Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

27 Juli 2007

Menyemai Kearifan Lingkungan Pada Tunas Muda

Menumbuhkan pepedulian pada lingkungan hidup memang bukan hal mudah. Meskipun hampir semua orang menilai kepedulian pada lingkungan adalah hal yang penting, namun hanya sedikit orang yang menjadikan hal itu sebagai prioritas dalam kehidupan sehar-hari. Karena alasan itulah Rumah Belajar Kearifan Lingkungan hadir di Blitar, Jawa Timur.

Rumah Kearifan Lingkungan adalah sebuah proyek prestisius yang digagas oleh Yayasan Yosef dan Pusat Pembedayaan Komunitas Perkotaan (Pusdakota) Universitas Surabaya. Tempat yang secara resmi dilaunching Senin (23/7) ini diharapkan menjadi salah satu sarana bagi siapapun, tidak peduli apa golongan, ras dan agamanya. Asalkan punya keinginan menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan hidup.

Embrio Rumah Kearifan Lingkungan mulai terbentuk pada tahun 2005 lalu. Ketika itu, Kesusteran Kapitel Provinsi Jawa Timur menelorkan pemikiran untuk membuat program yang berdasar pada lingkungan hidup. Namun, keterbatasan sumber daya manusia membuat program itu sempat tidak berlanjut. Beruntung, Pusdakota yang memiliki kepedulian yang sama menyambut ide itu. “Kami coba bicarakan hal itu dengan Pusdakota, dan ternyata pas, program pun dilaksanakan,” kata Ketua Yayasan Yosep, Suster Anastasia pada The Jakarta Post.

Pendalaman tindak lanjut program berbasis lingkungan pun dilakukan, hingga menemukan tempat yang pas untuk merealisasikannya. SD Katolik Santa Maria Blitar, Jawa Timur adalah jawabannya. Sekolah yang didirikan pada 1 Agustus 1927 itu dianggap paling cocok untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk pendidikan lingkungan. “Ada taman seluas 1,5 hektar yang bisa digunakan,” jelas suster asal Pulau Bali ini. Hampir selama dua tahun, Pusdakota merealisasikan konsep yang kemudian diberi nama Belajar Kearifan Lingkungan itu.

Di bawah rindangnya pepohonan di samping kiri SD Katolik Santa Maria itu pun dibangun berbagai sarana pembelajaran berbasis lingkungan. Mulai rumah pengomposan dan pengolahan sampah, lahan tanaman organik, peternakan sehat hingga fasilitas outbond. Taman sekolah yang awalnya tidak tertata pun didesain lebih modern. Beberapa pohon berukuran besar yang sudah terlalu tua dan membahayakan, dipotong. Diganti dengan taman rumput yang bersanding dengan lahan yang bisa digunakan sebagai praktek bercocok tanam.

PENDIDIKAN DASAR LINGKUNGAN

Hadirnya Rumah Belajar Kearifan Lingkungan adalah harapan baru bagi kota Balitar. Terutama harapan untuk menumbuhkan kepedulian warga kota pada psersoalan-persoalan lingkungan. “Selama ini saya menilai generasi tua di Blitar kurang memiliki kepedulian pada lingkungan, karena itu harapan satu-satunya adalah generasi muda,” kata Walikota Blitar, Djarot Saiful Hidayat pada The Jakarta Post.

Terutama dalam hal pengelolaan sampah. Djarot memperkirakan, bila program pengolahan sampah yang diperkenalkan Rumah Belajar Kearifan Lingkungan bisa dilaksanakan oleh warga Blitar, bukan tidak mungkin akan mengurangi hingga 50 persen sampah yang ada di kota ini. “Dan dalam jangka waktu yang panjang, hal itu akan terus bisa ditingkatkan, karena generasi muda yang kelak akan menjadi dewasa pun sudah memiliki kepedulian yang sama,” jelas Djarot.

