Press Release
Upaya intimidasi dan pemaksaan terhadap jurnalis terjadi di Situbondo-Jawa Timur, kamis (9/05) siang kemarin. Kasus itu menimpa Kukuh Setyono, Koresponden TEMPO untuk wilayah Situbondo dan Banyuwangi. Kukuh diintimidasi, dipaksa bahkan sempat dibawa ke Mapolres Jember oleh staf Dispendiknas Situbondo, karena tidak bersedia membocorkan narasumbernya terkait berita yang dibutnya dalam Koran Tempo, rabu (7/05) tentang jawaban ujian nasional yang bocor kepada siswa peserta Ujian nasional di SMPN I banyuglugur Situbondo.
Intimidasi dan pemaksaan pertama terjadi pukul 10.30 wib di ruang kerja kepala Dispendiknas Situbondo. Saat itu, setelah Dispendiknas Situbondo melakukan konferensi pers menanggapi berita bocornya jawaban soal Ujian Nasional dengan sejumlah wartawan Situbondo, Kukuh dipanggil secara khusus ke ruang kerja Kepala Dispendiknas Situbondo, Drs. Fathor Rohman. Selain Kepala Disperndiknas, dalam ruangan itu Kukuh dihadapi oleh sejumlah staf dispendiknas Situbondo, Panitia Unas, Tim Pemantau Independent (TPI) provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Situbondo , serta anggota Mapolres Situbondo. Semuanya berjumlah lebih 10 orang. Dalam ruangan itu, Kukuh dipaksa untuk memberitahukan siapa narasumber yang memberikan informasi.
Malahan, dalam kesempatan itu Kukuh diminta menghadirkan nara sumbernya hari itu juga oleh pimpinan dan staf Dispendiknas dan anggota TPI. Namun Kukuh tetap bersikukuh untuk tidak memberitahukan narasumbernya. Hingga sekitar 40 menit kemudian, Kukuh tetap tidak mau mengungkapkan narasumbernya. Akhirnya para pejabat itu menyimpulkan bahwa informasi dalam pemberitaan Koran Tempo edisi rabu (07/05) tentang kebocoran jawaban soal Unas di SMPN I Situbondo dianggap berita bohong dan tidak terbukti kebenarannya. Mereka juga menganggap bahwa Kukuh yang tidak bisa menunjukkan Kartu Pers dari tempatnya bekerja yakni PT. Tempo Inti Media, (karena memang masih dalam masih baru sekitar 2 bulan bekerja) tidak bisa dianggap sebagai jurnalis atau wartawan yang benar-benar bekerja dengan baik dalam melakukan tugas jurnalistik.
Setelah pertemuan itu dianggap selesai, Kukuh kembali melakukan tugas jurnalistik. Namun ketiak dia membuat dan mengirim berita kepada redaksi Tempo News Room (TNR), dia mendapat telepon dan sms berisi undangan bertemu dengan Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok. Kukuh akhirnya menyanggupi dan bersedia bertemu pukul 16.00 wib.
Pertemuan tersebut berlangsung di restoran ayam goreng Pemuda di kawasan Kota Situbondo. Dalam pertemuan itu, Dwi Totok mengaku sengaja ingin berbicara secara pribadi dengan Kukuh. Namun kenyataannya, Dwi totok baru dating ke restoran itu pukul 18.30 wib.
Dalam pertemuan 'empat mata' itu, Dwi kembali meminta Kukuh untuk memberitahukan
Siapa saja narasumbernya dan bukti-bukti bocoran jawaban soal Unas yang diperolehnya dalam proses reportase yang telah dilakuka Kukuh. Bahkan Dwi juga sempat mengeluarkan kata-kata ancaman, "Jika ada tidak mau memberikan keterangan siapa nara sumber berita yang anda buat, secara kekeluargaan, maka kami akan menempuh jalur hukum. Apakah anda sudah siap?.
Dwi juga menyatakan bahwa dirinya meragukan indentitas kewartawanan Kukuh karena tidak bisa menunjukan kartu pers maupun surat tugas. Dia juga menganggap Kukuh sebagai wartawan Tempo, yang tidak berperasaan dan sangat tega. "Anda tidak punya perasaan dan tega, dengan membiarkan nara sumber anda (siswa) mengalami tekanan psikologis dan kemungkinan besar jenjang akademis jika dia diperiksa oleh kepolisian. Anda hebat! ,".
Namun Kukuh tetap pada pendiriannya. Dia tetap tidak bersedia memberikan data dan nama-nama narasumbernya. Dwi kembali melontarkan kata-kata bernada intimidasi dan ancaman kepada Kukuh.
Mendapat ancaman, Kukuh menantang Dwi Totok untuk menyelesaikan kasus itu secara hokum. Apalagi, Kukuh sudah mendapatkan jaminan bahwa dari nara sumber dan keluarganya, bahwa mereka siap dengan segala konsenkuensi, jika memang ada proses hukum dari Dispendiknas Situbondo. Dia pun bersedia mengalah, dengan menuruti ajakan dan tantangan Dwi Totok yang hendak melaporkan kasus tersebut dan meneruskannnya secara hokum ke Mapolres Situbondo.
Akhirnya, pukul 19.15 WIB, Kukuh dan Dwi bersepakat bahwa malam itu juga mereka berdua akan menghadap Kabag Bina Mitra Polres Situbondo, Kompol Taufik Rakhman di Malpolres Situbondo. Mereka lantas bersama-sama menuju ke Polres Situbondo dan menunggu sekitar setengah jam lebih untuk menemui Taufik yang ternyata tidak ada di tempat.
Selama menunggu tersebut, permintaan untuk mengungkapkan nama siapa nara sumber berita tetap dilontarkan oleh Dwi Totok. Bahkan pernyataan "tidak punya perasaan dan sangat tega" terus dikatakan berulang-ulang oleh Dwi Totok.
