Penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah, Banyuwangi menggelisahkan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Sumarsono dari TNMB menjelaskan, secara administratif, penambangan di Banyuwangi sepenuhnya adalah tanggungjawab Perhutani Wilayah Banyuwangi Selatan. Karena secara geografis, posisi penambangan itu berada di dalam kawasan yang menjadi tanggungjawab pengelolaan Perhutani Wilayah Banyuwangi Selatan.
Hanya saja, efek buruk penambangan itu bisa mempengaruhi ekosistem di kawasan yang menjadi tanggung jawab TMNB. “Penambangan itu berada di bawah tanggungjawab Perhutani, tapi efek buruknya ikut pula kami rasakan,” kata Sumarsono pada The Jakarta Post. Posisi penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah berjarak hanya 10 mil dari tiga daerah penting TMNB. Yakni, Pantai Rajekwesi, Teluk Hijau dan Pantai Sukamade. Tiga wilayah itu adalah wilayah konservasi alam yang hingga saat ini tetap dijaga kealamiannya. Terutama Pantai Sukamade, yang merupakan daerah pandaratan penyu. “Pantai Sukamade adalah satu-satunya daerah pendaratan penyu di Samudera Hindia, yang kepemilikannya resmi dimiliki oleh Pemerintah Indonesia,” kata Sumarsono.
Penyu yang juga merupakan hewan yang dilindungi di seluruh dunia, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya. Sedikit saja ada perubahan ekosistem, maka penyu dipastikan akan meninggalkan daerah pendaratan. “Karena itu, Pantai Sukamade terus dijaga keasliannya, tapi bila limbah pertambangan mencemari Pantai Sukamade, bisa dipastikan tidak ada lagi tempat pendaratan penyu,” katanya. Ironisnya, hingga saat ini, pihak TMNB tidak pernah diajak bicara tentang rencana eksplorasi emas di Banyuwangi. Yang bisa dilakukan TMNB, hanya melaporkan secara berkala perkembangan eksplorasi emas di Banyuwangi kepada Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Hingga saat ini, hasil pengamatan TNMB, perkembangan eksplorasi emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah Banyuwangi sudah masuk ke tahap pengambilan contoh tanah melalui pengeboran dangkal di dua titik. Masing-masing titik memiliki kedalaman hingga 600 meter. Bila sudah dimulai eksploitasi dengan open pit mining (penambangan terbuka), maka TNMB akan menetapkan status “siaga merah” pada eskosistem di sekitar Pantai Sukamade dan sekitarnya. Bila sudah begitu, maka mau tidak mau pengawasan ekosistem di sekitar kawasan TNMB akan dilakukan siang dan malam. “Celakalah ekosistem kita,” katanya.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur memperkirakan, kerusakan ekologi akan menjadi bencana utama. Desa Pesanggaran dan Desa Sumber Agung (dua daerah yang masuk daerah penambangan emas) yang memiliki potensi air tanah dengan kapasitas 15-20 liter perdetik akan berubah. Dan hal itu akan menjadi awal terancam krisis air. Sekaligus berdampak pada hancurnya kedaulatan pangan sektor pertanian seperti; padi, jagung, jeruk, dan palawija. Padahal daerah ini merupakan salah satu lumbung padi Jawa Timur yang menyumbangkan 10 % dari total produksi. Saat ini pun, hal itu bisa dirasakan. Petani yang tinggal disekitar sungai Gangga, Banyuwangi, kini sudah mengeluh kekurangan air akibat air yang mengalir disungai itu dimanfaatkan untuk kepentingan eksplorasi PT. IMN.
