Iman D. Nugroho
"Hei rek! Koncone kena bedil!" Teriakan Lasidi itu menghentikan langkah seribu belasan penduduk Kecamatan Kedung Adem, Bojonegoro yang lari tunggal langgang usai mendengar suara tembakan. Satu persatu mereka kembali ke pinggir hutan Sekidang. Di tempat itu Bambang Sutejo dan Sucipto terkapar dengan luka tembak di kepala. Pencari kayu bakar itu tewas seketika.
Kenangan itu tak bisa hilang dari benak Lasidi dkk. Kejadian Rabu (23/04/08) lalu di Hutan Sekidang, 30-an Km Kota Bojonegoro Jawa Timur, benar-benar di luar dugaan. Apalagi, dalam tragedi itu, dua orang tewas dan seorang lagi luka serius karena peluru yang ditembakkan aparat Perhutani. "Sampai sekarang Saya masih teringat," kata Lasidi dalam bahasa jawa.
Peristiwa penembakan itu berawal ketika 20 orang pencari kayu bakar (recek/ranting) beristirahat di pinggir Hutan Sekidang. Di tempat itu, mereka membuka bekal makan siang yang dibawa dari rumah. "Kami tidak berangkat bersama-sama, tapi sudah menjadi kebiasaan bertemu di pinggir hutan itu ketika waktu beristirahat tiba," kata Nuri, penduduk Kedung Adem.
Di tengah-tengah waktu bersantai itu, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Tidak beraturan, namun terdengar menyalak hingga 15 kali. Pencari ranting kayu yang mendengar itu sontak berlarian ke berbagai arah. Saat situasi kacau itulah, sekilas Nuri melihat leher Yudianto mengeluarkan darah. Spontan tubuh Yudianto diraih dan berusaha didudukkan di tanah. "Yudianto langsung lemas,..saya rangkul dan membantunya duduk di tanah," kenang Nuri.
Saat suara senapan tidak lagi terdengar, Lasidi, salah satu pencari kayu yang ketika itu duduk agak jauh dari kerumunan, berinisiatif kembali ke tempat mereka berkumpul. Saat itulah, Lasidi melihat dua orang patugas Perhutani berbaju kaos sedang berdiri di samping Bambang, salah satu pencari kayu yang tergeletak.
"Saya melihat dua orang, yang satu membawa senapan, yang lain membawa pentungan di dekat Bambang. Orang yang membawa senapan menodongkan senapannya ke arah Saya,..kemudian Saya berteriak Hei Rek! Koncone kena bedil (hei kawan kita kena tembak-RED)," kenang Lasidi. Teriakan Lasidi membuat dua orang yang kemudian diketahui sebagai aparat Perhutani itu lari.
Beberapa pencuri ranting kayu yang sudah berlarian, satu persatu kembali ke lokasi peristirahatan. Sekitar 10 meter dari mayat Bambang, ditemukan pula mayat pencari kayu lain, Sucipto yang juga sudah meregang nyawa. "Keduanya meninggal dunia, Bambang dan Sucipto tertembak di kepala, hanya Yudianto yang tertembak di leher yang masih hidup," kata Lasidi.
Di tengah rasa takut bila dua aparat perhutani itu kembali menembak, para pencari ranting kayu itu membuat tandu dari kayu hutan untuk membawa dua jenazah kembali ke desa Babad di Kecamatan Kedung Adem.
SENGKETA HUTAN
Hingga saat ini, Nuri dan Lasidi dkk tidak mengerti alasan penembakan aparat Perhutani. Warga menduga, aparat Perhutani mengira kelompok orang yang sedang beristirahat itu sebagai pencuri kayu jati. Padahal tidak. Nuri mengungkapkan, kehadiran warga Kedung Adem di Hutan Sekidang saat itu hanya untuk mencari kayu bakar untuk kebutuhan memasak.
Namun, kabar yang beredar justru sebaliknya. Peristiwa yang terjadi di petak 18 Hutan Sekidang itu disebut-sebut sebagai "prestasi" aparat Perhutani yang sudah melumpuhkan pencuri kayu. Bahkan, dikabarkan pula ada upaya penyerangan dari para pencuri kayu ke petugas Perhutani yang sedang berpatroli. Karena membela diri, aparat Perhutani melakukan penembakan. Di sejumlah media Menteri Kehutanan (Menhut), MS Ka’ban membenarkan berita itu.
