Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

18 September 2007

Keberagaman Di Masjid Cheng Hoo

Potret keberagaman begitu kental di Masjid Cheng Hoo Surabaya. Bila waktu berbuka puasa tiba, di masjid yang memiliki desain bangunan seperti tempat peribadatan umat Konghucu itu berkumpul ratusan orang dari berbagai suku dan ras. Selain mendapatkan ta’jil (makanan pembuka), dan nasi bungkus serta minuman pelepas dahaga, ratusan orang itu melaksanakan sholat Maghrib, Isya’ dan Tarawih secara berjamaah. “Tidak ada lagi perbedaan pribumi dan non pribumi di sini,” kata Oei Tjing Yen, pengurus Masjid Cheng Hoo.

Suasana seperti itu mulai terasa ketika matahari sudah mulai condong ke ufuk barat. Beberapa orang anggota organisasi muslim warga Tionghoa atau PITI (Persaudaraan Iman Tauhid Indonesia-RED) dibantu warga sekitar masjid mulai mempersiapkan kebutuhan buka puasa bersama. Ratusan gelas berisi minuman dingin, ditata bersebelahan dengan kue dan buah kurma. Di ujung meja panjang itu, disiapkan empat termos berisi minuman hangat. Seiring dengan persiapan makanan buka puasa, sebagian anggota PITI yang lain menggelar tikar. Di atas tikar yang digelar di lapangan basket di depan masjid Cheng Hoo itulah, umat muslim yang berbuka menikmati makanan yang dibagikan.

Semakin dekat dengan waktu Maghrib, jamaah mulai berdatangan. Dengan menggunakan mobil, sepeda motor atau berjalan kaki, ratusan orang memasuki areal masjid seluas 3 hektar itu. Ada yang langsung mengambil air wudlu dan membaca Al Quran, ada pula yang memilih menunggu Adzan Maghrib sambil duduk-duduk di serambi masjid. “Silahkan mengambil ta’jil yang sudah disediakan, waktu Maghrib segera tiba,” kata salah satu panitia buka puasa melalui pengeras suara. Dengan rapi, ratusan orang itu pun berbaris dan mengambil ta’jil seiring gema adzan dan bedug mahgrib tanda berakhirnya puasa.

Masjid Cheng Hoo mulai resmi digunakan pada 13 Oktober 2003. Dengan biaya pembangunan Rp. 3,3 miliar, masjid yang diberi nama seorang laksamana asal negeri Tirai Bambu itu dibangun sangat unik dengan meniru desain bangunan Masjid Niu Jie di Beijing China. Selain namanya yang tercatat sebagai masjid yang pertama kali mengunakan nama Muslim Tionghoa, Masjid Cheng Hoo juga memiliki nilai filosofi yang memadukan filosifi Islam dan Tionghoa. Bangunan sepanjang 11 meter misalnya, sama dengan panjang Ka’bah ketika pertama kali dibuat. Sementara lebar bangunan sepanjang 9 meter disamakan dengan jumlah wali penyebar agama Islam di tanah Jawa.

Sementara pada bagian atas bangunan utama yang memilki segi delapan. Angka delapan, dalam bahasa Tionghoa disebut Fat atau jaya dan beruntung. Segi delapan itu juga yang merupakan lambang bentuk sarang laba-laba. Dalam kepercayaan Islam, sarang laba-laba pernah menyelamatkan Nabi Muhammad SAW ketia dikejar-kejar oleh kaum Quraish untuk dibunuh. Uniknya, tempat Imam Sholat dibentuk seperti pintu gereja. Yang berarti umat Islam mengakui Nabi Isa A.S yang menerima kitab Injil untuk Nasrani.

Pada sisi kanan masjid terdapat relief Laksamana Cheng Hoo bersama armada kapal yang digunakan mengarungi Samudera Hindia selama tujuh kali. Gambaran ini seakan sebuah seruan kepada warga Tionghoa untuk tidak sombong dengan umat lain, seperti Cheng Hoo yang bersedia bersahabat dengan siapapun di muka bumi. Hal itu juga yang menjadi semangat dibaginya makanan gratis saat berbuka setiap Ramadhan tiba. “Ini seperti amanah dari pendahulu kita, harus kita laksanakan,” kata Oei Tjing Yen, pengurus Masjid Cheng Hoo.

Untuk itu, disediakan dana rata-rata sebesar Rp.2.250 juta/hari yang diambilkan dari uang sumbangan jamaah muslim Tionghoa dan donatur lain dari berbagai latar belakang agama. Dana itu digunakan untuk membeli makan nasi bungkus, kue dan minuman berbua sebanyak 350/biji/hari. “Semakin banyak yang memberikan sumbangan, semakin banyak pula makanan yang disediakan,” kata laki-laki yang dikenal dengan nama Pak Yen ini.

