Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

19 November 2007

Mengaji Di Meunasah Yuk!

Sore hari, adalah waktu mengaji bagi anak-anak di Nanggroe Aceh Darussalam. Seperti Sri Wahyuna dan kawan-kawannya. Bocah asal Desa Ladong, Kabupaten Aceh Besar ini pun mengaji di meunasah desa. Foto diambil, Senin(19/11) ini.


Sri Wahyuna (tengah) bersiap untuk mengaji.


Menyucikan diri dengan air wudhu, sebelum memegang kitab suci.


Agar meunasah tetap suci, sandal harus ditaruh di luar.


Mulai mengaji deh! Yang sudah mahir, mengajari yang masih pemula.


Karena nggak ada tempat, Al Quran sering tidak tertata.


Sttt,..santri laki-laki juga ada lho!


Bye! Sampai jumpa di Nanggroe Aceh Darussalam,..


16 November 2007

Cerita Air di Bukit Ladong, Aceh Besar

Air dari sumber air Bukit Ladong menjadi sandaran hidup ribuan orang di delapan desa Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Sayang, berbagai persoalan membuat air jernih itu menjadi “keruh”.

Sekilas, tidak ada yang istimewa di perbukitan Ladong. Dataran tanah tinggi yang terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam itu pun mungkin tidak lebih menarik dari pantai yang berjajar, mulai Ujung Batee hingga Ujung Kerueng. Namun, di salah satu bukit itulah terdapat sumber air yang selama ini digunakan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.


Tidak sulit menemukan sumber air Bukit Ladong. Dari kota Banda Aceh, perjalanan ke bukit Ladong yang terletak di samping jalan raya itu bisa ditempuh melalui jalan darat sejauh 20-an KM. Sesampainya di Kantor Balai Desa Ladong, perjalanan dilanjutkan dengan bejalan kaki ke arah selatan. Menyusuri jalan setapak, menembus perkebunan kelapa dan semak belukar tempat nyamuk bersarang.


Bangunan persegi berwarna biru itu begitu kentara di sela-sela pepohonan yang tumbuh liar di wilayah itu. Di sekelilingnya dibatasi oleh pagar kawat berukuran 1 meter. “Inilah sumber air bukit Ladong yang selama ini menjadi sumber air warga Desa Ladong dan sekitarnya,” kata Ismail, warga Ladong yang dipercaya sebagai penjaga sumber air itu.


Suara gemuruh air menyambut kedatangan siapa saja yang mendekati sumber air bukit Ladong. Melalui pipa berdiameter 15 cm, air berdebit 800 liter/menit itu mengalir deras tiada henti ke tempat penampungan sementara. Ketika sudah penuh, air mengalir ke “rumah air” yang disebut in take, melalui pipa berdiameter 20 cm. In take terletak sejauh 10 meter di bagian bawah sumber air.


Air berhenti beberapa saat di in take, menunggu bangunan itu penuh air, dan kemudian mengalir menuju beberapa tempat yang terhubung dengan saluran pipa lain. Sebagian mengalir melalui pipa hingga ke Desa Lamreh yang berjarak hingga 8 KM, sebagian lain dimanfaatkan untuk irigasi pertanian warga sekitar. “Air yang keluar dari sumber ini begitu banyak, sampai ada yang meluber dan digunakan untuk pertanian atau mandi kerbau,” kata Ismail.

Tidak jelas benar, kapan sumber air ini pertama kali ditemukan. Sebagian besar warga mengetahui, sumber air bukit Ladong sudah ada ketika mereka mendiami kawasan ini. Sudah menjadi kebiasaan, warga Desa Ladong mengambil air di kaki bukit Ladong, dan membawanya ke rumah. Ironisnya, meski memiliki sumber air yang berlimpah, penyebaran air di Desa Ladong tidak merata. Dari empat dusun yang ada di Desa Ladong, air hanya bisa dinikmati oleh 1,5 dusun saja. Sementara 2,5 dusun lainnya harus berusaha keras dengan cara mengangsu atau membeli air. Dua dusun yang tidak beruntung itu, Dusun Indra Patra sampai Ujung Keureng. Di dua dusun itu, sumber ada yang ditemukan berair payau.

Ketika sumber air bukit Ladong itu dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Aceh Besar pada tahun 1980-an, keadaan menjadi sedikit berbeda. Geucik Desa Ladong Hasyim Ismail menceritakan, saat itu sebagian warga Ladong bisa menikmati air langsung dari rumah-rumah. Dengan adanya meteran, sistem pembayaran pun normal. Ketika itu, dibangun dua saluran pipa besi dari Bukit Ladong ke Lamreh, dan Bukit Ladong ke Desa Ruyung. Dua tempat di tepi pantai yang membutuhkan air.