"Kami bukan pencuri kayu, saat itu kami hanya membawa bendo (golok), gergaji kecil, air minum dan bekal makanan, masa bisa pencuri kayu jati hutan yang besar-besar dilakukan dengan bendo dan gergaji kecil?" kata Nuri. Sialnya, saat peristiwa itu terjadi, aparat Perhutani tidak melakukan pengecekan terlebih dahulu. "Tidak ada peringatan, tahu-tahu ada suara tembakan," kata Nuri.
Pemeriksaan yang dilakukan Polisi Bojonegoro kepada enam anggota aparat Perhutani, menetapkan pelaku penembakan mantri hutan Sekidang, Supriyanto (33) sebagai tersangka. Dalam pemeriksaan itu, polisi menyita senjata api (senpi) jenis PM 1 A 1 buatan PT Pindad yang sudah memuntahkan sembilan peluru, sebagai barang bukti.
Peristiwa penembakan di Hutan Sekidang Bojonegoro menambah daftar panjang konflik di areal hutan di Pulau Jawa. Dalam catatan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), 32 orang meninggal dunia karena konflik di hutan Pulau Jawa. sepanjang tahun 1998-2008. Lebih dari 69 orang luka-luka. "Konflik itu melibatkan 6300 desa yang ada di sekitar hutan," kata Anggota Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue.
Di Bojonegoro, konflik yang terkait dengan hutan sering kali terjadi. Di kabupaten yang merupakan kabupaten termiskin ke-5 di Jawa Timur ini memiliki 98 ribu Ha hutan. Sekitar 40 persen penduduk Bojonegoro menggantungkan kehidupannya dari hasil hutan. Karena itulah, Bupati Bojonegoro memahami mengapa seringkali ada konflik yang terkait dengan hutan. "Waktu saya jalan-jalan ke Lembaga Pemasyarakatan Bojonegoro, 60 persen narapidana dipenjara karena kasus pencurian kayu," katanya.
Karena itulah, meski belum berjalan maksimal, pemerintah Kabupaten Bojonegoro sudah "mengajak bicara" 5 Administratur Kehutanan di Bojonegoro untuk berkomitmen mengurangi konflik yang terkait hasil hutan. Hasilnya, dibentuk 38 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Sayangnya, informasi yang diperoleh The Jakarta Post di lapangan menyebutkan, LMDH justru tidak memakmurkan masyarakat hutan. "MLDH justru menjadi lembaga yang seringkali memonopoli hasil hutan," kata sumber The Post.
Awal Mei ini, tiga anggota Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue, Nur Cholis dan Kabul Supriyadi turun ke Bojonegoro untuk mencari kejelasan peristiwa itu. Syafruddin Ngulma yang juga Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungn Hidup (Walhi) Jatim ini mengatakan, konflik di sekitar hutan adalah akumulasi pengelolaan hutan yang tumpang tindih di Indonesia.
Misalnya saja regulasi soal tata batas hutan yang hingga saat ini belum dibuat. "Bahkan ada desa yang tiba-tiba saja masuk bagian dari hutan, ini kan jelas tidak benar," kata Syafruddin Ngulma. Di Jawa Timur saja, fungsi kelola 315 hutan lindung yang seharusnya berfungsi sebagai hutan lindung, justru digunakan Perhutani sebagai hutan kelola.
Ironisnya, penataan yang belum baik itu memposisikan masyarakat sekitar hutan sebagai pihak yang dirugikan. Seringkali, masyarakat dituduh sebagai pencuri kayu, saat mereka akan memanfaatkan hutan untuk kehidupannya. "Jangan lupa, UU Agraria menjamin fungsi sosial tanah untuk masyarakat, hasil hutan adalah hak masyarakat yang juga harus dipenuhi," kata Anggota Komnas HAM Nur Cholis.
03 Mei 2008
11 Kasus Kekerasan Terjadi di Jawa Timur dan Madura
Press Release
"Ketika jurnalis dipenjarakan, hak informasi publik dipidana, perempuan dan pemeluk agama dilecehkan, maka tunggulah hari-hari kegelapan itu.."
