Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

11 Maret 2008

Science For Kids, Langkah Cerdas Memperkenalkan Matematika dan IPA

Pelajaran matematika dan IPA tak selamanya menjadi momok bagi siswa Sekolah Dasar (SD). Buktinya, sebanyak 90 siswa SD justru bersemangat mengikuti Science For Kids di gedung Rektorat ITS, Selasa(11/03/08) ini. Mereka disuguhi berbagai macam aplikasi ilmu Matematika dan IPA atau MIPA dalam kehidupan nyata.

Beberapa trik yang sering disajikan dalam pertunjukkan sulap, diterangkan secara ilmiah kepada mereka. Seperti cara menarik taplak meja tanpa menumpahkan makanan di atasnya. Anak-anak pun berdecak kagum. ”Wah seperti sulap ya,” ujar Ahmad Zulkarnain, siswa SD Mabadiul Ulum, usai menyaksikan tayangan di video interaktif tentang aplikasi hukum Hukum Newton itu.

Respon tak kalah seru juga diberikan saat mereka melihat tayangan video tentang resonansi, pemuaian benda juga tentang listrik. Cerita tentang lampu neon adalah salah satunya. ”Lampu ini bisa menyala karena diisi dengan gas kripton, tapi sudah terlanjur disebut lampu neon,” terang Nailul Hasan, mahasiswa MIPA Fisika saat menerangkan aplikasi ilmu fisika di dalam kehidupan nyata.

Para siswa yang mayoritas mengaku tidak senang mengfavoritkan pelajaran matematika ini justru antusias mendengarkan penjelasan tentang statistika. Ilmu hitung-hitungan yang terkesan rumit, menjadi lebih menyenangkan saat disampaikan melalui game dan kuis. ”Statistika itu sahabatnya angka dan saudaranya matematika,” jelas mahasiswa jurusan Statistika Novita.

Cara mengenalkan sains dengan cara sederhana kepada anak-anak SD ini memang yang menjadi tujuan utama dari program Science for Kids. Anak-anak yang rata-rata duduk dibangku kelas 5 SD menjadi sasaran utama pengenalan ilmu-ilmu pasti dasar ini. Mereka adalah perwakilan dari SD Menur Prumpungan, SD Mabadiul Ulum, SD Islam Raden Patah, SD Yapita, dan SD Klampis Ngasem I.

”Kami ingin sekali mengenalkan MIPA sebagai basic science kepada anak-anak SD,” papar PD III FMIPA ITS Bandung Arisanjoyo. Mulai matematika, biologi, fisika, kimia, hingga statistika. Selama ini, ilmu MIPA masih dianggap sebagai momok oleh anak-anak sekolah. Padahal, menurut Bandung, dengan cara penyampaian yang sederhana MIPA gampang dimengerti oleh anak-anak sekalipun.

”Ini kesempatan untuk membuat anak-anak menyukai pelajaran MIPA,” lanjutnya. Di hadapan anak-anak SD, Bandung menyatakan pentingnya mempelajari ilmu MIPA. ”Peran matematika dan IPA tidak bisa diabaikan dalam pengembangan sains dan teknologi,” jelasnya. Karenanya, Bandung berpesan agar anak-anak SD lebih tekun belajar dan tidak bosan-bosan mempelajari MIPA.

07 Maret 2008

Usulan Teknis Membunuh Lumpur Lapindo

Dikutip dari buku (mem)Bunuh Sumur Lapindo

Menghentikan semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, ternyata bukan hal yang tidak mungkin. Sebuah buku berjudul (mem)Bunuh Sumur Lapindo yang ditulis oleh Gerakan Menutup Lumpur Lapindo, menjelaskan secara rinci dan detail langkah-langkah menghentikan semburan lumpur itu.

