Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

03 Juni 2008

Aliran Sesat, Diajak Berdialog atau Dibiarkan Saja

Iman D. Nugroho

Keberadaan aliran sesat hendaknya disikapi lebih arif. Cara penyelesaian yang ditawarkan untuk aliran yang yang dianggap sesat itu adalah diajak berdialog atau dibiarkan saja. Hal itu yang "ditawarkan" netter pengakses ID Daily dalam polling bertema: Aliran yang dianggap sesat atau menyimpang, banyak ditemukan di Indonesia. Bagaimana cara "menyelesaikan"-nya?


Dalam polling yang dilakukan selama satu bulan itu, pilihan "Dibiarkan saja" dan "Diajak berdialog", sama-sama mendapatkan 6 (35%) dari 17 (100%) suara. Sementara 3 (17%) suara mengusulkan agar aliran sesat itu dilaporkan polisi. Sisanya, atau 3(17%) mengusulkan penyelesaian dengan cara lain.

Polling ini berangkat dari kasus aliran Ahmadiyah. Aliran yang menganut ajaran Mizra Ghulam Ahmad itu menjadi bahan pembicaraan karena akan dibubarkan oleh pemerintah. Ahmadiyah dianggap menyimpang karena dianggap menempatkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Nabi Islam terakhir, Muhammad SAW.

Dalam polling selanjutnya, ID Daily menjadikan kasus penyerangan Front Pembela Islam (FPI) pada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monumen Nasional (Monas), Minggu (1/5/08) lalu. Bagaimana Penyelesaian Kasus Penyerangan Oleh FPI? Berikan suara anda di Polling ID Daily!

02 Juni 2008

Jejak-jejak Putra Sang Fajar yang Menghilang

Nama besar Proklamator RI Ir. Soekarno tidak bisa dilepaskan dari Jawa Timur. Provinsi tempat Ia lahir, kenal dengan dunia politik untuk pertama kali, dan sekaligus menjadi tempatnya bersemayam ini menyimpan banyak kenangan atas Soekarno. Berikut ini penelusuran Iman D. Nugroho di beberapa lokasi yang pernah ditinggali sosok yang mendapatkan julukan Putra Sang Fajar itu.


Sekilas, rumah di Jl. Pandean IV no. 48 Surabaya itu memang tidak istimewa. Ruang tamunya berbatasan langsung dengan gang seluas empat meter. Tembok depannya kusam, cat mengelupas di beberapa bagian. Rembesan air menciptakan bekas di plafon, berpadu dengan kusen pintu dan jendela yang berbeda warna. Namun, rumah berukuran 18x7 meter itulah disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Proklamator RI Soekarno pada 6 Juni 1901.

Lokasi kelahiran Soekarno di Jl. Pandean Surabaya memang bukan hal baru. Setidaknya, dua buku biografi terkemuka tentang Soekarno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adam dan Putra Sang Fajar karangan Shohirin menyebut Surabaya sebagai tempat kelahiran tokoh yang pada awalnya bernama Koesno itu, dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai.

“Buku itu hadir saat Soekarno masih hidup, dan Soekarno tidak membantahnya, bisa jadi hal itu adalah kebenaran,” kata Budi Kastowo, Penjaga Museum dan Perpustakaan Soekarno di Blitar. Ketidakjelasan masyarakat pada tempat lahir Soekarno dikarenakan Soekarno tidak lama tinggal di Surabaya. Pada usia 2 tahun, Koesno mengikuti kepindahan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai ke Mojokerto.

Tidak pasti benar lokasi rumah ke-2 ini. Hanya disebutkan, rumah Koesno seringkali terkena banjir bandang dari Sungai Brantas yang melintas di Mojokerto. Besar kemungkinan, rumah itu berada di bantaran Sungai Brantas. Saat itu, Koesno kecil sering sakit-sakitan. Kebudayaan Jawa menyebutkan, salah satu upaya penyembuhan yang bisa dilakukan pada Koesno kecil adalah dengan ditirah atau dititipkan.