Efek kedua adalah konflik sosial. Ini dapat dilihat dari munculnya penolakan nelayan Pancer terkait keberadaan perusahaan emas di dusun Pancer. PT. IMN juga telah mendirikan pos-pos penjagaan (militer) yang cukup ketat di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu. Mulai dari pintu gerbang gunung tersebut, para pengunjung diharuskan mengisi daftar buku identitas. Pos-pos penjagaan militer juga bertebaran dibanyak sudut, khususnya puncak gunung yang kini sudah rata dan banyak berdiri bangunan dan infra struktur untuk keperluan menuju tahapan eksploitasi. Bahkan lapangan helikopter juga sudah dibangun di puncak gunung. Bukan tidak mungkin kasus Pelanggaran Hamseperti yang terjadi di Papua (160 warga dibunuh sejak tahun 1975 hingga 1997 di sekitar tambang Freeport, akan juga terjadi.
Juga soal kemiskinan, yang menjadi dampak pembuangan tailing dengan model pembuangan ke laut. Berbagai jenis ikan laut dan sungai akan hilang, hingga membuat ribuan nelayan kehilangan mata pencahariannya. Beberapa jenis hewan yang ada di Blok Tumpang Pitu, dipastikan akan musnah. Sebut saja Babi Hutan (Sus vittatus), monyet (Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Rusa (Cervus unicolor), Bajing, Landak, dan Musang. Burung Gereja (Passer montanus), Kuntul Cina (Egretta eulophotus), Perkutut (Geopelia striata), Pipit (Lonchura sp), Prenjak (Prinia flaviventris), Sikatan (Cyornis concreta), dan Tekukur (Streptophylia chinensis), Ayam Hutan (Gallus bankiva), dan Camar Laut. Raptor (burung pemangsa). Sekaligus kepunahan reptil seperti Kadal, Biawak, Ular Tanah, Ular Hijau, Ular Air, Kobra dan Katak.
10 April 2008
Perlawanan Nelayan Pancer (Bagian ke-4)
Iman D. Nugroho
Pencemaran di laut itu juga yang membuat masyarakat sekitar lokasi penambangan emas bersepakat untuk melawan aktivitas penambangan. Dimotori oleh penduduk Dusun Pancer, yang mayoritas adalah nelayan tradisional, perlawanan itu diawali dengan upaya mengirim surat keberatan kepada Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan DPRD Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2007. Namun, hal itu tidak berefek apa-apa. Rencana penambangan pun terus dilakukan hingga masuk ke tahap eksplorasi pada tahun 2008. “Kami tidak tahu, apa yang salah dengan surat itu, yang pasti surat itu diabaikan,” kata Mudasar, Kepala Dusun Pancer pada The Post.
Puncaknya adalah Selasa (08/04/08) kemarin, ketika kemarahan warga Pancer tidak bisa lagi dibendung. Warga yang mendengar akan adanya kunjungan perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Timur ke Pantai Pancer, memblokade jalan. Tuntutan mereka hanya satu, yakni kemauan pemerintah untuk mendengar aspirasi mereka. “Kami tidak pernah minta macam-macam, tolong dengarkan aspirasi kami,” ungkap Mudasar yang pada tahun 1994 menjadi korban gelombang tsunami di Banyuwangi ini.
Mudasar menceritakan, beberapa minggu sebelum eksplorasi akan dilakukan, perwakilan PT. IMN menggelar petemuan dengan perwakilan warga. Dalam pertemuan itu, PT. IMN meminta izin akan melakukan kegiatan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah. “Saat itu mereka menjanjikan, proses penambangan akan dilakukan secara tertutup, dan limbahnya akan dikelola sehingga tidak mencemari laut,” kata Mudasar.
Bahkan, PT. IMN juga akan membangun masjid, jalan dan rumah sakit yang Dusun Pancer sebagai bukti keberpihakan perusahaan kepada masyarakat sekitar. Namun, semuanya seakan berbalik ketika masyarakat mengetahui pernambangan tertutup sudah lama tidak digunakan. “Bahkan melalui VCD yang dibawa oleh teman-teman LSM, kami mengetahui aktivitas penambangan bisa berdampak sangat buruk, tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi manusia, karena itu kami sepakat menolak,” katanya.
