Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

16 Oktober 2007

Ritual Islam Kaffah ala Nahshabandiyah

Sebuah aliran Islam di Jombang, Jawa Timur bersikukuh menggunakan cara hitung kuno atau aboge, untuk menentukan awal pelaksanaan puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Hasilnya, Hari Raya Idul Fitri pun digelar lebih lambat dari perayaan yang dilakukan oleh mayoritas umat Muslim di Indonesia, Minggu (14/10) “Ini persoalan syariat (cara) yang kami yakini benar, dan kami siap mati untuk itu,” kata KH. Nasuha Anwar, pemimpin aliran Tarekat Nashabandiyah Khalidiyah Mujadadiyah al Aliyah pada The Jakarta Post.

Sekilas, tidak ada yang berbeda dengan Masjid Baitul Mutaqin di Dusun Kapas, Dukuh Klopo, Jombang, Jawa Timur. Namun, masjid yang dibangun tahun 1898 di ujung kota Jombang itu adalah pusat ajaran tarekat Nashabandiyah Khalidiyah Mujadadiyah al Aliyah. Sebuah aliran tarekat Islam yang memiliki pola peribadahan yang lebih menekankan pada sholat dan wirid. Penganut tarekat ini meyakini, cara yang dilakukannya mampu memperpendek jalan ke surga.

Tarekat yang akrab disebut Nashabandiyah Khalidiyah ini juga meyakini telah menggunakan cara-cara beribadah RasulullahMuhammad SAW dengan utuh. Cara-cara itu yang selama ini sudah mulai ditinggalkan oleh umat Islam kebanyakan dan menggantinya dengan pendekatan teknologi. Yang paling khas adalah penggunaan cara hitung kuno (aboge) untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri.

Selama ini umat Islam kebanyakan hanya menggunakan cara rukyatul hilal atau melihat bulan secara langsung (biasa dipakai Nahdlatul Ulama/NU)dan hisab atau menghitung secara matematis pergantian bulan (biasa dipakai Muhammadyah). “Tapi cara aboge ini lebih bisa menentukan dengan pas seperti yang diajarkan mursyid (panutan) kami Syech Abdullah Fakir,” kata Nasuha Anwar.

Selain itu, Nashabandiyah Khalidiyah juga memiliki ritual (amaliyah) yang dilakukan di tempat khusus atau Kholwat. Ritual yang biasanya dilakukan pada Bulan Jawa Selo (Jumadil Akhir) itu digelar di kholwat-kholwat yang terletak di samping masjid Baitul Mutaqin. Sembari melakukan puasa tiga hari berturut-turut dan menyepi. “Bentuk amaliyah, termasuk apa yang wirid yang dibaca kali satu ini hanya khusus diberitahukan kepada anggota Nashabandiyah Khalidiyah,” katanya.

Keunikan Nashabandiyah Khalidiyah pertama kali diperkenalkan oleh Syech Abdullah Fakir, menantu Syech Usman Ja’fani, salah satu pembawa Islam di Tanah Jawa. Syech Abdullah Fakir yang lulusan Mekkah itu mendapatkan ilmunya dari Jabal Kubais Mekkah. Ajaran itu kemudian diturunkan kepada Kyai Ja’far, yang diturunkan lagi ke Kyai Anwar, ayah dari Kyai Nasuha Anwar.

“Ajaran Kyai Anwar yang utama adalah Kholwat selama 40 hari di bulan Selo, yang intinya mengimani ketauhidan, tata krama dalam beribadah dan penghormatan kepada orang tua,” kaya Kyai Nasuha. Saat ini, kata kyai yang memiliki dua istri dan enam anak itu, jumlah anggota Nashabandiyah Khalidiyah mencapai 3000-an orang yang tersebar di Jawa dan Sumatera. Namun, seluruh kegiatan dipusatkan di Masjid Baitul Mutaqin yang terletak di tanah wakaf seluas 800 meter persegi itu. Di tanah wakaf itu terbaring jasad Syach Abdullah Fakir dan keturunnannya.

Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Kebontemu Jombang, Salikun, mengatakan, meski Nashabandiyah Khalidiyah memiliki perbedaan dengan syariat yang dipercaya mayoritas NU, namun hal itu tidak membuat Nashabandiyah Khalidiyah dimusuhi. “Masyakat NU di Jombang tidak merasa terganggu dengan keberadaan Nashabandiyah Khalidiyah, kami tetap hidup berdampingan dengan damai,” kata Salikun.

Selama ini, kata Salikun, bila ada warga Dusun Kapas yang tidak setuju dengan Nashabandiyah Khalidiyah, mereka biasanya memilih untuk beribadah di masjid lain yang tidak menganut aliran Nashabandiyah Khalidiyah. “Kita sama-sama Islam, meskipun nasab (silsilah keturunan) dan syariat (cara) yang kami anut berbeda,” katanya. Islam sebagai agama Rahmatanlil ’Alamin terealisasi di kawasan ini.

14 Oktober 2007

Yang Tetap Berpeluh Saat Bedug Bergemuruh

Seperti malam-malam sebelumnya. Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSU Dr. Soetomo Surabaya Sabtu (13/10) dini hari lalu diwarnai lalu lalang keluarga pasien, bersanding dengan deru ambulan dan mobil pribadi pengangkut pasien yang butuh pertolongan secepatnya. Hanya saja, malam itu sedikit berbeda. Gema takbir terdengar di mana-mana. "Inginnya sih pulang kampung dan bertakbir di rumah, tapi bagaimana lagi,.." kata M. Sukri, petugas ambulance RSU yang bertugas malam itu.

Datangnya Hari Raya Idul Fitri yang ditandai dengan takbir yang membahana pada malam hingga menjelang sholat Idul Fitri memang tidak selalu berarti liburan. Karena di malam itu, masih ada orang-orang yang dengan gigih bekerja untuk masyarakat. Tanpa mereka, bisa jadi suasana Idul Fitri akan berjelan “terseok”. Sebut saja petugas rumah sakit, polisi, petugas pemadam kebakaran (PMK), oporator telepon, pegawai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) hingga wartawan.

Kesadaran itu juga yang dimiliki petugas ambulance RSU Dr. Soetomo M. Sukri. Bersama dua tim ambulance lain, laki-laki 27 tahun ini tetap bertugas ketika gema takbir terdengar. “Saya mendapat jatah jaga saat Idul Fitri, gimana lagi, sudah resiko,” kata M. Sukri sambil mempersiapkan peralatan ambulance yang malam itu siaga di depan IRD RSU Dr. Soetomo. Sukri tidak menampik. Dirinya pun sangat ingin seperti kebanyakan umat muslim yang yang merayakan Idul Fitri bersama keluarga. “Tapi tetap saja ada waktu bersilaturahmi meskipun lewat telepon,” katanya.

Selain petugas rumah sakit, polisi juga sebuah profesi yang tetap bekerja ketika Idul Fitri tiba. Salah satunya Brigadir Hariyadi, petugas Polsek Gayungan Surabaya. Sabtu malam lalu, Hariyadi dan empat petugas lain berjaga Pos Operasi Ketupat 2007 di ujung Jl. Ahmad Yani Surabaya. Pos tempat Brigadir Hariyadi berjaga tergolong ujung tombak pengamanan. Karena jalur ini adalah pintu gerbang menuju kota Surabaya dari arah Kabupaten Mojokerto maupun Kabupaten Sidoarjo.

Petugas polisi asal Kabupaten Ngawi, Jawa Timur ini mengaku, tidak ada dalam kamus pekerjaannya untuk membedakan hari istimewa, seperti Hari Raya Idul Fitri misalnya. “Tidak peduli apapun harinya, ketika kebagian waktu bertugas, harus dilaksanakan,” kata Brigadir Hariyadi. Meskipun dirinya mengakui sangat ingin pulang ke Ngawi untuk merayakan Idul Fitri bersama kedua orang tua dan keempat saudaranya. “Kita jarang bertemu, hanya bila Idul Fitri saja, tapi sudahlah,..” katanya.

