat atau menyimpang, banyak ditemukan di Indonesia. Bagaimana cara "menyelesaikan"-nya?
Dalam polling yang dilakukan selama satu bulan itu, pilihan "Dibiarkan saja" dan "Diajak berdialog", sama-sama mendapatkan 6 (35%) dari 17 (100%) suara. Sementara 3 (17%) suara mengusulkan agar aliran sesat itu dilaporkan polisi. Sisanya, atau 3(17%) mengusulkan penyelesaian dengan cara lain.
Polling ini berangkat dari kasus aliran Ahmadiyah. Aliran yang menganut ajaran Mizra Ghulam Ahmad itu menjadi bahan pembicaraan karena akan dibubarkan oleh pemerintah. Ahmadiyah dianggap menyimpang karena dianggap menempatkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Nabi Islam terakhir, Muhammad SAW.
Dalam polling selanjutnya, ID Daily menjadikan kasus penyerangan Front Pembela Islam (FPI) pada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monumen Nasional (Monas), Minggu (1/5/08) lalu. Bagaimana Penyelesaian Kasus Penyerangan Oleh FPI? Berikan suara anda di Polling ID Daily!
02 Juni 2008
Jejak-jejak Putra Sang Fajar yang Menghilang

Sekilas, rumah di Jl. Pandean IV no. 48 Surabaya itu memang tidak istimewa. Ruang tamunya berbatasan langsung dengan gang seluas empat meter. Tembok depannya kusam, cat mengelupas di beberapa bagian. Rembesan air menciptakan bekas di plafon, berpadu dengan kusen pintu dan jendela yang berbeda warna. Namun, rumah berukuran 18x7 meter itulah disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Proklamator RI Soekarno pada 6 Juni 1901.
Lokasi kelahiran Soekarno di Jl. Pandean Surabaya memang bukan hal baru. Setidaknya, dua buku biografi terkemuka tentang Soekarno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adam dan Putra Sang Fajar karangan Shohirin menyebut Surabaya sebagai tempat kelahiran tokoh yang pada awalnya bernama Koesno itu, dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai.
“Buku itu hadir saat Soekarno masih hidup, dan Soekarno tidak membantahnya, bisa jadi hal itu adalah kebenaran,” kata Budi Kastowo, Penjaga Museum dan Perpustakaan Soekarno di Blitar. Ketidakjelasan masyarakat pada tempat lahir Soekarno dikarenakan Soekarno tidak lama tinggal di Surabaya. Pada usia 2 tahun, Koesno mengikuti kepindahan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai ke Mojokerto.
Tidak pasti benar lokasi rumah ke-2 ini. Hanya disebutkan, rumah Koesno seringkali terkena banjir bandang dari Sungai Brantas yang melintas di Mojokerto. Besar kemungkinan, rumah itu berada di bantaran Sungai Brantas. Saat itu, Koesno kecil sering sakit-sakitan. Kebudayaan Jawa menyebutkan, salah satu upaya penyembuhan yang bisa dilakukan pada Koesno kecil adalah dengan ditirah atau dititipkan.
Rumah sang kakek Raden Hardjodikromo di Tulungagung menjadi pilihan. Di rumah yang terletak di kawasan Kepatihan Tulungagung (kini Jl. Mayjend Surapto, Kota Tulungagung) itulah Koesno kecil mendapatkan perawatan. Yakni dengan pengobatan tradisional tirah Jawa. Caranya, Raden Hardjodikromo tidur di lantai, sementara Koesno di atas ranjang.
Hal itu dilakukan tiap malam. Hingga akhirnya Hardjodikromo mendapatkan wangsit untuk mengubah nama Koesno dengan nama Karno atau Soekarno. Sejak saat itu, kondisi Soekarno kecil mulai membaik, dan bersekolah di Inlander School hingga umur 11 tahun. Europe Lagere School (ELS) di Mojokerto menjadi pilihan Soekarno kemudian. Empat tahun kemudian, atau pada 1915, Soekarno yang sudah beranjak dewasa melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya.
Saat itulah, Soekarno berkenalan dengan Haji Oemar Said Tokroaminoto (HOS) Tjokroaminoto, bapak kos yang juga ketua Syarikat Islam (SI). Tjokroaminoto memperkenalkan Soekarno dengan wacana-wacana kebangsaan dan semangat perlawanan kepada penjajah Belanda. Semaun, Moeso, Darsono dan Alimin yang juga menuntut ilmu di HBS menjadi teman diskusi. Hingga tahun 1926, Soekarno melanjutkan pendidikannya di sekolah teknis THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi), cikal bakal Institut Teknologi Bandung-ITB dan lulus tahun 1926, serta berkiprah di dunia politik nasional.