Meskipun perlawanan itu begitu keras, namun faktanya, penduduk Pancer tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Mengingat tanah di Dusun Pancer berstatus tanah negara milik Kabupaten Banyuwangi. Artinya, negara berhak menggunakan tanah itu untuk kepentingan apapun. “Kami sadar bila posisi kami lemah, namun bukan berarti keberadaan warga Dusun Pancer diabaikan begitu saja kan,” katanya. Hal itu juga yang sepertinya membuat Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengabaikan aspirasi warga Dusun Pancer.
Mudasar mengingatkan, nelayan yang mencari ikan di Laut Selatan, khususnya di kawasan Pantai Pancer, bukan hanya nelayan Banyuwangi saja. Melainkan, nelayan daerah lain pun melakukan hal yang sama. “Ada ribuan nelayan yang mencari ikan di kawasan laut ini,” katanya. Mudasar tidak bisa membayangkan, bila akhirnya limbah penambangan akan mencemari laut dan membuat ikan-ikan di kawasan itu tercemari logam berat.
Jadi, apakah penambangan emas Banyuwangi masih bisa diteruskan?
Pencemaran di laut itu juga yang membuat masyarakat sekitar lokasi penambangan emas bersepakat untuk melawan aktivitas penambangan. Dimotori oleh penduduk Dusun Pancer, yang mayoritas adalah nelayan tradisional, perlawanan itu diawali dengan upaya mengirim surat keberatan kepada Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan DPRD Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2007. Namun, hal itu tidak berefek apa-apa. Rencana penambangan pun terus dilakukan hingga masuk ke tahap eksplorasi pada tahun 2008. “Kami tidak tahu, apa yang salah dengan surat itu, yang pasti surat itu diabaikan,” kata Mudasar, Kepala Dusun Pancer pada The Post.
Puncaknya adalah Selasa (08/04/08) kemarin, ketika kemarahan warga Pancer tidak bisa lagi dibendung. Warga yang mendengar akan adanya kunjungan perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Timur ke Pantai Pancer, memblokade jalan. Tuntutan mereka hanya satu, yakni kemauan pemerintah untuk mendengar aspirasi mereka. “Kami tidak pernah minta macam-macam, tolong dengarkan aspirasi kami,” ungkap Mudasar yang pada tahun 1994 menjadi korban gelombang tsunami di Banyuwangi ini.
Mudasar menceritakan, beberapa minggu sebelum eksplorasi akan dilakukan, perwakilan PT. IMN menggelar petemuan dengan perwakilan warga. Dalam pertemuan itu, PT. IMN meminta izin akan melakukan kegiatan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah. “Saat itu mereka menjanjikan, proses penambangan akan dilakukan secara tertutup, dan limbahnya akan dikelola sehingga tidak mencemari laut,” kata Mudasar.
Bahkan, PT. IMN juga akan membangun masjid, jalan dan rumah sakit yang Dusun Pancer sebagai bukti keberpihakan perusahaan kepada masyarakat sekitar. Namun, semuanya seakan berbalik ketika masyarakat mengetahui pernambangan tertutup sudah lama tidak digunakan. “Bahkan melalui VCD yang dibawa oleh teman-teman LSM, kami mengetahui aktivitas penambangan bisa berdampak sangat buruk, tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi manusia, karena itu kami sepakat menolak,” katanya.
Meskipun perlawanan itu begitu keras, namun faktanya, penduduk Pancer tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Mengingat tanah di Dusun Pancer berstatus tanah negara milik Kabupaten Banyuwangi. Artinya, negara berhak menggunakan tanah itu untuk kepentingan apapun. “Kami sadar bila posisi kami lemah, namun bukan berarti keberadaan warga Dusun Pancer diabaikan begitu saja kan,” katanya. Hal itu juga yang sepertinya membuat Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengabaikan aspirasi warga Dusun Pancer.