Buku yang merupakan kumpulan pokok pikiran dari 12 tokoh nasional itu coba mengulas tuntas persoalan yang melilit, setelah lumpur panas dan berbahaya itu menyembur di Desa Siring, Porong. Tokoh-tokoh seperti Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Ir.Salahuddin Wahid, Dr. Tjuk Kasturi Sukiadi, Dr. Rudi Rubiandini, Dr. Suparto Wijoyo, Dr. Wibisono, Ir. Mustiko Saleh, Ir. Kersam Sumanta, Letjend. Mar (Purn) Suharto, Prastiyo, Peter A. Rohi dan M. Deddy Yulianto, "menyelami" lumpur yang membuat belasan ribu orang diusir dari tempat tinggalnya itu.

Pertanyaannya, maukah pemerintah mendengar dan melakukannya?

Tahap Pertama: Membuat lubang komunikasi dari permukaan ke sumber semburan atau lebih bawahnya.

Bila memungkinkan, langkah itu bisa dilakukan melalui sumur yang ada (Banjarpanji-1) dengan menggunakan "snubbing unit" atau "small rig". Upaya ini pernah dilakukan oleh Tim Nasional (Timnas) Semburan Lumpur. Namun, karena di dalam lubang masih terdapat "fish" (besi pemboran yang ditinggalkan di dalam lubang) dan casing (pipa pelindung lubang) yang rusak, maka hal itu sepertinya tidak mungkin dilakukan.

Pilihan lain adalah membuat sumur baru yang jaraknya cukup jauh, di areal yang memiliki tanah yang masih relatif stabil. Di lokasi itu dilakukan pemboran miring atau dikenal sebagai "relief well". Upaya ini juga pernah dilakukan oleh Timnas, namun tidak efektif. Banyak hal-hal non teknis yang mengganggu pelaksanaan program ini. Sebagai gambaran, Rig Century yang disewa dari Australia hanya bekerja efektif sekitar 2 bulan, dari 6 bulan keberadaannya di lapangan. Lebih parah lagi, Rig punya Pertamina hanya memiliki kesempatan 2-3 minggu dari 5 bulan keberadaannya di lapangan.

Tahap Kedua: Mematikan sumber semburan.

Menginjeksikan lumpur yang memiliki berat jenis tinggi, sehingga ketika bercampur dengan cairan pada sumber semburan akan menghasilkan lumpur yang mampu mengimbangi tekanan semburan.

Bila tidak berhasil, dapat menggunakan metode mengalirkan air panas asing dari sumbernya ke permukaan melalui sumur "relief well". Kegiatan ini bisa dipercepat dengan mengggunakan pompa berukuran besar. Diperkirakan bisa mengurangi tekanan dan aliran ke arah saluran yang selama ini menyembur tidak terkontrol.

Cara terakhir bila dua metode di atas tidak berhasil adalah mematikan sumber semburan dengan menggunakan bahan peledak. Bahan peledak akan meruntuhkan lapisan di sekitar pusat semburan.

Pertamina diusulkan sebagai pelaksana kegiatan penutupan lumpur Lapindo. Selain BUMN milik pemerintah, Pertamina juga dianggap memiliki peralatan dan saranan yang diperlukan. Pelaksanaan membunuh Sumur Lapindo, diperkirakan hanya membutuhkan waktu dua bulan lamanya. Sumber pendanaan bisa digali dari swadaya masyarakat, APBN, APBD kota/kabupaten se-Jatim, sumbangan dari perusahaan nasional, perusahaan asing dan lembaga donor luar negeri.

Maukah pemerintah melakukannya?

06 Maret 2008

ITS Tebarkan Virus di Enam Kampus

Iman D. Nugroho

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya melalui Center For Enterpreneurship Development (CED) menebar virus. Bukan virus berbahaya sih, melain virus technopreneurship atau wirausahawan bidang teknologi. Keenam kampus yang akan disebari virus itu adalah Universitas Negeri Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Negeri Jember (Unej), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Negeri Brawijaya (Unibraw), Universitas Kristen (UK) Petra dan tentu saja ITS sendiri.