Bagi masyarakat, budaya berbuka puasa bersama di masjid Cheng Hoo, bisa berarti pula sebagai sarana pembelajaran keberagaman. Annisa Mahsuna misalnya. Perempuan berusia 38 tahun ini menjadikan buka bersama di masjid Cheng Hoo sebagai tradisi keluarganya. “Saya selalu membawa keluarga saya ke Masjid Cheng Hoo untuk berbuka puasa dengan masyarakat banyak,” kata ibu tiga anak ini di sela-sela menyantap nasi bungkus menu berbuka sore itu. Annisa yang warga Sidoarjo ini membayangkan, hal itu akan bisa membuat ketiga anaknya memahami apa arti perbedaan. “Yang berbuka di sini berasal dari banyak berbagai kelompok masyarakat, saat itulah anak saya akan belajar makna keberagaman,” kata Annisa.

16 September 2007

Masihkah harus berpuasa?

Jujur saja, masih banyak di antara kita yang terpaksa “membunuh” keberanian untuk mengakui betapa berat sebuah peribadatan bernama puasa. Juga, tidak banyak yang mengatakan dengan terbuka bahwa kedatangan Ramadhan selalu dibarengi kegalauan. Terbayang di kepala beratnya proses menahan rasa lapar sepanjang siang, sambil terus mengerjakan aktivitas sehari-hari yang seakan tidak pernah bertoleransi.

Padahal, disadari atau tidak, Tuhan sebagai yang Maha Tahu pasti mengetahui, bahwa bagi manusia, puasa yang dalam Al Quran Surat Al Baqarah 183 ditetapkan sebagai kewajiban itu adalah peribadatan yang berat. Jadi, atas nama kejujuran, mungkin tulisan ini bisa mewakili perasaan jujur umat Muslim yang menilai puasa sebagai ritual yang berat. Jadi, masihkah harus berpuasa?

Inilah uniknya. Bila dimaknai sebagai ritual menahan lapar dan dahaga, puasa memang memberatkan. Namun, semua beban yang menggantung itu kemungkinan bisa sirna bila dilihat dari side effect yang kemungkinan bisa terjadi. Salah satunya adalah persoalan kesehatan. Memang ini sangat personal, apalagi derajat kesehatan bisa berbeda-beda. Plus, kesadaran atas kesehatan pun beragam.

Kalau hal kesehatan masih tidak cukup menjadi alasan, mungkin prespektif memunculkan solidaritas pada masyarakat miskin dengan “berpartisipasi” seperti mereka, bisa menjadi alasan. Dengan cara tidak makan dan minum, secara praktis bisa dilihat sebagai upaya untuk “menjadi” miskin. Dalam bahasa sederhana, apa yang kita rasakan saat berpuasa itu juga yang dirasakan oleh orang miskin.

Kalau itu belum cukup juga, mungkin puasa bisa dipandang sebagai langkah strategis berhemat. Bayangkan saja, berapa banyak uang makan siang, plus uang “jajan” lain, yang bisa kita simpan ketika kita bisa berpuasa di siang hari. Memang, usai berpuasa tidak lantas bisa membuat kita menjadi kaya raya, paling tidak ada “uang lebih” yang bisa kita manfaatkan untuk keperluan lain.

Kalau tiga hal itu memang belum cukup menjadi alasan berpuasa, mungkin alasan terakhir ini bisa diperhitungkan. “Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan sesungguhnya maka diampunilah dosa-dosanya (yang kecil) yang telah berlalu,” kata Abu Hurairah, menirukan ucapan Muhammad SAW. Sepertinya, alasan terakhir ini paling cocok untuk orang yang tidak lepas dari dosa,..seperti kita-kita,..hehe.

Jadi, masihkah harus berpuasa?

12 September 2007

Ziarah Korban Lumpur



ZIARAH KORBAN LUMPUR.
Sekitar 500 warga Renokenongo korban lumpur Lapindo yang kini menjadi pengungsi di Pasar Baru Porong menggelar ziarah kubur di pemakaman desa Renokoenongo, Rabu (12/9) sore ini. Karena desa dan pemakaman sudah terendam lumpur, ziarah kubur yang dilakukan menjelang Puasa di Bulan Ramadhan itu dilakukan di atas tanggul.

10 September 2007

Membuang Sesaji di Danau Kawah Gunung Kelud Kediri Jawa Timur


Danau Kawah Gunung Kelud.


Arak-arakan sebelum prosesi pembuangan sesaji.

Mendoakan sesaji.

Khusuk berdoa.

Prosesi pembuangan sesaji.

Berebut sesaji di danau kawah.

Penonton yang berjubel di tepian danau kawah Gunung Kelud.

07 September 2007

Untuk Munir, Untuk Semua

UNTUK MUNIR, UNTUK SEMUA
Demonstrasi penuntasan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, berlangsung di Surabaya, Jumat (7/9). Demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Komunitas Pembela HAM Jawa Timur itu menekankan masuknya kasus Munir dalam babak baru yang paling penting. Yakni, digelarnya sidang Peninjauan Kembali (PK) atas tersangka Pollycarpus dengan rekaman pembicaraan antara Pollycarpus dan Mantan Direktur Garuda Indra Setiawan sebagai bukti baru (novum).