Rumah sang kakek Raden Hardjodikromo di Tulungagung menjadi pilihan. Di rumah yang terletak di kawasan Kepatihan Tulungagung (kini Jl. Mayjend Surapto, Kota Tulungagung) itulah Koesno kecil mendapatkan perawatan. Yakni dengan pengobatan tradisional tirah Jawa. Caranya, Raden Hardjodikromo tidur di lantai, sementara Koesno di atas ranjang.

Hal itu dilakukan tiap malam. Hingga akhirnya Hardjodikromo mendapatkan wangsit untuk mengubah nama Koesno dengan nama Karno atau Soekarno. Sejak saat itu, kondisi Soekarno kecil mulai membaik, dan bersekolah di Inlander School hingga umur 11 tahun. Europe Lagere School (ELS) di Mojokerto menjadi pilihan Soekarno kemudian. Empat tahun kemudian, atau pada 1915, Soekarno yang sudah beranjak dewasa melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya.

Saat itulah, Soekarno berkenalan dengan Haji Oemar Said Tokroaminoto (HOS) Tjokroaminoto, bapak kos yang juga ketua Syarikat Islam (SI). Tjokroaminoto memperkenalkan Soekarno dengan wacana-wacana kebangsaan dan semangat perlawanan kepada penjajah Belanda. Semaun, Moeso, Darsono dan Alimin yang juga menuntut ilmu di HBS menjadi teman diskusi. Hingga tahun 1926, Soekarno melanjutkan pendidikannya di sekolah teknis THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi), cikal bakal Institut Teknologi Bandung-ITB dan lulus tahun 1926, serta berkiprah di dunia politik nasional.

Jejak-jejak Soekarno di Jawa Timur memang tidak sebanding dengan kiprah politik setelah dia dewasa, hingga menjadi Presiden Pertama RI 1945-1966. Ketika kecil, Koesno atau Soekarno memang bukan “siapa-siapa”. Hanya anak kecil biasa yang sakit-sakitan. Bahkan, kelahiran Soekarno di Surabaya pun tidak banyak yang tahu. “Kalau tidak salah lahirnya di Blitarkan?” tanya Ashari, 75. Ashari adalah penduduk asli Jl. Pandean, Surabaya. Kepada The Jakarta Post ia mengaku pernah mendapatkan cerita dari Ibunya, Almarhum Asyiah tentang sosok Soekarno. “Seingat saya, memang ibu pernah bercerita tentang Bung Karno, dulu dia tinggal di Pandean bersama Ibu Inggit (istri ke-2 Soekarno),” katanya.

Saat Soekarno tinggal di Pandean, kenang Ashari, tetangga bagian depan ditempati sebagai sekretariat Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). KBI adalah organisasi pemuda di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI), partai politik yang didirikan Soekarno. Berbagai aktivitas politik dilakukan di tempat itu. “Sejauh itu yang saya ingat, soal kelahiran Bung Karno, saya sama sekali tidak mengetahui,” kata Ashari yang tinggal enam rumah di sebelah timur tempat kelahiran Soekarno itu.

Cerita tentang Soekarno itu berhenti, saat Aisyiah meninggal dunia. Apalagi, ketika rumah kelahiran Soekarno itu dijual. Saat ini, rumah itu milik Jamila, yang merupakan “tangan ke empat”. Perempuan yang tinggal bersama suami dan kakaknya itu sama sekali tidak memiliki hubungan saudara dengan Soekarno. Saat The Post mengunjungi rumah itu, Jamila sedang tidak ada di rumah.

Tempat kos Soekarno saat bersekolah di HBS yang juga (HOS) Tjokroaminoto masih berdiri di Jl. Peneleh gang VII Surabaya. Rumah sederhana berbentuk joglo khas Jawa Timur itu saat ini dikelola oleh Pemkot Surabaya dan ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya. Warna dinding, tembok dan pagar yang masih bagus menandakan rumah tempat Soekarno mengenal politik untuk pertama kalinya itu masih dijaga.