Mudasar mengingatkan, nelayan yang mencari ikan di Laut Selatan, khususnya di kawasan Pantai Pancer, bukan hanya nelayan Banyuwangi saja. Melainkan, nelayan daerah lain pun melakukan hal yang sama. “Ada ribuan nelayan yang mencari ikan di kawasan laut ini,” katanya. Mudasar tidak bisa membayangkan, bila akhirnya limbah penambangan akan mencemari laut dan membuat ikan-ikan di kawasan itu tercemari logam berat.
Jadi, apakah penambangan emas Banyuwangi masih bisa diteruskan?
Melawan Konversi Minyak Tanah Dengan Kompor Solar dan Serbuk Gergaji

Ketika masyakat pengguna minyak tanah mengantri untuk mendapatkan minyak tanah yang semakin langka dan melambung harganya, H. Ali Soleh memilih untuk mengutak-atik kompor dagangannya. Satu pertanyaan yang ada dibenaknya, bagaimana kompor minyak tanah bisa terus menyala, dalam kondisi serba sulit seperti sekarang. "Setelah Saya coba, akhirnya Saya menemukan bahwa minyak solar lebih mudah dan murah untuk menggantikan minyak tanah," katanya pada The Jakarta Post. Perlawanan konversi minyak tanah pun dimulai..
H. Ali Soleh bisa jadi adalah salah satu dari jutaan orang di Indonesia yang terimbas naik dan langkanya minya tanah yang belakangan terjadi. Bedanya Haji Ali, tidak hanya pusing karena harga yang melambung, melainkan juga karena semakin sedikit konsumen yang membeli kompor produksinya. "Saya adalah pembuat kompor, sejak minyak tanah gonjang-ganjing, maka omset kompor buatan saya menurun hingga 80 persen," kata Haji Ali. Tidak hanya itu, laki-laki asli Sidoarjo, Jawa Timur ini juga harus memberhentikan 100 orang karyawan pabrik kompor miliknya.
Padahal sebelum gonjang-ganjing minyak tanah ini terjadi, kompor buatan Haji Ali yang dijual Rp.25-35 ribu itu bisa laku hingga 1000 biji/harinya. Sekarang, hanya laku, 250 biji/hari. Kondisi itu membuat bapak tujuh anak ini berpikir keras untuk tetap bertahan. Kuncinya, menurut Haji Ali, adalah mencari sumber bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah.
Program pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah dengan gas elpiji, menurut Haji Ali masih belum bisa diterima oleh masyarakat. "Masih banyak orang yang takut menggunakan gas," katanya. Pilihan bakar bakar alternatif itu jatuh pada solar. Bahan bakar minyak yang biasa digunakan untuk menjalankan mesin diesel itu, menurut Haji Ali memiliki karekter yang hampir sama dengan minyak tanah.
Apalagi, dari segi harga, solar relatif lebih murah, meskipun saat ini, harga solar masih lebih tinggi dari minyak gas. "Harga minyak gas sekitar Rp.3500/liter, sementara solar Rp.4300,-, tapi bila subsidi minyak tanah sudah dicabut, maka harga minyak tanah bisa melambung menjadi Rp.8000,-an, sementara harga solar tidak berubah,"katanya. Karena itu, dalam jangka panjang, harga solar masih bisa dijangkau. Haji Ali pun melakukan beberapa percobaan sederhana untuk mengukur kemampuan solar bila digunakan menjadi untuk kompor minyak.
Dalam percobaan itu, Haji Ali menemukan bukti bahwa kompor minyak tanah pun bisa dengan langsung diganti dengan solar. Tidak perlu dimodifikasi ulang. Dalam kondisi normal, solar yang diisikan di kompor minyak bisa menghasilkan api yang hampir sama dengan minyak tanah. "Coba lihat, apinya biru, seperti minyak tanah," kata Haji Ali ketika mencoba kompor solar dihadapan The Post. Panas yang dihasilkan pun relatif sama.