Ketua Technopreneurship CED Ir. Mudji Irmawan mengatakan, upaya ini ditujukan untuk membumikan technoprenuer di kalangan mahasiswa. Tiga tahun silam, saat pertama kali dirintis, technoprenuer ditujukan untuk intern mahasiswa ITS. Tidak sia-sia, sejak saat itu, CED sudah mempunyai beberapa unit usaha yang dikerjakan oleh mahasiswa. "Ada bidang IT, pengolahan tumbuhan, hingga budidaya perikanan," ujarnya.

Para mahasiswa memproduksi mesin dan teknologinya, sementara yang melaksanakan adalah para siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). "Mereka sudah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,’’ kata Mudji. Hal semacam inilah yang akan ditularkan CED ke kampus lain-lain. "Karena itu, kita sebarkan virus technopreneurship ini ke enam kampus, saya yakin ada gunanya," ujarnya.

Technopreneur juga bisa dilihat sebagai bentuk tanggung jawab institusi terhadap mahasiswanya. Semacam layanan purna jual mahasiswa oleh institusi kampusnya. Selama ini kebanyakan institusi pendidikan lepas tangan dengan produk sarjana yang telah dihasilkan. "Mereka nggak peduli apakah lulusannya itu bekerja, atau tidak. Lepas dari kampus ya sudah lepas begitu saja,’’ kata Direktur CED, Widya Utama.

Dengan program CED, mahasiswa sudah disiapkan sejak dini untuk mampu terjun dan berkembang di dunia usaha. Apalagi potensi mahasiswa untuk menghasilkan teknologi yang layak jual sangat besar. Selama ini, ide pemikiran kreatif mahasiswa masih banyak yang mandeg di tataran skripsi. "Setelah tugas akhir dibukukan ya sudah. Padahal itu bisa jadi uang," terang Widya yang juga dosen mata kuliah Fisika ini.

Widya mencontohkan PR (pekerjaan rumah) para mahasiswa teknik informatika berupa game. Walau sekedar PR, namun game karya mahasiswa ini sangat menarik bagi anak SMA ataupun SMP. "Game yang hanya PR ini kan bisa dijual. Kalau bayar baru bisa download, si mahasiswa pencipta juga mendapatkan royalti setiap karyanya didownload," paparnya.

Dia berharap road show workshop ke enam kampus ini nantinya dapat menjadi jejaring program technopreneurship. "Angan-angan ke depan setiap kampus punya produk hasil karya mahasiswanya sendiri," lanjutnya.

Sebagai langkah pendukung lainnya, dalam waktu dekat ini CED ITS akan meluncurkan situs toko online. Situs ini akan menjembatani penjual dan pembeli dari berbagai tempat. "Namanya masih belum diputuskan," ujarnya. Dan sebagai langkah terobosan baru, pembayaran atas hasil transaksi cukup melalui SMS yang disponsori oleh provider Telkomsel. "Kita akan launching toko online ini 17 Maret mendatang," pungkasnya.

04 Maret 2008

Sebulan Berlalu, Nasib Korban Banjir Situbondo Bertalu-talu

Iman D. Nugroho

Korban banjir bandang di Situbondo, Jawa Timur, menolak rencana pemerintah yang akan merelokasi mereka dari bantaran sungai. Selain daerah relokasi yang jauh dari kota, relokasi juga dinilai sebagai upaya oknum pemerintah untuk ikut "menikmati" dana bantuan yang menjadi hak korban banjir. Tidak adanya titik temu itulah yang membuat korban banjir bandang Situbondo masih terkatung-katung hingga kini.

----------------------------

Tenda biru berukuran 4x4 itu menjadi satu-satunya harapan bagi Suryotomo (59), untuk terhindar dari terik sinar matahari Selasa (04/03/08) ini. Dari bawah tenda, pensiunan pekerja Bank Nasional Indonesia (BNI) ini duduk di atas kloset rusak. Bapak enam anak itu untuk mengawasi lima pekerjanya, mengambili barang-barang di bekas rumah miliknya di Jl. Merpati Situbondo, Jawa Timur.