Hari ini, 3 Mei 2008, masyarakat pers di dunia memperingati Hari
Kebebasan Pers atau World Press Freedom Day. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mengingatkan kekerasan terhadap pers dan ancaman
kriminalisasi dapat mengancam kebebasan pers dan hak informasi publik
secara luas.
Sejak Mei 2007 sampai Mei 2008 Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia menghimpun 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam
berbagai bentuk. Dalam periode itu terjadi 7 kasus ancaman, 5 kasus
pelecehan, 7 kasus pengusiran, 3 kasus pemenjaraan, 4 kasus sensor
berita, 21 kasus serangan fisik, dan 8 kasus tuntutan hukum.
Berdasarkan sebaran wilayah, kekerasan paling banyak terjadi di
propinsi DKI Jakarta (13 kasus), Jawa Timur dan Madura (11 kasus),
serta Jawa Barat dan Depok (8 kasus). Dari segi pelaku kekerasan
terhadap pers dan jurnalis yang terbanyak ialah massa dan preman,
aparat pemerintah, dan aparat TNI/Polri.
Contoh : Dua wartawan TV dan seorang jurnalis radio babak belur
dikeroyok massa di alun-alun Bojonegoro karena kecewa dengan
pemberitaan pers (30/4). Sebelumnya (2/4) dua wartawan TV-One yang
sedang bertugas dianiaya oknum Angkatan Laut yang "berdinas" di
kawasan bisnis Cikarang, Bekasi. Di NTT, secara berturut-turut
wartawan Expo NTT disiksa Sekretaris Daerah Ende (16/2), dan wartawan
Pos Kupang dikeroyok oleh 4 orang preman terkait pemberitaan (17/2).
Kekerasan Non-Fisik
Di luar kekerasan langsung bersifat fisik, kebebasan pers di tanah air
terancam oleh segelintir orang yang menggunakan kekuasaan uang atau
jabatannya. Pada September 2007, wartawan Tempo, Metta Darmasaputra
yang melakukan investigasi dugaan penggelapan pajak oleh PT Asian Agri
milik taipan Sukanto Tanoto, justru disadap dan diancam dipidanakan
oleh aparat Kepolisian Metro Jaya. Fakta ini menunjukkan bahwa
jurnalis dan yang menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan benar
lebih sering mengalami ancaman dan bahaya.
Kekerasan tidak langsung juga dilakukan oleh aparatur penegak hukum
dari Kejaksaan sampai Mahkamah Agung. Sederet kasus penuntutan,
pelarangan terbit dan penghukuman oleh pengadilan terjadi sepanjang
Mei 2007-Mei 2008. Risang Bima Wiyaja (Radar Yogya), Dahri Uhum
(Tabloid Oposisi-Medan), Majalah Time (Asia), dan Edy Sumarsono
(Tabloid Investigasi-Jakarta) adalah sederet nama yang dipaksa
menjalani tuntutan dan putusan pemidanaan akibat pemberitaan pers.
Mereka adalah korban kriminalisasi oleh negara justru pada saat
Indonesia telah memiliki Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang
"bersifat" lex spesialis.
Yang terbaru, negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali
mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang Undang
(UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja
UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi
Publik, RUU Pemilu, dan RUU KUHP yang didalamnya mengandung ancaman
penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar
aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310,
311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini
dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers
dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan
atau nama baik yang tercemar.
Menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 3 Mei
2008, AJI menyatakan keprihatinan mendalam atas terjadinya berbagai
tindak kekerasan terhadap pers. Situasi ini menggambarkan merosotnya
penghargaan publik terhadap pers dan belum optimalnya kesadaran aparat
pemerintah tentang peran dan fungsi pers yang sesungguhnya. AJI
Indonesia kembali mengingatkan bahwa kebebasan pers dijamin dalam
Konstitusi dan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan :
1. Meminta aparat penegak hukum tidak lagi melakukan pemidanaan
terhadap karya jurnalistiknya dan ikut membantu menghentikan
terjadinya tindak kekerasan terhadap pers dan jurnalis
2. Mengajak semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang telah
disediakan oleh UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers apabila menghadapi
sengketa karya jurnalistik, yakni menggunakan hak jawab, hak koreksi,
dan mengadu kepada Dewan Pers
3. Mengajak setiap jurnalis agar meningkatkan profesionalisme dan
kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, menjauhi praktek-praktek
tidak terpuji yang menjatuhkan citra pers dan jurnalis secara umum.