Untuk mendidihkan 5,5 air, kompor solar memerlukan waktu sekitar 30 menit. Waktu yang sama dengan kompor minyak. “Kalau melihat hasilnya, sepertinya panas yang dihasilkan pun tidak berbeda, mengapa tidak menggunakan solar untuk mengganti minyak tanah yang semakin mahal dan langka,” kata Haji Ali. Hanya saja, Haji Ali mengingatkan, tidak mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan solar. Bisa-bisa bisa dituduh menimbun solar. “Katanya kalau beli solar dalam ukuran banyak, akan dituduh menimbun ya, haha,..” celotehnya.
Inovasi Haji Ali tidak benhenti. Suksesnya eksperimen dengan solar, membuat pembuat kompor sejak 1982 itu kembali bereksperimen. Kali ini, serbuk berbaji kayu akan menjadi salah satu obyek percobaan. Ide serbuk gergaji kayu ini memang bukan ide orisinal. “Saya mendengar, sudah banyak orang di daerah Probolinggo, Jawa Timur yang menggunakan sebuk gergaji kayu untuk bahan bakar,” katanya.
Hanya saja, penggunaan serbuk gergaji secara tradisional tidak efektif dan cenderung boros. Secara sederhana, serbuk gergaji itu hanya dibakar saja. Namun, Haji Ali coba memadatkan dan mencetaknya menjadi balok-balok kecil. Dengan kepadatan yang tinggi, maka serbuk gergaji akan menjadi bahan bakar yang berkualitas. “Saya masih pesan serbuk bergaji untuk saya padatkan, bila sudah Saya nilai layak, mungkin akan Saya jual,” katanya.
Menyangkut ide serbuk gergaji ini, Haji Ali menekankan perlunya dilihat jenis kayu yang digunakan. Ada beberapa kayu yang menghasilkan minyak, bila serbuk gergajinya dipadatkan. “Karena itu, serbuk bergaji padat, belum sepenuhnya bisa digunakan, masih saya uji lagi,” jelasnya.
Satu hal yang pantas dipuji adalah, keikhlasan Haji Ali dalam menciptakan ide-ide kratif untuk keluar dari keterpurukan. “Semua masyarakat bisa menggunakan ide Saya ini dengan bebas, bahkan bila akan memproduksi secara massal, silahkan saja, asal bisa memudahkan hidup yang serba susah ini,” katanya. Hebat!
07 April 2008
Usai Gembok Gerbang DPRD Sidoarjo, Tuntutan Korban Lumpur Baru Diperhatikan
Iman D. Nugroho
Aksi tiga desa korban lumpur Lapindo, Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedung Cangkring, Porong Sidoarjo terus berlanjut. Kali ini, demonstrasi dilakukan dengan menggembok pintu gerbang gedung DPRD Sidoarjo, Senin (7/04). Hebatnya, setelah itu, justru tuntutan demonstran untuk percepatan pembayaran dan penetapan daerah yang masuk dalam zona berbahaya lumpur, menemukan harapan.
Aksi itu berlangsung Senin pagi, sekitar pukul 06.30 WIB. Perwakilan tiga desa yang datang sebelum blokade polisi disiapkan itu segera menuju ke teras gedung DPRD Sidoarjo. Beberapa di antara mereka menggembok gerbang gedung Wakil Rakyat itu, dan menyimpan kuncinya. Aksi mereka sempat membuat beberapa polisi kelimpungan, dan melakukan negosiasi.
Warga menolak dan menuntut adanya dialog dengan anggota DPRD Sidoarjo. Bila hal itu tidak dipenuhi, maka warga akan nekad bertahan di dalam gedung. Staff DPRD Sidoarjo yang datang setelah gedung digembok, harus rela menunggu di luar gedung dewan. Polisi yang "kecolongan" pun bernegosiasi dengan demonstran. Di tengan negosiasi itu, pasukan Dalmas Polri bersenjata lengkap datang dan segera membentuk barikade.
