Iman D. Nugroho
Keputusan Pemerintah untuk membayar ganti rugi warga tiga desa baru, Desa Pejarakan, Desa Besuki dan Desa Kedungangkring yang sebelumnya tidak dimasukkan ke peta desa berdampak lumpur Lapindo, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo. Seharusnya, pemerintah juga memasukkan dua desa lain, Desa Siring Barat danDesa Mindi, yang juga terkena dampak tidak langsung semburan lumpur Lapindo.
-------------
Ketua Panitian Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Kabupaten SiIdoarjo, Ali Fauzi mengatakan, keputusan pemerintah itu menyakitkan hati korban lumpur yang lain. Bukan tidak mungkin, akan muncul reaksi keras dari masyarakat atas keputusan itu. "Penggantian tiga desa itu menyakitkan, dan akan muncul reaksi keras," kata Ali Fauzi di Sidoarjo, Kamis (28/02/08) ini.
Nasib masyarakat dua desa lain yang belum dimasukkan ke dalam desa berdampak akan semakin terpuruk. Padahal kenyataannya, Desa Siring Barat dan Desa Mindi juga terkena dampak lumpur Lapindo. Selain rusaknya sarana dan prasarana, dua desa itu juga berbahaya sebagai tempat tinggal.
Untuk menghindari hal itu, Jumat ini DPRD Kabupaten Sidoarjo akan melakukan pertemuan dengan perwakilan korban lumpur. DPRD Kabupaten Sidoarjo juga akan mengirim surat ke presiden menyangkut penolakan keputusan itu. "Kami akan berkonsolidasi dengan korban lumpur dan akan segera mengirimkan sikap resmi kami ini ke Presiden RI melalui surat," katanya.
Ali Fauzi mengatakan, seharusnya pemerintah lebih terbuka dan berani mengeluarkan keputusan yang memiliki dampak jangka panjang. Seperti menjelaskan dengan transparan, lokasi-lokasi yang saat ini berbahaya, atau kemungkinan akan terkena dampak lumpur Lapindo. Penjelasan itu penting sebagai upaya antisipasi masyarakat bila suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan.
Ali Mursyid, salah satu penduduk Desa Besuki mengatakan, keputusan pemerintah untuk memasukkan desanya ke dalam desa baru berdampak lumpur Lapindo, adalah sebuah perkembangan yang bagus. Penduduk Besuki, kata Ali, tidak ambil pusing dengan asal dana yang akan digunakan oleh pemerintah untuk membayar ganti rugi. "Apakah dari APBN atau dari Lapindo, yang pasti ganti rugi harus dibayar," kata Ali pada The Jakarta Post.
Kekecewaan tidak terbendung muncul dari penduduk Desa Siring Barat. Penduduk di desa yang berada di samping barat Jl. Raya Porong dan hanya berjarak 1 Km dari pusat semburan lumpur Lapindo itu merasa pemerintah telah memperlakukan mereka dengan tidak adil. "Ini sangat tidak adil, bagaimana pemerintah bisa menilai desa kami tidak pantas diganti, padahal Desa Siring Barat juga berdampak," kata Ahmad, penduduk Desa Siring Barat.
Kamis ini, beberapa penduduk Desa Siring Barat membuktikan betapa berbahayanya tinggal di itu. Mereka menyulut api dari gas yang menyembur di salah satu tempat di desa itu, yang langsung menciptakan api layaknya kompor gas setinggi 30 Cm dari permukaan tanah. "Siapa yang mau tinggal di desa seperti ini," kata Ahmad.
Sementara itu, menanggapi keputusan pemerintah, Abdul Rokhim dari Desa Mindi mengingatkan kembali tentang tiga hal yang menjadi inti persoalan lumpur Lapindo. Yakni adanya pengeboran, lumpur panas dan korban sosial dan lingkungan karena semburan lumpur. "Keputusan pemerintah hendaknya tidak mengingkari tiga fakta tak terbantahkan itu," kata Abdul Rokhim pada The Jakarta Post.
28 Februari 2008
25 Februari 2008
Mengeksplorasi Kejujuran Suku Samin Dalam Bingkai Foto
Iman D. Nugroho
Foto berukuran 16 R dengan bingkai hitam itu menarik perhatian. Apalagi dengan gambar Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah berukuran besar. Apa menariknya sebuah KTP? Bila diamati, kolom agama dalam KTP itu tidak terisi alias kosong. "Karena memang agama kami tidak ada di daftar lima agama yang diakui pemerintah," kata Gun Retno di Surabaya, Senin (25/02/08) ini.