Mari satukan langkah menghadapi ancaman kebebasan pers yang makin
nyata.
Ketua AJI Indonesia
Heru Hendratmoko
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi
Eko Maryadi
"Ketika jurnalis dipenjarakan, hak informasi publik dipidana, perempuan dan pemeluk agama dilecehkan, maka tunggulah hari-hari kegelapan itu.."
Hari ini, 3 Mei 2008, masyarakat pers di dunia memperingati Hari
Kebebasan Pers atau World Press Freedom Day. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mengingatkan kekerasan terhadap pers dan ancaman
kriminalisasi dapat mengancam kebebasan pers dan hak informasi publik
secara luas.
Sejak Mei 2007 sampai Mei 2008 Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia menghimpun 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam
berbagai bentuk. Dalam periode itu terjadi 7 kasus ancaman, 5 kasus
pelecehan, 7 kasus pengusiran, 3 kasus pemenjaraan, 4 kasus sensor
berita, 21 kasus serangan fisik, dan 8 kasus tuntutan hukum.
Berdasarkan sebaran wilayah, kekerasan paling banyak terjadi di
propinsi DKI Jakarta (13 kasus), Jawa Timur dan Madura (11 kasus),
serta Jawa Barat dan Depok (8 kasus). Dari segi pelaku kekerasan
terhadap pers dan jurnalis yang terbanyak ialah massa dan preman,
aparat pemerintah, dan aparat TNI/Polri.
Contoh : Dua wartawan TV dan seorang jurnalis radio babak belur
dikeroyok massa di alun-alun Bojonegoro karena kecewa dengan
pemberitaan pers (30/4). Sebelumnya (2/4) dua wartawan TV-One yang
sedang bertugas dianiaya oknum Angkatan Laut yang "berdinas" di
kawasan bisnis Cikarang, Bekasi. Di NTT, secara berturut-turut
wartawan Expo NTT disiksa Sekretaris Daerah Ende (16/2), dan wartawan
Pos Kupang dikeroyok oleh 4 orang preman terkait pemberitaan (17/2).
Kekerasan Non-Fisik
Di luar kekerasan langsung bersifat fisik, kebebasan pers di tanah air
terancam oleh segelintir orang yang menggunakan kekuasaan uang atau
jabatannya. Pada September 2007, wartawan Tempo, Metta Darmasaputra
yang melakukan investigasi dugaan penggelapan pajak oleh PT Asian Agri
milik taipan Sukanto Tanoto, justru disadap dan diancam dipidanakan
oleh aparat Kepolisian Metro Jaya. Fakta ini menunjukkan bahwa
jurnalis dan yang menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan benar
lebih sering mengalami ancaman dan bahaya.
Kekerasan tidak langsung juga dilakukan oleh aparatur penegak hukum
dari Kejaksaan sampai Mahkamah Agung. Sederet kasus penuntutan,
pelarangan terbit dan penghukuman oleh pengadilan terjadi sepanjang
Mei 2007-Mei 2008. Risang Bima Wiyaja (Radar Yogya), Dahri Uhum
(Tabloid Oposisi-Medan), Majalah Time (Asia), dan Edy Sumarsono
(Tabloid Investigasi-Jakarta) adalah sederet nama yang dipaksa
menjalani tuntutan dan putusan pemidanaan akibat pemberitaan pers.
Mereka adalah korban kriminalisasi oleh negara justru pada saat
Indonesia telah memiliki Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang
"bersifat" lex spesialis.
Yang terbaru, negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali
mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang Undang
(UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja
UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi
Publik, RUU Pemilu, dan RUU KUHP yang didalamnya mengandung ancaman
penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar
aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310,
311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini
dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers
dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan
atau nama baik yang tercemar.
Menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 3 Mei
2008, AJI menyatakan keprihatinan mendalam atas terjadinya berbagai
tindak kekerasan terhadap pers. Situasi ini menggambarkan merosotnya
penghargaan publik terhadap pers dan belum optimalnya kesadaran aparat
pemerintah tentang peran dan fungsi pers yang sesungguhnya. AJI
Indonesia kembali mengingatkan bahwa kebebasan pers dijamin dalam
Konstitusi dan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan :
1. Meminta aparat penegak hukum tidak lagi melakukan pemidanaan
terhadap karya jurnalistiknya dan ikut membantu menghentikan
terjadinya tindak kekerasan terhadap pers dan jurnalis
2. Mengajak semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang telah
disediakan oleh UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers apabila menghadapi
sengketa karya jurnalistik, yakni menggunakan hak jawab, hak koreksi,
dan mengadu kepada Dewan Pers
3. Mengajak setiap jurnalis agar meningkatkan profesionalisme dan
kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, menjauhi praktek-praktek
tidak terpuji yang menjatuhkan citra pers dan jurnalis secara umum.
Mari satukan langkah menghadapi ancaman kebebasan pers yang makin
nyata.
Ketua AJI Indonesia
Heru Hendratmoko
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi
Eko Maryadi
01 Mei 2008
Peringati May Day, Ribuan Buruh Berdemonstrasi di Surabaya
Iman D Nugroho
Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan May Day, juga diperingati di Surabaya, Jawa Timur. Kamis (1/5/08) ini, ribuan buruh dari berbagai organisasi buruh dan serikat pekerja, menggelar demonstrasi di Surabaya. Tercatat Front Perjuangan Rakyat yang terdiri dari elemen buruh dan mahasiswa, Aksi Buruh Menggugat (ABM) Jatim, Konggres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jatim, Federasi serikat Pekerja Metal Indonesia Jatim, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia Persatuan Rakyat Miskin hingga Aliansi Buruh Jember tumbah ruah dalam demonstrasi di beberapa titik kota.
Aksi yang dilakukan hampir serentak itu mengusung isu-isu perbaikan nasib dan keadilan buruh yang semakin lama semakin tidak terasa di Indonesia. Seperti masih adanya sistem pekerja kontrak dan outsourching, tidak adanya perlindungan bagi buruh migran, masih adanya aksi represif pada buruh tani, harga-harga pokok yang merangkak naik dan masih mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Juga, masih tidak adanya kondisi dunia kesehatan yang murah bahkan gratis. "Semua itu membuat kondisi buruh semakin terpuruk," kata Anggoro Cholili, Humas Front Perjuangan Rakyat (FPR).
Konsentrasi aksi buruh paling banyak terjadi di Jl. Pahlawan, Surabaya. Di tempat ini, ribuan buruh membentangkan spanduk dan ratusan bendera dari berbagai elemen yang ikut sebagai massa aksi. Satu persatu perwakilan organisasi buruh dan mahasiswa diminta untuk berorasi menyampaikan aspirasinya. Massa aksi mendengarkan orasi dengan serius, sambil sesekali meneriakkan seruan "Hidup buruh!", saat orator meneriakannya dari atas panggung.
Kondisi yang sempat memanas, ketika para buruh bermaksud menutup akses Jl. Pahlawan di depan Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Ribuan polisi yang sejak pagi berjaga-jaga, menolak keinginan buruh. Sempat terjadi adu mulut antara polisi dan buruh. Meski akhirnya buruh mengalah dan kembali melanjutkan demonstrasi. Menjelang sore, sebagian buruh bergerak ke Jl. Gubernur Suryo, Surabaya, dan meneruskan demonstrasi di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya.
Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan May Day, juga diperingati di Surabaya, Jawa Timur. Kamis (1/5/08) ini, ribuan buruh dari berbagai organisasi buruh dan serikat pekerja, menggelar demonstrasi di Surabaya. Tercatat Front Perjuangan Rakyat yang terdiri dari elemen buruh dan mahasiswa, Aksi Buruh Menggugat (ABM) Jatim, Konggres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jatim, Federasi serikat Pekerja Metal Indonesia Jatim, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia Persatuan Rakyat Miskin hingga Aliansi Buruh Jember tumbah ruah dalam demonstrasi di beberapa titik kota.