Jejak Soekarno juga “menghilang” di Mojokerto, yang berjarak sekitar 30 Km dari Surabaya. Hingga saat ini, tidak ada yang tahu lokasi tempat tinggal Soekarno di daerah yang dikenal sebagai lokasi Kerajaan Majapahit itu. Yang masih tersisa hanya tempat tinggal ke-3 Soekarno di Tulungagung, rumah Raden Hardjodikromo.

Rumah yang kini terletak di Jl. Mayjend Surapto, Kota Tulungagung itu kosong, tidak berpenghuni. Penduduk sekitar rumah itu mengenal rumah itu sebagai rumah Eyang Hardjo. “Itu memang rumah eyang (Hardjo-RED), yang juga kakek Bung Karno,” kata Joko, penduduk setempat. Joko mengingat, rumah itu sudah lama kosong dan dalam kondisi dijual. “Kata orang-orang, keluarga eyang sudah tidak ada,” kata Joko pada The Post.

Selain rumah, yang masih tersisa dari jejak Soekarno di Tulungagung adalah makam Raden Hardjodikromo di pemakaman Kepatihan, 1 Km dari rumahnya. Di makam itu, Raden Hardjodikromo “berkumpul” dengan kerabatnya, dalam satu komplek makam berjumlah 14 buah. “Makam ini jarang sekali dikunjungi, hanya beberapa tahun lalu saja keluarga Soekarno datang untuk berziarah,” kata Sabar, juru kunci makam Raden Hardjodikromo.

Budi Kastowo, Penjaga Museum dan Perpustakaan Soekarno di Blitar mengatakan, rasa memiliki Soekarnolah yang membuat “jejak-jejak” Proklamator itu masih dirasakan kental di Jawa Timur. Meskipun secara fisik, terkadang rumah, sekolah atau tempat-tempat yang pernah didiami Soekarno tidak lagi ada, namun semangat tokoh kelahiran 6 Juni itu masih terasa.

Salah satu contohnya adalah Istana Gebang di Blitar. Menurut sejarahnya, Soekarno tidak pernah lama tinggal di rumah itu. “Memang, kedua orang tua Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai tinggal di situ, namun, Soekarno tidak,” katanya. Rumah yang kemudian dihuni oleh Soekarmini, kakak Soekarno, itu diidentikkan dengan sosok Bung Karno. Pada bulan Juni, Kota Blitar selalu semarak dengan acara Haul (Hari Ulang Tahun) Soekarno. Istana Gebang menjadi sentra kegiatan.

Di Istana Gebanglah, pernah-pernik berbau Soekarno disimpan. Mulai foto Soekarno dengan ayah-ibu dan kakaknya, foto semasa muda, patung hingga kamar yang lengkap dengan perabotan asli milik bapak delapan anak itu. Karena alasan itu jugalah, banyak pihak “berteriak”, ketika Istana Gebang berencana dijual.

Padahal, kata Budi, kota yang membesarkan Soekarno itu adalah Surabaya dan Bandung. Di Surabayalah, Soekarno mulai berpolitik. Dan di Bandung, sosok yang dikenal memiliki sembilan istri itu mematangkan pengetahuan politik dan mulai membangun jaringan bersama kaum seperjuangan lainnya. Pada akhirnya, mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927, merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 dan bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. “Bung Karno kembali “tinggal” di Blitar, usai meninggal dunia 21 Juni 1970,” kata Budi (***).

29 Mei 2008

Maulid Hijau, Sebuah Perlawanan “Fatwa” Kacau

Iman D. Nugroho

Usulan fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lumajang pada acara Maulid Hijau mendapatkan perlawanan warga Desa Tegal Randu, Lumajang. Selama tiga hari, acara itu tetap digelar. “Kami hanya menjalankan budaya, kalau MUI Lumajang tetap menfatwa sesat, kami siap melawan apapun yang terjadi,” kata Yunus Afrianto, Lurah Tegal Randu.



