
02 Agustus 2007
Tetesan Dana Australia Untuk Para Santri

Rabu siang Jl. Slamet Wardoyo Gang Mbah Fauzan tampak ramai. Jalan buntu menuju Pondok Pesantren Al Fauzan yang pada hari biasanya lengang, pada hari itu tampak ceria dengan spanduk dan umbul-umbul beraneka warna. Di pinggir jalan yang baru saja diratakan itu, puluhan anak-anak berjajar jalan sambil membawa bendera Indonesia berukuran kecil. Di sisi jalan yang lain, dengan berpakaian rapih, ratusan warga bergerombol. Di sela-sela masyarakat sipl itu, aparat keamanan berjaga-jaga. Hari inilah, Duta Besar Australia untuk Indonesia Bill Farmer hadir di Pondok Pesantren Al Fauzan untuk meresmikan bangunan baru.
Bagi masyarakat Lumajang, kedatanngan Bill Farmer ke kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pisang Tanduk ini adalah berita besar. Apalagi, kedatangan perwakilan Pemerintah Australia di Indonesia ini untuk meresmikan bangunan baru yang merupakan pemekaran pondok pesantren Al Fauzan. Sebuah pondok salafiyah (tradisional) di Lumajang. “I feel greatly honoured to be here at the opening of these 46 Masdrasah, including Al Fauzan,” kata Bill Farmer dalam sambutannya.
Duta Besar Australia Bill Farmer mengakui bahwa bantuan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Pemerintah Australia juga mengakui kemajemukan masyarakat Indonesia , yang memiliki karakter kemajemukan seperti halnya Australia . Jumlah masyarakat muslim di Australia pun tergolong cukup besar. “As your neighbour, we engange with Indonesia in all its rich diversity, including Moslem community,” kata Bill Farmer.
Ke 46 sekolah baru itu adalah sebagian dari realisasi bantuan program Pemerintah Australia pada Indonesia yang dikemas dalam The Australia-Indonesia Basic Education Program (AIBEP). Jumlah total dana yang diterima Pemerintah Indonesia dalam bentuk loan fund dan Gran fund itu senilai A$355 juta. Diperkirakan, pada tahun 2009, dana sebanyak itu akan mampu menghasilkan 2000 sekolah baru dan sekolah renovasi. Atau menampung sebanyak 330 ribu siswa sekolah menengah baru di Indonesia .
Sekolah Miskin
Pondok Pesantren Al Fauzan adalah satu dari penerima bantuan itu. KH. Agus Nurmajedi ketua Yayasan Pendidikan Islam dan Sosial Al Fauzan mengatakan, pihaknya menerima bantuan sebesar Rp.1,014 miliar. “Dana itu kami gunakan untuk membangun gedung Madrasah Tsanawiyah (MTs)yang selama ini belum kami punyai,” kata KH. Agus Nurmajedi pada The Jakarta Post. Rencananya, MTs Al Fauzan akan dijadikan satu atap dengan Pondok Pesantren Al Fauzan. “Sekaligus menjadi salah bentuk pendidikan formal bagi santri-santri Ponpes Al Fauzan,” katanya.
Pemilihan Ponpes Al Fauzan sebagai salah satu penerima bantuan AIBEP bukan tanpa alasan. KH. Agus Nurmajedi menyadari, kondisi fasilitas pendidikan yang serba terbatas di Labruk Lor Lumajang itulah membuat Yayasan Al Fauzan dianggap layak menerima bantuan. Kondisi itu juga yang membuat masyarakat Lambruk Lor, terutama pada lulusan sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI), tidak bisa melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Pertama (SMP)atau Madrasah Tsanawiyah (MTs), karena sekolah yang dimaksud tidak ada di kawasan itu. Sekolah terdekat, MTs Mubarok berjarak 5 KM dari Lambruk Lor. Sebuah jarak yang cukup jauh untuk daerah yang minim seperti Lumajang.
Secara kebetulan, sebuah tanah wakaf (tanah sumbangan) milik salah satu penduduk setempat pada Yayawan Al Fauzan, memiliki posisi geografis dan kontur tanah yang cocok untuk digunakan sebagai lokasi bangunan baru. “Pada Februari 2007 lalu pemmbangunan mulai dilakukan, dan seperti yang anda lihat sekarang, sudah hampir dibangun seluruh ruangan seperti yang direncanakan,” kata KH. Agus Nurmajedi. Mulai enam ruang kelas, ruang Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), laboratorium, resource center hingga toilet.
