03 April 2020

COVID19 menyadarkan betapa rapuhnya kita

Tulisan ini bukan soal virus corona. Tapi soal cerminan betapa rapuhnya kita saat dihantam virus itu.
Hampir semua orang yang melek informasi, pasti mengetahui apa itu virus corona atau #Covid19. Semua referensi tentang Covid19 sudah banyak beredar. Bahkan, bila ada perkembangan penting, media televisi menyiarkan "breaking news". Sementara media dotcom dan media cetak membahas panjang dalam platformnya. Belum lagi media sosial. Semuanya adalah tanda: betapa mendesaknya pandemi dunia itu.

Tapi sekali lagi, artikel ini tidak membahas tentang Covid19. Saya lebih tertarik bagaimana gonjang-ganjing yang disebabkan virus yang berasal dari China itu. Virus dengan tanda-tanda mirip flu ini benar-benar "memporak-porandakan" tatanan dunia yang sudah bertahun-tahun dijalani manusia. Sebut saja: perjalanan antar negara. Ketika corona menyebar, tiba-tiba perjalanan antar negara menjadi hal yang membahayakan. Orang menjadi saling curiga.

"Jangan-jangan, orang dari luar negeri, akan menulari kita?"

Kecurigaan (baca: kekhawatiran) tidak berdasar pada ras tertentu. Melainkan dari kegiatan yang dilakukan. Asal dari LN, maka patut dicurigai membawa virus. Kecurigaan itu pun berlaku juga untuk penduduk asli sebuah daerah yang pulang dari bepergian ke luar negeri.

Kekhawatiran tidak memandang apa kendaraan yang dipakai untuk melintas antar negara. Pesawat terbang, kapal laut, memiliki tingkat kecurigaan yang sama. Dalam rangkaian berita dunia tentang corona, ada sebuah kisah tentang kapal pesiar yang harus dikarantina, karena ribuan orang yang diangkutnya diduga terpapar oleh corona.

Dan dalam perkembangannya, virus corona jugalah yang membuat perjalanan manusia mengunjungi negara yang berbeda, entah itu antar benua atau satu kawasan, tidak lagi diperbolehkan. Ini luar biasa. Kebiasaan travelling manusia yang sudah dilakukan dalam kurun sekitar 2800 tahun lalu (history of travel), akhirnya harus berhenti di 2020.

Negara-negara yang ada di "zona merah", atau yang terkoneksi dengan negara-negara yang terdeteksi memiliki penduduk bervirus corona, memutuskan untuk menutup bandara atau pelabuhan internasionalnya. Penumpang yang masuk pun harus diperiksa suhu tubuhnya. Curiga dan mencurigai, tiba-tiba menjadi biasa di zaman corona.

BERSIN

Kemudian, sedikit demi sedikit, kondisi di tiap-tiap negara mulai bergelora karena corona. Hampir di setiap negara di dunia melaporkan adanya penduduk yang positif corona. Kecurigaan yang awalnya terarah pada orang dari luar negeri, kali ini, melebar ke orang-orang di sekitar kita. Bahkan, sampai para taraf keluarga. Saat mendengar orang batuk atau bersin, muncul perasaan tidak aman.

Uhuk! Hachii! "Waduh, jangan-jangan,..."

Ini sungguh berbeda, terutama dibandingkan dengan adab/norma yang sudah ada sebelumnya. Di dalam Islam misalnya, konon dimulai 1400 tahun lalu, adab saat bersin adalah membaca "Alhamdulillah." Bagi yang mendengarnya, berucap "Yarhamulallah." Kemudian, orang pertama yang bersin pun membalas balik dengan seruan "Yahdikumullah." [HR. Bukhari, no. 6224]

Di dunia Barat, kebiasaan ini pun juga dilakukan. Tak jarang, banyak yang berujar "God bless you" atau "Bless you" atau "Tuhan memberkatimu", saat ada orang yang bersin. Bersin, dipercaya sebagai berhentinya detak jantung beberapa saat, untuk kemudian kembali aktif. Karena itu, perlu disyukuri. Bahkan, ada juga yang menilai, bersin adalah "jawaban" dari Tuhan atas doa seseorang.