Upaya memperkenalkan siswa sekolah pada lingkungan sebenarnya sudah ada dalam program 5K, Keindahan, Kerapihan, Kebersihan, Kepribadian dan Keamanan. Sayangnya, program yang selalu ada di tiap sekolah mulai SD hingga SMA ini hanya berhenti pada slogan-slogan tanpa realisasi. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada mainset yang terealisasi dalam sistem pendidikan.

Wakil Direktur Pusdakota, Nila Mardiana mengatakan, pihaknya sudah mencoba menawarkan program serupa di sekolah-sekolah negeri di Surabaya. Pada awalnya, progam disambut dengan baik, meski harus berakrobat dengan birokrasi sekolah yang bebelit. “Sayangnya, setelah program kami berakhir, pihak sekolah tidak ada keinginan mandiri untuk meneruskan program itu,” jelas Nila.

Karena itulah, mainset lembaga pendidikan adalah kunci utama untuk bisa memperkenalkan pendidikan berbasis lingkungan pada siswa. SD Santa Maria agaknya bisa dijadikan contoh untuk itu. Suster Elfrida, Kepala Sekolah SD Santa Maria menceritakan, sebelum ada Rumah Belajar Kearifan Lingkungan, sekolah ini sudah menerapkan pendidikan lingkungan, meskipun diakui hal itu belum dilakukan dengan sempurna.

“Sederhana saja, ketika ada pelajaran perkenalan tumbuhan, siswa kita ajak ke taman untuk bisa mengetahui dan mengenali bagaimana bentuk bunga, tanah dll,” katanya. Awalnya, tidak sedikit siswa yang menolak hal itu dengan alasan bermain dengan lingkungan adalah hal yang kotor. Namun lama-kelamaan, mereka pun tahu bahwa dari hal yang kotor itu bisa muncul “keajaiban”.

“Pernah saya melihat ada siswa yang diam-diam menanam biji kacang hijau di taman depan kelas, setiap hari biji itu disirami dengan air, hingga akhirnya tumbuh jadi tunas, meski sederhana, hal itu membanggakan,” katanya. Berawal dari kesederhanaan itulah, semoga akan tumbuh kearifan lingkungan pada tunas muda generasi bangsa.


26 Juli 2007

Pasar Turi Surabaya Terbakar


PASAR TURI TERBAKAR.
Setidaknya ada empat kios di pusat grosir terbesar di Surabaya, Pasar Turi Surabaya terbakar Kamis (27/7) pagi. Kebakaran yang berawal dari Toko karpet Restu di Blok D lantai dasar Pasar Turi itu membuat beberapa kios lain yang ada di sekitarnya ikut terbakar. Asap tebal yang disebabkan oleh terbakarnya karpet membuat proses pemadalam berjalan lambat, berlomba dengan proses evakuasi barang-barang dari kios lain yang belum terbakar.


25 Juli 2007

Empat WNA Dilaporkan Hilang Di Jawa Timur

Empat warga negara asing berkewarganegaraan Amerika, Italia, Jepang dan Singapura tersangkut laporan palsu oleh warga Jakarta bernama Agnes Nurhayati Limutu Titus. Keempatnya dikabarkan hilang di Jawa Timur. Sempat beredar kabar, keempat WNA itu diculik orang tidak dikenal ketika akan melakukan launching sekolah bisnis bernama Berlitz English School for Bussiness. Salah satu WNA asal Amerika bahkan dikabarkan sempat dirawat di sebuah rumah sakit di Banyuwangi karena terluka senjata tajam.

24 Juli 2007

Tim Penyelidikan Mulai Teliti Bangkai Pesawat

DIMAKAMKAN.
Jenazah Letda Penerbang Elesius Quintaruniarsa, pilot pesawat yang meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat TNI AU jenis OV-10 Bronco di Bunut Wetan, Pakis, Malang, Senin (23/7) kemarin, Selasa (24/7) ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Malang. Komandan Lanud Abdurahman Saleh Malang, Yushan Sayuti mengatakan, hingga saat ini bangkai pesawat masih belum dievakuasi karena menunggu investigasi tim Keselamatan Penerbangan Angkatan Udara yang akan bekerja mulai hari ini.