Hadirnya MTs dan Ponpes Al Fauzan adalah harapan bagi masyarakat Lambruk Lor, terutama yang hidup digaris kemiskinan. Sugiyanti adalah salah satunya. Merempuan 48 tahun yang tinggal tepat di depan MTs Al Fauzan ini adalah single parent dengan lima anak. Tiga diantaranya terpaksa tidak melanjutkan sekolah SMP karena tidak memiliki biaya. “Sejak suami saya pergi, tidak ada lagi biaya untuk anak saya, makanya saya tidak bisa menolak ketika mereka terpaksa berhenti sekolah,” kata Sugiyanti pada The Jakarta Post.
Untuk itu, MTs Al Fauzan adalah salah satu sandarannya untuk bisa meneruskan sekolah anak keempatnya, Siti Maimunah dan Fitri Nurjannah yang kini duduk di bangku Sekolah Sekolah (SD). “Saya tidak ingin Siti dan Fitri putus sekolah, saya akan berbuat semaksimal mungkin untuk membuat mereka tetap bisa sekolah,” kata perempuan yang sehari-harinya berjual snack ini dengan mata beerkaca-kaca.
Image Negatif
Namun meskipun tampak bergelimang dengan fasilitas, KH. Agus Nurmajedi menyadari, menerima dana dari Australia bukan tanpa resiko. Terutama resiko untuk mendapatkan cap buruk sebagai ponpes yang pro-Australia. Bahkan dikendalikan oleh barat. Namun, KH. Agus Nurmajedi menilai, bantuan ini sengaja diterima karena pihaknya melihat Pemerintah Australia tidak turut campur dalam urusan kurikulum. “Saya melihatnya seperti itu, kurikulum khas ponpes seperti pembacaan Kitab Kuning, Nahwu-Sorof (gramatikan bahasa Arab) dll, tetap kami pertahankan, ditambah dengan kurikulum pendidikan formal yang distandartkan secara nasional,” katanya.
KH. Agus mengatakan menceritakan, usai ditetapkan sebagai salah satu penerima bantuan dari Pemerintah Australia , dirinya sudah mensosialisasikan hal ini kepada masyarakat, termasuk kepada sesame pengasuh ponpes lain yang ada di Lumajang. Dalam sosialisasi di para pengasuh ponpes menyambut baik penerimaan bantuan itu oleh Al Fauzan. Bahkan, tahun 2007 ini akan ada 15 pondok pesantren di Lumajang yang memberikan proposal kepada Departemen Agama RI untuk mendapatkan bantuan yang sama.
Banyaknya kesempatan mendapatkan dana untuk para sekolah yang miskin faslilitas, tidak lantas memgesampingkan faktor ketertiban pelaporan keuangan. Sekjen Depag RI Mahrul Hayat menggaris bawahi perlunya kontroli yang tegas pada penggunaan dana itu. Karena alasan itu juga dalam realisasi pengucuran dana Pemerintah Australia kali ini, Depag menyiapkan lembaga konsultan yang bertugas mengontrol penggunaan dana.

30 Juli 2007
Pesta Seni Massal Digelar di Jawa Timur
Dua pesta seni berskala massal akan digelar di Jawa Timur pada bulan Agustus ini. Yaitu Gelar Budaya dan Festival Reyog Mini di Ponorogo dan Jember Fashion Carnaval di Jember. Uniknya, meski pun dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, keduanya memiliki kutub materi yang sangat berbeda, modern dan tradisional.
Acara pertama yang mengusung ketradisionalan kedaerahan adalah Gelar Budaya dan Festival Reyog Mini di Ponorogo. Acara yang akan dilaksanakan 180 KM dari Ibu Kota Jawa Timur Surabaya itu digelar dalam rangka Hari Ulang Tahun Kabupaten Ponorogo ke 511. Usia yang tidak muda untuk sebuah kota kecil yang terletak di ujung barat provinsi Jawa Timur ini.
Ketua Harian Panitia Hari Jadi 511 Kabupaten Ponorogo Tahun 2007 Gunardi menjelaskan, Gelar Budaya Ponorogo akan dilakukan pada 3 hingga 12 Agustus mendatang. “Dua acara penting karena menjadi icon kabupaten adalah Festival Reyog Mini dan Gelar Budaya,” katanya. Di dalamnya akan mengusung kemampuan anak-anak usia SD dan remaja SLTP dalam membawakan seni tradisional Reyog.