Jejak-jejak Soekarno di Jawa Timur memang tidak sebanding dengan kiprah politik setelah dia dewasa, hingga menjadi Presiden Pertama RI 1945-1966. Ketika kecil, Koesno atau Soekarno memang bukan “siapa-siapa”. Hanya anak kecil biasa yang sakit-sakitan. Bahkan, kelahiran Soekarno di Surabaya pun tidak banyak yang tahu. “Kalau tidak salah lahirnya di Blitarkan?” tanya Ashari, 75. Ashari adalah penduduk asli Jl. Pandean, Surabaya. Kepada The Jakarta Post ia mengaku pernah mendapatkan cerita dari Ibunya, Almarhum Asyiah tentang sosok Soekarno. “Seingat saya, memang ibu pernah bercerita tentang Bung Karno, dulu dia tinggal di Pandean bersama Ibu Inggit (istri ke-2 Soekarno),” katanya.
Saat Soekarno tinggal di Pandean, kenang Ashari, tetangga bagian depan ditempati sebagai sekretariat Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). KBI adalah organisasi pemuda di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI), partai politik yang didirikan Soekarno. Berbagai aktivitas politik dilakukan di tempat itu. “Sejauh itu yang saya ingat, soal kelahiran Bung Karno, saya sama sekali tidak mengetahui,” kata Ashari yang tinggal enam rumah di sebelah timur tempat kelahiran Soekarno itu.
Cerita tentang Soekarno itu berhenti, saat Aisyiah meninggal dunia. Apalagi, ketika rumah kelahiran Soekarno itu dijual. Saat ini, rumah itu milik Jamila, yang merupakan “tangan ke empat”. Perempuan yang tinggal bersama suami dan kakaknya itu sama sekali tidak memiliki hubungan saudara dengan Soekarno. Saat The Post mengunjungi rumah itu, Jamila sedang tidak ada di rumah.
Tempat kos Soekarno saat bersekolah di HBS yang juga (HOS) Tjokroaminoto masih berdiri di Jl. Peneleh gang VII Surabaya. Rumah sederhana berbentuk joglo khas Jawa Timur itu saat ini dikelola oleh Pemkot Surabaya dan ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya. Warna dinding, tembok dan pagar yang masih bagus menandakan rumah tempat Soekarno mengenal politik untuk pertama kalinya itu masih dijaga.
Jejak Soekarno juga “menghilang” di Mojokerto, yang berjarak sekitar 30 Km dari Surabaya. Hingga saat ini, tidak ada yang tahu lokasi tempat tinggal Soekarno di daerah yang dikenal sebagai lokasi Kerajaan Majapahit itu. Yang masih tersisa hanya tempat tinggal ke-3 Soekarno di Tulungagung, rumah Raden Hardjodikromo.
Rumah yang kini terletak di Jl. Mayjend Surapto, Kota Tulungagung itu kosong, tidak berpenghuni. Penduduk sekitar rumah itu mengenal rumah itu sebagai rumah Eyang Hardjo. “Itu memang rumah eyang (Hardjo-RED), yang juga kakek Bung Karno,” kata Joko, penduduk setempat. Joko mengingat, rumah itu sudah lama kosong dan dalam kondisi dijual. “Kata orang-orang, keluarga eyang sudah tidak ada,” kata Joko pada The Post.
Selain rumah, yang masih tersisa dari jejak Soekarno di Tulungagung adalah makam Raden Hardjodikromo di pemakaman Kepatihan, 1 Km dari rumahnya. Di makam itu, Raden Hardjodikromo “berkumpul” dengan kerabatnya, dalam satu komplek makam berjumlah 14 buah. “Makam ini jarang sekali dikunjungi, hanya beberapa tahun lalu saja keluarga Soekarno datang untuk berziarah,” kata Sabar, juru kunci makam Raden Hardjodikromo.
Budi Kastowo, Penjaga Museum dan Perpustakaan Soekarno di Blitar mengatakan, rasa memiliki Soekarnolah yang membuat “jejak-jejak” Proklamator itu masih dirasakan kental di Jawa Timur. Meskipun secara fisik, terkadang rumah, sekolah atau tempat-tempat yang pernah didiami Soekarno tidak lagi ada, namun semangat tokoh kelahiran 6 Juni itu masih terasa.
