31 December 2021

Menjadi kurir bebek dan kisah "berkenalan" dengan Muchdi PR


Menjalani lagi aktivitas yang pernah dilakukan bertahun-tahun lampau. Kali ini saya kembali menjadi kurir, seperti yang saya lakukan 26 tahun lalu.

***

Suatu hari di tahun tahun 1995. Matahari sudah beranjak tinggi ketika saya sampai di area Kodam. Nama Kodam mengacu pada singkatan Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya.  Memang, itu kawasan markas Kodam V Brawijaya, Surabaya.

Astrea Star yang saya kendarai berhenti di depan sebuah rumah cukup mentereng. Saya adalah kurir surat pelanggan MetroSel, perusahaan telepon selular berbayar. Tugas saya, mengantar surat tagihan bulanan. 

Setiap hari, dengan sepeda motor yang cukup keren di zamannya, saya membawa puluhan surat tagihan, dan belasan payung cantik baru. Berkeliling kota mengunjungi rumah-rumah pelanggan yang alamatnya tertera di setiap lembaran surat. 

Payung cantik ini adalah hadiah spesial untuk pelanggan baru. Mereka mendapatkan payung di bulan pertama tagihannya keluar.  "Ini tagihan bulan pertamanya. Ini payungnya. Terima kasih." Begitulah.

Kembali ke kawasan Kodam V Brawijaya.

Saya sempat kebingungan di depan kompleks tentara ini. Rumah-rumahnya rapi, tapi sepi. Jalanan juga lowong, jarang ada yang melintas. Mobil sesekali. Atau motor. Seperti tidak ada kehidupan. 

Dengan gembolan payung, saya beranikan diri mendekati gerbang pada sebuah rumah. Penjaga berpakaian loreng beranjak dari kursi mendatangi saya. 

"Siang pak, apakah ini rumah pak Muchid?"

"Muchid siapa?" katanya tegas.  

Saya bergegas menyerahkan surat tagihan itu, sambil sedikit membungkuk. Ini sopan santun tamu yang biasa saya lakukan. 

"Gak ada Muchid. Yang ada Muchdi. MUCHDI!" tegasnya. 

Waduh. Mimpi apa semalam, sampai siang bolong dibentak oleh tentara. "Maaf pak, iya, Pak Muchdi maksudnya," jelas saya terbata, sambil menyerahkan payung. Saya pamit, keluar dari gerbang, dan langsung meluncur. Semoga kejengkelan pak tentara mereda dengan payung cantik itu. 

Goblok. Gimana Muchdi, bisa jadi Muchid? Saya mengutuk keteledoran gak penting ini. 

Waktu berlalu. Saya menjadikan kejadian itu sebagai lelucon sesama kurir, yang kebetulan kawan-kawan se-SMA. Sampai akhirnya saya tahu, Muchid atau Muchdi itu tak lain adalah Muchdi Purwopranjono atau Muchdi PR. Kalau tidak salah, saat itu, Muchdi menjabat sebagai Kasdam V/Brawijaya. Namanya disebut-sebut terkait pembunuhan Munir Said Thalib pada 2004.

***

Saya tidak tahu, apakah ada orang yang sejak kecil bercita-cita sebagai kurir. Yang jelas, saya tidak. Saya bercita-cita jadi tentara. Gagah. Punya senjata lagi.

Pengalaman menjadi "kurir" pertama kali saya lakukan saat sekolah menengah pertama (SMP). Saat itu, saya menjadi pengantar koran (loper) Suara Indonesia di Surabaya. Sepeda balap menjadi tunggangan.

Untuk pertama kali saya merasakan mendapat "gaji" dari jerih payah sendiri. Meskipun sempat ada drama di dalamnya, ketika saya bangun kesiangan, sementara koran pagi harus dikirim. Saya merengek kepada ayah, agar mau membonceng naik motor, sambil mengantar koran.

Bila malam tiba, waktunya berputar-putar dari rumah ke rumah untuk mencari pelanggan baru. Lumayan, satu pelanggan baru bernilai 1000 rupiah. Di zaman saya kecil, 1000 rupiah itu bisa membeli berbagai jajanan.

Menjadi loper koran adalah interaksi intens saya dengan media massa cetak. Sambil menunggu koran baru datang, saya biasanya membaca-baca isi koran edisi sehari sebelumnya. Berita politik dan ekonomi, dua tema yang saya tidak paham. Tapi kalau ada karikatur atau cerita bergambar, pasti saya lahap sampai untas.

Ketika sudah kuliah, koran Suara Indonesia ini juga salah satu favorit. Koran ini salah satu yang progresif memberitakan gerakan Reformasi. Foto-foto di dalamnya, memunculkan kegeraman. Dalam sebuah edisi, koran ini memajang foto dua orang polisi di atas motor, sambil membidikkan senjata laras panjang ke arah mahasiswa. Seperti sebuah signal, Reformasi akan segera membuahkan hasil. 

Uniknya, dalam perjalanan karir jurnalistik, saya pernah bekerja sebagai redaktur di harian Radar Surabaya. Dalam sejarahnya, Radar Surabaya adalah Suara Indonesia yang berubah nama. Haha,.

***

Menjelang pergantian tahun 2021 ke 2022, saya kembali menjadi kurir. Kali ini, kurir bebek dan ayam ukep, bisnis sampingan istri saya. Salah satu konsumen bebek dan ayam ukep ini adalah kawan-kawan di kantor. Walhasil, hampir setiap hari berangkat kerja, saya membawa gembolan.

Dua menu, bebek/ayam frozen dan siap makan membuat punggung saya berubah-ubah suasana. Kadang dingin, kadang hangat. Haha,..

Semoga suatu hari Pak Muchdi PR memesan bebek/ayam ukep ini. Saya pastikan, saat itu, saya tidak akan lagi salah penyebutan nama. (*)

No comments:

Post a Comment