Polisi yang bertugas saat Lebaran dibagi menjadi sua shift, siang dan malam. Mulai pukul 07.00-19.00 dan 19.00-07.00 WIB. Tugas yang dibebankan kepada mereka pun tergolong berat. Mulai mencatat kegiatan harian yang mereka lakukan, juga terus berwaspada terhadap gangguan keamanan yang mungkin terjadi. Termasuk bila ada ancaman bom atau menemukan barang yang dicurigai sebagai bom. Semua tertuang dalam Konsignes Operasi Ketupat 2007 yang dipasang besar-besar di tiap pos jaga.

Beruntung, M.Sukri dan Brigadir Hariyadi dikaruniai keluarga yang memahami penuh kegiatan mereka. Brigadir Hariyadi misalnya, jauh-jauh hari sudah meyakinkan istri dan dua anaknya yang masih balita untuk mengetahui dengan pasti apa dan bagaimana pekerjaan dirinya. “Jadi tidak ada protes-protes dari keluarga, mereka tetap tenang menunggu saya selesai meskipun tetangga dan kerabat sudah berlebaran,” katanya.

13 Oktober 2007

Idul Fitri di Tanggul Lumpur

Sekitar 500 korban semburan lumpur Lapindo Brantas Inc dari Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur menggelar sholat Idul Fitri di atas tanggul lumpur Desa Jatirejo dan pengungsian di Pasar Baru Porong, Sabtu (13/10) ini. Para jamaah sholat Id tidak mampu menahan tangis, mengingat nasib yang mereka rasakan selama dua tahun ini menjadi korban semburan lumpur dengan masa depan yang terkatung-katung.

Persiapan pelaksanaan sholat Idul Fitri korban lumpur Lapindo mulai dilakukan sejak pukul 05.00 WIB. Panitia pelaksanaan sholat yang mayoritas adalah warga Desa Jatirejo menggelar terpal dan koran bekas plus sound system sederhana di atas tanggul tanah yang biasanya digunakan sebagai jalur truk itu. Sembari menunggu kedatangan jemaah Sholat Id, warga mengumandangkan takbir Allahuakbar sebagai tanda Sholat Id akan segera dilaksanakan.

Seiring suara takbir, korban lumpur yang sebagian besar sudah pindah di rumah kontrakan di sekitar Kecamatan Porong itu pun mulai berdatangan. Kebanyakan berjalan kaki, dan sebagian lain datang dengan menggunakan sepeda motor, melalui tanggul di gerbang Desa Siring dan Desa Jatirejo yang terletak di sebelah timur pusat semburan Lumpur Lapindo. Usai sholat Id, dilanjutkan dengan ceramah yang diberikan oleh pemuka agama setempat.


Tangis para jamaah Sholat Id mulai mengalir ketika ceramah mengingatkan kembali perlunya kesabaran untuk menghadapi cobaan sebagai korban lumpur Lapindo. Terutama ketika diingatkan kembali masih belum jelasnya ganti rugi yang diterima korban lumpur. "Kita doakan kepada Perusahaan Lapindo dan Minarak agar terbuka hatinya dan segera memberikan ganti rugi kepada para kita pada korban lumpur," kata Khotib Sholat Id itu.

Pelaksanaan sholat Id ditutup dengan prosesi silaturahmi dan saling bermaafan antara jemaah. Saat itulah isak tangis tak lagi dibendung. Sarofah,44, yang datang bersama anaknya mengatakan dirinya kembali teringat apa yang sudah mereka rasakan. "Saya ingat bagaimana dulu, ketika belum ada lumpur, kami selalu menjadikan Idul FItri sebagai saat kumpul keluarga, sekarang tidak ada lagi," katanya.