Ada 23 group Reyog dari kabupaten Ponorogo yang akan unjuk gigi dalam event itu. maupun daerah lain. Meski memiliki ornamen “wajib” yang sama dalam setiap grup Reyog, mulai Dadak Merak (topeng besar Harimau Berbadan Burung Merak), gamelan tradisonal dan tokoh Bujang Ganong-nya, namun kekhasan tarian dan atraksi yang dimiliki masing-masing group Reyog sungguh beragam. Disertai tontonan akrobatik yang membuat bulu kuduk berdiri.
Sedangkan Gelar Budaya atau berupa karnaval dan arak-arakan, akan yang diikuti oleh aneka kesenian tradisional yang juga asal Ponorogo. Kabupaten Ponorogo menyimpan banyak potensi kesenian tradisional yang beraneka macam. Seperti Gajah-gajahan, Kongkil, Odrot, Gumbeng, Keling, Jaranan Tek dan sebagainya. “Dalam Gelar Budaya itu, semua potensi akan dimunculkan,” jelas Gunardi.
Pesta seni lain yang juga tidak kalah menariknya adalah Jember Fashion Carnaval (JFC). Seperti namanya, JFC adalah sebuah event yang menyajikan desain-desain fashion alternatif karya asli warga Jember. Yang membuat khas acara yang sudah dilaksanakan selama enam tahun ini adalah cat walk raksasa, berupa jalan protokol kota sepanjang hampir 3,6 KM. Sebuah pertunjukan busana dengan catwalk terpanjang di dunia.
Jumlah penontonnya tidak tanggung-tanggung, mencapai jumlah 150 ribu pentonton dari sebagai usia. “Yah semacam Carnaval Rio De Jeneiro di Indonesia-lah,” kata Dynand Fariz, sang penggagas acara. Dynand menjelaskan, JFC kali ini mengusung tema besar Human, Animals, Plants, Water, dan imagination. Semuanya akan dibagi dalam delapan kelompok besar grup fashion dengan 450 orang peraga.
Kelompok Borneo akan membuka defile yang menyajikan eksotik alam liar Kalimantan. Tema ini sengaja dipilih karena pulau terbesar di Indonesia ini terancam punah oleh kerusakan. “JFC ingin mengingatkan kembali perlunya melindungi kayanya alam dan budaya Borneo yang mulai pulah,” kata Dynand Fariz.
Secara berurutan, tema Prison, Predator, Undercover, Amazon, Chinese Opera,
Anime hingga Recycle akan menyapa pengunjung JFC. Dalam tema terakhir, Recycle, para desainer akan menyajikan fashion yang dibuat khusus dari bahan daur ulang. Dalam tema ini, JFC seakan ingin berbicara pada dunia luas bahwa dampak negatif yang disebabkan oleh barang-barang yang tidak bisa didaur ulang akan mampu dikurangi efek buruknya dengan merecycle barang-barang itu. “Kalau kami tidak bisa membantu mencegah global warming dalam skala luas, mungkin kami bisa menumbuhkan kepedulian masyarakat melalui acara ini,” ungkap Dynand.
JFC memang bukan event yang biasa. Meski dilakukan disebuah kota kecil 200-KM dari Ibu Kota Jawa Timur, Surabaya, namun event ini sudah dikenal luas dan diundang ke acara bertaraf internasional seperti Kongres International di Bandung, Pawai Budaya di Istana Negara, Kuta Carnival, Bali Fashion Week dan Kutai Kartanegara Parade. “Yang paling membanggakan, kami juga diundang Jambore Pramuka International di Londong Inggris, 25-30 Juli lalu,” ungkap Dynand.
Acara pertama yang mengusung ketradisionalan kedaerahan adalah Gelar Budaya dan Festival Reyog Mini di Ponorogo. Acara yang akan dilaksanakan 180 KM dari Ibu Kota Jawa Timur Surabaya itu digelar dalam rangka Hari Ulang Tahun Kabupaten Ponorogo ke 511. Usia yang tidak muda untuk sebuah kota kecil yang terletak di ujung barat provinsi Jawa Timur ini.
Ketua Harian Panitia Hari Jadi 511 Kabupaten Ponorogo Tahun 2007 Gunardi menjelaskan, Gelar Budaya Ponorogo akan dilakukan pada 3 hingga 12 Agustus mendatang. “Dua acara penting karena menjadi icon kabupaten adalah Festival Reyog Mini dan Gelar Budaya,” katanya. Di dalamnya akan mengusung kemampuan anak-anak usia SD dan remaja SLTP dalam membawakan seni tradisional Reyog.
