07 May 2009

Di Stasiun Kereta…

Sebuah Cerpen karya Senja Medinah

Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Tak kupedulikan dinginnya angin pagi yang menusuk-nusuk hingga ke tulang rusuk. Tak kuhiraukan empuknya bantal dan hangatnya selimut yang biasa memelukku setelah ritualku. Bahkan tak kuindahkan tumpukan tugas akhir yang harus kupresentasikan kepada dosen pembimbingku, siang nanti.


Dan, ku di sini. Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Menjemput mimpimu. Melepas rindumu. Membahasakan cintamu. Menemui kasihmu.

Tapi kutetap disini. Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Mengkhawatirkanmu. Membawakanmu roti, takut engkau kelaparan dalam perjalanan. Mengingatkanmu membawa jaket kulit, khawatir engkau kedinginan dalam kereta ber-AC. Menyelipkan minyak kayu putih di dalamnya. Menyertakanmu beberapa pesan, khawatir engkau tertidur dan teledor dalam perjalanan.

“Isikan pulsaku dong,” pintamu. Seribu kali aku yakin dengan sangat. Pulsa itu bukan untuk menelphoneku. Pulsa itu bukan untuk sekedar menanyakan keberadaan dan keadaanku, bahkan hanya melalui pesan singkat. Pulsa itu, bukan untuk sekedar mengabariku bahwa kau akan pulang dengan cepat.

Tapi, tetap saja. Kuanggukkan kepalaku. Mengabulkan permintaanmu. Meski bukan untukku. Seperti halnya saat ini. Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Meluruhkan adrenaline-mu…

Hingga ku tetap di sini. Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Melihatmu sibuk menelephone. Memunggungiku. Mendengar pembicaraanmu. Sesekali dengan nada serius. Menggerutu. Lebih jelas dengan ketaksabaran. Menunggu keberangkatan kereta. Sambil menyedot rokok. Gelisah.

Masih, ku tetap di sini. Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Yang berjalan menjauh. Diantara jejal penumpang. Diantara pedagang asongan. Menuju kereta yang siap berangkat. Tanpa menolehku. menggendong tasmu. Tanpa menolehku. Mencari kursimu. Tanpa menolehku. Tanpa memutus telephonemu. Tanpa menolehku.

Tapi, ku tetap di sini. Di stasiun kereta. Kini jam 6 pagi. Berkeras mengantarmu. Bersama kereta yang bergerak. Dengan lambaian tangan. Tanpa menutus telephonemu. Hingga menjauh.

Dan, ku tetap di sini. Di Stasiun kereta yang mulai sepi. Jam 6 pagi. Diantara pedagang asongan yang menjajakan koran dan permen. Diantara para pengantar lainnya. Meski tlah menjauh. Meski tlah tak tampak oleh mata. Meski ku tahu…
Ku, tetap di sini. Di stasiun kereta….

Kapan kau pulang?

29 March 2009

[Cerpen Mumung] Memilih Berteman Dengan Mimpi Buruk-habis

C. Subain

Mumung hanya terdiam, kala Jamila menanyakannya untuk pertama kali. Otaknya seperti tak bisa digunakan untuk berpikir. Hatinya teraduk. Kenangan lama atas pernikahan yang dia kenal, seperti terbayang. Perkawinan menjadi awal dari permusuhan. Cinta yang diagungkan, menjadi kobaran api benci saat pernikahan pupus di tengah jalan.


-----------------------------------------------------------
Ujung mata Mumung belum juga bersih dari ketek (kotoran di sudut mata-Jawa). Mimpi ketemu Umi Kalsum, ibunya yang sudah meninggal dunia setahun lalu, membuatnya menangis dalam mimpi. Tak terasa, dalam nyata pun sama. Sepanjang malam, Mumung menangis.

"Umiii,.."

Mumung merengek begitu terbangun saat Adzan Subuh terdengar. Jek Manyun, sahabatnya yang saat itu tertidur di samping Mumung ikut terbangun. Kepala Jek Manyun masih terasa berat. Efek Bir Hitam yang ditenggaknya semalam, belum juga hilang.

"Mung! Siapa yang kau panggil itu?"

"Nggak! Udah tidur lagi sana,.."

Jek Manyun menggerutu. Tangannya meraih tumpukan baju kotor di dekat kaki. Mengumpulkannya, dan menempatkannya di bawah kepala. Menjadikannya bantal.Grrrrr,...Jek Manyun kembali tertidur. Mumung terdiam. Bayangan Umi Kalsum tetap mengiang di kepalanya. Begitu jelas.

"Kau harus segera memutuskan,..kau harus segera memutuskan,.."

Kalimat Umi itu dalam mimpinya terus berulang-ulang. Dalam mimpi, Mumung hanya terdiam sambil menangis. Tangan Umi yang coba diraihnya pun, seperti semakin jauh.

"Umi, aku kangen,"

* * *

"Ah lama banget! Ngapain aja sih di dalam kamar mandi?!"

Jek Manyun ngomel saat melihat Mumung membuka pintu kamar mandi sambil mengusapkan handuk ke rambutnya. Mumung hanya tersenyum. Sudah memahami, Jek Manyun memang selalu manyun,..dalam situasi apapun.Bahkan, saat mendapatkan rezeki usai menjual sepeda motor Yamaha RX King miliknya dengan harga di atas rata-rata pun, Jek Manyun tetap manyun. Apalagi, saat mendapatkan musibah kehilangan handphone Nokia kesayanganya. Ampun deh. Manyunnya semakin menjadi. Tapi itulah Jek Manyun.