Aksi yang dilakukan hampir serentak itu mengusung isu-isu perbaikan nasib dan keadilan buruh yang semakin lama semakin tidak terasa di Indonesia. Seperti masih adanya sistem pekerja kontrak dan outsourching, tidak adanya perlindungan bagi buruh migran, masih adanya aksi represif pada buruh tani, harga-harga pokok yang merangkak naik dan masih mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Juga, masih tidak adanya kondisi dunia kesehatan yang murah bahkan gratis. "Semua itu membuat kondisi buruh semakin terpuruk," kata Anggoro Cholili, Humas Front Perjuangan Rakyat (FPR).
Konsentrasi aksi buruh paling banyak terjadi di Jl. Pahlawan, Surabaya. Di tempat ini, ribuan buruh membentangkan spanduk dan ratusan bendera dari berbagai elemen yang ikut sebagai massa aksi. Satu persatu perwakilan organisasi buruh dan mahasiswa diminta untuk berorasi menyampaikan aspirasinya. Massa aksi mendengarkan orasi dengan serius, sambil sesekali meneriakkan seruan "Hidup buruh!", saat orator meneriakannya dari atas panggung.
Kondisi yang sempat memanas, ketika para buruh bermaksud menutup akses Jl. Pahlawan di depan Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Ribuan polisi yang sejak pagi berjaga-jaga, menolak keinginan buruh. Sempat terjadi adu mulut antara polisi dan buruh. Meski akhirnya buruh mengalah dan kembali melanjutkan demonstrasi. Menjelang sore, sebagian buruh bergerak ke Jl. Gubernur Suryo, Surabaya, dan meneruskan demonstrasi di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya.
30 April 2008
Metro TV Paling Dipercaya
Iman D. Nugroho
Stasiun televisi Metro TV menjadi stasiun televisi yang paling dipercaya siaran beritanya dengan perolehan suara 25 persen dari 74 voter. Hal itu yang tampak dalam polling ID Daily bertema Siaran Televisi yang Paling Dipercaya siaran Beritanya. Disusul oleh RCTI dan SCTV yang berada di urutan ke dua dengan perolehan suara seimbang, 17 persen. Diurutan ketiga, publik memilih Trans7, dengan perolehan suara 12 persen.
Urutan keempat diduduki TVRI dan Trans TV yang memperoleh 8 persen suara. Di bawahnya, urutan ke lima bertengger TV One dan Kabel TV dengan perolehan 4 persen suara. Sementara Indosiar, Global TV, ANTV dan stasiun televisi lokal diurutan ke-6 dengan 2 persen suara. Paling bawah, stasiun televisi TPI. Tidak ada suara yang memilih stasiun TV ini.
Menariknya, dalam kolom "tidak ada", terdapat 10 persen suara. Lebih besar dari kolom "pilih semua" yang hanya memperoleh 6 persen suara. Apakah berarti jumlah orang yang sama sekali tidak percaya stasiun televisi menunjukkan meningkatnya kekritisan masyarakat atas siaran televisi? Entahlah.
Urutan Selengkapnya:
1. Metro TV : 25 persen
2. RCTI dan SCTV : 17 persen
3. Trans7 : 12 persen
4. TVRI dan Trans TV : 4 persen
5. Indosiar, Global TV dan TV Lokal: 2 persen
6. TPI : 0 persen
*Polling selanjutnya akan mencari penyelesaikan terbaik soal agama-agama di Indonesia yang dianggap "menyimpang".
Stasiun televisi Metro TV menjadi stasiun televisi yang paling dipercaya siaran beritanya dengan perolehan suara 25 persen dari 74 voter. Hal itu yang tampak dalam polling ID Daily bertema Siaran Televisi yang Paling Dipercaya siaran Beritanya. Disusul oleh RCTI dan SCTV yang berada di urutan ke dua dengan perolehan suara seimbang, 17 persen. Diurutan ketiga, publik memilih Trans7, dengan perolehan suara 12 persen.
Urutan keempat diduduki TVRI dan Trans TV yang memperoleh 8 persen suara. Di bawahnya, urutan ke lima bertengger TV One dan Kabel TV dengan perolehan 4 persen suara. Sementara Indosiar, Global TV, ANTV dan stasiun televisi lokal diurutan ke-6 dengan 2 persen suara. Paling bawah, stasiun televisi TPI. Tidak ada suara yang memilih stasiun TV ini.