Sekitar 1 jam kemudian, dua orang koresponden TV One, Samsul Choirie dan Suyanto mendatangi Mapolres Situbondo. Mereka lantas membawa Kukuh pergi dari tempat itu dan meninggalkan Dwi Totok. Saat itu, Dwi totok masih sempat meminta kedua koresponden TV One untuk memberikan rekaman gambar dan nama-nama narasumber kasus bocornya jawaban soal Unas itu (selain Kukuh, korsponden TV One juga sempat melakukan reportase kasus itu dan menemui narasumber yang sama dengan yang ditemui Kukuh). Namun para koresponden TV One itu juga menolak tegas permintaan Dwi dan meminta Dwi melakukan upaya hukum secara pribadi maupun institusi Dispendiknas Situbondo, jika memang menginginkan rekaman wawancara dengan nara sumber dan menganggap liputan kasus itu tidak benar.
Menyikapi sikap tindakan Kepala dan anggota staf Dispendiknas Situbondo itu, Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Kota Jember menyatakan sikap:
1. Mengutuk dengan tegas segala bentuk aksi ancaman, intimidasi dan pemaksaan yang yang telah dilakukan secara bersama-sama dan secara pribadi oleh Kepala Dispendiknas Situbondo, Drs. Fathor Rohman, Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok, serta para stafnya kepada Kukuh Setyono. Karena
Bagaiamanpun, sikap dan tindakan mereka itu merupakan ancaman bagi jurnalis/wartawan yang merupakan ancaman bagi kebebasan pers yang juga berarti ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia.
2. Mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas kasus bocornya jawaban soal Ujian Nasional di SMPN I Banyuglugur-Situbondo, dan di sekolah lain di wilayah Situbondo.
3. Mendesak kepada Bupati Situbondo, Kepala Dinas Pendiikan Nasional Propinsi Jawa Timur, Gubernur Jawa Timur dan Menteri Pendidikan Nasional RI, untuk memberikan sanksi tegas kepada Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Situbondo, Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok dan sejumlah stafnya yang telah melakukan tindakan tidak terpuji dengan mengintimidasi dan memaksa jurnalis TEMPO Kukuh Setyono.
4. Mendesak Kepala Dispendiknas Situbondo, Drs. Fathor Rohman dan Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok untuk meminta maaf secara terbuka kepada jurnalis/wartawan yang telah mereka intimidasi dan kepada publik secara luas melalui media massa.
5.Menyerukan kepada segenap jurnalis/wartawan dan elemen pro demokrasi untuk merapatkan barisan melawan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis/wartawan.
6. Meminta aparat pemerintah di Situbondo mulai dari tingkat Bupati, Ketua DPRD, kepala dinas/badan hingga aparat desa dan tokoh masyarakat untuk memahami profesi jurnalistik, serta turut memberikan perlindungan kepada jurnalis yang sedang bertugas. Bagi pihak yang tidak puas dengan pemberitaan pers, dapat menggunakan hak jawab, hak koreksi, atau melaporkan media/wartawan kepada Dewan Pers, Sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Jember, 09 Mei 2008
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jember
Ketua,
Mahbub Djunaidy
Koordinator Divisi Advokasi,
M Dawud
Tembusan
1. Menteri Pendidikan Nasional
2. Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur
3. Bupati Situbondo
4. Kapolres Situbondo
5. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Situbondo
6. Tempo Biro Jawa Timur
7. Media massa
09 Mei 2008
05 Mei 2008
Wisata Berbahaya di Kubah Lava

Ribuan ton batu yang menyembul di puncak Gunung Kelud itu masih terus mengeluarkan asap putih. Di sekitar bebatuan "segar" dari perut bumi itu, bau belerang sesekali menyengat. Menyesakkan dada siapa pun yang menghirupnya. Meski begitu, fenomena alam itu juga yang menjadi magnet wisatawan untuk datang. Menyaksikan kubah lava di wilayah berbahaya.
Tikungan terakhir sebelum tangga menurun menuju danau kawah Gunung Kelud, hampir pasti menjadi tempat pengunjung wisata alam Gunung Kelud berhenti sejenak. Di tempat inilah, kubah lava baru gunung setinggi 1731 di atas permukaan laut (Dpl) itu mulai terlihat. Menjulang ke atas, hampir sejajar dengan puncak-puncak lain yang ada di sekitarnya.
Kemunculan kubah lava Gunung Kelud terjadi akhir Oktober lalu. Ketika itu, Gunung yang berada di tiba kabupaten di Jawa Timur ini, Kediri, Blitar dan Malang tiba-tiba mengalami peningkatan aktivitas. Gempa tektonik dan tremor sahut menyahut. Air danau kawah yang biasanya tenang, pun ketika itu bagai mendidih. Gelembung-gelembung udara menari di permukaannya.
Masyarakat yang tinggal di desa lereng gunung pun diungsikan. Ada yang panik mencari tempat yang aman, ada pula bertahan di kediamannya, karena percaya tanda-tanda alam belum menunjukkan Gunung Kelud akan meletus. Apapun itu, saat itu pihak vulkanologi menyatakan jarak aman di areal gunung adalah di luar diameter 10 Km dari puncak gunung.
Waktu juga yang membuktikan. Red light vulkanolog benar terbukti. Peningkatan aktivitas adalah awal dari erupsi evosif atau keluarnya material dari dalam perut bumi secara berlahan-lahan. "Ada dua jenis ledakan, erupsi eksplosif atau terdorongnya material ke udara, dan erupsi evosif atau terdorongnya material ke permukaan bumi dengan pelan, yang terjadi di Gunung Kelud tahun 2008 adalah erupsi evosif," kata Choirul Huda, kepala Pos Pemantauan Gunung Kelud pada The Jakarta Post.
Dalam sejarahnya, Gunung Kelud sudah meletus sembilan kali mengalami peningkatan status. Letusan pertama yang tercatat terjadi antara pada tahun 1000-1864. Jumlah korban yang paling banyak terjadi pada 20 Mei 1919 dengan korban meninggal berjumlah sekitar 5160 jiwa. Dan pada 24 April 1956, korban meninggal berjumlah 210 jiwa. Letusan tahun 1990 membuat 34 orang berkalang tanah.