Wiwin,37, yang Sabtu kemarin datang dengan dua anak balitanya mengungkapkan, sebagian warga lumpur selalu terenyuh ketika melintas di tanggul. Apalagi ketika Idul Fitri dan berkumpul dengan keluarga dan tetangga yang dulu hidup berdampingan di Desa Jatirejo. "Sekarang, kita berpencar entah kemana, dengan nasib yang masih tidak jelas," kata Wiwin yang kini tinggal di kawasan Siwo, Porong ini.

Di lokasi pengungsian Pasar Baru Porong, sejumlah 700 keluarga korban lumpur dari Desa Renokenongo yang menuntut pembayaran lebih banyak dan masih bertahan di pengungsian Pasar Baru Porong, melakukan Sholat Id pengungsian Pasar Porong. Mereka ingin menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa meskipun tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dan Lapindo karena dianggap "membangkang", namun mereka tetap bisa beribadah.

Bahkan, pengungsi di Pasar Porong juga melakukan kewajiban membayar Zakat Fitrah dan Zakat Maal dari dan untuk pengungsi. Zakat berupa beras 2,5 kg/keluarga dan uang sejumlah Rp.80 ribu itu dibagikan menjelang pelaksanaan Sholat Id.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tidak memberikan uang sejumlah Rp.500 ribu hak pengungsi dari bantuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejumlah Rp.10 M. Alasannya, korban lumpur yang bertagan di pengungsian Pasar Baru Porong menuntut ganti rugi yang lebih besar dari yang ditawarkan Pemerintah.

Sementara itu Polda Jawa Timur mencatat, hingga hari ini, terjadi 174 kecelakaan dengan 67 Korban Meninggal. Korban luka-luka mencapai angka 200 orang.




04 Oktober 2007

Berharap Tersiram Cahaya 1000 Bulan


Raut muka Bagus Wiwanto tampak kuyu. Dua hari lalu, laki-laki berusia 35 tahun itu tiba di Masjid Ampel Surabaya dari kota asalnya Balikpapan, Kalimantan Timur. Alasan kedatangan pengusaha kargo ke masjid yang didirikan oleh Sunan Ampel, salah satu penyebar Islam di Jawa ini tergolong “sederhana”. “Saya tiba-tiba terpanggil untuk datang dan beribadah di masjid ini, termasuk di sepertiga malam terakhir Bulan Ramadhan,” katanya.

“Panggilan” yang dirasakan Bagus mungkin juga dirasakan ribuan orang yang setiap malam di Bulan Ramadhan menyemut di tempat-tempat yang mujarabah, sebutan untuk tempat-tempat khusus yang dipercaya mampu membuat doa terkabul. Seperti di Masjid Ampel Surabaya. Terutama ketika tiba sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan. Lebih khusus lagi pada malam ganjil, seperti malam 21, 23, 25, 27 dan 29.

Di malam yang “misterius”, karena hanya diketahui oleh Allah itu, dipercaya sebagai malam Lailatul Qodar atau malam yang sama nilainya dengan 1000 bulan. Umat Islam percaya, ketika mereka beribadah di malam itu, maka pahala yang didapatkannya akan sama dengan ibadah yang dilakukan selama 1000 bulan tanpa berhenti. “Di malam-malam itu, tempat yang mujarabah seperti Masjid Ampel selalu dipadati oleh umat yang beribadah,” kata H.M Amin Fatchur, pengurus Masjid Ampel Surabaya pada The Jakarta Post.

Di Indonesia, Masjid Ampel dipercaya sebagai tempat yang paling “tua”. Karena Sunan Ampel atau Raden Ahmad Rachmatulloh adalah salah satu pioner Sembilan Wali penyebar Islam di Tanah Jawa. Sunan Ampel diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa, Kamboja. Konon, Sunan Ampel adalah keturunan dari Ibrahim Asmarakandi atau Maulana Malik Ibrahim. Salah satu Raja Champa yang yang kemudian menetap di Gresik, Jawa Timur.

