Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

22 November 2007

Menyandarkan Harapan Pada Alue Pochik

Lembaga ini dikenal dengan sebutan Alue Pochik. Dia lahir dari semangat untuk mencari solusi problem pengelolaan saluran air Ladong-Lamreh. Bertumpuk harapan bersandar di pundaknya. Meski berusaha keras, masih saja pekerjaan rumah tersisa.

Oka Ishak, menggela napas panjang. Laki-laki asal Medan, Sumatera Utara itu seperti membuang beban berat yang selama ini menyesakkan dadanya. “Kita berterimakasih dengan adanya saluran air Ladong-Lamreh ini, tapi bagaimana pun kesadaran masyarakat adalah kunci dari semua persoalan yang membuat saluran ini terus mengucurkan air,” kata Oka Ishak dalam sebuah wawancara.

Oka Ishak adalah Sekretaris Alue Pochik. Sebuah kelompok pemanfaat air di Kecamatan Masjid Raya bentukan Plan Aceh. Kehadiran Alue Pochik di kecamatan pesisir pantai timur Kebupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam ini memang bukan basa-basi. Kelompok yang dalam bahasa Aceh berarti saluran air ini terbentuk karena saluran pipa Ladong-Lamreh sering terganggu.

Tidak hanya itu, Plan Aceh menganggap masyarakat delapan desa, mulai Desa Ladong, Desa Ruyung, Desa Berandeh, Desa Meunasah Kulam, Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Desa Lamreh tidak punya “rasa memiliki” atau sense of belonging pada proyek pipa Ladong-Lamreh dan pernak-perniknya. Masih adanya pelubangan ilegal pipa saluran Ladong-Lamreh, rusaknya kran air di hidran umum sampai penggunaan air bersih yang boros dan bukan untuk minum adalah bukti semua gejala tidak adanya sense of belonging.

Karenanya, perlu ada upaya taktis untuk memunculkan sense of belonging. Dengan difasilitasi oleh Plan Aceh, dibuatlah sebuah pertemuan berkala antara masyarakat dan pejabat kecamatan untuk berbicara menyangkut upaya penyerahan pipanisasi Ladong-Lamreh. Seluruh pemimpin desa, mulai Kepala Dusun, Kepala Lorong, Imam Geucik, Geucik, Kepala Mukim dan seluruh pejabat kecamatan diundang untuk itu. Singkat kata, masyarakat sepakat dengan ide pembentukan kelompok pemanfatan air yang disebut Alue Pochik.

Untuk menjaga sistem kerja Alue Pochik, dipilih pengurus yang merupakan tokoh-tokoh yang disegani oleh masyarakat Desa Ladong hingga Desa Lamreh. Sa’ban Siregar warga Krueng Raya dipilih sebagai Ketua, Oka Ishak warga Desa Ladong dipilih sebagai sekretaris dan Erni warga Krueng Raya terpilih sebagai Bendahara. Di atas pengurus, ada dewan pembina yang berisi semua pejabat teras di tingkat desa dan kecamatan. Diharapkan Alue Pochik mampu menjadi solusi tidak lancarnya saluran air Ladong-Lamreh. “Alue Pochik memang dibentuk agar ada jaminan air tetap mengalir, persoalan sementara teratasi,” kata Djuneidi Saripurnawan, Research and Development Coordinator Plan International Aceh.

Meski begitu, Plan Aceh menyadari, peran Alue Pochik belum sepenuhnya maksimal. Buktinya, sejak kelompok itu dibentuk pada awal tahun 2007, sampai sekarang tetap air di pipa Ladong-Lamreh tidak bisa mengalir utuh. Bahkan dibalik itu, Plan Aceh menyimpan kekhawatiran, Alue Pochik akan tergoda untuk mengkomersialisasikan air yang seharusnya bisa dinikmati secara gratis.

“Isu komersialisasi air kan sedang marak dibicarakan, bisa-bisa Plan Aceh akan tersandung persoalan ini karena kita yang memfaslitasi terbentuknya Alue Pochik,” kata Djuneidi. Kekhawatiran Plan Aceh memang bukan pendapat pribadi. Hingga saat ini, masih ada penduduk di delapan desa itu yang berpikir Alue Pochik tidak bekerja efektif.