Selama delapan bulan erupsi evosif membuat danau kawah yang terbentuk di tahun 1920 di puncak Gunung Kelud lenyap. Digantikan gundukan material dari perut bumi setinggi 250 meter dari dasar danau. Material yang keluar itu adalah batu-batuan padat bercampur berbagai mineral dan gas alam. Hassium (Hs) adalah has paling berbahaya yang sering keluar, setelah itu baru Sulfur atau belerang (S).
Berbahayakah Gunung Kelud sekarang? "Berbahaya," kata Choirul Huda, kepala Pos Pemantauan Gunung Kelud pada The Jakarta Post. Tingkatan berbahaya yang paling utama kata Choirul adalah gas yang kemungkinan akan keluar dari dalam perut bumi. "Hassium adalah gas berbahaya, seperti gas yang lain, bisa terhirup manusia bisa menyebabkan kematian," katanya.
Gas jenis ini memiliki berat jenis lebih tinggi dari oksigen (O2). Karenanya, Hassium selalu berada paling tinggi 1 M di atas tanah, dan cenderung mengalir ke lembah atau tempat yang lebih rendah. "Karena itulah, sangat berbahaya bila ada anak kecil atau orang yang memiliki tinggi kurang dari 1 meter di sekitar lokasi," kata Choirul.
Hal lain yang tidak kalah berbahayanya adalah runtuhan kubah lava atau tanah di sekitar kubah lava. Reruntuhan yang juga membawa material batu bervolume besar itu, bisa membawa celaka. "Karena alasan itulah, volkanologi meminta Dinas Pariwisata untuk menutup areal wisata Gunung Kelud," kata Choirul.
Bentuk dari penutupan itu adalah dipasangnya pagar besi dan kawat berduri setinggi 2,5 M di jalan masuk 1 Km sebelum kawasan puncak gunung. Setiap harinya, pagar berwarna cokelat itu digembok. Siapapun, kecuali petugas, tidak diperkenankan masuk ke lokasi puncak Gunung Kelud. "Semua demi keamanan, jarak 1 Km kami anggap cukup aman, angin dan sinar matahari bisa menyapu gas pada jarak itu," kata Choirul.
Sejak adanya pagar, jumlah wisatawan menurun drastis. Toko sauvenir dan penjual makanan di gerbang pendakian pun tutup karena tidak boleh lagi berjualan dengan alasan keamanan. Sebagian memilih membuka usaha di tempat lain, sebagian lagi membuka warung sederhana di samping pagar pembatas. "Karena di sana (lokasi gerbang pendakian) tidak boleh berjualan, saya dan empat teman lain membuka warung di sini saja," kata perempuan penjual makanan yang akrab dipanggil Bu Tomo ini.
Ironisnya, status "waspada" dengan berbagai kemungkinan membahayakan yang dilekatkan pada Gunung Kelud tidak membuat tempat wisata alam itu berhenti berdetak. "Siapapun tidak boleh ke puncak Kelud, tapi kalau mau naik terus ke puncaknya, bisa lewat jalan itu," kata tukang parkir dadakan yang membuka usahanya tepat di samping pagar pembatas, Minggu (04/05/08).
"Jalan" yang dimaksud adalah tangga tanah seluas sekitar 50 Cm yang sengaja dibuat di sisi kanan pagar. Tangga tanah dengan batang-batang Ketela Pohon sebagai pegangannya itu menuju ke balik pagar, dan langsung berlanjut ke jalan utama menuju ke tempat wisata puncak Gunung Kelud. Dari pagar menuju ke gerbang pendakian berjarak sekitar 800 meter.
Setelah itu dilanjutkan dengan menelusuri terowongan yang dibuat membelah salah satu puncak Gunung Kelud. Meski sambil menggerutu mencaci maki pagar pembatas, melalui "jalan" itu juga pengunjung mendekat ke arah kubah lava. Yang menarik, saat The Post mengunjungi tempat itu mendapati pagar pembatas itu tidak benar-benar "tidak bisa dibuka,".
Sebuah mobil berplat merah yang penuh oleh penumpang berbagai usia, melenggang begitu sana melalui pagar pembatas. Setelah seorang penjaga membukakan pintu tentunya. Begitu juga dengan mobil patroli polisi yang siang itu ditumpangi oleh sebuah keluarga.
Kislan salah satu pengunjung Gunung Kelud yang Minggu ini datang bersama anak laki-lakinya. Lurah di sebuah desa wilayah Kabupaten Jombang Jawa Timur ini mengaku datang karena diajak Medi Kresno Utomo, 10, anaknya. Kislan mengatakan, dirinya sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi Gunung Kelud yang berbahaya.
"Anak saya saja tidak takut, saya juga tidak takut," katanya. Mislan dan Medi mengaku sudah mendekat ke kubah lava. Kislan tidak sendirian. Dalam pengamatan The Post, beberapa pengunjung yang sudah berkeluarga, selalu mengajak serta anak-anaknya. "Nggak takut kok, cuma ingin tahu saja," kata seorang laki-laki sambil berlalu. Dia datang bersama istri dan dua anaknya yang masih berumur 3 tahun.
Tidak sedikit di antara pengunjung yang nekat mendekat, menuruni anak tangga sejauh 200-an meter, hingga berjarak beberapa meter ke kubah lava. Pengunjung yang masih berpikir tentang keselamatan, berhenti di ujung tangga, dan menyaksikan kubah lava itu dari lokasi itu. Meskipun ujung tangga juga bukan jarak yang aman.
Choirul Huda, kepala Pos Pemantauan Gunung Kelud hanya bisa mengelus dada ketika diriya mengetahui prilaku pengunjung Gunung Kelud yang nekat menerobos pagar pembatas. Choirul becerita, tidak sedikit orang yang muntah-muntah karena menghirup zat berbahaya yang keluar dari perut bumi di puncak Gunung Kelud. "Kami kan cuma mengingatkan, kalau ada apa-apa kami tidak bertanggungjawab lagi," katanya.