Sekitar pukul 09.00 Wib, negosiasi itu membawa hasil, Warga bersedia membuka gembok dan mengizinkan staff DPRD Sidoarjo untuk masuk ke dalam gedung, asalkan ada dialog antara warga dengan wakil rakyat. Tuntutan itu dipenuhi. Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Djalalludin Alham bersedia menemui perwakilan warga.
Dalam dialog itu, warga kembali mengutarakan tuntutan kepada pemerintah untuk percepatan pembayaran dan penetapan daerah yang masuk dalam zona berbahaya Lumpur Lapindo. Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Djalalludin Alham mengatakan bahwa pihaknya tidak dalam kapasitas untuk memenuhi tuntutan warga. Meski begitu, Alham bersedia memfasilitasi kepergian warga ke Jakarta untuk berbicara langsung dengan Pemerintah Pusat.
"Kita akhirnya setuju untuk berangkat ke Jakarta untuk bedialog dengan Panitia Angaran DPR-RI, Menteri Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Menteri Pekerjaan Umum," kata Koordinator Lapangan aksi, Abdul Rokhim. Keberangkatan akan dilakukan Senin sore. Demonstran pun membubarkan diri. "Kalau begini dari kemarin kan nggak perlu susah-susah," kata seorang demonstran sambil berlalu.
Aksi tiga desa korban lumpur Lapindo, Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedung Cangkring, Porong Sidoarjo terus berlanjut. Kali ini, demonstrasi dilakukan dengan menggembok pintu gerbang gedung DPRD Sidoarjo, Senin (7/04). Hebatnya, setelah itu, justru tuntutan demonstran untuk percepatan pembayaran dan penetapan daerah yang masuk dalam zona berbahaya lumpur, menemukan harapan.
Aksi itu berlangsung Senin pagi, sekitar pukul 06.30 WIB. Perwakilan tiga desa yang datang sebelum blokade polisi disiapkan itu segera menuju ke teras gedung DPRD Sidoarjo. Beberapa di antara mereka menggembok gerbang gedung Wakil Rakyat itu, dan menyimpan kuncinya. Aksi mereka sempat membuat beberapa polisi kelimpungan, dan melakukan negosiasi.
Warga menolak dan menuntut adanya dialog dengan anggota DPRD Sidoarjo. Bila hal itu tidak dipenuhi, maka warga akan nekad bertahan di dalam gedung. Staff DPRD Sidoarjo yang datang setelah gedung digembok, harus rela menunggu di luar gedung dewan. Polisi yang "kecolongan" pun bernegosiasi dengan demonstran. Di tengan negosiasi itu, pasukan Dalmas Polri bersenjata lengkap datang dan segera membentuk barikade.
Sekitar pukul 09.00 Wib, negosiasi itu membawa hasil, Warga bersedia membuka gembok dan mengizinkan staff DPRD Sidoarjo untuk masuk ke dalam gedung, asalkan ada dialog antara warga dengan wakil rakyat. Tuntutan itu dipenuhi. Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Djalalludin Alham bersedia menemui perwakilan warga.
Dalam dialog itu, warga kembali mengutarakan tuntutan kepada pemerintah untuk percepatan pembayaran dan penetapan daerah yang masuk dalam zona berbahaya Lumpur Lapindo. Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Djalalludin Alham mengatakan bahwa pihaknya tidak dalam kapasitas untuk memenuhi tuntutan warga. Meski begitu, Alham bersedia memfasilitasi kepergian warga ke Jakarta untuk berbicara langsung dengan Pemerintah Pusat.
"Kita akhirnya setuju untuk berangkat ke Jakarta untuk bedialog dengan Panitia Angaran DPR-RI, Menteri Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Menteri Pekerjaan Umum," kata Koordinator Lapangan aksi, Abdul Rokhim. Keberangkatan akan dilakukan Senin sore. Demonstran pun membubarkan diri. "Kalau begini dari kemarin kan nggak perlu susah-susah," kata seorang demonstran sambil berlalu.