----------------------------
Pameran foto dengan tema kehidupan Suku Samin, digelar di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya, Selasa (26/02/08) hingga Selasa (11/03/08) mendatang. Dalam pameran itu, disuguhkan sisi-sisi kehidupan Suku Samin yang selama ini kurang dikenal oleh masyarakat luas. Kalau toh tahu, masyarakat hanya mengenal stereotipe suku Samin, yang malas dan sulit diajak maju.
Stereotipe itu bawaan dari strategi perlawanan Samin Surantiko, salah satu tokoh masyarakat di daerah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Saat Belanda berkuasa di Tanah Jawa, Samin Surantiko melakukan perlawanan dengan membangkang. Tokoh berpawakan kurus ini menolak apapun yang diperintahkan Belanda.
Perlawanan itu diikuti oleh masyarakat sekitar Pati, Blora, Kudus dan Bojonegoro. Konon, dengan kemampuan berlogika, masyarakat daerah setempat memiliki strategi untuk membangkang Belanda. Kebiasaan itu terbawa hingga saat ini. Hingga lahirlah stereotipe Suku Samin sebagai komunitas masyarakat yang tidak bisa diajak maju, karena selalu membangkang.
Fotografer asal Surabaya yang juga alumni Universitas Kristen Petra, Peter Dwiyanto gerah dengan hal itu. Berawal dari tugas akhir mantan mahasiswa jurusan Komunikasi Visual ini, Peter memilih suku minoritas sebagai tema. Suku yang dimaksud, adalah Suku Samin. "Saya tinggal di Pati, Kudus dan Blora selama satu bulan untuk mengenal mereka," kata Peter.
Hidup bersama Suku Samin seperti memporak-porandakan stereotipe tentang suku itu. Peter menemukan, suku yang kerap memakai baju hitam dengan penutup kepala batik khas Jawa Tengah itu adalah suku yang menjunjung tinggi kejujuran. Seperti yang termuat dalam 20 Anger-Anger Pratikel atau 20 pantangan suku yang juga disebur Sedulur Sirep itu.
Ke-20 Anger-Anger Pratikel itu adalah drengki (dengki), srei (iri hati), panasten (gampang marah), colong (mencuri), petil (kikir), jumput (ambil sedikit), nemu (menemukan), dagang (berdagang), kulak (kulakan), mblantik (calo), mbakul (berjualan), nganakno duit (rentenir), mbjuk (berbohong), apus (bersiasat), akal (trik), krenah (nasehat buruk) dan ngampungi pernah (tidak membalas budi). "Intinya adalah jujur antara perbuatan dan kelakuan," kata Peter.
Anger-anger Pratikel itulah yang membuat Peter merasa hidup di tengah-tengah Suku Samin sebagai pengalaman tidak terlupakan. Semua hal di kehidupan Suku Samin bersandar pada kejujuran. "Pernah ada peristiwa seorang sedulur lain (sebutan untuk orang di luar Suku Samin) yang uangnya tertinggal di tahun 1980-an, hingga saat ini uangnya masih disimpan," kenang Peter.
Gun Retno, salah satu warga Suku Samin yang hadir di CCCL Surabaya menjelaskan, bagi Sedulur Sirep, kejujuran pitutur (perkataan) dan prilaku (kelakuan), benar-benar dijaga. Apa yang dikatakan, itu juga yang dilakukan. Juga sebaliknya. Kalau dinilai tidak mampu melakukan, warga Suku Samin tidak akan mengatakannya. Karena kebiasan itu, Suku Samin menjadi sosok yang "aneh".
Bapak empat anak itu misalnya. Hingga saat ini, dirinya masih enggan menggunakan bahasa Indonesia. Karena dia menilai, tidak ahli dalam hal itu. "Saya lebih memilih menggunakan bahasa Jawa, karena bahasa ini yang Saya bisa dan saya mengerti, kalau menggunakan bahasa Indonesia, Saya takut salah," katanya dalam bahasa Jawa.