03 Mei 2008
Peluru Perhutani di Hutan Jati
Iman D. Nugroho
"Hei rek! Koncone kena bedil!" Teriakan Lasidi itu menghentikan langkah seribu belasan penduduk Kecamatan Kedung Adem, Bojonegoro yang lari tunggal langgang usai mendengar suara tembakan. Satu persatu mereka kembali ke pinggir hutan Sekidang. Di tempat itu Bambang Sutejo dan Sucipto terkapar dengan luka tembak di kepala. Pencari kayu bakar itu tewas seketika.
Kenangan itu tak bisa hilang dari benak Lasidi dkk. Kejadian Rabu (23/04/08) lalu di Hutan Sekidang, 30-an Km Kota Bojonegoro Jawa Timur, benar-benar di luar dugaan. Apalagi, dalam tragedi itu, dua orang tewas dan seorang lagi luka serius karena peluru yang ditembakkan aparat Perhutani. "Sampai sekarang Saya masih teringat," kata Lasidi dalam bahasa jawa.
Peristiwa penembakan itu berawal ketika 20 orang pencari kayu bakar (recek/ranting) beristirahat di pinggir Hutan Sekidang. Di tempat itu, mereka membuka bekal makan siang yang dibawa dari rumah. "Kami tidak berangkat bersama-sama, tapi sudah menjadi kebiasaan bertemu di pinggir hutan itu ketika waktu beristirahat tiba," kata Nuri, penduduk Kedung Adem.
Di tengah-tengah waktu bersantai itu, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Tidak beraturan, namun terdengar menyalak hingga 15 kali. Pencari ranting kayu yang mendengar itu sontak berlarian ke berbagai arah. Saat situasi kacau itulah, sekilas Nuri melihat leher Yudianto mengeluarkan darah. Spontan tubuh Yudianto diraih dan berusaha didudukkan di tanah. "Yudianto langsung lemas,..saya rangkul dan membantunya duduk di tanah," kenang Nuri.
Saat suara senapan tidak lagi terdengar, Lasidi, salah satu pencari kayu yang ketika itu duduk agak jauh dari kerumunan, berinisiatif kembali ke tempat mereka berkumpul. Saat itulah, Lasidi melihat dua orang patugas Perhutani berbaju kaos sedang berdiri di samping Bambang, salah satu pencari kayu yang tergeletak.
"Saya melihat dua orang, yang satu membawa senapan, yang lain membawa pentungan di dekat Bambang. Orang yang membawa senapan menodongkan senapannya ke arah Saya,..kemudian Saya berteriak Hei Rek! Koncone kena bedil (hei kawan kita kena tembak-RED)," kenang Lasidi. Teriakan Lasidi membuat dua orang yang kemudian diketahui sebagai aparat Perhutani itu lari.
Beberapa pencuri ranting kayu yang sudah berlarian, satu persatu kembali ke lokasi peristirahatan. Sekitar 10 meter dari mayat Bambang, ditemukan pula mayat pencari kayu lain, Sucipto yang juga sudah meregang nyawa. "Keduanya meninggal dunia, Bambang dan Sucipto tertembak di kepala, hanya Yudianto yang tertembak di leher yang masih hidup," kata Lasidi.
Di tengah rasa takut bila dua aparat perhutani itu kembali menembak, para pencari ranting kayu itu membuat tandu dari kayu hutan untuk membawa dua jenazah kembali ke desa Babad di Kecamatan Kedung Adem.
SENGKETA HUTAN
Hingga saat ini, Nuri dan Lasidi dkk tidak mengerti alasan penembakan aparat Perhutani. Warga menduga, aparat Perhutani mengira kelompok orang yang sedang beristirahat itu sebagai pencuri kayu jati. Padahal tidak. Nuri mengungkapkan, kehadiran warga Kedung Adem di Hutan Sekidang saat itu hanya untuk mencari kayu bakar untuk kebutuhan memasak.
Namun, kabar yang beredar justru sebaliknya. Peristiwa yang terjadi di petak 18 Hutan Sekidang itu disebut-sebut sebagai "prestasi" aparat Perhutani yang sudah melumpuhkan pencuri kayu. Bahkan, dikabarkan pula ada upaya penyerangan dari para pencuri kayu ke petugas Perhutani yang sedang berpatroli. Karena membela diri, aparat Perhutani melakukan penembakan. Di sejumlah media Menteri Kehutanan (Menhut), MS Ka’ban membenarkan berita itu.
"Kami bukan pencuri kayu, saat itu kami hanya membawa bendo (golok), gergaji kecil, air minum dan bekal makanan, masa bisa pencuri kayu jati hutan yang besar-besar dilakukan dengan bendo dan gergaji kecil?" kata Nuri. Sialnya, saat peristiwa itu terjadi, aparat Perhutani tidak melakukan pengecekan terlebih dahulu. "Tidak ada peringatan, tahu-tahu ada suara tembakan," kata Nuri.
Pemeriksaan yang dilakukan Polisi Bojonegoro kepada enam anggota aparat Perhutani, menetapkan pelaku penembakan mantri hutan Sekidang, Supriyanto (33) sebagai tersangka. Dalam pemeriksaan itu, polisi menyita senjata api (senpi) jenis PM 1 A 1 buatan PT Pindad yang sudah memuntahkan sembilan peluru, sebagai barang bukti.
Peristiwa penembakan di Hutan Sekidang Bojonegoro menambah daftar panjang konflik di areal hutan di Pulau Jawa. Dalam catatan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), 32 orang meninggal dunia karena konflik di hutan Pulau Jawa. sepanjang tahun 1998-2008. Lebih dari 69 orang luka-luka. "Konflik itu melibatkan 6300 desa yang ada di sekitar hutan," kata Anggota Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue.
Di Bojonegoro, konflik yang terkait dengan hutan sering kali terjadi. Di kabupaten yang merupakan kabupaten termiskin ke-5 di Jawa Timur ini memiliki 98 ribu Ha hutan. Sekitar 40 persen penduduk Bojonegoro menggantungkan kehidupannya dari hasil hutan. Karena itulah, Bupati Bojonegoro memahami mengapa seringkali ada konflik yang terkait dengan hutan. "Waktu saya jalan-jalan ke Lembaga Pemasyarakatan Bojonegoro, 60 persen narapidana dipenjara karena kasus pencurian kayu," katanya.