Ketika berusia 20 tahun, Raden Rachmat memutuskan untuk pindah ke Tanah Jawa. Tepatnya di Surabaya, yang ketika itu merupakan daerah kekuasaan Majapahit di bawah Raja Brawijaya. Oleh raja yang dipercaya sudah beragama Islam ketika berusia lanjut itu, Raden Rachmat dipinjami tanah seluas 12 hektar di daerah Ampel Dento atau Surabaya, untuk syiar agama. Karena tempatnya itulah, Raden Rachmat kemudian akrab dipanggil Sunan Ampel. Pada tahun 1421, Sunan Ampel membangun sebuah masjid Ampel dengan berarsitektur perpaduan Jawa kuno dan Arab.

Berbagai legenda terjadi di masjid ini. Legenda yang konon merupakan sebuah kebenaran itu salah satunya adalah hadirnya sembilan makam milik salah satu santri Sunan Ampel yang bernama Mbah Sholeh. Sembilan makam yang semuanya milik Mbah Sholeh itu hadir konon karena Sunan Ampel masih memerlukan “teman” dalam membangun masjid. Saat Mbah Sholeh meninggal, Sunan Ampel berdoa agar Mbah Sholeh kembali diizinkan untuk membantunya. “Allah mengizinkan Mbah Sholeh hidup kembali hingga sembilan kali, sampai akhirnya meninggal dunia,” kata H.M Amin Fatchur, pengurus Masjid Ampel Surabaya.

Juga terdapat sosok Mbah Bolong, yang konon mampu menunjukkan dengan pasti arah kiblat masjid Ampel yang pas mengarah ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Saudi Arabia. Caranya cukup unik, yaitu dengan melubangi (mbolongi-Bahasa Jawa) bagian imaman masjid.

Yang terakhir adalah adanya tujuh sumur yang digali sendiri oleh Sunan Ampel. Airnya dipercaya memiliki khasiat menyembuhkan berbagai menyakit. Karena berbagai peninggalan Sunan Ampel di Masjid Ampel iitu, sisi “keajaiban” masjid yang terletak di Jl. KH. Mas Mansyur Surabaya Utara ini menjadi semakin besar. “Lihat saja, hampir di setiap jengkal areal masjid Ampel dipenuhi oleh orang-orang yang berdoa,” kata H.M Amin Fatchur.

Benar juga. Dalam pengamatan The Jakarta Post, Masjid Ampel tidak pernah sepi pengunjung. Selain melaksanakan sholat wajib lima waktu, pengunjung biasanya memilih untuk Sholat Tarawih berjamaah. Usai bertarawih, biasanya dilanjutkan dengan ritual membaca ayat Al-Quran, hingga pagi menjelang. Jamaah yang tidak kuat menahan kantuk, biasanya memilih untuk tidur-tiduran di beranda masjid. Sekalian menunggu datangnya waktu sholat sunnah Tahajud sekitar pukul 02.00 WIB dini hari.

Tidak hanya di dalam masjid, di areal pemakaman tempat Sunan Ampel dan santrinya dimakamkan pun dijadikan tempat untuk berdoa. H.M Amin Fatchur, menyadari berdoa di makam masih memunculkan pro dan kontra. Masih ada umat Islam yang berpikiran bahwa hal itu haram atau tidak boleh dilakukan karena syirik (menduakan Allah-red). “Padahal tidak demikian adanya, berdoa di makam itu bukan karena meminta kepada makam atau orang yang dimakamkan, melainkan justru mendoakan orang yang dimakamkan,” kata H.M Amin Fatchur.