Petani yang gemar menggunakan pakaian hitam-hitam itu menjelaskan, pilihan itu tidak berarti menolak semua hal baru yang diperkenalkan di Suku Samin. Seperti teknologi baru. "Di desa Kami juga ada televisi, ada traktor pembajak sawah dan barang-barang modern lain, tapi semua digunakan seperlunya, tidak perlu berlebihan," katanya, masih dengan bahasa Jawa.
Juga dalam persoalan menuntut ilmu. Warga Suku Samin memilih untuk mengajari anak-anak soal hidup dan kehidupan, hanya dari pengalaman kedua orang tuanya. Anak laki-laki diajari menjadi petani oleh sang ayah, sementara anak perempuan, diajari memasak oleh sang ibu. "Baca tulis tidak termasuk yang diajarkan, tapi kalau anak-anak ingin belajar, bisa belajar dari teman-temannya," katanya. Sikap itu yang membuat warga Suku Samin kebanyakan hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Setelah itu, turun ke sawah sebagai petani.
Keteguhan Suku Samin menjaga tradisi kejujuran juga membuat masyarakat Suku Samin merasa "gerah" dengan hadirnya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Apalagi di dalamnya berisi beberapa hal yang menurut warga Suku Samin tidak mereka lakukan. Seperti hal agama. Suku Samin menilai agama sebagai jalan hidup.
"Kalau kita mengaku Islam, Kristen atau agama lain, kita harus hidup dengan cara agama itu, nah, agama kita bukan Islam, Kristen atau yang lain, bagaimana?" katanya. Karena itulah, Suku Samin yang beragama Adam, menolak menuliskan nama agama yang "ditawarkan", dan memilih untuk mengosongi kolom itu. "Tapi sepertinya, sekarang tidak bisa lagi, karena kolom agama itu harus diisi, haha,.." katanya.
Foto berukuran 16 R dengan bingkai hitam itu menarik perhatian. Apalagi dengan gambar Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah berukuran besar. Apa menariknya sebuah KTP? Bila diamati, kolom agama dalam KTP itu tidak terisi alias kosong. "Karena memang agama kami tidak ada di daftar lima agama yang diakui pemerintah," kata Gun Retno di Surabaya, Senin (25/02/08) ini.
----------------------------
Pameran foto dengan tema kehidupan Suku Samin, digelar di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya, Selasa (26/02/08) hingga Selasa (11/03/08) mendatang. Dalam pameran itu, disuguhkan sisi-sisi kehidupan Suku Samin yang selama ini kurang dikenal oleh masyarakat luas. Kalau toh tahu, masyarakat hanya mengenal stereotipe suku Samin, yang malas dan sulit diajak maju.
Stereotipe itu bawaan dari strategi perlawanan Samin Surantiko, salah satu tokoh masyarakat di daerah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Saat Belanda berkuasa di Tanah Jawa, Samin Surantiko melakukan perlawanan dengan membangkang. Tokoh berpawakan kurus ini menolak apapun yang diperintahkan Belanda.
Perlawanan itu diikuti oleh masyarakat sekitar Pati, Blora, Kudus dan Bojonegoro. Konon, dengan kemampuan berlogika, masyarakat daerah setempat memiliki strategi untuk membangkang Belanda. Kebiasaan itu terbawa hingga saat ini. Hingga lahirlah stereotipe Suku Samin sebagai komunitas masyarakat yang tidak bisa diajak maju, karena selalu membangkang.
Fotografer asal Surabaya yang juga alumni Universitas Kristen Petra, Peter Dwiyanto gerah dengan hal itu. Berawal dari tugas akhir mantan mahasiswa jurusan Komunikasi Visual ini, Peter memilih suku minoritas sebagai tema. Suku yang dimaksud, adalah Suku Samin. "Saya tinggal di Pati, Kudus dan Blora selama satu bulan untuk mengenal mereka," kata Peter.
Hidup bersama Suku Samin seperti memporak-porandakan stereotipe tentang suku itu. Peter menemukan, suku yang kerap memakai baju hitam dengan penutup kepala batik khas Jawa Tengah itu adalah suku yang menjunjung tinggi kejujuran. Seperti yang termuat dalam 20 Anger-Anger Pratikel atau 20 pantangan suku yang juga disebur Sedulur Sirep itu.