----------------

19 Juli 2007

Tidak Ada Pilihan Bagi Si Miskin Selain Askeskin

Sorot mata sayu menghiasi wajah Warsiah. Sambil menahan nyeri di dada, perempuan berusia 43 itu berusaha bangkit dari kursi tunggu di selasar RSU. Dr. Soetomo Surabaya. Kejenuhan menunggu selama 5 jam pun sirna ketika tiba gilirannya untuk diperiksa di Ruang Periksa Bedah Poli Ongkologi Satu Atap RSU. Dr. Soetomo. Ditemani M.Taufik, anaknya, Warsiah memasuki ruang pemeriksaan. Setengah jam berlalu, pemeriksaan pun akhirnya usai. “Kata dokter, kami harus membayar obat sendiri, ada obat-obat yang tidak lagi gratis meskipun kami memiliki Askes,” kata M.Taufik usai pemeriksaan pada The Jakarta Post.

Sudah dua tahun ini Warsiah berjuang melawan kanker payudara yang dideritanya. Upaya pengobatan yang dilakukan wanita asal Lamongan, Jawa Timur itu pun belum menunjukkan progres positif. Uang pengobatan dan operasi pengangkatan payudara sejumlah Rp.25 juta-an pun melayang sia-sia. Sungguh jumlah yang besar untuk keluarga pedagang ikan seperti Warsiah. “Kata dokter, kankernya sudah tidak ada lagi, tapi kok masih nyeri, setelah saya periksakan ternyata kanker itu masih ada,” kenang Warsiah. Sejak Juni lalu, Warsiah memilih untuk memulai lagi proses pengobatan di RSU. Dr. Soetomo. Kali ini, Warsiah menggunakan fasilitas Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) yang dimilikinya. “Tidak ada uang lagi,” katanya pelan.

Menggunakan Askeskin bagi penderita kanker seperti Warsiah, ibarat makan buah simalakama. Karena Askeskin tidak memberi kemudahan yang berarti bagi pasien yang menggunakannya. M.Taufik, anak Warsiah menceritakan, ketika ibunya menggunakan Askeskin pertama kali, harus dihadapkan dengan lamban dan berbelitnya pelayanan. “Pernah kami diharuskan untuk memeriksakan ibu dengan USG (ultra sonografi-red), namun jadwalnya harus menunggu satu bulan, dari pada tambah parah,..dengan sisa dan yang ada kami memilih untuk meng-USG ibu di RS lain,” kata M. Taufik. Hasil USG itu yang diserahkan kepada RSU.Dr.Soetomo. Ironisnya, dera cobaan kembali melanda M.Taufik dan keluarganya. Sejak 1 Juli 2007 ini, Askeskin tidak lagi bisa menggratiskan obat yang dibutuhkan. “Kalau sudah begini, tidak tahu lagi harus bagaimana,” kata M.Taufik.

Keputusan RS untuk tidak menggratiskan obat-obatan itu bukan tanpa dasar. Berdasarkan SK Menteri Kesehatan Nomor : 471 Tahun 2007, tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin tahun 2007 disebutkan bahwa Askeskin menyiutkan jenis obat yang bisa diberikan kepada pasien miskin. Keputusan itu ditetapkan karena selama ini kebutuhan obat terlalu tinggi. Menteri Kesehatan menilai, penggelembungan itu terjadi karena seringnya RS menggunakan obat non generik yang berharga tinggi. Harga obat non generik itu bisa mencapai 10 kali lebih mahal dari obat generik.