H.M Amin Fatchur dan pengurus Masjid Ampel menyadari, kuatnya keinginan umat muslim untuk beribadah di Masjid Ampel, sekaligus mengharap bisa mendapatkan berkah malam Lailatul Qodar membuat masjid yang kini merupakan cagar budaya Kota Surabaya itu berbenah. Seperti menyiapkan tempat beristirahat, menata jalur masuk dan keluar masjid, hingga membersihkan areal makam. “Kami hanya menginginkan Umat Islam bisa lebih khusuk dalam beribadah di areal Masjid Ampel,” katanya. Kekhusukan beribadah yang diterangi cahaya malam 1000 bulan.


30 September 2007

Berbekal Genjer-Genjer Lirik Negara Baru

Luka yang dirasakan selama bertahun-tahun hidup sebagai anak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) memang sudah mengering. Namun, kehidupan yang tak kunjung berubah membuat Sinar Syamsi, anak pencipta lagu Genjer-Genjer Muhammad Arief, memilih pindah kewarganegaraan. “Saya ingin pindah ke Belanda atau China,” katanya.

................................

Lembaran di tiga buku catatan lagu itu tidak lagi utuh. Kertasnya lapuk dimakan usia. Meski masih bisa terbaca jelas, tulisan yang tergores di atas kertas itu pun mulai memudar. Di tiga buku itulah tertuang naskah asli lagu Genjer-genjer (Gendjer-Gendjer) milik sang penciptanya, Almarhum Muhammad Arief .

Lagu berjudul Genjer-genjer menjadi salah satu penggalan cerita yang mengiringi peristiwa Gerakan 30 September atau yang dikenal dengan sebutan G30S-Partai Komunis Indonesia. Konon, lagu yang menceritakan tentang tanaman genjer (limnocharis flava) itu dinyanyikan oleh anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)-PKI, saat menyiksa para petinggi TNI di Lubang Buaya.

Cerita mengerikan versi Orde Baru yang lambat laun mulai diragukan seiring tidak terbuktinya penyiksaan para jenderal itu, membuat image lagu Genjer-genjer ikut pula mengerikan. Apalagi, G30S diikuti rentetan penculikan dan pembunuhan di beberapa kantong PKI. Termasuk di Banyuwangi, tempat pencipta lagu Genjer-genjer Muhammad Arief tinggal.

Benarkah lagu Genjer-genjer identik dengan PKI? Pertanyaan lama yang selalu dibantah, namun tetap tidak menghapus stigma. Budayawan Banyuwangi Fatrah Abbal, 76, menceritakan, lagu Genjer-genjer diilhami oleh masakan sayur genjer yang disajikan Ny. Suyekti, Istri Muhammad Arief di tahun 1943.

“M.Arief heran, tanaman yang awalnya dikenal sebagai makanan babi dan ayam itu ternyata enak juga dimakan manusia, akhirnya ia mengarang lagu Genjer-genjer,” katanya. Begitu terkenalnya lagu yang nadanya mirip dengan lagu rakyat berjudul Tong Ala Gentong Ali Ali Moto Ijo itu hingga Seniman Bing Slamet dan Lilis Suryani pun menyanyikannya.

Kedekatan lagu itu dengan PKI tidak bisa dilepaskan dengan kondisi politik di tahun 1965. Masa di mana politik Indonesia membuka ruang bagi ideologi apapun itu membuahkan persaingan antar partai politik. Termasuk persaingan dalam hal berkesenian.

Seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Lembaga Kesenian Nasional (LKN), Partai Nahdlatul Ulama (NU) dengan Lesbumi, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) serta Masyumi dengan Himpunan Seni dan Budaya Islam (HSBI). “Lekra menggandeng seniman Banyuwangi, termasuk Muhammad Arief,” kata Fatrah yang dulu aktif di HSBI ini.

Sejak digandeng Lekra, seni Banyuwangi-an semakin dikenal. Banyak lagu-lagu Banyuwangi yang sering dinyanyikan di acara PKI dan underbownya. Termasuk lagu Genjer-genjer yang diciptakan di tahun 1943, lagu Nandur Jagung dan lagu Sekolah.