Ke-20 Anger-Anger Pratikel itu adalah drengki (dengki), srei (iri hati), panasten (gampang marah), colong (mencuri), petil (kikir), jumput (ambil sedikit), nemu (menemukan), dagang (berdagang), kulak (kulakan), mblantik (calo), mbakul (berjualan), nganakno duit (rentenir), mbjuk (berbohong), apus (bersiasat), akal (trik), krenah (nasehat buruk) dan ngampungi pernah (tidak membalas budi). "Intinya adalah jujur antara perbuatan dan kelakuan," kata Peter.
Anger-anger Pratikel itulah yang membuat Peter merasa hidup di tengah-tengah Suku Samin sebagai pengalaman tidak terlupakan. Semua hal di kehidupan Suku Samin bersandar pada kejujuran. "Pernah ada peristiwa seorang sedulur lain (sebutan untuk orang di luar Suku Samin) yang uangnya tertinggal di tahun 1980-an, hingga saat ini uangnya masih disimpan," kenang Peter.
Gun Retno, salah satu warga Suku Samin yang hadir di CCCL Surabaya menjelaskan, bagi Sedulur Sirep, kejujuran pitutur (perkataan) dan prilaku (kelakuan), benar-benar dijaga. Apa yang dikatakan, itu juga yang dilakukan. Juga sebaliknya. Kalau dinilai tidak mampu melakukan, warga Suku Samin tidak akan mengatakannya. Karena kebiasan itu, Suku Samin menjadi sosok yang "aneh".
Bapak empat anak itu misalnya. Hingga saat ini, dirinya masih enggan menggunakan bahasa Indonesia. Karena dia menilai, tidak ahli dalam hal itu. "Saya lebih memilih menggunakan bahasa Jawa, karena bahasa ini yang Saya bisa dan saya mengerti, kalau menggunakan bahasa Indonesia, Saya takut salah," katanya dalam bahasa Jawa.
Petani yang gemar menggunakan pakaian hitam-hitam itu menjelaskan, pilihan itu tidak berarti menolak semua hal baru yang diperkenalkan di Suku Samin. Seperti teknologi baru. "Di desa Kami juga ada televisi, ada traktor pembajak sawah dan barang-barang modern lain, tapi semua digunakan seperlunya, tidak perlu berlebihan," katanya, masih dengan bahasa Jawa.
Juga dalam persoalan menuntut ilmu. Warga Suku Samin memilih untuk mengajari anak-anak soal hidup dan kehidupan, hanya dari pengalaman kedua orang tuanya. Anak laki-laki diajari menjadi petani oleh sang ayah, sementara anak perempuan, diajari memasak oleh sang ibu. "Baca tulis tidak termasuk yang diajarkan, tapi kalau anak-anak ingin belajar, bisa belajar dari teman-temannya," katanya. Sikap itu yang membuat warga Suku Samin kebanyakan hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Setelah itu, turun ke sawah sebagai petani.
Keteguhan Suku Samin menjaga tradisi kejujuran juga membuat masyarakat Suku Samin merasa "gerah" dengan hadirnya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Apalagi di dalamnya berisi beberapa hal yang menurut warga Suku Samin tidak mereka lakukan. Seperti hal agama. Suku Samin menilai agama sebagai jalan hidup.
"Kalau kita mengaku Islam, Kristen atau agama lain, kita harus hidup dengan cara agama itu, nah, agama kita bukan Islam, Kristen atau yang lain, bagaimana?" katanya. Karena itulah, Suku Samin yang beragama Adam, menolak menuliskan nama agama yang "ditawarkan", dan memilih untuk mengosongi kolom itu. "Tapi sepertinya, sekarang tidak bisa lagi, karena kolom agama itu harus diisi, haha,.." katanya.
24 Februari 2008
Pemerintah Tidak Tegas Dalam Kasus Soeharto

Pemerintah RI di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla tidak tegas dalam kasus hukum Alm. Mantan Presiden Soeharto. Selain itu, Pemerintah RI juga cenderung mengabaikan hukum positif Indonesia. Itulah hasil polling terbanyak ID Daily yang digelar di news blog ini.