Salah satu contohnya adalah Istana Gebang di Blitar. Menurut sejarahnya, Soekarno tidak pernah lama tinggal di rumah itu. “Memang, kedua orang tua Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai tinggal di situ, namun, Soekarno tidak,” katanya. Rumah yang kemudian dihuni oleh Soekarmini, kakak Soekarno, itu diidentikkan dengan sosok Bung Karno. Pada bulan Juni, Kota Blitar selalu semarak dengan acara Haul (Hari Ulang Tahun) Soekarno. Istana Gebang menjadi sentra kegiatan.
Di Istana Gebanglah, pernah-pernik berbau Soekarno disimpan. Mulai foto Soekarno dengan ayah-ibu dan kakaknya, foto semasa muda, patung hingga kamar yang lengkap dengan perabotan asli milik bapak delapan anak itu. Karena alasan itu jugalah, banyak pihak “berteriak”, ketika Istana Gebang berencana dijual.
Padahal, kata Budi, kota yang membesarkan Soekarno itu adalah Surabaya dan Bandung. Di Surabayalah, Soekarno mulai berpolitik. Dan di Bandung, sosok yang dikenal memiliki sembilan istri itu mematangkan pengetahuan politik dan mulai membangun jaringan bersama kaum seperjuangan lainnya. Pada akhirnya, mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927, merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 dan bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. “Bung Karno kembali “tinggal” di Blitar, usai meninggal dunia 21 Juni 1970,” kata Budi (***).
29 Mei 2008
Maulid Hijau, Sebuah Perlawanan “Fatwa” Kacau
Iman D. Nugroho
Usulan fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lumajang pada acara Maulid Hijau mendapatkan perlawanan warga Desa Tegal Randu, Lumajang. Selama tiga hari, acara itu tetap digelar. “Kami hanya menjalankan budaya, kalau MUI Lumajang tetap menfatwa sesat, kami siap melawan apapun yang terjadi,” kata Yunus Afrianto, Lurah Tegal Randu.
“Biarkan kami tetap melaksanakan acara Maulid Hijau ini dan kami siap dengan siksa neraka.” Ucapan ini adalah ucapan besar, ucapan kecongkakan yang belum pernah kita dengar walaupun dari mahluk paling congkak sekalipun semacam Iblis Laknatulloh atau Fir’aun Latnatulloh.
Kalimat bernada kecaman terhadap acara Maulid Hijau itu termuat di selebaran masjid Al I’tisham terbitan Lembaga Da’wah An Nasshirus Sunnah Lumajang. Entah mengapa, selebaran itu menyebar saat Sholat Jumat dilaksanakan di masjid-masjid di Lumajang, Jawa Timur. “Kita tahu siapa yang menyebarkan, biar sajalah, yang penting kita melaksanakan Maulid Hijau dengan niat yang baik,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pemrakarsa Maulid Hijau pada The Jakarta Post.
Maulid Hijau adalah sebuah acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan di samping danau Klakah (Ranu Klakah), Desa Tegal Randu, Kabupaten Lumajang. Acara yang sudah dilaksanakan selama tiga kali ini pada dasarnya adalah menggabungkan perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan penghijauan di sekitar danau.
Acara yang merupakan budaya turun menurun di Tegal Randu ini, sejak setahun lalu menjadi pembicaraan. Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lumajang mengusulkan kepada MUI Jawa Timur agar mengelarkan fatwa atas acara itu. MUI Lumajang menganggap acara itu sesat. Poin kesesatan yang ada di acara itu terletak pada prosesi larung sesaji di tengah danau.
“Memang sudah ada surat usulan untuk menyatakan Maulid Hijau sebagai ajaran sesat, karena acara itu menggabungkan yang benar (pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad) dengan yang tidak benar (Larung sesaji,” kata Ketua MUI Jawa Timur, Abdushomad Bukhori pada The Jakarta Post. Abdushomad menganggap, Maulid Hijau tidak perlu diteruskan.
Penilaian MUI Lumajang atas Maulid Hijau dianggap angin lalu oleh Perguruan Rakyat Merdeka (PRM) selaku panitia pelaksana. PRM menganggap, MUI Lumajang telah menilai dengan keliru pelaksanaan acara itu. “Kalau MUI Lumajang mau memperhatikan, rangkaian acara Maulid Hijau dikemas secara Islami. Larung, hanya budaya masyarakat setempat, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran sesat,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pihak penyelenggara.