05 April 2008
Mempertajam Fokus Dampak Sosial Dalam AAS 2008
Press Release
Kondisi bangsa sebenarnya dapat terekam dalam berbagai karya jurnalistik yang dihasilkan oleh insan pers di Indonesia. Hal ini terutama terlihat dalam karya-karya jurnalistik investigatif maupun humaniora yang tidak lekang jaman dan selalu menjadi pengingat bagi kita semua mengenai apa yang telah terjadi di tahun-tahun terdahulu.
Melalui payung program Sampoerna untuk Media, ajang kompetisi karya jurnalistik Anugerah Adiwarta Sampoerna (AAS) kembali dibuka dan mengajak para jurnalis Indonesia untuk berpartisipasi dalam ajang tahunan ini. Program ini diharapkan dapat turut memotivasi mereka untuk terus menghasilkan karya-karya yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat banyak.
“Kami ingin ajang AAS ini dapat memotivasi para jurnalis untuk terus menghasilkan karya-karya jurnalistik yang memiliki dampak sosial bagi masyarakat Indonesia,” kata Niken Rachmad, Direktur Komunikasi PT HM Sampoerna Tbk. “Kami harap media dapat menyuarakan realita sosial yang ada, sehingga para pembaca juga dapat mengetahui apa yang terjadi dan kemudian tergerak serta bertindak untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih positif.”
Untuk itulah, tahun ini ajang kompetisi jurnalistik bergengsi AAS 2008 mempertajam fokusnya untuk memberikan penghargaan bagi karya-karya jurnalistik terbaik yang berdampak sosial. “Tahun ini, kategori hardnews dan feature yang digunakan dalam ajang AAS sebelumnya, kami pertajam menjadi kategori reportase investigatif dan humaniora,” demikian dikatakan Yosep Adi Prasetyo, salah satu Pendiri Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang juga merupakan anggota dewan juri AAS 2008.
“Kami harap karya-karya yang masuk nantinya dapat merekam kondisi bangsa secara nyata, sehingga memiliki dampak sosial bagi masyarakat. Ini merupakan tantangan bagi para jurnalis untuk menghasilkan karya yang bisa menjadi patron di tahun penyelenggaraan AAS.”
Dengan perubahan ini, maka dalam AAS 2008, wartawan cetak/online dapat mengirimkan karya mereka dalam kategori reportase investigatif, humaniora, dan foto jurnalistik, di enam bidang: seni dan budaya, olah raga, ekonomi/bisnis, sosial, politik, dan hukum.
Tahun ini, karena banyaknya permintaan, AAS 2008 juga membuka satu kategori baru bagi insan pertelevisian Indonesia, yakni kategori jurnalistik televisi. “Tayangan jurnalistik televisi di sini bisa berupa berita, investigasi, talkshow, feature, atau dokumenter, dan durasinya tidak dibatasi. Bagi kami, yang terpenting adalah tayangan tersebut memiliki kemasan yang menarik, serta memiliki nilai berita dan nilai sosial yang tinggi,” kata Arswendo Atmowiloto, sutradara, produser, dan budayawan yang menjadi anggota dewan juri AAS 2008 untuk kategori televisi.
Dengan masuknya kategori televisi ini, maka terdapat total 19 kategori dalam AAS 2008—18 kategori untuk print/online serta 1 kategori untuk televisi. Ajang AAS yang dimulai pada tahun 2006 ini memang telah merangkak naik menjadi salah satu
ajang kompetisi jurnalistik bergengsi di Indonesia.