Ada 23 group Reyog dari kabupaten Ponorogo yang akan unjuk gigi dalam event itu. maupun daerah lain. Meski memiliki ornamen “wajib” yang sama dalam setiap grup Reyog, mulai Dadak Merak (topeng besar Harimau Berbadan Burung Merak), gamelan tradisonal dan tokoh Bujang Ganong-nya, namun kekhasan tarian dan atraksi yang dimiliki masing-masing group Reyog sungguh beragam. Disertai tontonan akrobatik yang membuat bulu kuduk berdiri.
Sedangkan Gelar Budaya atau berupa karnaval dan arak-arakan, akan yang diikuti oleh aneka kesenian tradisional yang juga asal Ponorogo. Kabupaten Ponorogo menyimpan banyak potensi kesenian tradisional yang beraneka macam. Seperti Gajah-gajahan, Kongkil, Odrot, Gumbeng, Keling, Jaranan Tek dan sebagainya. “Dalam Gelar Budaya itu, semua potensi akan dimunculkan,” jelas Gunardi.
Pesta seni lain yang juga tidak kalah menariknya adalah Jember Fashion Carnaval (JFC). Seperti namanya, JFC adalah sebuah event yang menyajikan desain-desain fashion alternatif karya asli warga Jember. Yang membuat khas acara yang sudah dilaksanakan selama enam tahun ini adalah cat walk raksasa, berupa jalan protokol kota sepanjang hampir 3,6 KM. Sebuah pertunjukan busana dengan catwalk terpanjang di dunia.
Jumlah penontonnya tidak tanggung-tanggung, mencapai jumlah 150 ribu pentonton dari sebagai usia. “Yah semacam Carnaval Rio De Jeneiro di Indonesia-lah,” kata Dynand Fariz, sang penggagas acara. Dynand menjelaskan, JFC kali ini mengusung tema besar Human, Animals, Plants, Water, dan imagination. Semuanya akan dibagi dalam delapan kelompok besar grup fashion dengan 450 orang peraga.
Kelompok Borneo akan membuka defile yang menyajikan eksotik alam liar Kalimantan. Tema ini sengaja dipilih karena pulau terbesar di Indonesia ini terancam punah oleh kerusakan. “JFC ingin mengingatkan kembali perlunya melindungi kayanya alam dan budaya Borneo yang mulai pulah,” kata Dynand Fariz.
Secara berurutan, tema Prison, Predator, Undercover, Amazon, Chinese Opera,
Anime hingga Recycle akan menyapa pengunjung JFC. Dalam tema terakhir, Recycle, para desainer akan menyajikan fashion yang dibuat khusus dari bahan daur ulang. Dalam tema ini, JFC seakan ingin berbicara pada dunia luas bahwa dampak negatif yang disebabkan oleh barang-barang yang tidak bisa didaur ulang akan mampu dikurangi efek buruknya dengan merecycle barang-barang itu. “Kalau kami tidak bisa membantu mencegah global warming dalam skala luas, mungkin kami bisa menumbuhkan kepedulian masyarakat melalui acara ini,” ungkap Dynand.
JFC memang bukan event yang biasa. Meski dilakukan disebuah kota kecil 200-KM dari Ibu Kota Jawa Timur, Surabaya, namun event ini sudah dikenal luas dan diundang ke acara bertaraf internasional seperti Kongres International di Bandung, Pawai Budaya di Istana Negara, Kuta Carnival, Bali Fashion Week dan Kutai Kartanegara Parade. “Yang paling membanggakan, kami juga diundang Jambore Pramuka International di Londong Inggris, 25-30 Juli lalu,” ungkap Dynand.

28 Juli 2007
"Saya Melihat Seseorang Menyiram Bensin dan Membakarnya,"

27 Juli 2007
Pasar Turi Terus Berkobar!

TERUS BERKOBAR.
Api yang membakar pusat grosir terbesar di Jawa Timur, Pasar Turi Surabaya sejak Kamis (26/7) hingga Jumat (27/7) ini masih belum berhasil dipadamkan. Api terus menjalar menuju ke kios-kios lain. Bahkan sampai menyeberang ke Pasar Turi lama yang dipisahkan oleh jalan selebar tujuh meter. Para pedagang yang kiosnya belum terbakar mengevakuasi barang-barangnya.