Senada dengan Plan Aceh, Sekretaris Alue Pochik Oka Ishak pun memiliki pemikiran yang tidak jauh berbeda. Menurut Oka, sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang saling menyalahkan karena alir tidak lancar mengalir. Masyarakat Desa Ladong menyalahkan Krueng Raya (Meunasah Kulam, Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Lamreh) karena dinilai mengurangi jatah mereka, sementara masyarakat Krueng Raya menyalahkan Ladong, karena dinilai menutup saluran.

“Meski begitu, Alue Pochik memilih untuk mendengarkan semua aspirasi itu sembari terus memberikan penjelasan,” kata Oka. Selain itu, Alue Pochik juga melakukan kerja-kerja nyata, seperti penutupan pada pelubangan ilegal. Meski diakui oleh Oka, hal itu belum sepenuhnya membawa hasil. “Kita akan melihat dulu, apakah ada kebocoran lagi. Sampai saat ini, air masih berhenti di perbatasan Krueng Raya,” jelasnya.

Hasil kerja lain Alue Pochik yang bisa dinikmati masyarakat adalah pembuatan sistem “iuran” untuk masyarakat yang memanfaatkan air. Iuran ini digunakan untuk mengisi khas desa perbaikan sumber air bukit Ladong dan membayar Ismail, penjaga mata air. Setiap keluarga diwajibkan membayar Rp.3000,-. Memang, belum semua warga desa Ladong sampai Desa Lamreh bersedia membayar. Dengan alasan ketidaklancaran air.

Alue Pochik juga memiliki agenda jangka panjang yang pelan-pelan sudah mulai dikerjakan. Yakni meteranisasi untuk seluruh keluarga yang tinggal di delapan desa yang dilewati pipa Ladong-Lamreh. Sebagian rumah sudah mendapatkan meteran, namun mayoritas masih belum tersentuh program itu. “Kami sudah memohon ke American Red Cross untuk memberikan akses ke rumah-rumah. Itu baru usulan dan belum realisasi,” kata Oka.

Program lain adalah membuka salah satu hidran umum (HU) sebagai satu-satunya tempat legal untuk mendapatkan air bagi penjual air yang menggunakan becak motor. HU yang akan dibuka untuk umum itu terletak di depan Masjid Ladong. Setiap becak motor yang mengambil air diwajibkan untuk membayar infak ke masjid. Uang infak ini akan digunakan untuk pembiayaan Masjid Ladong yang saat ini masih dalam proses pembangunan.

Karena benyak dan rumitnya pekerjaan, Alue Pochik meminta masyarakat untuk bersabar dan memberi waktu mereka untuk bekerja. “Banyak sekali kerjaan kita, yang terbaru saja adalah persoalan tidak lancarnya air karena banyak angin yang ikut terbawa oleh air, angin itu membuat air kadang keluar, kadang tidak,” kata Oka. Sepertinya pekerjaan rumah Alue Pochik tetap akan bertumpuk-tumpuk.


21 November 2007

Mahasiswa Coba Dobrak Gerbang BRR

MAHASISWA DEMO BRR.
Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Untuk Korban Tsunami (Gerak Maut) Banda Aceh menggelar demonstrasi di depan Kantor Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, Rabu(21/11) ini di Banda Aceh, NAD. Dalam demonstrasi itu satu mahasiswa terluka karena dipukul polisi saat ia mencoba merobohkan pagar kantor BRR.


20 November 2007

Ismail Sang Penjaga

Tangan kiri Ismail menjinjing kawat berduri melintang yang memisahkan areal tempat tinggalnya dengan kebun kepala di bukit Ladong Aceh Besar. Pelan-pelan, kepalanya menunduk, dan menyorongkan seluruh tubuhnya hingga melewati kawat tajam berwarna coklat tua penuh karat itu. “Beginilah kalau ingin ke sumber mata air bukit Ladong, harus berpayah-payah,” kata Ismail sambil terkekeh.

Usai “terbebas” dari kawat berduri, laki-laki berusia 40 tahun itu melanjutkan perjalanannya melewati kebun kelapa di lereng bukit itu. Goyangan daun kelapa yang tertiup angin Jumat pagi itu seakan mengiringi kaki Ismail yang bergantian menapaki tanah yang basah tersiram hujan malam tadi. Sesekali, bapak dua anak ini melompat kecil. Menghindari batang kelapa yang terlentang. “Sebagian pohon ini harus dipotong, disini akan dibangun perubahan baru untuk korban tsunami oleh NGO Saleum Aceh,” katanya sambil menunjuk dua kendaraan bego yang terparkir di salah satu bagian bukit itu.