Karena itulah, meski belum berjalan maksimal, pemerintah Kabupaten Bojonegoro sudah "mengajak bicara" 5 Administratur Kehutanan di Bojonegoro untuk berkomitmen mengurangi konflik yang terkait hasil hutan. Hasilnya, dibentuk 38 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Sayangnya, informasi yang diperoleh The Jakarta Post di lapangan menyebutkan, LMDH justru tidak memakmurkan masyarakat hutan. "MLDH justru menjadi lembaga yang seringkali memonopoli hasil hutan," kata sumber The Post.
Awal Mei ini, tiga anggota Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue, Nur Cholis dan Kabul Supriyadi turun ke Bojonegoro untuk mencari kejelasan peristiwa itu. Syafruddin Ngulma yang juga Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungn Hidup (Walhi) Jatim ini mengatakan, konflik di sekitar hutan adalah akumulasi pengelolaan hutan yang tumpang tindih di Indonesia.
Misalnya saja regulasi soal tata batas hutan yang hingga saat ini belum dibuat. "Bahkan ada desa yang tiba-tiba saja masuk bagian dari hutan, ini kan jelas tidak benar," kata Syafruddin Ngulma. Di Jawa Timur saja, fungsi kelola 315 hutan lindung yang seharusnya berfungsi sebagai hutan lindung, justru digunakan Perhutani sebagai hutan kelola.
Ironisnya, penataan yang belum baik itu memposisikan masyarakat sekitar hutan sebagai pihak yang dirugikan. Seringkali, masyarakat dituduh sebagai pencuri kayu, saat mereka akan memanfaatkan hutan untuk kehidupannya. "Jangan lupa, UU Agraria menjamin fungsi sosial tanah untuk masyarakat, hasil hutan adalah hak masyarakat yang juga harus dipenuhi," kata Anggota Komnas HAM Nur Cholis.
"Hei rek! Koncone kena bedil!" Teriakan Lasidi itu menghentikan langkah seribu belasan penduduk Kecamatan Kedung Adem, Bojonegoro yang lari tunggal langgang usai mendengar suara tembakan. Satu persatu mereka kembali ke pinggir hutan Sekidang. Di tempat itu Bambang Sutejo dan Sucipto terkapar dengan luka tembak di kepala. Pencari kayu bakar itu tewas seketika.
Kenangan itu tak bisa hilang dari benak Lasidi dkk. Kejadian Rabu (23/04/08) lalu di Hutan Sekidang, 30-an Km Kota Bojonegoro Jawa Timur, benar-benar di luar dugaan. Apalagi, dalam tragedi itu, dua orang tewas dan seorang lagi luka serius karena peluru yang ditembakkan aparat Perhutani. "Sampai sekarang Saya masih teringat," kata Lasidi dalam bahasa jawa.
Peristiwa penembakan itu berawal ketika 20 orang pencari kayu bakar (recek/ranting) beristirahat di pinggir Hutan Sekidang. Di tempat itu, mereka membuka bekal makan siang yang dibawa dari rumah. "Kami tidak berangkat bersama-sama, tapi sudah menjadi kebiasaan bertemu di pinggir hutan itu ketika waktu beristirahat tiba," kata Nuri, penduduk Kedung Adem.
Di tengah-tengah waktu bersantai itu, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Tidak beraturan, namun terdengar menyalak hingga 15 kali. Pencari ranting kayu yang mendengar itu sontak berlarian ke berbagai arah. Saat situasi kacau itulah, sekilas Nuri melihat leher Yudianto mengeluarkan darah. Spontan tubuh Yudianto diraih dan berusaha didudukkan di tanah. "Yudianto langsung lemas,..saya rangkul dan membantunya duduk di tanah," kenang Nuri.
Saat suara senapan tidak lagi terdengar, Lasidi, salah satu pencari kayu yang ketika itu duduk agak jauh dari kerumunan, berinisiatif kembali ke tempat mereka berkumpul. Saat itulah, Lasidi melihat dua orang patugas Perhutani berbaju kaos sedang berdiri di samping Bambang, salah satu pencari kayu yang tergeletak.
"Saya melihat dua orang, yang satu membawa senapan, yang lain membawa pentungan di dekat Bambang. Orang yang membawa senapan menodongkan senapannya ke arah Saya,..kemudian Saya berteriak Hei Rek! Koncone kena bedil (hei kawan kita kena tembak-RED)," kenang Lasidi. Teriakan Lasidi membuat dua orang yang kemudian diketahui sebagai aparat Perhutani itu lari.
Beberapa pencuri ranting kayu yang sudah berlarian, satu persatu kembali ke lokasi peristirahatan. Sekitar 10 meter dari mayat Bambang, ditemukan pula mayat pencari kayu lain, Sucipto yang juga sudah meregang nyawa. "Keduanya meninggal dunia, Bambang dan Sucipto tertembak di kepala, hanya Yudianto yang tertembak di leher yang masih hidup," kata Lasidi.
Di tengah rasa takut bila dua aparat perhutani itu kembali menembak, para pencari ranting kayu itu membuat tandu dari kayu hutan untuk membawa dua jenazah kembali ke desa Babad di Kecamatan Kedung Adem.
SENGKETA HUTAN
Hingga saat ini, Nuri dan Lasidi dkk tidak mengerti alasan penembakan aparat Perhutani. Warga menduga, aparat Perhutani mengira kelompok orang yang sedang beristirahat itu sebagai pencuri kayu jati. Padahal tidak. Nuri mengungkapkan, kehadiran warga Kedung Adem di Hutan Sekidang saat itu hanya untuk mencari kayu bakar untuk kebutuhan memasak.
Namun, kabar yang beredar justru sebaliknya. Peristiwa yang terjadi di petak 18 Hutan Sekidang itu disebut-sebut sebagai "prestasi" aparat Perhutani yang sudah melumpuhkan pencuri kayu. Bahkan, dikabarkan pula ada upaya penyerangan dari para pencuri kayu ke petugas Perhutani yang sedang berpatroli. Karena membela diri, aparat Perhutani melakukan penembakan. Di sejumlah media Menteri Kehutanan (Menhut), MS Ka’ban membenarkan berita itu.