Bahkan, ketika itu diatur pula sistem pembagian waktu pengaliran air. Pukul 07.00-12.00 WIB, air di desa Ladong mengalir ke Ruyung. Setelah itu, pada pukul 12.00-19.00WIB, air mengalir ke kawasan Desa Lamreh Krueng Raya. Ada petugas khusus yang menangani hal itu. “Air yang dikelola PDAM memakai meteran, saat itu tidak ada air yang dibuang dengan sembarangan,” kata Geucik Hasyim Ismail.

Namun, semua berubah ketika konflik GAM dan TNI pecah di Tanah Rencong. Masyarakat mulai terpengaruh. Perlahan-lahan terjadi pembangkangan mulai ada yang enggan membayar biaya PDAM. Bahkan ketika itu, terjadi banyak kebocoran pipa. Entah itu disengaja atau tidak. “Karena konflik meletus itulah, orang PDAM tidak sempat lagi kemari, dan warga pun enggan membayar, air semakin sulit didapat,” kata Geucik Hasyim Ismail.

Karena itulah, sepanjang konflik berjalan, sumber air di Bukit Ladong menjadi tidak terurus. Tidak ada perawatan dan banyak sudetan ilegal di sepanjang pipa. Meski begitu, sumber air bukit Ladong tetap menjadi sandaran warga setempat untuk kebutuhan air bersih. Dengan menggunakan jirigen, warga mendatangi beberapa sudetan pipa untuk mengambil air dan membawanya pulang. Sementara warga yang lain, memilih untuk membeli air seharga Rp.1000/jirigen.


Kondisi makin parak saat tsunami menghempas 26 Desember 2004 lalu. Air bersih di Desa Ladong, Desa Ruyung, Desa Paya Kameng, Desa Beurandeh, Desa Meunasah Kulam, Desa Meunasah Gede, Desa Meunasah Mon, Desa Ie Seu Um, dan Desa Lamreh didera persoalan air. Ribuan sumur di Kecamatan Masjid Raya pun rusak. Ada yang tertutup tanah yang ambrol karena gempa bumi yang mengiringi datangnya air, ada juga yang kotor karena bercampur dengan air laut yang masuk ke daratan.


Kawasan Krueng Raya atau sekitar Desa Lamreh menjadi kawasan yang paling parah. Sekitar 6808 jiwa terancam kekurangan sir bersih. Saat kondisi sulit itulah, sumber air bukit Ladong kembali menjadi harapan. Kondisi air tetap jernih, meskipun beberapa batu sempat menutupi mata air. “Meski sempat rusak, namun air masih mengalir dari sumber air itu,” Geucik Hasyim Ismail.


Bantuan pun mulai masuk ke Kecamatan Masjid Raya. Berbagai International dan Non-Governmental Organization (INGO/NGO) merealisasikan program bantuannya di daerah pantai utara Nanggroe Aceh Darussalam itu. Plan International Aceh atau Plan Aceh fokus pada pembangunan sistem instalasi air bersih yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber mata air di bukit di Desa Ladong. Organisasi yang dirikan pada 1937 oleh wartawan Inggris John Langdon-Davies dan pekerja sosial Eric Muggeridge ini memasukkan program sistem instalasi air bersih Ladong-Lamreh dalam domain program Habitat. Tandon besar berkapasitas 8000 liter dan dikenal sebagai hidran umum (HU) pun disebar di sepanjang dusun Desa Ladong hingga lokasi pengungsian korban tsunami di Desa Lamreh. Truk-truk berkapasitas sama pun hilir-mudik ke sana ke mari menyupai air bersih ke barak-barak pengungsi korban Tsunami yang sangat membutuhkannya.


Di samping itu, program penggalian dan pipanisasi sepanjang 8 Km pun disiapkan. Pada akhir tahun pertama keterlibatan Plan Aceh membantu korban tsunami Aceh, Plan Aceh berhasil membangun saluran air bersih di delapan desa dari Desa Ladong sampai Desa Lamreh. Untuk beberapa saat, warga korban yang terdampak tsunami di kawasan itu pun tidak khawatir dengan persoalan air bersih.


Sayang, “bulan madu” warga di delapan desa dari desa Ladong hingga desa Lamreh dengan air bersih tidak berjalan lama. Belum setahun berlalu, persoalan mulai muncul. Aksi penyodetan (tapping) pipa air ilegal mulai kembali terjadi. Air yang seharusnya mengalir sampei Krueng Raya pun mancet entah di mana. Beberapa orang mengambil air dari beberapa HU dan menjualnya untuk kepentingan pribadi. Hal ini menimbulkan sedikit persoalan karena ada sekelompok warga yang tidak setuju terhadap komersialisasi air untuk kepentingan pribadi. Hingga saat ini, air di bukit Ladong belum selesai bercerita.