Usai sudah pekebunan kelapa, kali ini dataran rumput menjelang. Seberapa tanaman perdu tumbuh di atas hijaunya rerumputan. Di lokasi ini, birunya langit yang berbatasan dengan pantai jelas terlihat di sela-sela ujung pohon kelapa. “Sumber air Ladong atau sumber air Alupoci terletak di sana,” kata Ismail sambil menunjuk ke sebuah bangunan biru yang hampir tertutupi rerimbunan pepohonan. Bagai mendapatkan energi baru, Ismail sedikit mempercepat langkahnya.

Kedatangan laki-laki bertubuh gempal itu mengusik ratusan nyamuk dan membuat binatang penghisap darah itu berterbangan memenuhi udara. Ismail mengibas-ibaskan tangan mengusir nyamuk di depan mukanya. "Sepertinya, karat telah merusak gembok berwarna kuning itu. Saya harus meloncat pagar,” katanya sembari memanjat pagar setinggi 1 meter itu. Dalam sekali dorong, tubuh Ismail pun sudah berada di balik pagar.

Pintu menuju ke sumber air terletak di bagian barat bangunan beton setinggi dua meter dan berwarna biru itu. Begitu pintu besi itu dibuka, terlihat sebuah bak besar berukuran 11 meter yang dibagi dalam dua ruang besar. Tepat dibawah pintu besi, terdapat sua pipa yang mengalirkan air sumber menuju ke reservoir (menampungan sementara). Dari tempat itulah, air akan diteruskan ke Desa Ladong dan Desa Lamreh. “Sudah tiga kali bangunan ini direhabilitasi, pertama oleh rakyat, kedua oleh PDAM dan ketiga oleh Plan Aceh,” kenangnya.

Bagi Ismail, lokasi sumber air dan intake (rumah air) seluas sekitar 24 meter peregi itu adalah wilayah kerjanya. Bangunan berwarna biru yang memiliki pintu besi di bagian baratnya itu adalah ruang kerjanya. Di bangunan inilah, air jernih berdebit 800 liter/menitnya tertampung, untuk kemudian disalurkan di pipa sepanjang 8 Km, dari Desa Ladong ke Desa Lamreh. Sudah menjadi kewajiban laki-laki itu untuk pergi ke lokasi itu untuk membuka kran yang membuat air mengaliri pipa.
Tahun ini adalah tahun kedua bagi Ismail bekerja sebagai penjaga air sumber bukit Ladong. Dirinya dilibatkan pertama kali oleh Plan Aceh dalam program pipanisasi air dari Ladong sampai Lamreh. Saat program itu berjalan tidak banyak penduduk setempat yang terlibat. Ismail adalah salah satu yang terlibat dalam proyek itu. Karena dianggap mampu, laki-laki kelahiran Tapak Tuan Aceh Selatan itu “diangkat” menjadi penjaga air. “Ketika itu, gaji saya Rp.900 ribu,” kenang Ismail.

Ketika Plan Aceh selesai dengan program itu dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui organisasi masyarakat Alupoci, posisi Ismail penjaga air tetap dijabat oleh Ismail. Bedanya, kali ini Ismail tidak lagi digaji oleh Plan Aceh, melainkan oleh masyarakat yang menyisihkan Rp.3000,-/keluarga/bulan untuk biaya air bersih. “Saat ini tanggungjawab saya lebih besar, karena dulu bila air tidak lancar, maka masyarakat akan telp Plan Aceh, kini kalau air tidak lancar, masyarakat langsung protes ke saya, mungkin kalau tidak lancar terus, saya tidak akan digaji,” katanya sambil tersenyum.

Ismail menyadari, kondisi saluran air Ladong-Lamreh belakangan ini tidak terlalu lancar. Air hanya mengalir sampai ke hidran umum (HU) di Krueng Raya. Tepatnya hidran umum kawasan Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Meunasah Kulam. Sementara HU di Desa Lamreh sama-sekali tidak kebagian air. Semua itu, kata Ismail, karena banyaknya pelobangan pipa ilegal. Meski Ismail tidak tahu pasti lokasi tepat kebocoran itu.