Sesekali, Suryotomo yang bertongkat penyangga itu harus berjalan tertatih di atas puing-puing rumahnya. Memastikan seluruh barang miliknya sudah diambil. "Kabarnya pemerintah akan melebarkan Sungai Sampeyan hingga 20 meter, jelas itu memakan tanah milik saya, daripada dibuang, lebih baik saya menambil semua barang-barang milik saya yang sebagian besar sudah rusak kena air banjir," katanya pada The Jakarta Post.

Suryotomo adalah salah satu korban banjir bandang yang melanda Kabupaten Situbondo, 8 Februari 2008 lalu. Pada saat itu, sembilan kecamatan di kabupaten ini tergenang oleh banjir. Air yang meluap dari Sungai Sampayen di sebelah selatan pusat kota, mengaliri anak-anak sungai yang juga ikut meluap. Sejumlah 15 orang tewas dalam peristiwa itu.

Kecamatan Kota Situbondo menjadi daerah terparah. Di lokasi yang juga merupakan pusat kota Situbondo ini, 112 rumah hanyut dan hancur terseret air. Sejumlah 703 rumah rusak berat dan tidak bisa ditempati, serta 3284 lainnya rusak ringan. Kondisi parah juga dialami oleh Kecamatan Panji. Sejumlah 62 rumah hanyut, 211 rusak berat dan 609 rusak ringan dan masih bisa ditempati. Ribuan orang mengungsi di jalanan, rumah sanak keluarga atau tempat umum yang lebih aman.

Peristiwa yang hampir sebulan lalu terjadi itu, hingga kini masih menyisakan luka. Bukan luka fisik, namun luka hati karena permintaan korban banjir bandang untuk mendapatkan ganti rugi dari pemerintah tidak dikabulkan. "Pemerintah maunya merelokasi kami di Desa Sliwung Kecamatan Panji, jauh dari sini, jelas kami tidak mau," kata Tolak, warga Kecamatan Kota pada The Post. Desa Sliwung terletak 10 Km dari pusat kota Situbondo. Lokasinya adalah berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso.

Tolak adalah salah satu korban banjir bandang. Rumahnya yang terletak 10 meter dari bibir sungai, hanyut dibawa banjir. Menurut laki-laki yang bekerja sebagai sopir truk ini, keputusan relokasi ke Desa Sliwung seperti membunuh korban banjir bandang pelan-pelan. Karena penduduk yang akan direlokasi itu hampir seluruhnya bekerja di kota. Seperti menjadi tukang becak, pedagang kaki. "Lalu, bagaimana kita bekerja kalau kita tinggal di desa Sliwung," kata Tolak.

Nuryati, korban banjir yang lain mengatakan, karena alasan jauh dan tidak ada pekerjaan itulah, sebagian besar korban banjir meminta pemerintah membatalkan relokasi dan mengganti kerugian dengan sejumlah uang. "Jumlahnya terserah saja, tapi yang pasti layak dan bisa digunakan untuk membangun rumah lagi," kata Nuryati.

Ibu satu anak yang kini tinggal di tenda Jl. Merak ini mengatakan, bila korban banjir mendapatkan uang, maka korban banjir itu sendiri yang akan mengelola uang itu. Apakah mau dipakai membangun rumah lagi atau membuka usaha baru di kota, sepenuhnya menjadi hak korban. "Kalau saya akan membangun rumah di daerah Pantai Patek, karena di sana anak saya sudah beli tanah di sana," katanya.

Suryotomo, korban banjir dari Jl. Merpati Situbondo mencurigai, kengototan pemerintah merelokasi akan memposisikan korban banjir bandang sebagai obyek. Mulai obyek penyunatan dana, sampai obyek kontraktor dalam mengambil keuntungan. "Misalnya kita dapat relokasi rumah seharga Rp.20 juta, maka nilai riil rumah itu akan jauh lebih rendah, karena sudah disunat di sana-sini," kata Suryotomo yang juga pensiunan pegawai BNI ini.