Menariknya, dalam kolom "tidak ada", terdapat 10 persen suara. Lebih besar dari kolom "pilih semua" yang hanya memperoleh 6 persen suara. Apakah berarti jumlah orang yang sama sekali tidak percaya stasiun televisi menunjukkan meningkatnya kekritisan masyarakat atas siaran televisi? Entahlah.
Urutan Selengkapnya:
1. Metro TV : 25 persen
2. RCTI dan SCTV : 17 persen
3. Trans7 : 12 persen
4. TVRI dan Trans TV : 4 persen
5. Indosiar, Global TV dan TV Lokal: 2 persen
6. TPI : 0 persen
*Polling selanjutnya akan mencari penyelesaikan terbaik soal agama-agama di Indonesia yang dianggap "menyimpang".
29 April 2008
NU Jatim Serukan Jaga Ketentraman Dalam Penanganan Ahmadiyah
Iman D. Nugroho
Meskipun setuju dengan keputusan pemerintah yang menganggap ajaran Ahmadiyah tidak sesuai ajaran Islam, namun Nahdlatul Ulama Jawa Timur (PWNU) Jawa Timur secara tegas menyatakan tidak setuju dengan tindakan anarkhis terhadap Ahmadiyah. NU Jawa Timur menghimbau semua pihak untuk menjaga ketentraman masyarakat.
Hal itu dikatakan Wakil Syuriah PWNU Jatim KH. Abdurrahman Navis pada The Jakarta Post, Selasa (29/04/08) di Surabaya. "NU Jatim memperdulikan ketentraman masyarakat, tidak membenarkan membakar masjid, jangan sampai terjadi di Jawa Timur," kata KH. Abdurrahman Navis. Penyelesaian yang paling baik, kata KH. Abdurrahman Navis adalah dengan berdialog. Dalam dialog itu, kata Navis, NU sebisa mungkin akan mengajak jemaah Ahmadiyah untuk kembali lagi kepada ajaran Islam yang benar. "Semuanya akan selesai dengan dialog yang baik pula," katanya.
Seperti yang diberitakan The Jakarta Post, tindakan brutal dilakukan Forum Komunikasi Jemaah Al Mubalighin, SUkabumi. Yakni membakar masjid milik Ahmadiyah di desa Parakan Salak, Sukabumi, Jawa Barat, Senin (28/04/08) lalu. Tindakan itu dilakukan setelah Pemerintah melalui Bakor Pakem didukung Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran yang tidak sesuai dengan Islam.
Tindakan pembakaran masjid itu, kata KH. Abdurrahman Navis tidak bisa dibenarkan. Disamping tidak manusiawi, pembakaran masjid juga tidak mampu menyelesaikan masalah utamanya. "Masih ada cara-cara yang manusiawi yang bisa dilakukan untuk menangani Ahmadiyah, tidak dengan membakar masjid seperti itu, jangan sampai peristiwa serupa terjadi di Jawa Timur," kata KH. Abdurrahman Navis.
Sementara itu, Ma'sum Ahmad dari Ahmadiyah Surabaya mengatakan, berbagai reaksi masyarakat pada organisasi keagamaan tempatnya bernaung tidak akan membuat warga Ahmadiyah untuk membalas. Ahmadiyah memilih untuk bersabar sekaligus cooling down. Kegiatan-kegiatan rutin seperti pengajian dan pertemuan jemaah Ahmadiyah yang biasa dilakukan, untuk sementara ditiadakan. "Kami hanya akan melakukan sholat berjamaah saja, tanpa pengajian-pengajian seperti yang kami lakukan sebelumnya," kata Ma'sum pada The Post.
Warga Ahmadiyah di seluruh Jawa Timur, kata Ma'sum percaya bahwa kepolisian Jawa Timur bisa melindungi mereka dari aksi massa yang mungkin akan terjadi. Selasa ini misalnya, perwakilan dari Polda Jawa Timur menggelar pertemuan dengan Ahmadiyah Surabaya untuk meyakinkan warga Ahmadiyah atas perlindungan yang diberikan polisi. "Kami percaya, polisi akan melindungi jemaah Ahmadiyah dari tindakan-tindakan anarkhis," katanya.