"Sahabat itu, yang penting hatinya, bro,..bukan bibirnya,"

Kalimat sok bijaksana Jek Manyun awal tahun lalu itu masih terkenang dalam benak Mumung hingga kini.

Pagi ini, Mumung berencana pergi ke rumah Jamila. Anak penjual Pecel Tumpang di ujung gang dekat kos-kosannya itu meminta tolong untuk diantarkan ke pegadaian.Rencananya, Jamila akan menggadaikan liontin milik almarhum bapaknya. Setahun lalu, liontin itu diberikan sang ibu ke Jamila untuk bekal kawin. Tapi, tiga adik Jamila harus membayar sekolah dalam waktu yang bersamaan. Laba Pecel Tumpang tidak cukup untuk itu.

"Biar aku jual saja liontin ini, biaya kawinnya urusan nanti,"

Jamila bagi Mumung adalah danau yang begitu dalam. Mumung coba menyelaminya, selalu gagal. Bukannya tidak mampu, tapi ada saja gangguan dari pembeli yang meminta nambah nasi, tambah lauk atau es teh manis. Jamila memang sering dijadikan obyek goda-goda pembeli pecel tumpang di warung ibunya. Bahkan ada yang nekat mengajaknya kawin. Tapi Jamila menolak. Alasannya sederhana.

"Masih menunggu pacar saya pulang dari Holland,.."

Bila ada pembeli yang nekat "main tangan". Jamila tak segan mengguyurnya dengan air panas.

"Pecel satu,..lauknya telor aja,"

Mumung selalu order makanan yang sama. Jamila meliriknya. Senyum mengembang. Omong-omong, Pecel dan telor memang kegemaran Mumung. Dalam bahasa yang agak nyastra, Mumung mengibaratkan pecel lauk telor, seperti bumi dan matahari. Tak bisa dipisahkan!

"Bisa aja,"

Jamila berkomentar pendek saat mendengar Mumung berbusa-busa memaknai pecel lauk telor miliknya.

"Kau jadi ke pegadaian? Jangan kesiangan ya, aku ada janji sama Bos,"

Sepihan kacang panjang dan kecambah, sempat terlilit di gigi Mumung yang gingsul.

"Jadilah,..besok waktunya bayar uang sekolah. Tunggu bentar ya,.."

Jamila berlalu. Entah. Tiba-tiba Mumung merasa berbunga-bunga. Makan pecel pun menjadi tidak nikmat. Suapan demi suapan mengalir dengan cepat. Ritual makan telur "matahari" yang biasanya diawali mulai putih telur dan diakhiri dengan kuningnya sebagai gong pun tidak lagi berlaku. Nyam,..nyem,..nyam,..nyem. Glek,..glek,..

* * *

Sepeda motor Mumung memang bukan keluaran baru. Tahun 80-an, tapi tetap kinclong. Minimal, seminggu sekali dicuci bersih di tempat cucimotor tak jauh dari kos-kosannya. Bengkel Cak Dji di ujung jalan pun selalu memuji motor trail milik Mumung.

"Kalau sudah bosan, biar motormu aku beli,"

Cak Dji selalu merayu Mumung. Bukan tak mau menjual, tapi Mumung tak punya uang untuk membeli motor baru lagi, bila motor miliknya dijual. Konon, saking cintanya, Cak Dji rela menunggu.

Trail itu juga yang mengantar Mumung dan Jamila pagi ini. Tak tergambarkan, betapa gembira hati Mumung saat ini. Tangan Jamila yang lembut melilit di pinggang Mumung. Ada getaran. Entah di mana. Yang pasti bersumber dari tangan Jamila.

Hampir dua tahun ini, Jamila menunggu Mumung menjawab pertanyaannya. Pertanyaan sederhana, sulit jawabnya.

"Kapan orang tuamu akan ke rumahku untuk melamarku?"

Mumung hanya terdiam, kala Jamila menanyakannya untuk pertama kali. Otaknya seperti tak bisa digunakan untuk berpikir. Hatinya teraduk. Kenangan lama atas pernikahan yang dia kenal, seperti terbayang. Perkawinan menjadi awal dari permusuhan. Cinta yang diagungkan, menjadi kobaran api benci saat pernikahan pupus di tengah jalan. Dua hati yang awalnya menyatu, saling menyakiti. Tidak hanya keduanya, juga keluarga besar yang ada. Hal itu juga yang membuat Mumung enggan masuk ke ranah itu. Perkawinan. Hmm..

Jawaban Mumunglah yang paling ditunggu Jamila. Bagi perempuan enggan berjilbab meski sudah berkali-kali mengkhatam kitab suci ini, hal itu adalah jawaban segala persoalan yang menghadangnya. Paling tidak, menghentikan pertanyaan dari pelanggan pecel tumpang yang sering menderanya. Kapan? Kapan? Kapan?

Tiba-tiba, bayangan Umi melintas.

"Kau harus segera memutuskan,..kau harus segera memutuskan,.."

"Kau harus segera memutuskan,..kau harus segera memutuskan,.."

Kalimat Umi kembali terngiang.

Duk! Brak! Crrrttttttt,.....

Gelap. Sebuah truk tronton mehantam keras dari arah kanan. Gelap.

* * *

"Mung! Siapa yang kau panggil itu? Bangun kau!"