Meski begitu, Ismail sadar, banyak orang yang menyalahkan dirinya bila air tidak mengalir. Padahal, dirinya sama sekali tidak tahu menahu akan hal itu. Yang dia tahu hanya menjaga agar air di sumber tetap mengalir, dan kran besar dari reservoir menuju ke pipa Ladong-Lamreh tetap terbuka. “Orang sering menyalahkan saya kalau air tidak mengalir, padahal saya tidak pernah mengutak-atik sumber air ini, mungkin karena mereka tidak tahu,” katanya sembari mengunci gembok pintu besi “ruang kerjanya.” Klik!



Demo Becak Motor Aceh


DEMO BECAK ACEH.
Puluhan tukang becak Aceh yang tergabung dalam Forum Becak Bersatu (FBB) menggelar demonstrasi di Banda Aceh NAD, Selasa(20/11). Mereka menuntut dihentikannya iuran Rp.20 ribu yang diwajibkan oleh salah satu organisasi becak.


Maaf, Kami Tidak Sekedar Memberikan Bantuan,..

*Tiga Tahun Perjalanan Plan Aceh

Sebagai non goverment organisation (NGO), Plan International Aceh memilih untuk tidak sekedar membantu korban tsunami. Berbagai program yang dilakukan berupaya menolong korban yang terpuruk untuk benar-benar bangkit kembali.

Kedatangan Plan Indonesia Aceh ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memang bukan tanpa alasan. “Semua karena respons emergency yang terjadi di Aceh karena tsunami,” kata Djuneidi Saripurnawan Research and Development Coordinator Plan International Aceh. Emergency respons diterjemahkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar atau basic needs masyarakat yang tiba-tiba hilang terimbas gelombang besar itu.

Karena emergency itulah, pada awal-awalnya, Plan Aceh merasa tidak perlu ada ukuran-ukuran tertentu. Termasuk “target” yang akan diraih dalam kondisi normal. Dengan alasan itu pula, Plan tidak melakukan mekanisme normal semacam survey, diskusi atau apapun untuk mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat. Data didapatkan dari berbagai sumber yang sebelumnya sudah berada di Aceh. Mulai dari tim United Nation (UN) yang berkolaborasi dengan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitas (BRR) Aceh-Nias, juga yang dari berbagai NGO yang mempublikasikan temuannya.

“Datanya banyak sekali. Plan tidak perlu melakukan survey lagi. Bahkan, kita mengetahui, masyarakat sudah jenuh dengan survey semacam itu,” kata laki-laki yang akrab dipanggil Djuneidi ini. Untuk menentukan kebutuhan lain yang lebih spesifik, Plan Aceh memilih untuk “menanam” orang sukarelawan di setiap wilayah yang dianggap memerlukan penanganan lebih. Sukarelawan yang dipilih adalah orang lokal Aceh, yang bisa bahasa lokal Aceh namun bukan merupakan korban langsung tsunami. Mereka disebut CTA (Comition of Tranformation Agent).

Para sukarelawan ini tinggal dan hidup bersama korban tsunami selama kurang lebih delapan bulan lamanya. Selama itu pula, sukarelawan akan menyerap informasi menyangkut kebutuhan riil korban tsunami. Data dan masukan langsung dari korban itu yang coba direalisasikan dalam bentuk distribusi barang secara langsung ke lokasi-lokasi yang membutuhkan. Mulai kebutuhan barang-barang steril, makanan untuk anak-anak hingga micro nutrient. Melalui cara yang sama, Plan Aceh mengetahui bantuan-bantuan yang sebelumnya sudah diberikan NGO lain, namun sudah dihentikan. Plan Aceh sengaja mengambil alih peran NGO itu, selama korban dinilai masih membutuhkan.

Setiap tiga bulan, Plan Aceh melakukan evaluasi program. Saat itulah diketahui kondisi terbaru di masyakat korban tsunami. “Untuk menentukan efektifitas strategi yang sudah dilakukan serta untuk menjawab pertanyaan: Apakah sudah saatnya berubah? Apa yang perlu diteruskan dan dihentikan?,” kata Djuneidi. Evaluasi itu untuk menghindari munculnya ketergantungan korban pada lembaga. Evaluasi itu penting. Dalam beberapa kasus, Plan Aceh menemukan fenomena respon negatif mengungsi justru karena bantuan yang melimpah dan terus menerus. Misalnya, pengungsi yang enggan pindah ke tempat baru (shelter), karena semua kebutuhan pengungsi sudah dipenuhi saat mereka tinggal di barak-barak pengungsian. Mulai air bersih, pakaian hingga makanan. “Kalau sudah seperti itu, bantuan yang diberikan akan merusak mental mereka,” kata Djuneidi.