Ma'sum mengungkapkan, semua reaksi masyarakat atas ajarannya, termasuk dari NU, dipandang sebagai masukan yang baik. Namun tidak lantas membuat jemaah Ahmadiyah akan keluar dari organisasi dan merubah diri. "Semua adalah masukan yang baik, kami di Ahmadiyah Surabaya masih menunggu keputusan Ahmadiyah Jakarta," kata Ma'sum.
Meskipun setuju dengan keputusan pemerintah yang menganggap ajaran Ahmadiyah tidak sesuai ajaran Islam, namun Nahdlatul Ulama Jawa Timur (PWNU) Jawa Timur secara tegas menyatakan tidak setuju dengan tindakan anarkhis terhadap Ahmadiyah. NU Jawa Timur menghimbau semua pihak untuk menjaga ketentraman masyarakat.
Hal itu dikatakan Wakil Syuriah PWNU Jatim KH. Abdurrahman Navis pada The Jakarta Post, Selasa (29/04/08) di Surabaya. "NU Jatim memperdulikan ketentraman masyarakat, tidak membenarkan membakar masjid, jangan sampai terjadi di Jawa Timur," kata KH. Abdurrahman Navis. Penyelesaian yang paling baik, kata KH. Abdurrahman Navis adalah dengan berdialog. Dalam dialog itu, kata Navis, NU sebisa mungkin akan mengajak jemaah Ahmadiyah untuk kembali lagi kepada ajaran Islam yang benar. "Semuanya akan selesai dengan dialog yang baik pula," katanya.
Seperti yang diberitakan The Jakarta Post, tindakan brutal dilakukan Forum Komunikasi Jemaah Al Mubalighin, SUkabumi. Yakni membakar masjid milik Ahmadiyah di desa Parakan Salak, Sukabumi, Jawa Barat, Senin (28/04/08) lalu. Tindakan itu dilakukan setelah Pemerintah melalui Bakor Pakem didukung Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran yang tidak sesuai dengan Islam.
Tindakan pembakaran masjid itu, kata KH. Abdurrahman Navis tidak bisa dibenarkan. Disamping tidak manusiawi, pembakaran masjid juga tidak mampu menyelesaikan masalah utamanya. "Masih ada cara-cara yang manusiawi yang bisa dilakukan untuk menangani Ahmadiyah, tidak dengan membakar masjid seperti itu, jangan sampai peristiwa serupa terjadi di Jawa Timur," kata KH. Abdurrahman Navis.
Sementara itu, Ma'sum Ahmad dari Ahmadiyah Surabaya mengatakan, berbagai reaksi masyarakat pada organisasi keagamaan tempatnya bernaung tidak akan membuat warga Ahmadiyah untuk membalas. Ahmadiyah memilih untuk bersabar sekaligus cooling down. Kegiatan-kegiatan rutin seperti pengajian dan pertemuan jemaah Ahmadiyah yang biasa dilakukan, untuk sementara ditiadakan. "Kami hanya akan melakukan sholat berjamaah saja, tanpa pengajian-pengajian seperti yang kami lakukan sebelumnya," kata Ma'sum pada The Post.
Warga Ahmadiyah di seluruh Jawa Timur, kata Ma'sum percaya bahwa kepolisian Jawa Timur bisa melindungi mereka dari aksi massa yang mungkin akan terjadi. Selasa ini misalnya, perwakilan dari Polda Jawa Timur menggelar pertemuan dengan Ahmadiyah Surabaya untuk meyakinkan warga Ahmadiyah atas perlindungan yang diberikan polisi. "Kami percaya, polisi akan melindungi jemaah Ahmadiyah dari tindakan-tindakan anarkhis," katanya.
Ma'sum mengungkapkan, semua reaksi masyarakat atas ajarannya, termasuk dari NU, dipandang sebagai masukan yang baik. Namun tidak lantas membuat jemaah Ahmadiyah akan keluar dari organisasi dan merubah diri. "Semua adalah masukan yang baik, kami di Ahmadiyah Surabaya masih menunggu keputusan Ahmadiyah Jakarta," kata Ma'sum.