"Kami bukan pencuri kayu, saat itu kami hanya membawa bendo (golok), gergaji kecil, air minum dan bekal makanan, masa bisa pencuri kayu jati hutan yang besar-besar dilakukan dengan bendo dan gergaji kecil?" kata Nuri. Sialnya, saat peristiwa itu terjadi, aparat Perhutani tidak melakukan pengecekan terlebih dahulu. "Tidak ada peringatan, tahu-tahu ada suara tembakan," kata Nuri.
Pemeriksaan yang dilakukan Polisi Bojonegoro kepada enam anggota aparat Perhutani, menetapkan pelaku penembakan mantri hutan Sekidang, Supriyanto (33) sebagai tersangka. Dalam pemeriksaan itu, polisi menyita senjata api (senpi) jenis PM 1 A 1 buatan PT Pindad yang sudah memuntahkan sembilan peluru, sebagai barang bukti.
Peristiwa penembakan di Hutan Sekidang Bojonegoro menambah daftar panjang konflik di areal hutan di Pulau Jawa. Dalam catatan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), 32 orang meninggal dunia karena konflik di hutan Pulau Jawa. sepanjang tahun 1998-2008. Lebih dari 69 orang luka-luka. "Konflik itu melibatkan 6300 desa yang ada di sekitar hutan," kata Anggota Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue.
Di Bojonegoro, konflik yang terkait dengan hutan sering kali terjadi. Di kabupaten yang merupakan kabupaten termiskin ke-5 di Jawa Timur ini memiliki 98 ribu Ha hutan. Sekitar 40 persen penduduk Bojonegoro menggantungkan kehidupannya dari hasil hutan. Karena itulah, Bupati Bojonegoro memahami mengapa seringkali ada konflik yang terkait dengan hutan. "Waktu saya jalan-jalan ke Lembaga Pemasyarakatan Bojonegoro, 60 persen narapidana dipenjara karena kasus pencurian kayu," katanya.
Karena itulah, meski belum berjalan maksimal, pemerintah Kabupaten Bojonegoro sudah "mengajak bicara" 5 Administratur Kehutanan di Bojonegoro untuk berkomitmen mengurangi konflik yang terkait hasil hutan. Hasilnya, dibentuk 38 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Sayangnya, informasi yang diperoleh The Jakarta Post di lapangan menyebutkan, LMDH justru tidak memakmurkan masyarakat hutan. "MLDH justru menjadi lembaga yang seringkali memonopoli hasil hutan," kata sumber The Post.
Awal Mei ini, tiga anggota Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue, Nur Cholis dan Kabul Supriyadi turun ke Bojonegoro untuk mencari kejelasan peristiwa itu. Syafruddin Ngulma yang juga Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungn Hidup (Walhi) Jatim ini mengatakan, konflik di sekitar hutan adalah akumulasi pengelolaan hutan yang tumpang tindih di Indonesia.
Misalnya saja regulasi soal tata batas hutan yang hingga saat ini belum dibuat. "Bahkan ada desa yang tiba-tiba saja masuk bagian dari hutan, ini kan jelas tidak benar," kata Syafruddin Ngulma. Di Jawa Timur saja, fungsi kelola 315 hutan lindung yang seharusnya berfungsi sebagai hutan lindung, justru digunakan Perhutani sebagai hutan kelola.
Ironisnya, penataan yang belum baik itu memposisikan masyarakat sekitar hutan sebagai pihak yang dirugikan. Seringkali, masyarakat dituduh sebagai pencuri kayu, saat mereka akan memanfaatkan hutan untuk kehidupannya. "Jangan lupa, UU Agraria menjamin fungsi sosial tanah untuk masyarakat, hasil hutan adalah hak masyarakat yang juga harus dipenuhi," kata Anggota Komnas HAM Nur Cholis.
11 Kasus Kekerasan Terjadi di Jawa Timur dan Madura
Press Release
"Ketika jurnalis dipenjarakan, hak informasi publik dipidana, perempuan dan pemeluk agama dilecehkan, maka tunggulah hari-hari kegelapan itu.."
Hari ini, 3 Mei 2008, masyarakat pers di dunia memperingati Hari
Kebebasan Pers atau World Press Freedom Day. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mengingatkan kekerasan terhadap pers dan ancaman
kriminalisasi dapat mengancam kebebasan pers dan hak informasi publik
secara luas.
Sejak Mei 2007 sampai Mei 2008 Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia menghimpun 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam
berbagai bentuk. Dalam periode itu terjadi 7 kasus ancaman, 5 kasus
pelecehan, 7 kasus pengusiran, 3 kasus pemenjaraan, 4 kasus sensor
berita, 21 kasus serangan fisik, dan 8 kasus tuntutan hukum.
Berdasarkan sebaran wilayah, kekerasan paling banyak terjadi di
propinsi DKI Jakarta (13 kasus), Jawa Timur dan Madura (11 kasus),
serta Jawa Barat dan Depok (8 kasus). Dari segi pelaku kekerasan
terhadap pers dan jurnalis yang terbanyak ialah massa dan preman,
aparat pemerintah, dan aparat TNI/Polri.
Contoh : Dua wartawan TV dan seorang jurnalis radio babak belur
dikeroyok massa di alun-alun Bojonegoro karena kecewa dengan
pemberitaan pers (30/4). Sebelumnya (2/4) dua wartawan TV-One yang
sedang bertugas dianiaya oknum Angkatan Laut yang "berdinas" di
kawasan bisnis Cikarang, Bekasi. Di NTT, secara berturut-turut
wartawan Expo NTT disiksa Sekretaris Daerah Ende (16/2), dan wartawan
Pos Kupang dikeroyok oleh 4 orang preman terkait pemberitaan (17/2).