Polling yang dilaksanakan setelah meninggalnya mantan Presiden Soeharto itu menyebutkan, jumlah suara "pemerintah tidak tegas", mencapai 68 persen lebih. Posisi nomor dua dengan jawaban "Pemerintah mengabaikan hukum", mencapai 50 persen dari keseluruhan suara. Disusul jawaban "Pemerintah tegas" dan "pemerintah menegakkak hukum" dalam posisi dua terbawah.
Agaknya, dari jawaban polling ini, jelas sekali rekomendasi yang diberikan ID Daily berdasarkan suara polling adalah perlunya mendorong kembali ketegasan pemerintah dan mengusut kasus mantan Presiden Soeharto. Bila tidak, maka Pemerintah RI akan terlihat mengabaikan hukum yang disepakati di Indonesia. Sanggupkah SBY-JK melakukannya? Kita tunggu saja.
21 Februari 2008
Apapun Statusnya, Yang Bayar Tetap Minarak Lapindo Jaya

Hal itu dikatakan Andi Darussalam Tabusalla di Sidoarjo, Kamis (21/02/08) ini. "Saya meyakinkan, apapun statusnya, apakah bencana alam atau yang lain, Minarak Lapindo Jaya akan membayar uang sisa 80 persen kepada korban lumpur," kata Andi. Hal itu juga berarti, tambah Andi, PT. Minarak Lapindo Jaya tidak akan menagihkan seluruh pengeluaran yang sudah dikeluarkan, meski statusnya menjadi bencana alam.
Keraguan tentang pembayaran 80 persen bila status semburan lumpur Lapindo berubah status menjadi bencana alam, sempat mencuat ketika Tim Pengawan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2S) menyatakan luapan lumpur di Porong Sidoarjo itu sebagai bencana alam. Artinya, seluruh pembayaran ganti rugi atas lumpur Lapindo akan ditanggung oleh pemerintah.
Sayangnya, Andi Darusallam tidak mau memberikan jaminan atas statement yang dikatakannya itu. "Insyaallah, Minarak Lapindo Jaya akan tetap membayarkan sisa 80 persen yang sudah kami sepakati, pembayaran akan dilakukan bulan Mei untuk uang persawahan, dan bulan Juni untuk uang pemukiman," tegasnya. Andi juga sekaligus menegaskan, tidak akan ada percepatan pembayaran. Karena dalam perusahaan sudah dijadwalkan tentang sistem pembayaran. "Lagian, uangnya baru ada pada bulan Mei dan Juni," tambah Andi.
Namun, hal itu tidak berarti Minarak Lapindo Jaya juga akan bertanggungjawab bila ada perubahan peta terdampak lumpur Lapindo. Karena menurut Peraturan Presiden (Perpres) no. XIV tentang Badan Pananggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyebutkan, daerah di luar peta berdampak lumpur menjadi tanggungjawab pemerintah yang dananya akan diambilkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). "Kami taat pada Perpres no.XIV tahun 2007 yang menyebutkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap daerah di luar peta," kata Andi.
Selama ini PT. Minarak Lapindo Jaya sudah menerima 11.598 berkas yang akan diganti. Termasuk 516 berkas sisa masa penanganan oleh Tim Nasional (Timnas) Penanganan Lumpur Lapindo yang berakhir 2007 lalu. "Minarak akan kembali berbicara dengan BPLS untuk klarifikasi berkas dan waktu pembayaran," kata Andi.
20 Februari 2008
Ahli Kembali Menegaskan Lumpur Lapindo Bukan Bencana Alam
Polemik penentuan status semburan Lumpur di Porong, Sidoarjo masih berlanjut. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-ESDM Dr. Surono mengatakan semburan lumpur di Porong Sidoarjo tidak akan terjadi bila tidak ada pemicunya. "Memang Sidoarjo adalah ladang mud volcano, tapi bila tidak diutik-utik, tidak seperti ini kejadiannya," kata Surono dalam Seminar Risiko Gempa, Apa yang Bisa Kita Perbuat di gedung Pasca Sarjana ITS, Rabu (20/2/08) ini.
---------------------
Surono yang pernah meneliti beberapa mud volcano di sekitar Bandara Juanda, Surabaya ini mengatakan, gunung lumpur (mud volcano) di sekitar lokasi semburan lumpur Lapindo memiliki skala kecil. "Cuma gundukan kecil kadang ada, lalu menghilang, nanti timbul lagi di tempat lain,’’ katanya. Mud Volcano ini bahkan terbentang hingga ke Pulau Madura sampai area Bledug Kuwu, Purwodadi, Jawa Tengah. Dan sebagaimana karakteristik mud volcano, fenomena alam itu tetap tidak akan menjadi besar bila jika tidak ada pemicunya.