*Teks foto:

1. Ismail, sang penjaga sumber air berdiri di depan sumber air Bukit Ladong, Aceh Besar.
2. Anak-anak Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar melintas di depan hidran umum di Desa Ladong, Jumat (16/11). Di belakang mereka terjadi aksi pengambilan air dengan menggunakan mobil tanki.



15 November 2007

Genangan di Banda Aceh


GENANGAN. Sistem drainase yang buruk di kota Banda Aceh, membuat kota itu gampang menyusakan genangan air, meski hujan hanya menggusur beberapa menit. Seperti yang terjadi, Kamis (16/11) ini di Simpang Tiga Lam Temen Banda Aceh.


13 November 2007

Kasus Korupsi Harus Menjadi Prioritas Polda Aceh

Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irjen. Pol. Rismawan memerintahkan seluruh Kapolres di NAD untuk memprioritaskan kasus korupsi yang ada di wilayah masing-masing. Hingga saat ini ada 14 kasus korupsi yang ditangani Polda NAD. Di antara 14 kasus itu belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan. Hal itu dikatakan Kapolda Rismawan, Selasa (13/11) ini di Banda Aceh.

"Ada 14 kasus korupsi yang sekarang ini sedang ditangani Polda NAD, sembilan kasus dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias dan lima kasus dari Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh," kata Kapolda Rismawan. Dari semua kasus itu, saat ini sedang dilakukan pemeriksaan intensif. Mulai mengumpulkan bukti hingga memanggil saksi-saksi. "Kasus yang sudah berlanjut seperti di Polwiltabes Banda Aceh dan Aceh Barat," kata Rismawan.

Sepanjang tahun 2007 ini, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Pusat menerima paling tidak 14 kasus korupsi di Provinsi NAD. Keempatbelas kasus itu berasal dari berbagai instansi, mulai setingkat pejabat provinsi, kabupaten hingga lembaga seperti BRR Aceh-Nias. Semuanya dinilai menggunakan dana negara dengan tidak semestinya.

Kapolda NAD mengatakan, nilai rupiah yang dikorupsi dalam masing-masing kasus beragam. Mulai Rp.500 juta hingga milyaran rupiah. "Tapi semua dilakukan oleh perseorangan, tidak mengatasnamakan lembaga tertentu," katanya. Meski tergolong besar, namun hingga saat ini Polda NAD belum menahan atau menentukan satu pun tersangka. "Hanya saksi-saksi, yang tidak menutup kemungkinan saksi-saksi itu akan berubah menjadi tersangka," jelas Rismawan.

Sebaliknya, kalau memang kasus-kasus yang dilaporkan itu tidak memiliki bukti kuat, bukan tidak mungkin kasus-kasus itu akan dihentikan. "Namun, untuk menghentikan, semua komponen akan diundang untuk melihat perkembangan terbaru tentang kasus ini, kalau memang sesuai ketentuan harus dihentikan, maka akan dihentikan," kata RIsmawan.

Hingga saat ini, Polda NAD tidak menemukan indikasi adanya saksi yang mempersulit penyelidikan atau bahkan menghilangkan barang bukti. "Tidak ada yang meninggalkan tempat (NAD), semuanya memberikan data yang kami minta, tIdak ada kesulitan," kata Rismawan. Meski demikian, dirinya tidak memiliki target waktu pengusutan kasus korupsi ini. "TIdak ada target waktu, ada banyak hal yang harus kita tangani, tapi sekali lagi korupsi yang lebih diutamakan. Paling tidak pada akhir tahun ini, sudah ada yang kita sampaikan siapa tersangka dari salah satu kasus itu," janji Rismawan.

Sementara itu Kasat Reskrim Polda Banda Aceh Ari Jauhari mengatakan, dari empat yang ditangani, tiga di antaranya sudah ditingkatkan ke tingkat penyidikan. "Tiga kasus itu oleh BRR, berupa Irigasi di tiga wilayah, dan satu kasus dari Gerak. Di Bireun dan Pidie ada 5 kasus," kata Ari Jauhari.

Untuk masing-masing kasus itu, setidaknya ada 5-17 orang dipanggil sebagai saksi untuk setiap kasus. Di Bireu dabn Pidie, ada 47 saksi yang diperiksa. "Semua masih memanggil saksi-saksi, kita bicara sesuai fakta yudiris. Khusus untuk BRR, hasil sementara kami, ada indikasi korupsi dilakukan para pelaksana di lapangan, dan tidak mengarah kepada Ketua BRR," kata Ari.


12 November 2007

Bantuan Untuk Korban Banjir Aceh

Bantuan Untuk Korban Banjir.
Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh mengumpulkan bantuan uang untuk korban banjir di beberapa kawasan di NAD. Bantuan itu akan mereka salurkan langsung kepada korban banjir yang saat ini sedang terlunta-lunta karena belum meratanya penanganan.