Menanggapi pro-kontra relokasi atau yang cash, Yamin Muazin, Kepala Perlindungan Masyarakat (Linmas)Kabupaten Situbondo, yang juga anggota Satuan Pelaksana Penanganan Bencana (Saklak PB) Situbondo meminta masyarakat untuk berpikir lagi bila akan menolak. Karena semua yang dilakukan pemerintah sepenuhnya untuk kepentingan dan keselamatan masyarakat. "Bertempat tinggal di bantaran kali itu berbahaya, apa tidak lebih baik menerima relokasi," kata Yamin pada The Jakarta Post.

Yamin mengungkapkan, saat ini pihak Satlak PB sedang melakukan kunjungan ke Jember untuk melihat rumah relokasi yang dibangun di Jember. Rumah relokasi Jember itu diperuntukkan bagi korban banjir bandang di Kecamatan Panti, Jember tahun 2006 lalu. "Siapa tahu, setelah melihat rumah yang sudah jadi, maka masyarakat akan mengubah pendapatnya," kata Yamin.

Sementara itu, Selasa (04/03/08) ini, tujuh pengacara dari Tim Kemanusiaan Advokat Ikadin mengajukan gugatan class action pada Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Situbondo, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pengairan Kabupaten Situbondo. Tergugat dianggap lalai dalam mengelola air, hingga menyebabkan terjadinya banjir bandang. Kelalaian itu membuah jatuhnya korban jiwa dan harta benda.

03 Maret 2008

Yustinus Menahan Rasa Nyeri Selama 21 Tahun

Manusia Kutil dari Jawa Timur

Iman D. Nugroho

Untuk menjaga keseimbangan saat berjalan, kepala Yustinus selalu miring ke kiri. Sementara tubuhnya dimiringkan ke kanan. Benjolan sebesar biji alpukat di kiri belakang kepala laki-laki berumur 34 tahun itu, membuatnya berjalan sedikit terseok. "Ya begini ini, yang saya rasakan, benjolan di tubuh saya terus tumbuh entah sampai sebesar apa,..." katanya.

----------------------------

Laki-laki yang oleh media lokal dijuluki sebagai Manusia Kutil itu bernama lengkap Yustinus Cokrohadikusumo. Waktu kecil, meski memiliki "toh" atau tanda lahir di punggung, secara fisik Yustinus tidak berbeda dengan anak kecil kebanyakan. Hanya saja, laki-laki kelahiran 6 Maret 1974 itu sedikit mengalami keterbelakangan mental. Karena itulah, kedua orangtuanya, Yosep Samian (62) dan Maria Sumarni (58) menyekolahkan Yustinus di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bhakti di Malang.

Enam tahun berlalu. Di SLB Bhakti, Yustinus menuntut ilmu hingga lulus Sekolah Dasar. Karena alasan ekonomi, Yustinus memilih keluar dari sekolah dan kembali ke Jember. Yustinus yang berumur 13 tahun tidak menyadari "toh" atau tanda lahir punggungnya bertambah lama bertambah besar. "Tiba-tiba, keluarga sudah mengetahui "toh"itu sudah sebesar bola tenis meja," kata Maria, Senin (03/03/08). Tidak hanya itu, dalam hitungan bulan, muncul bercak-bercak merah yang kemudian menggelembung berisi daging.

Kadang-kadang, gelembung yang tumbuh di sekujur tubuh Yustinus itu terasa nyeri. Sebentar nyeri itu hilang, sebentar kambuh lagi. Begitu seterusnya. Yus hanya bisa mengadukan hal itu kepada kedua orang tuanya. "Kami juga kebingungan, karena tidak ada uang untuk membawanya ke dokter, maka hal itu kita biarkan saja," kata Yosep, sang ayah yang sehari-hari bekerja sebagaui buruh di bengkel motor tidak jauh dari rumahnya. Apalagi, masih ada empat anak lagi yang membutuhkan dana. Nasib Yustinus pun masih terabaikan.