Karena itu, solusi terbaik untuk mengendalikan mud volcano ini adalah dengan melakukan pengendalian lumpur. Menurutnya, meninggikan tanggul terus menerus bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Sebab, tanggul yang terus ditambah akan menyebabkan deformasi, dan menarik tanah disekitarnya. Beberapa gejala akan hal itu sudah mulai terlihat. Seperti kemunculan bebarapa semburan baru di sekitar Porong, bubble-bubble gas baru, hingga penurunan muka tanah.
Agar hal ini tidak bertambah parah, harus dilakukan pengendalian ketinggian lumpur. ’’Yang terpenting airnya harus dibuang, sehingga ketinggan lumpur bisa dikontrol,’’ lanjutnya. Solusi ini sebenarnya sudah sering diungkapkan. Termasuk pembuangan air lumpur ke laut. Namun, lebih banyak mendapatkan tentangan ketimbang dukungan. Padahal, menurutnya, berdasarkan kajian, air yang terdapat di lumpur Porong ini sama sekali tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya.
’’Itu aslinya juga endapan dari air laut yang berumur ribuan tahun. Jadi kalau dikembalikan lagi ke laut kan ya nggak apa-apa, sama-sama air lautnya,’’ungkapnya. Terlalu banyaknya muatan politis dalam penanganan kasus ini membuat lumpur lapindo tak segera terselesaikan.
Padahal, jika ditilik dari lamanya lumpur tersebut akan terus menyembur, Surono angkat tangan. ’’Lihat saja Bledug Kuwu, itu sudah berlangsung selama ribuan tahun. Saya nggak tahu pasti sampai kapan lumpur Lapindo itu akan seperti ini,’’terangnya.
---------------------
Surono yang pernah meneliti beberapa mud volcano di sekitar Bandara Juanda, Surabaya ini mengatakan, gunung lumpur (mud volcano) di sekitar lokasi semburan lumpur Lapindo memiliki skala kecil. "Cuma gundukan kecil kadang ada, lalu menghilang, nanti timbul lagi di tempat lain,’’ katanya. Mud Volcano ini bahkan terbentang hingga ke Pulau Madura sampai area Bledug Kuwu, Purwodadi, Jawa Tengah. Dan sebagaimana karakteristik mud volcano, fenomena alam itu tetap tidak akan menjadi besar bila jika tidak ada pemicunya.
Karena itu, solusi terbaik untuk mengendalikan mud volcano ini adalah dengan melakukan pengendalian lumpur. Menurutnya, meninggikan tanggul terus menerus bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Sebab, tanggul yang terus ditambah akan menyebabkan deformasi, dan menarik tanah disekitarnya. Beberapa gejala akan hal itu sudah mulai terlihat. Seperti kemunculan bebarapa semburan baru di sekitar Porong, bubble-bubble gas baru, hingga penurunan muka tanah.
Agar hal ini tidak bertambah parah, harus dilakukan pengendalian ketinggian lumpur. ’’Yang terpenting airnya harus dibuang, sehingga ketinggan lumpur bisa dikontrol,’’ lanjutnya. Solusi ini sebenarnya sudah sering diungkapkan. Termasuk pembuangan air lumpur ke laut. Namun, lebih banyak mendapatkan tentangan ketimbang dukungan. Padahal, menurutnya, berdasarkan kajian, air yang terdapat di lumpur Porong ini sama sekali tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya.
’’Itu aslinya juga endapan dari air laut yang berumur ribuan tahun. Jadi kalau dikembalikan lagi ke laut kan ya nggak apa-apa, sama-sama air lautnya,’’ungkapnya. Terlalu banyaknya muatan politis dalam penanganan kasus ini membuat lumpur lapindo tak segera terselesaikan.
Padahal, jika ditilik dari lamanya lumpur tersebut akan terus menyembur, Surono angkat tangan. ’’Lihat saja Bledug Kuwu, itu sudah berlangsung selama ribuan tahun. Saya nggak tahu pasti sampai kapan lumpur Lapindo itu akan seperti ini,’’terangnya.