Karenanya, pada Jumat-Minggu (23-25/05/08) lalu, acara Maulid Hijau tetap digelar. Seperti acara-acara di daerah berbasis Islam di Jawa Timur, Maulid Hijau pun digelar dengan berbagai kesenian rakyat berbasis keislaman. Seperti lomba Sholawat, lomba Qiro’atil Quran, lomba Tadarus, lomba Adzan hingga lomba balita sehat. Hari kedua, dilaksanakan Isighosah Kubro dan lomba Nasyid. Di puncak acara digelar Yasinan dengan mengundang kyai setempat.
Yang membuat acara ini berbeda, di sela-sela acara, dilaksanakan aksi penanaman benih pohon di sekitar danau. Benih itu diharapkan menjadi penguat tanah di sekitar Ranu Klakah yang belakangan mulai tergerus oleh aksi penebangan pohon. “Coba Anda, mana di antara rangkaian acara ini yang mengandung kesesatan,” kata Aak.
Karena keyakinan itu juga, masyarakat Tegal Randu kekeh membela acara yang dinilai bisa meningkatkan keimanan kepada Islam, sekaligus menambah semarak potensi wisata Danau (Ranu) Klakah itu. Sasmitho, 80, salah satu sesepuh Desa Tegal Randu menganggap usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu sebagai sebuah kebodohan. “Kalau tidak bodoh, tidak mungkin seperti itu, ini adalah cara budaya dalam kemasan Islam,” kata Sasmitho dalam bahasa Madura.
Sasmitho menjelaskan, sejak dirinya masih muda, acara semacam Maulid Hijau sudah dilaksanakan. Dengan nama yang berbeda tentunya. Namun intinya tetap sama, mendoakan kelahiran Nabi Muhammad. “Kami di Tegal Randu semuanya orang Islam, dan kami melaksanakan Maulid Nabi Muhammad juga dengan cara Islam, mengapa harus dilarang, apa MUI Lumajang menganggap kami sedesa ini sebagai orang yang sesat?” katanya.
Seluruh masyarakat Desa Tegal Randu siap melawan MUI Lumajang bila memang MUI Lumajang bersikukuh melarang acara ini. Penegasan itu dikatakan Lurah Tegal Randu Yunus Afrianto. Yunus yang juga guru tari di Tegal Randu menyiapkan pemuda-pemudi setempat untuk ikut berlaga di acara itu. “Ini acara dari rakyat dan untuk rakyat, mengapa harus dilarang,” kata Yunus.
Ironisnya, usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu berbuah buruk bagi Maulid Hijau. Beberapa pengisi acara yang dijadwalkan hadir memeriahkan, membatalkan diri pada detik-detik terakhir. Begitu juga dengan peserta lomba Hadrah. Dari 21 peserta, hanya 4 peserta yang bisa tampil. Yang lebih parah, jumlah stan bazaar yang disediakan panitia, kosong di beberapa tempat. Tidak ada pedagang yang bersedia mengisi.
“Sponsor pun tidak ada yang berani berpartisipasi, mereka juga ikut takut karena usulan fatwa sesat itu, kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya membawa kerusakan di muka bumi?” kata Aak Abdulah Al Kudus.
Usulan fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lumajang pada acara Maulid Hijau mendapatkan perlawanan warga Desa Tegal Randu, Lumajang. Selama tiga hari, acara itu tetap digelar. “Kami hanya menjalankan budaya, kalau MUI Lumajang tetap menfatwa sesat, kami siap melawan apapun yang terjadi,” kata Yunus Afrianto, Lurah Tegal Randu.
“Biarkan kami tetap melaksanakan acara Maulid Hijau ini dan kami siap dengan siksa neraka.” Ucapan ini adalah ucapan besar, ucapan kecongkakan yang belum pernah kita dengar walaupun dari mahluk paling congkak sekalipun semacam Iblis Laknatulloh atau Fir’aun Latnatulloh.
Kalimat bernada kecaman terhadap acara Maulid Hijau itu termuat di selebaran masjid Al I’tisham terbitan Lembaga Da’wah An Nasshirus Sunnah Lumajang. Entah mengapa, selebaran itu menyebar saat Sholat Jumat dilaksanakan di masjid-masjid di Lumajang, Jawa Timur. “Kita tahu siapa yang menyebarkan, biar sajalah, yang penting kita melaksanakan Maulid Hijau dengan niat yang baik,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pemrakarsa Maulid Hijau pada The Jakarta Post.
Maulid Hijau adalah sebuah acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan di samping danau Klakah (Ranu Klakah), Desa Tegal Randu, Kabupaten Lumajang. Acara yang sudah dilaksanakan selama tiga kali ini pada dasarnya adalah menggabungkan perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan penghijauan di sekitar danau.