Namun, semua hal baik tentang bersin itu itu perlahan-lahan lenyap. Di zaman corona, ketika ada orang bersin seolah "warning" ada sesuatu di dalam tubuh seseorang itu. Apalagi, bila dilakukan tanpa menutup mulut/hidung. Belum lagi, bila yang bersin adalah seorang pedagang makanan atau buah-buahan. Bisa terbayang kekhawatiran yang menyergap.

Kemudian muncul seruan serius yang intinya meminta orang-orang yang bersih dan batuk-batuk, untuk segera memeriksakan diri ke dokter. Bahkan, dilakukan penelusuran kegiatan 14 hari ke belakang untuk tahu, apakah yang bersangkutan patut dimasukkan dalam "orang dalam pengawasan" (ODP) atau tidak.

Bersin, dari yang diawalnya didoakan, menjadi dikarantina.

IBADAH

Zaman terus bergerak, dengan apa yang disebut lockdown, atau menutup seluruh aktivitas di sebuah wilayah. Termasuk, melarang orang untuk masuk/keluar dan beraktivitas. Hanya petugas dan aparat keamanan yang boleh hilir mudik. Tujuannya, meminimalisir interaksi antar warga untuk menghentikan penularan.

Lockdown benar-benar menghentikan hampir seluruh aktivitas manusia yang berhubungan dengan dunia luar. Bersosialisasi, belanja kebutuhan pokok, bekerja, hingga beribadah. Semua "masih bisa" dilakukan, asalkan di dalam rumah. Bisa dibayangkan, saluran internet menjadi penghubung yang paling efektif. Di beberapa negara yang menerapkan lockdown, ditegaskan pula dengan adanya hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan itu. Kalau tidak didenda, ya dihukum penjara.

Tak hanya masalah "horisontal" saja (atau hubungan sesama manusia), hubungan "vertikal" antara manusia dan Tuhannya pun disarankan untuk tidak dilakukan. Misa di gereja misalnya. Diserukan untuk dihapuskan, dan diganti dengan misa online. Juga Salat Jumat yang biasanya dilakukan bersama-sama di masjid atau mushola, disarankan tidak dilakukan dan diganti dengan Salat Dzuhur yang juga dilakukan di rumah. Juga sembahyang di pura-pura. Beberapa waktu lalu, ketika menjelang Nyepi yang biasanya ramai dengan pawai, tidak dilakukan. Mayoritas peribadahan dilakukan secara mandiri.

Virus ini berhasil "memaksa" ritual keagamaan berhenti.  Logika yang terbangun adalah, ketika ritual keagamaan itu dilakukan bersama-sama, maka risiko tertular virus menjadi sangat tinggi. Dan usai beribadah, penularan akan berlanjut kepada pasangan, anak dan keluarga lain di rumah. Mengganti peribadahan bersama menjadi peribadahan personal menjadi hal yang masuk akal.

Sekali lagi, virus ini menunjukkan "kedigdayaannya" dengan menghentikan aktivitas berbau Ketuhanan yang mulai dilakukan manusia pada 14000 tahun silam. Atau bahkan lebih tua lagi. Orang-orang yang tetap nekad melakukan ibadah yang berisiko menularkan, justru mendapatkan kritikan keras. Orang lebih percaya, Tuhan akan memahami bila umatnya "memodifikasi" peribadahan, untuk keselamatan umatnya.

Dan sepertinya, hal ini akan terus berlanjut ketika Bulan Ramadan tiba. Peribadahan di bulan suci Umat Islam itu, yang kebanyakan juga diselenggarakan dengan bersama-sama, memiliki risiko penularan yang sama. Bukan tidak mungkin, salat Tarawih, salat Idul Fitri dan aktivitas mudik (kembali ke kampung halaman saat Lebaran) untuk sementara tidak dilakukan.

Manusia dan kehidupannya memang rapuh. Kalah "hanya" karena virus. ***

ID NUGROHO
foto: qz.com

No comments:

Post a Comment