Kenyataannya, hal itu tidak selalu benar. Selama ini dokter-dokter masih mengacu kepada formularium, atau daftar jenis obat yang digunakan untuk melayanani masyarakat miskin. Meski begitu, dalam banyak kasus, obat-obatan non generik itu diberikan karena tidak ada pilihan obat lain bagi pasien. Terutama bagi pasien yang menderita penyakit berat, seperti kanker. Seperti contoh obat peningkatan protein seperti jenis albumin dan antibiotik jenis botol ampul yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada) pun mengajukan protes. Meski akhirnya SK itu akan direvisi dalam waktu dekat ini, namun belakangan, SK Menkes itu menciptakan persoalan baru. Yaitu macetnya kucuran dana dari Askes untuk menyokong biaya pengobatan pengguna Askeskin, sebagai rangkaian hutang Askes secara nasional yang mencapai Rp. 900 milyar rupiah.

Pada ujungnya, RS pun terbebani tunggakan hutang pada distributor obat. Karena itulah, mau tidak mau RS harus menghentikan pemberian obat gratis. Direktur RSU. Dr.Soetomo Surabaya, Slamet R. Juwono mengatakan, kondisi kali ini benar-benang mengganggu kinerja rumah sakit. Dari bidang mengadaan obat misalnya, sampai saat ini RSU. Dr. Soetomo memiliki tunggakan pembayaran obat sebesar Rp.23 miliar. Sejumlah Rp.14 miliar sudah diklaimkan ke Askes, sementara Rp.11 miliar sudah jatuh tempo dan harus segera dilunasi. “Toleransi hutang kepada distributor obat paling lama dua bulan, ketika lebih dari bulan bulan, maka distributor tidak bisa memberi obatnya lagi. Padahal kita tahu, Askes mulai pertengahan maret sampai Juni belum memberikan dana ke RS,” kata Slamet.

Data dari Askes Jawa Timur menyebutkan dari dana Rp.37 miliar yang dianggarkan untuk masyarakat miskin Jawa Timur, saat ini sudah terpakai Rp. 30 miliar. Jumlah itu jauh lebih sedikit dari tagihan distributor obat untuk RS di Jawa Timur yang mencapri nilia Rp. 100 miliar. Karena itu, Rabu (18/7) ini, Slamet R. Juwono beserta pimpinan RSU daerah di Jawa Timur mengadukan persoalan ini ke DPRD Jawa Timur. Dalam dialog itu terungkap adanya solusi sementara untuk menyokong pembiayaan Askeskin dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Selain itu, DPRD Jawa Timur juga akan berangkat ke Jakarta untuk mengkomunikasikan persoalan ini dengan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Anggota DPRD Jatim Saleh Mukadar mengatakan, Menteri Kesehatan Siti Fadilan Supari harus mengetahui bahwa SK Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin meresahkan masyarakat.

Saleh Mukadar mengusulkan pemerintah untuk bisa menalangi sementara dana Askeskin, khususnya bagi masyarakat miskin yang menderita penyakit besar. Seperti penyakit jantung, hemofilia atau kankes. “Pengobatan penyakit itu akan ditalangi pemerintah, meskipun hanya berjalan satu bulan pengobatan, atau selama bulan Juli ini saja,” kata Saleh Mukadar. Saleh tidak bisa memastikan apakah setelah pengobatan selama satu bulan itu berakhir, maka pemerintah akan kembali menalangi pengobatan.

Bisa jadi, solusi sementara ini adalah angin segar bagi Warsiah dan keluarganya yang kini berjuang melawan kanker payudara. “Kalau memang pengobatan secara medis tidak mampu menyembuhkan ibu Saya, mungkin yang bisa saya lakukan adalah mencoba pengobatan alternatif, karena kami sudah tidak punya uang lagi, sementara ini kami masih tetap berharap pada Askeskin,” kata M. Taufik, anak Warsiah. Memang, tidak ada lagi pilihan bagi masyarakat miskin selain Askeskin.