Acara yang merupakan budaya turun menurun di Tegal Randu ini, sejak setahun lalu menjadi pembicaraan. Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lumajang mengusulkan kepada MUI Jawa Timur agar mengelarkan fatwa atas acara itu. MUI Lumajang menganggap acara itu sesat. Poin kesesatan yang ada di acara itu terletak pada prosesi larung sesaji di tengah danau.
“Memang sudah ada surat usulan untuk menyatakan Maulid Hijau sebagai ajaran sesat, karena acara itu menggabungkan yang benar (pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad) dengan yang tidak benar (Larung sesaji,” kata Ketua MUI Jawa Timur, Abdushomad Bukhori pada The Jakarta Post. Abdushomad menganggap, Maulid Hijau tidak perlu diteruskan.
Penilaian MUI Lumajang atas Maulid Hijau dianggap angin lalu oleh Perguruan Rakyat Merdeka (PRM) selaku panitia pelaksana. PRM menganggap, MUI Lumajang telah menilai dengan keliru pelaksanaan acara itu. “Kalau MUI Lumajang mau memperhatikan, rangkaian acara Maulid Hijau dikemas secara Islami. Larung, hanya budaya masyarakat setempat, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran sesat,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pihak penyelenggara.
Karenanya, pada Jumat-Minggu (23-25/05/08) lalu, acara Maulid Hijau tetap digelar. Seperti acara-acara di daerah berbasis Islam di Jawa Timur, Maulid Hijau pun digelar dengan berbagai kesenian rakyat berbasis keislaman. Seperti lomba Sholawat, lomba Qiro’atil Quran, lomba Tadarus, lomba Adzan hingga lomba balita sehat. Hari kedua, dilaksanakan Isighosah Kubro dan lomba Nasyid. Di puncak acara digelar Yasinan dengan mengundang kyai setempat.
Yang membuat acara ini berbeda, di sela-sela acara, dilaksanakan aksi penanaman benih pohon di sekitar danau. Benih itu diharapkan menjadi penguat tanah di sekitar Ranu Klakah yang belakangan mulai tergerus oleh aksi penebangan pohon. “Coba Anda, mana di antara rangkaian acara ini yang mengandung kesesatan,” kata Aak.
Karena keyakinan itu juga, masyarakat Tegal Randu kekeh membela acara yang dinilai bisa meningkatkan keimanan kepada Islam, sekaligus menambah semarak potensi wisata Danau (Ranu) Klakah itu. Sasmitho, 80, salah satu sesepuh Desa Tegal Randu menganggap usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu sebagai sebuah kebodohan. “Kalau tidak bodoh, tidak mungkin seperti itu, ini adalah cara budaya dalam kemasan Islam,” kata Sasmitho dalam bahasa Madura.
Sasmitho menjelaskan, sejak dirinya masih muda, acara semacam Maulid Hijau sudah dilaksanakan. Dengan nama yang berbeda tentunya. Namun intinya tetap sama, mendoakan kelahiran Nabi Muhammad. “Kami di Tegal Randu semuanya orang Islam, dan kami melaksanakan Maulid Nabi Muhammad juga dengan cara Islam, mengapa harus dilarang, apa MUI Lumajang menganggap kami sedesa ini sebagai orang yang sesat?” katanya.
Seluruh masyarakat Desa Tegal Randu siap melawan MUI Lumajang bila memang MUI Lumajang bersikukuh melarang acara ini. Penegasan itu dikatakan Lurah Tegal Randu Yunus Afrianto. Yunus yang juga guru tari di Tegal Randu menyiapkan pemuda-pemudi setempat untuk ikut berlaga di acara itu. “Ini acara dari rakyat dan untuk rakyat, mengapa harus dilarang,” kata Yunus.
Ironisnya, usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu berbuah buruk bagi Maulid Hijau. Beberapa pengisi acara yang dijadwalkan hadir memeriahkan, membatalkan diri pada detik-detik terakhir. Begitu juga dengan peserta lomba Hadrah. Dari 21 peserta, hanya 4 peserta yang bisa tampil. Yang lebih parah, jumlah stan bazaar yang disediakan panitia, kosong di beberapa tempat. Tidak ada pedagang yang bersedia mengisi.
“Sponsor pun tidak ada yang berani berpartisipasi, mereka juga ikut takut karena usulan fatwa sesat itu, kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya membawa kerusakan di muka bumi?” kata Aak Abdulah Al Kudus.