Tahun kedua menjelang. Strategi Plan Aceh mulai berubah. Semakin banyaknya bantuan yang diberikan NGO, terutama yang concern di bidangnya, menjadi pertimbangan pertama. Sebut saja bantuan makanan yang diberikan oleh World Food Program. Begitu juga dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti kompor, rak piring plus barang sekunder berupa pakaian anak-anak dan kebutuhan keluarga lain pun berlimpah. Plan Aceh pun menghentikan bantuan jenis itu.

Pertimbangan kedua adalah kondisi pengungsi tsunami yang sudah tidak “tidak bisa berbuat apa-apa”. Hampir semua pengungsi mulai beranjak dari tenda pengungsi, pindah ke shelter (rumah sementara). Muncul pemikiran untuk mengubah bentuk bantuan dari bantuan barang, menjadi bantuan dalam bentuk lain yang mampu membuat pengungsi lebih sustanable.

Pengamatan Plan Aceh pada kondisi itu menyimpulkan, pemenuhan kebutuhan pokok harus bergeser kepada pemenuhan kebutuhan yang bersifat tidak langsung. Sekaligus membantu korban tsunami untuk survive di kemudian hari. Pemikiran itu diperkuat dengan “gejala” yang terlihat. Beberapa pengungsi korban tsunami yang dahulu petani, sudah bisa mengolah tanah. Yang awalnya nelayan, mulai mempersiapkan diri kembali ke laut. “Apalagi di kantong-kantong Plan, belum ada NGO yang bisa mengkreasikan usaha livelihood (Domain Livelihood),” kata Djuneidi. Secara sederhana, program livelihood akan mendorong pengungsi untuk mendapatkan cash money.

Pemilihan calon kader dari kelompok korban tsunami pun coba dilakukan. CTA menilai dan memilih calon kader dari orang-orang yang dianggap cocok sebagai “jangkar” program. Minimal, calon kader terpilih harus mempunyai sejarah melakukan hal yang akan dibantu oleh Plan Aceh. Misalnya dalam program training menjahit. Dipilih calon kader yang punya sejarah menjadi penjahit. Bila ada pengungsi diluar calon kader terpilih tertarik akan itu, tetap diperbolehkan. Namun calon kader yang direkomendasikan oleh CTA menjadi prioritas.

Calon kader ini dimobilisasi di sebuah tempat untuk ditraining. “Tempat di camp tidak memungkinkan untuk pelatihan, apalagi melibatkan banyak kader yang akan menjadi agent of knowledge transfer,” ungkap Djunaedi. Agar tidak memunculkan ketergantungan, dalam training itu Plan Aceh tidak memberikan honor atau uang saku. Hanya ongkos transportasi sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Meski dengan cara yang ketat dan terseleksi, Plan Aceh mengaku masih melakukan kesalahan. Sekitar 30 persen calon kader yang dipilih, adalah calon kader yang salah. Kader yang sudah terpilih itu diberi “tugas” untuk mengumpulkan benefisiaris, berupa kader-kader selanjutnya. Atau sebutan untuk kader lain yang bisa mengambil keuntungan dari pelatihan. Kader lanjutan ini pun diberikan training serupa atau yang lebih advance.

Hasilnya tidak mengecewakan. Saat masuk tahun ketiga, ketika kader dan benefesiaris mulai terbentuk, Plan Aceh menawarkan bantuan modal kerja berbentuk peralatan. Yang memutuskan menjadi penjahit dibelikan mesin jahit. Yang memutuskan membuka usaha bengkel pun difasilitasi dengan peralatan perbengkelan. “Ada juga ibu-ibu yang memutuskan untuk membuat batu bata, ketika itu ada order yang jelas kebutuhan batu bata dari Mercy Corp yang akan akan membuat rumah. Mulai batako, dan coneblock, dll, itu yang kita fasilitasi,” kata Djuneidi.