Muhammad Arief sebagai seniman pun ditawari bergabung dengan Lekra dan ditempatkan sebagai anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi. Seniman yang dulu bernama Syamsul Muarif itu juga diminta mengarang lagu yang senapas degan ideologi PKI. Seperti lagu berjudul Ganefo, 1 Mei, Harian Rakyat, Mars Lekra dan Proklamasi.

“Kalau kita resapi, lagu Genjer-genjer memang tidak memiliki makna apa-apa, hanya bercerita tentang tanaman genjer yang dulu dianggap sampah kemudian mulai digemari,” kata Fatrah. “Genjer-genjer, nong kedok’an pating keleler, emak’e tole, teko-teko, mbubuti genjer, oleh sak tenong, mungkor sedot, seng tole-tole, genjer-genjer, saiki wis digowo muleh,” Fatrah menyanyikan bait lagu Genjer-genjer.

Entah, siapa yang memulai, pasca G30S, syair lagu Genjer-genjer pun dipelesetkan dengan syair yang menceritakan aksi penyiksaan para jenderal korban G30S. “Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler, Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral, Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh, Jendral Jendral saiki wes dicekeli,” Begitu bunyi gubahan lagu itu. “Gubahan itu sebenarnya tidak ada!” kata Fatrah.

Sinar Syamsi (53) anak semata mayang Muhammad Arief dan Suyekti menceritakan, tidak lama setelah peristiwa G30S meletus di Jakarta, terjadi demonstrasi besar di Alun-Alun Kota Banyuwangi. Demonstrasi itu menuntut agar para anggota PKI ditangkap. Muhammad Arief adalah salah satu target kemarahan massa. Di tahun itu mantan anggota TNI berpangkat Sersan itu adalah anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi dari PKI. Sekaligus aktivis lembaga kebudayaan di bawah PKI, Lembaga Kesenian Rakyat atau Lekra.

“Orang-orang menyerbu ke rumah saya di Kawasan Tumenggungan Kota Banyuwangi, mereka membakar rumah dan seisinya,” kenang Syamsi yang ketika peristiwa itu terjadi sudah berumur 11 tahun. Muhammad Arief melarikan diri bersama anggota Lekra/PKI yang lain. Hingga akhirnya tertangkap dan markas CPM Malang. “Setelah itu nasib bapak tidak mendengar lagi hingga sekarang,” kenang Sinar Syamsi.

Meski begitu, Syamsi tetap menganggap Muhammad Arief sebagai pahlawan keluarga. Naskah asli lagu yang hingga kini masih “tabu” untuk dinyanyikan itu pun disimpan. “Bagi saya, buku-buku catatan ini adalah sejarah keluarga yang harus dijaga, agar anak cucu saya kelak bisa mengetahui dengan pasti apa yang terjadi,” kata Sinar Syamsi.

Sinar Syamsi menyadari, sejarah keluarganya hitam kelam akibat peristiwa itu. Ibunda Sinar Syamsi, Suyekti sempat stress karena stigma keluarga PKI. “Politik telah membuat keluarga saya harus mengalami peristiwa yang mengerikan selama bertahun-tahun, hingga ibu saya meninggal dunia 26 Januari 2007 lalu,” kenang Syamsi.

Dengan alasan itu jugalah, laki-laki yang sempat di-PHK beberapa kali dengan alasan tidak jelas ini pun mulai berpikir untuk pindah kewarganegaraan. Belanda dan China adalah dua negara yang diliriknya. “Dengan membawa naskah asli ini, saya ingin pindah ke Belanda dan China. Siapa tahu di sana posisi saya sebagai anak pencipta lagu Genjer-Genjer lebih dihargai,” katanya.

Keterangan foto:
1. Gambaran sosok Muhammad Arief, mengarang lagu Genjer-Genjer.
2. Naskah asli lagu Genjer-Genjer di catatan lagu Muhammad Arief.
3. Sinar Syamsi, anak tunggal Muhammad Arief.