“Biarkan kami tetap melaksanakan acara Maulid Hijau ini dan kami siap dengan siksa neraka.” Ucapan ini adalah ucapan besar, ucapan kecongkakan yang belum pernah kita dengar walaupun dari mahluk paling congkak sekalipun semacam Iblis Laknatulloh atau Fir’aun Latnatulloh.

Kalimat bernada kecaman terhadap acara Maulid Hijau itu termuat di selebaran masjid Al I’tisham terbitan Lembaga Da’wah An Nasshirus Sunnah Lumajang. Entah mengapa, selebaran itu menyebar saat Sholat Jumat dilaksanakan di masjid-masjid di Lumajang, Jawa Timur. “Kita tahu siapa yang menyebarkan, biar sajalah, yang penting kita melaksanakan Maulid Hijau dengan niat yang baik,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pemrakarsa Maulid Hijau pada The Jakarta Post.

Maulid Hijau adalah sebuah acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan di samping danau Klakah (Ranu Klakah), Desa Tegal Randu, Kabupaten Lumajang. Acara yang sudah dilaksanakan selama tiga kali ini pada dasarnya adalah menggabungkan perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan penghijauan di sekitar danau.

Acara yang merupakan budaya turun menurun di Tegal Randu ini, sejak setahun lalu menjadi pembicaraan. Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lumajang mengusulkan kepada MUI Jawa Timur agar mengelarkan fatwa atas acara itu. MUI Lumajang menganggap acara itu sesat. Poin kesesatan yang ada di acara itu terletak pada prosesi larung sesaji di tengah danau.

“Memang sudah ada surat usulan untuk menyatakan Maulid Hijau sebagai ajaran sesat, karena acara itu menggabungkan yang benar (pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad) dengan yang tidak benar (Larung sesaji,” kata Ketua MUI Jawa Timur, Abdushomad Bukhori pada The Jakarta Post. Abdushomad menganggap, Maulid Hijau tidak perlu diteruskan.

Penilaian MUI Lumajang atas Maulid Hijau dianggap angin lalu oleh Perguruan Rakyat Merdeka (PRM) selaku panitia pelaksana. PRM menganggap, MUI Lumajang telah menilai dengan keliru pelaksanaan acara itu. “Kalau MUI Lumajang mau memperhatikan, rangkaian acara Maulid Hijau dikemas secara Islami. Larung, hanya budaya masyarakat setempat, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran sesat,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pihak penyelenggara.

Karenanya, pada Jumat-Minggu (23-25/05/08) lalu, acara Maulid Hijau tetap digelar. Seperti acara-acara di daerah berbasis Islam di Jawa Timur, Maulid Hijau pun digelar dengan berbagai kesenian rakyat berbasis keislaman. Seperti lomba Sholawat, lomba Qiro’atil Quran, lomba Tadarus, lomba Adzan hingga lomba balita sehat. Hari kedua, dilaksanakan Isighosah Kubro dan lomba Nasyid. Di puncak acara digelar Yasinan dengan mengundang kyai setempat.

Yang membuat acara ini berbeda, di sela-sela acara, dilaksanakan aksi penanaman benih pohon di sekitar danau. Benih itu diharapkan menjadi penguat tanah di sekitar Ranu Klakah yang belakangan mulai tergerus oleh aksi penebangan pohon. “Coba Anda, mana di antara rangkaian acara ini yang mengandung kesesatan,” kata Aak.