Kekerasan Non-Fisik
Di luar kekerasan langsung bersifat fisik, kebebasan pers di tanah air
terancam oleh segelintir orang yang menggunakan kekuasaan uang atau
jabatannya. Pada September 2007, wartawan Tempo, Metta Darmasaputra
yang melakukan investigasi dugaan penggelapan pajak oleh PT Asian Agri
milik taipan Sukanto Tanoto, justru disadap dan diancam dipidanakan
oleh aparat Kepolisian Metro Jaya. Fakta ini menunjukkan bahwa
jurnalis dan yang menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan benar
lebih sering mengalami ancaman dan bahaya.
Kekerasan tidak langsung juga dilakukan oleh aparatur penegak hukum
dari Kejaksaan sampai Mahkamah Agung. Sederet kasus penuntutan,
pelarangan terbit dan penghukuman oleh pengadilan terjadi sepanjang
Mei 2007-Mei 2008. Risang Bima Wiyaja (Radar Yogya), Dahri Uhum
(Tabloid Oposisi-Medan), Majalah Time (Asia), dan Edy Sumarsono
(Tabloid Investigasi-Jakarta) adalah sederet nama yang dipaksa
menjalani tuntutan dan putusan pemidanaan akibat pemberitaan pers.
Mereka adalah korban kriminalisasi oleh negara justru pada saat
Indonesia telah memiliki Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang
"bersifat" lex spesialis.
Yang terbaru, negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali
mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang Undang
(UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja
UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi
Publik, RUU Pemilu, dan RUU KUHP yang didalamnya mengandung ancaman
penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar
aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310,
311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini
dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers
dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan
atau nama baik yang tercemar.
Menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 3 Mei
2008, AJI menyatakan keprihatinan mendalam atas terjadinya berbagai
tindak kekerasan terhadap pers. Situasi ini menggambarkan merosotnya
penghargaan publik terhadap pers dan belum optimalnya kesadaran aparat
pemerintah tentang peran dan fungsi pers yang sesungguhnya. AJI
Indonesia kembali mengingatkan bahwa kebebasan pers dijamin dalam
Konstitusi dan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan :
1. Meminta aparat penegak hukum tidak lagi melakukan pemidanaan
terhadap karya jurnalistiknya dan ikut membantu menghentikan
terjadinya tindak kekerasan terhadap pers dan jurnalis
2. Mengajak semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang telah
disediakan oleh UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers apabila menghadapi
sengketa karya jurnalistik, yakni menggunakan hak jawab, hak koreksi,
dan mengadu kepada Dewan Pers
3. Mengajak setiap jurnalis agar meningkatkan profesionalisme dan
kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, menjauhi praktek-praktek
tidak terpuji yang menjatuhkan citra pers dan jurnalis secara umum.
Mari satukan langkah menghadapi ancaman kebebasan pers yang makin
nyata.
Ketua AJI Indonesia
Heru Hendratmoko
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi
Eko Maryadi
"Ketika jurnalis dipenjarakan, hak informasi publik dipidana, perempuan dan pemeluk agama dilecehkan, maka tunggulah hari-hari kegelapan itu.."
Hari ini, 3 Mei 2008, masyarakat pers di dunia memperingati Hari
Kebebasan Pers atau World Press Freedom Day. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mengingatkan kekerasan terhadap pers dan ancaman
kriminalisasi dapat mengancam kebebasan pers dan hak informasi publik
secara luas.
Sejak Mei 2007 sampai Mei 2008 Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia menghimpun 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam
berbagai bentuk. Dalam periode itu terjadi 7 kasus ancaman, 5 kasus
pelecehan, 7 kasus pengusiran, 3 kasus pemenjaraan, 4 kasus sensor
berita, 21 kasus serangan fisik, dan 8 kasus tuntutan hukum.
Berdasarkan sebaran wilayah, kekerasan paling banyak terjadi di
propinsi DKI Jakarta (13 kasus), Jawa Timur dan Madura (11 kasus),
serta Jawa Barat dan Depok (8 kasus). Dari segi pelaku kekerasan
terhadap pers dan jurnalis yang terbanyak ialah massa dan preman,
aparat pemerintah, dan aparat TNI/Polri.
Contoh : Dua wartawan TV dan seorang jurnalis radio babak belur
dikeroyok massa di alun-alun Bojonegoro karena kecewa dengan
pemberitaan pers (30/4). Sebelumnya (2/4) dua wartawan TV-One yang
sedang bertugas dianiaya oknum Angkatan Laut yang "berdinas" di
kawasan bisnis Cikarang, Bekasi. Di NTT, secara berturut-turut
wartawan Expo NTT disiksa Sekretaris Daerah Ende (16/2), dan wartawan
Pos Kupang dikeroyok oleh 4 orang preman terkait pemberitaan (17/2).
Kekerasan Non-Fisik
Di luar kekerasan langsung bersifat fisik, kebebasan pers di tanah air
terancam oleh segelintir orang yang menggunakan kekuasaan uang atau
jabatannya. Pada September 2007, wartawan Tempo, Metta Darmasaputra
yang melakukan investigasi dugaan penggelapan pajak oleh PT Asian Agri
milik taipan Sukanto Tanoto, justru disadap dan diancam dipidanakan
oleh aparat Kepolisian Metro Jaya. Fakta ini menunjukkan bahwa
jurnalis dan yang menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan benar
lebih sering mengalami ancaman dan bahaya.
Kekerasan tidak langsung juga dilakukan oleh aparatur penegak hukum
dari Kejaksaan sampai Mahkamah Agung. Sederet kasus penuntutan,
pelarangan terbit dan penghukuman oleh pengadilan terjadi sepanjang
Mei 2007-Mei 2008. Risang Bima Wiyaja (Radar Yogya), Dahri Uhum
(Tabloid Oposisi-Medan), Majalah Time (Asia), dan Edy Sumarsono
(Tabloid Investigasi-Jakarta) adalah sederet nama yang dipaksa
menjalani tuntutan dan putusan pemidanaan akibat pemberitaan pers.
Mereka adalah korban kriminalisasi oleh negara justru pada saat
Indonesia telah memiliki Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang
"bersifat" lex spesialis.