Tahun kedua Plan Aceh pun “dipaksa” mengubah strategi pada bidang kesehatan (Domain Health). Banyak NGO yang turun dalam program ini, membuat sesak aktivitas di lokasi korban tsunami. Dalam kasus program makanan tambahan (PMT) misalnya. Sampai ada 11 organisasi yang turun tangan. Bahkan, seorang anak pengungsi tsunami bisa ditimbang sampai 11 kali. Padahal, untuk kebutuhan data anak sudah tercatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yang dimiliki tiap-tiap anak. Plan Aceh bergeser dengan mempersiapkan kader Posyandu. Kader-kader inilah yang nantinya bisa membagi pengetahuan mereka pada ibu-ibu lain.

“Mulai muncul pola training, transfer pengetahuan tentang anak sehat, ASI dll. Kita memilih pengungsi tsunami untuk ditraining,” kata Djunedi. Buah pun dipetik saat tahun ketiga tiba. PMT (progam makanan tambahan) yang awalnya bersandar pada NGO, tidak terlihat lagi. Kader sudah memanage sendiri kebuhannya. Mulai memasak makanan sendiri dengan menggunakan menu sehat yang didapatkan dari hasil home gardening.

Bidang pengajaran (Domain Learn) memiliki strategi serupa. Titik pijaknya adalah memilik kader yang paham konsep Asuhan Dini Tumbuh Kembang Anak (Adituka) pada tingkatan pre school. Kader ini yang akan memberikan pengetahun informal kepada ibu-ibu tentang bagaimana menstimulasi anak-anak melalui Adituka.

Ternyata, daya tahan kader dalam domain ini pun keras teruji. Terjadi seleksi alam, antara kader yang benar-benar ingin menjadi guru, dan kader yang hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Kader yang ingin tetap melanjutkan aktivitas sebagai pengajar, difasilitasi dengan pengembangan SDM sebagai Community Base Organsation (CBO). CBO adalah cikap bakal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan isu lokal plus membuka jaringan international.

Tahun ketiga ini, Plan Aceh mulai mengintervensi “cara” mendidik anak sekolah. Kerja bareng Plan Aceh dan Unicef, guru-guru diperkenalkan cara mendidik yang child friendly melalui training. Termasuk mengubah bentuk gedung sekolah yang dibuat seramah mungkin dengan anak. “Dari lantai yang tidak boleh licin, tangga yang sesuai ukuran anak-anak, sampai kursi dan mabel harus argonomis,” kaya Djuneidi. Pelaksanaan kurikulum versi pemerintah pun didorong untuk lebih membuka ruang pada kebebasan anak untuk berekspresi. Hubungan familier, antara anak dan guru pun coba dibangun melalui PAKEM (Pembelajaran Aktif Efektif, Kreatif dan menyenangkan).

Strategi yang sedikit berbeda dilakukan dalam Domain Habibat. Tahun kedua adalah tahun dimana Plan Aceh memulai study kelayakan pada sumber air bersih setempat. Di daerah pengungsian Desa Lamreh, Aceh Besar misalnya. Untuk mengatasi kebutuhan air bersih di sana, Plan Aceh menggali informasi yang didapatkan CTA tentang adanya sumber air bersih di bukit Desa Ladong, sekitar 8 Km dari Desa Lamreh. Ketika mendalami informasi itu, Plan menemukan fakta sanya saluran pipa milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Aceh Besar yang dulu menghubungkan sumber air Desa Ladong menuju ke Desa Lamreh.

Di tahun kedua itu, Plan Aceh menurunkan tenaga profesional untuk mengecek segala kebutuhan realisasi program. Mulai meneliti kualitas air, mengukur debit dan kondisi tanah. “Setelah diteliti, secara teknis profesional, air yang keluar dari bukit Ladong memenuhi kelayakan, maka Plan Aceh memropose proyek air Ladong-Lamreh (Domain Habitat),” kata Djuneidi. Dalam program ini dipikirkan bagaimana suply air sustainable. Sayang, dalam perkembangannya, program Ladong-Lamreh terbentur berbagai kendala horisontal yang membuat air tidak lagi mengalir ke Lamreh.

Untuk daerah di Leupeung, Peukan Bada dan Lhok Nga, Plan Aceh coba merealisasikan sumur gali dan sumur bor. Beberapa sumber yang terdeteksi, langsung dieksekusi (dibor). Saat itu diketahui, tidak semua sumber air yang dibor memiliki kualitas baik. Ada juga yang berair payau.

*Teks foto:
Anak-anak SD Negeri Ladong, Aceh Besar sedang bekerja bakti membersihkan lantai yang kotor terkena air hujan.