Karena keyakinan itu juga, masyarakat Tegal Randu kekeh membela acara yang dinilai bisa meningkatkan keimanan kepada Islam, sekaligus menambah semarak potensi wisata Danau (Ranu) Klakah itu. Sasmitho, 80, salah satu sesepuh Desa Tegal Randu menganggap usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu sebagai sebuah kebodohan. “Kalau tidak bodoh, tidak mungkin seperti itu, ini adalah cara budaya dalam kemasan Islam,” kata Sasmitho dalam bahasa Madura.

Sasmitho menjelaskan, sejak dirinya masih muda, acara semacam Maulid Hijau sudah dilaksanakan. Dengan nama yang berbeda tentunya. Namun intinya tetap sama, mendoakan kelahiran Nabi Muhammad. “Kami di Tegal Randu semuanya orang Islam, dan kami melaksanakan Maulid Nabi Muhammad juga dengan cara Islam, mengapa harus dilarang, apa MUI Lumajang menganggap kami sedesa ini sebagai orang yang sesat?” katanya.

Seluruh masyarakat Desa Tegal Randu siap melawan MUI Lumajang bila memang MUI Lumajang bersikukuh melarang acara ini. Penegasan itu dikatakan Lurah Tegal Randu Yunus Afrianto. Yunus yang juga guru tari di Tegal Randu menyiapkan pemuda-pemudi setempat untuk ikut berlaga di acara itu. “Ini acara dari rakyat dan untuk rakyat, mengapa harus dilarang,” kata Yunus.

Ironisnya, usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu berbuah buruk bagi Maulid Hijau. Beberapa pengisi acara yang dijadwalkan hadir memeriahkan, membatalkan diri pada detik-detik terakhir. Begitu juga dengan peserta lomba Hadrah. Dari 21 peserta, hanya 4 peserta yang bisa tampil. Yang lebih parah, jumlah stan bazaar yang disediakan panitia, kosong di beberapa tempat. Tidak ada pedagang yang bersedia mengisi.

“Sponsor pun tidak ada yang berani berpartisipasi, mereka juga ikut takut karena usulan fatwa sesat itu, kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya membawa kerusakan di muka bumi?” kata Aak Abdulah Al Kudus.


Korban Penyerangan Polisi Masih Dirawat di RS

Iman D. Nugroho

Korban kekerasan polisi dalam demonstrasi menolak kenaikan BBM di Surabaya, Sabtu (24/5/08) lalu, hingga Kamis (29/05/08) ini masih dirawat di rumah sakit. Luka-luka bakar di tubuhnya tidak kunjung sembuh. Bahkan, semakin parah karena terus mengeluarkan air.


Salah satu korban yang terluka itu adalah Muhammad Darwis, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS). Darwis yang saat ini dirawat di Rumah Sakit Haji Surabaya Paviliun 206 itu masih mendapatkan perawatan intensif. Berdasarkan informasi dari pihak keluarga, luka di tubuh mahasiswa semester II jurusan jurnalistik itu semakin parah.

Rencana pulang pada Sabtu (31/05/08) besok terpaksa dibatalkan, lantaran dokter melihat luka-luka di tubuhnya tidak kunjung membaik. Darwis terluka bakar di bagian punggung bawah hingga ke bagian pantat kanan. Tangan kirinya dan dua lututnya juga melepuh karena panas.

Pada saat kejadian, Darwis terdorong polisi yang akan menangkap pelaku pembakaran poster SBY-JK. Sialnya, Darwis menuju ke arah poster yang saat itu terbakar. Posisi Darwis saat kejadian tidak memungkinkan bagi pemuda asal Ambon itu untuk menghindar. Darwis terduduk dengan tangan kiri berada di kobaran api. Polisi yang terus merangsesk maju, membuat Darwis semakin lama berada di kobaran api. Api segera memanaskan baju dan membuat kulitnya melepuh.