Pertambahan umur membuat Yustinus semakin menderita. Lama kelamaan, daging tumbuh ditubuhnya-yang dalam bahasa medis dikenal sebagai Epidermodysplasia verruciformis atau kutil-semakin banyak saja. Yang paling besar sampai sebesar buah alpukat. Letaknya di punggung bawah dan sebelah kiri belakang kepalanya. "Seperti Anda lihat, inilah bentuknya," kata Maria sembari membantu Yustinus membuka baju dan menyibakkan rambut.

Setahun lalu, kutil utama di bagian punggung sempat lecet dan mengeluarkan darah. Saat itu keluarga membawa Yustinus ke mantri desa. Saat itulah untuk pertama kali Yus mendapatkan pertolongan medis. "Mantri mengatakan, Yustinus harus segera dioperasi, lha uangnya dari mana?" kata Maria.

Kutil yang semakin banyak dan membesar, berpengaruh pada keseimbangan tubuh Yustinus. Bukan sekali dua, laki-laki yang gemar anak kecil ini terjatuh saat berjalan. Bahkan, untuk menghindari seekor kucing yang melintas pun, Yustinus tidak sanggup. "Dengan kondisi semacam itu, mana ada perusahaan yang mau menerimanya sebagai pekerja," kata Maria. Karena itulah, Yustinus memilih mengisi harinya sebagai penjaga toko kelontong milik keluarga. Tokoh itu terletak di bagian depan rumahnya.

Untuk mengurangi penderitaannya dari kutil yang mengganggu, Yustinus melakukan eksperimen penghilangan kutil secara mandiri. Yakni dengan mengikat bagian pangkal kutil dengan karet gelang. Lama kelamaan, kutil itu akan mengering dengan sendirinya. Kalau sudah begitu, Yustinus tinggal menyanyatnya dengan pisau dapur atau gunting. "Hasilnya seperti ini,"kata Yustinus sambil menunjukkan bercak hitam pada kutil yang berhasil "dioperasi".

Meski hidup dalam keterbatasan, fisik maupun mental, Yustinus mengaku tidak malu dengan masyarakat. "Buat apa malu, memang kondisi saya seperti ini," kata Yustinus sambil tersenyum. Bahkan, Yustinus mengaku ingin sembuh dengan operasi. "Kalau ada yang mau membiayai, saya mau dioperasi," katanya. Yustinus bercita-cita ingin bekerja, entah sebagai apa. "Kalau sudah bekerja, nanti menikah, haha,.." katanya diselingi tawa.

Dokter specialis kulit dan kelamin asal Jember, Dr. Johny S. Erlan mengatakan, apa yang diderita Yustinus itu adalah jenis neurofibrimatosis multiple atau jenis tumor jinak. Biasanya penyakit yang tidak bisa disembuhkan ini berhubungan dengan faktor genetika. "Bisanya dioperasi pada kutil yang mengganggu, itupun bisa tumbuh lagi," kata Dr. Johny.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jember Dr. Olong Fajri Maulana mengatakan, ada baiknya bila Yustinus segera dibawa ke puskesmas terdekat. Memang, puskesmas tidak akan mampu mengobati Yustinus, namun setidaknya Yustinus bisa mendapatkan rujukan ke RS. Dr. Soebandi Jember atau ke RS. Dr. Soetomo Surabaya. "Kalau memang miskin, kan ada kemanisme untuk mendapatkan pengobatan gratis," kata Dr. Olong.

Sayangnya, hingga saat ini Dinas Kesehatan Kabupaten Jember tidak berinisitif mendatangi keluarga Yustinus untuk menjelaskan hal itu. Dengan alasan keterbatasan sumber daya manusia (SDM), Dinas Kesehatan meminta keluarga Yustinus untuk secara mandiri membawa Yustinus ke rumah sakit. "Tenaga dinas kesehatan itu terbatas, ada 2,5 juta penduduk Jember yang kami urus, perlu ada partisipasi aktif bagi masyarakat untuk membawa Yustinus ke puskesmas, baru kemudian ke rumah sakit," katanya.***