Untuk memudahkan komunikasi dan sosialisasi AAS 2008 ini, Panitia juga telah memanfaatkan fasilitas blog khusus yakni: http://anugerahadiwarta.org/. Lewat blog ini, Panitia akan terus memberikan informasi sehubungan dengan AAS 2008, dimana peserta dapat mengajukan pertanyaan atau melihat persyaratan serta ketentuan yang berlaku untuk mengikuti ajang AAS tahun ini. ***
Kondisi bangsa sebenarnya dapat terekam dalam berbagai karya jurnalistik yang dihasilkan oleh insan pers di Indonesia. Hal ini terutama terlihat dalam karya-karya jurnalistik investigatif maupun humaniora yang tidak lekang jaman dan selalu menjadi pengingat bagi kita semua mengenai apa yang telah terjadi di tahun-tahun terdahulu.
Melalui payung program Sampoerna untuk Media, ajang kompetisi karya jurnalistik Anugerah Adiwarta Sampoerna (AAS) kembali dibuka dan mengajak para jurnalis Indonesia untuk berpartisipasi dalam ajang tahunan ini. Program ini diharapkan dapat turut memotivasi mereka untuk terus menghasilkan karya-karya yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat banyak.
“Kami ingin ajang AAS ini dapat memotivasi para jurnalis untuk terus menghasilkan karya-karya jurnalistik yang memiliki dampak sosial bagi masyarakat Indonesia,” kata Niken Rachmad, Direktur Komunikasi PT HM Sampoerna Tbk. “Kami harap media dapat menyuarakan realita sosial yang ada, sehingga para pembaca juga dapat mengetahui apa yang terjadi dan kemudian tergerak serta bertindak untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih positif.”
Untuk itulah, tahun ini ajang kompetisi jurnalistik bergengsi AAS 2008 mempertajam fokusnya untuk memberikan penghargaan bagi karya-karya jurnalistik terbaik yang berdampak sosial. “Tahun ini, kategori hardnews dan feature yang digunakan dalam ajang AAS sebelumnya, kami pertajam menjadi kategori reportase investigatif dan humaniora,” demikian dikatakan Yosep Adi Prasetyo, salah satu Pendiri Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang juga merupakan anggota dewan juri AAS 2008.
“Kami harap karya-karya yang masuk nantinya dapat merekam kondisi bangsa secara nyata, sehingga memiliki dampak sosial bagi masyarakat. Ini merupakan tantangan bagi para jurnalis untuk menghasilkan karya yang bisa menjadi patron di tahun penyelenggaraan AAS.”
Dengan perubahan ini, maka dalam AAS 2008, wartawan cetak/online dapat mengirimkan karya mereka dalam kategori reportase investigatif, humaniora, dan foto jurnalistik, di enam bidang: seni dan budaya, olah raga, ekonomi/bisnis, sosial, politik, dan hukum.
Tahun ini, karena banyaknya permintaan, AAS 2008 juga membuka satu kategori baru bagi insan pertelevisian Indonesia, yakni kategori jurnalistik televisi. “Tayangan jurnalistik televisi di sini bisa berupa berita, investigasi, talkshow, feature, atau dokumenter, dan durasinya tidak dibatasi. Bagi kami, yang terpenting adalah tayangan tersebut memiliki kemasan yang menarik, serta memiliki nilai berita dan nilai sosial yang tinggi,” kata Arswendo Atmowiloto, sutradara, produser, dan budayawan yang menjadi anggota dewan juri AAS 2008 untuk kategori televisi.
Dengan masuknya kategori televisi ini, maka terdapat total 19 kategori dalam AAS 2008—18 kategori untuk print/online serta 1 kategori untuk televisi. Ajang AAS yang dimulai pada tahun 2006 ini memang telah merangkak naik menjadi salah satu
ajang kompetisi jurnalistik bergengsi di Indonesia.
Untuk memudahkan komunikasi dan sosialisasi AAS 2008 ini, Panitia juga telah memanfaatkan fasilitas blog khusus yakni: http://anugerahadiwarta.org/. Lewat blog ini, Panitia akan terus memberikan informasi sehubungan dengan AAS 2008, dimana peserta dapat mengajukan pertanyaan atau melihat persyaratan serta ketentuan yang berlaku untuk mengikuti ajang AAS tahun ini. ***