Dalam kejadian Sabtu lalu, 28 mahasiswa terluka, 4 lainnya ditangkap. Hingga Kamis ini,masih ada dua mahasiswa yang dirawat di rumah sakit karena terbakar. Demonstran dari Front Pembela Rakyat akan memejahijaukan kasus ini. Dan menuntut polisi yang melakukan penyerangan segera ditangkap.***

Surabaya Semakin Seksi Untuk Dunia Bisnis

Iman D. Nugroho

Julukan sebagai Kota Metropolitan ke-2 setelah DKI Jakarta, tidak disia-siakan oleh Surabaya. Usia 715 tahun seperti mendorong pengelola kota semakin mempercepat laju pembangunan. Meski sempat menuai kritik, pertumbuhan property, mall, dan hotel semakin tampak di mana-mana. Sebuah upaya menyalip Jakarta?


DKI Jakarta sepertinya harus bersiap siaga. Keelokan Ibu Kota Indonesia dengan problematikanya itu, sebentar lagi akan “tersaingi” dengan Surabaya, kota terbesar ke-2 di Indonesia. Betapa tidak, di kota berpenduduk 2,7 juta jiwa lebih ini pembangunan seakan berpacu. Mall-mall baru, apartemen dan perumahan mewah plus, sarana dan prasarana menjamur di mana-mana.

Dunia bisnis menjadi ukuran utama. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, kota yang mendeklarasikan diri sebagai kota perdagangan ini mau tidak mau mempertajam strategi pembangunan dunia bisnis dengan membentuk Centra Bisnis Distrik (CBD) pada tahun 2000. Ada tujuh CBD dengan karakteristik yang berbeda pula. Mereka tersebar di beberapa daerah, Mulai Kembang Jepun yang merupakan kawasan perdagangan tertua di Surabaya hingga Ngagel, lokasi relokasi daerah industri.

“Regulasi itu memang tidak bisa ditolak, karena kota ini sedang melesat menuju kota yang lebih modern,” kata Wakil Walikota Surabaya Arief Affandi pada The Jakarta Post. Di dalam CDB itu berdapat berbagai pusat kegiatan bisnis. Mulai pusat perbelanjaan, pasar, perbankan, perkantoran modern dan pusat aktivitas bisnis lain. Tidak hanya itu, CBD juga berkolaborasi dengan beberapa pasar yang dikelola secara mandiri.

Seperti Pasar Atum, Pasar Turi, Pasar Keputran, Pasar Pabean dan Pasar Genteng. Tentu saja juga ada mall dan pusat perbelanjaan yang sekaligus menjadi ikon kota Surabaya. Sebut saja Surabaya Plasa, Mal Galaxy, Mal Surabaya, Tunjungan Plasa, Maspion Square, Jembatan Merah Plasa dan Plasa Marina. Juga ada Pakuwon Supermall, Trade Center Pakuwon, Sungkono Trade CenterRoyal Plasa dan City of Tomorrow. “Beberapa pembangunan sentra bisnis lain sudah menunggu, Saya berharap masyarakat bisa memanfaatkan hal itu,” kata Arief Affandi.

Dunia perhotelan pun menjadi item yang tidak bisa dipisahkan dengan Surabaya. Di kota berjuluk Kota Pahlawan ini ada 136 hotel dengan 7261 kamar dengan berbagai kelas, mulai kelas Bintang V berkelas internasional sampai hotel kelas Melati 1. Sebut saja Hotel Majapahit, Hyatt Regency Surabaya, Patra Surabaya Hilton, Shangri-La, Garden Palace, Sheraton Surabaya dan J.W. Marriot.

Sementara hotel Bintang 4 terwakili dengan Surabaya Plaza Hotel, Novotel, Somerset dan Hotel Ibis. Pada 26 Februari 2008, Hotel Mercure Grand Mirama juga ikut menyemarakkan bisnis perhotelan di Surabaya. Hotel di bawah manajemen Acor ini menempati bekas Hotel Mirama yang sudah tidak lagi beroperasi. General Manajer Mercure Neil Gow mengatakan, pilihan untuk Membangun hotel di Surabaya adalah banyaknya permintaan yang selalu melebihi jumlah kamar hotel.

“Hal itu berarti masih ada kemungkinan bisnis hotel di Surabaya akan berkembang pesat,” kata Neil pada The Post. Dugaan itu tidak meleset. Dari setahun lebih beroperasi jumlah tamu yang menginap di Hotel Mercure Grand Mirama lebih dari 80 persen. Neil bahkan memastikan, dibanding tiga hotel bintang 4 lainnya, hotelnya tergolong lebih unggul dibidang occupancy. “Sejauh yang kami tahu, kami masih leading dibandingkan hotel bitang 4 lainnya,” katanya.

Meski tergolong maju, namun secara geografis, hotel di Surabaya masih tersentral di Surabaya Pusat. Namun, perhotelan tetap menjadi ladang menyerapan sumber daya manusia (SDM) yang baik. Dalam catatan Badan Pusat Statistik Kota Surabaya tahun 2006, bisnis perhotelan di Surabaya menyerap 8130 tenaga kerja.

Selain bisnis property, bisnis perumahan dan apartemen juga menunjukkan tren meningkat di Surabaya. Beberapa perumahan kelas atas yang ada di Surabaya menunjukkan peningkatan penjualan. Sebut saja Wisata Bukit, Araya Bumi Mega, Taman Dayu dan Perumahan Pakuwon. Masing-masing memiliki trens penjualan di atas 30 persen. Hal senada juga terjadi di bisnis apartemen.

Gaya hidup masyarakat Surabaya yang hampir sama dengan Jakarta membuat bisnis apartemen juga bergairah. Apalagi, dengan keterbatasan lahan untuk pembangunan rumah namun di sisi yang lain, kebutuhan untuk tetap tinggal di sekitar perkotaan. “Karena dia faktor itulah Pakuwon Groups berani membangun apartemen di Surabaya,” kata Sugema Nagasakti, Promotion Manager Pakuwon Groups pada The Jakarta Post. Perusahaan tempatnya bekerja memiliki dua kompleks apartemen, Grande Water Palace dan East Cost Residence.

Sugema menjelaskan, di Grande Water Palace yang memiliki 2000 unit apartemen di enam tower, hampir seluruhnya sudah terjual. Meskipun harga masing-masing unitnya tergolong tinggi, sekitar Rp.400 juta. “Bisa dibilang, sudah 90 persen dari seluruh unit terjual dan diserahterimakan pada September 2008 mendatang,” katanya.
Karena kondisi itulah, tidak berlebihan bila kemudian agen property ternama seperti Century 21 Indonesia membuka 12 kantor cabangnya di Surabaya. Berdasarkan informasi yang dimiliki The Jakata Post, penjualan property di Surabaya memiliki nilai yang hampir sama dengan Jabodetabek. Besar kemungkinan, nilai penjualan itu akan melambung tinggi melebihi Jabodetabek.

Persoalan gaya hidup itu juga yang membuat bisnis tempat hiburan dan international fashion brands di Surabaya ikut menanjak. Sebut saja café, karaoke, dan diskotik dengan berbagai kelas. Terletak di pusat kota, ada 10 kafe kelas atas yang menjadi pilihan. Begitu juga dengan 13 diskotik yang setiap malam menyajikan hiburan kaum perkotaan.

Begitulah, Surabaya memang sedang melesat. Dengan visi pembangunan yang Cerdas dan Peduli, Surabaya dalam bidang bisnis, Surabaya berusaha untuk meningkatkan akselerasi pertumbuhan arus perdagangan barang dan jasa dalam skala regional maupun internasional. Tentu saja dengan memadukan

wilayah wilayah perkotaan Surabaya (Greater Surabaya) dalam suatu sistem tata ruang yang terintegrasi didukung infrastruktur, sistem transportasi dan sistem Teknologi Informasi yang memadai. Tak heran bila Surabaya semakin seksi untuk dunia bisnis.