Yang terbaru, negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali
mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang Undang
(UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja
UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi
Publik, RUU Pemilu, dan RUU KUHP yang didalamnya mengandung ancaman
penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar
aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310,
311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini
dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers
dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan
atau nama baik yang tercemar.
Menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 3 Mei
2008, AJI menyatakan keprihatinan mendalam atas terjadinya berbagai
tindak kekerasan terhadap pers. Situasi ini menggambarkan merosotnya
penghargaan publik terhadap pers dan belum optimalnya kesadaran aparat
pemerintah tentang peran dan fungsi pers yang sesungguhnya. AJI
Indonesia kembali mengingatkan bahwa kebebasan pers dijamin dalam
Konstitusi dan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan :
1. Meminta aparat penegak hukum tidak lagi melakukan pemidanaan
terhadap karya jurnalistiknya dan ikut membantu menghentikan
terjadinya tindak kekerasan terhadap pers dan jurnalis
2. Mengajak semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang telah
disediakan oleh UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers apabila menghadapi
sengketa karya jurnalistik, yakni menggunakan hak jawab, hak koreksi,
dan mengadu kepada Dewan Pers
3. Mengajak setiap jurnalis agar meningkatkan profesionalisme dan
kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, menjauhi praktek-praktek
tidak terpuji yang menjatuhkan citra pers dan jurnalis secara umum.
Mari satukan langkah menghadapi ancaman kebebasan pers yang makin
nyata.
Ketua AJI Indonesia
Heru Hendratmoko
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi
Eko Maryadi
01 Mei 2008
Peringati May Day, Ribuan Buruh Berdemonstrasi di Surabaya
Iman D Nugroho
Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan May Day, juga diperingati di Surabaya, Jawa Timur. Kamis (1/5/08) ini, ribuan buruh dari berbagai organisasi buruh dan serikat pekerja, menggelar demonstrasi di Surabaya. Tercatat Front Perjuangan Rakyat yang terdiri dari elemen buruh dan mahasiswa, Aksi Buruh Menggugat (ABM) Jatim, Konggres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jatim, Federasi serikat Pekerja Metal Indonesia Jatim, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia Persatuan Rakyat Miskin hingga Aliansi Buruh Jember tumbah ruah dalam demonstrasi di beberapa titik kota.
Aksi yang dilakukan hampir serentak itu mengusung isu-isu perbaikan nasib dan keadilan buruh yang semakin lama semakin tidak terasa di Indonesia. Seperti masih adanya sistem pekerja kontrak dan outsourching, tidak adanya perlindungan bagi buruh migran, masih adanya aksi represif pada buruh tani, harga-harga pokok yang merangkak naik dan masih mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Juga, masih tidak adanya kondisi dunia kesehatan yang murah bahkan gratis. "Semua itu membuat kondisi buruh semakin terpuruk," kata Anggoro Cholili, Humas Front Perjuangan Rakyat (FPR).
Konsentrasi aksi buruh paling banyak terjadi di Jl. Pahlawan, Surabaya. Di tempat ini, ribuan buruh membentangkan spanduk dan ratusan bendera dari berbagai elemen yang ikut sebagai massa aksi. Satu persatu perwakilan organisasi buruh dan mahasiswa diminta untuk berorasi menyampaikan aspirasinya. Massa aksi mendengarkan orasi dengan serius, sambil sesekali meneriakkan seruan "Hidup buruh!", saat orator meneriakannya dari atas panggung.
Kondisi yang sempat memanas, ketika para buruh bermaksud menutup akses Jl. Pahlawan di depan Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Ribuan polisi yang sejak pagi berjaga-jaga, menolak keinginan buruh. Sempat terjadi adu mulut antara polisi dan buruh. Meski akhirnya buruh mengalah dan kembali melanjutkan demonstrasi. Menjelang sore, sebagian buruh bergerak ke Jl. Gubernur Suryo, Surabaya, dan meneruskan demonstrasi di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya.
Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan May Day, juga diperingati di Surabaya, Jawa Timur. Kamis (1/5/08) ini, ribuan buruh dari berbagai organisasi buruh dan serikat pekerja, menggelar demonstrasi di Surabaya. Tercatat Front Perjuangan Rakyat yang terdiri dari elemen buruh dan mahasiswa, Aksi Buruh Menggugat (ABM) Jatim, Konggres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jatim, Federasi serikat Pekerja Metal Indonesia Jatim, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia Persatuan Rakyat Miskin hingga Aliansi Buruh Jember tumbah ruah dalam demonstrasi di beberapa titik kota.
Aksi yang dilakukan hampir serentak itu mengusung isu-isu perbaikan nasib dan keadilan buruh yang semakin lama semakin tidak terasa di Indonesia. Seperti masih adanya sistem pekerja kontrak dan outsourching, tidak adanya perlindungan bagi buruh migran, masih adanya aksi represif pada buruh tani, harga-harga pokok yang merangkak naik dan masih mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Juga, masih tidak adanya kondisi dunia kesehatan yang murah bahkan gratis. "Semua itu membuat kondisi buruh semakin terpuruk," kata Anggoro Cholili, Humas Front Perjuangan Rakyat (FPR).
Konsentrasi aksi buruh paling banyak terjadi di Jl. Pahlawan, Surabaya. Di tempat ini, ribuan buruh membentangkan spanduk dan ratusan bendera dari berbagai elemen yang ikut sebagai massa aksi. Satu persatu perwakilan organisasi buruh dan mahasiswa diminta untuk berorasi menyampaikan aspirasinya. Massa aksi mendengarkan orasi dengan serius, sambil sesekali meneriakkan seruan "Hidup buruh!", saat orator meneriakannya dari atas panggung.
Kondisi yang sempat memanas, ketika para buruh bermaksud menutup akses Jl. Pahlawan di depan Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Ribuan polisi yang sejak pagi berjaga-jaga, menolak keinginan buruh. Sempat terjadi adu mulut antara polisi dan buruh. Meski akhirnya buruh mengalah dan kembali melanjutkan demonstrasi. Menjelang sore, sebagian buruh bergerak ke Jl. Gubernur Suryo, Surabaya, dan meneruskan demonstrasi di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya.