06 February 2016

TALANGSARI, MENDORONG PENGUNGKAPAN, MENUNGGU KEAJAIBAN

Korban peristiwa Talangsari Amir (ketiga kanan) berbicara kepada Koordinator sub. Komisi Pengkajian dan Penelitian HAM Komnas HAM Roichatul Aswidah (kiri) didampingi Wakil Koordinator Advokasi Kontras Yati Andriyani (kedua kanan) dan Korban Talangsari Edi Arsadad (kanan) dalam pengaduan Korban Talangsari Lampung di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (14/11). (ANTARA FOTO/ROSA PANGGABEAN) | URL Link Medanbussinesdaily.net

 Berkali-kali, upaya menuntut keadilan kasus Talangsari dilakukan, namun hingga kini, upaya itu belum membuahkan hasil.

Pembantaian Talangsari, Lampung oleh ABRI/TNI pada kelompok pengajian pimpinan Warsidi, perlahan-lahan mulai terungkap. Pembenaran yang dilakukan Orde Baru atas kejadian itu tidak menghalangi upaya penuntutan keadilan atas kasusnya. Kelompok masyarakat sipil seakan tak henti-henti menuntut adanya penuntasan kasus yang menyebabkan 200 lebih orang tewas dan hilang itu.

Upaya untuk mendorong penyelesaian kasus Talangsari sebenarnya mulai lamat-lamat terdengar ketika Orba berkuasa. Kelompok masyarakat yang melihat adanya ketidakadilan dalam peristiwa itu menghembuskan tuntutan agar ada penyelesaian menyeluruh dalam kasus Talangsari segera dilakukan.

Meskipun tuntutan itu kalah nyaring dengan doktrin yang digencarkan Orba, bahwa penyelewenangan Pancasila dan UUD 1945 yang dilakukan kelompok Warsidi memang layak dilibas.

SETELAH REFORMASI

Ketika reformasi terjadi, dan Soeharto dipaksa turun, tuntutan atas hal itu semakin kencang terdengar. Kelompok pejuang HAM memasukan kasus Talangsari sebagai dark number kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang harus segera dituntaskan. Namun, karena waktu dan tumpukan kasus serupa begitu banyak, desakan itu belum membuahkan hasil.

Almarhum Munir, aktivis HAM yang meninggal dibunuh dalam perjalanannya ke Belanda sempat mengandus adanya hubungan antara pengungkapan peristiwa Talangsari dengan Hendropriyono.

Mantan Ketua Dewan Pengurus KontraS ini pernah mengatakan adanya kepentingan Kepala BIN AM Hendropriyono, dalam perkara gugatan korban Peristiwa Talangsari Lampung terhadap Keppres No 229/M/2001. Dan kepentingan itu adalah kepentingan pribadi Hendropriyono untuk mempertahankan jabatannya.

Munir bahkan sempat mempertanyakan keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri yang tetap mengangkat orang yang diduga keras bertanggung jawab dalam kejahatan HAM pada peristiwa 6 Februari 1989 di Talangsari itu, sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Bagi Munir, bila Hendropriyono menjabat sebagai Kepala BIN, sangat mungkin data-data itu menjadi kabur atau hilang. Di samping itu, yang bersangkutan dinilai tidak akan kooperatif dalam penyelidikan Komnas HAM.

PENGADILAN HAM ADHOC

Pada tahun 2001, KontraS, PK2PTL dan kelompok mahasiswa dari Kompak, Gemma PTDI dan Hammas mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad hoc untuk kasus Talangsari, Lampung ke Fraksi Reformasi DPR RI. Fraksi Reformasi lewat Suminto Martono menyatakan dukungannya untuk menuntaskan salah satu kejahatan kemanusian Orde Baru ini.

Usul yang sama diberikan ke Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB). Hamdan Zoelva-ketika tulisan ini ditulis menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)-, pada intinya sepakat akan mendorong usulan ini ke forum DPR yang lebih tinggi.

Di tahun yang sama, KontraS, Komite Smalam, LBH Lampung dan para korban Talangsari, mendapat dukungan  untuk menyepakati usulan pembentukan pengadilan HAM ad hoc Talangsari dari 2 fraksi DPR.

Yakni Fraksi Golkar lewat Sekretaris Fraksi, Daryatmo dan Fraksi PKB lewat Rodjil Gufron dan Susono Yusuf. Selain itu kedua fraksi itu juga meminta agar Komisi II terlibat dalam mematangkan hal ini.

Setahun kemudian, pada 3 Juni 2002, Korban talangsari Lampung di dampingi oleh Komite Smalam  dan KontraS melakukan pertemuan dengan Fraksi Reformasi. Diterima oleh Alvin Lie (PAN). Fraksi Reformasi berjanji akan menindaklanjuti kasus Talangsari ini ke sidang pleno DPR .

FPKS pun sama. Melalui Mu’tamimul Ula dan Musamil Yusuf serta Abdul Hakim, F PKS berjanji akan turun untuk mendatangi Komnas HAM agar serius menyelidiki kasus ini.

Ketika korban Talangsari Lampung bersama KontraS dan LBH Bandar Lampung melakukan audiensi ke Komisi III DPR RI, diterima oleh Taufikurahman Saleh serta anggota komisi III yang lain pun, dijawab dengan janji menindaklanjuti, dengan menanyakan ke Komnas HAM menyangkut proses hukum atas kasus Talangsari Lampung.

Namun, hingga bertubi-tubi dukungan diberikan oleh Wakil Rakyat, tidak juga membuat kasus itu selesai. Usulan serupa pernah disampaikan Kontras bersama Perkumpulan Keluarga Korban Peristiwa Pembantaian Talangsari Lampung (PK2PTL) kepada Komnas HAM, pada Pada 25 Mei 2001.

Sesuai bunyi pasal 18 UU No.26/2000, Komnas HAM telah menjadi satu-satunya lembaga yang bisa melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat.

Dalam kesempatan itu, kelompok masyarakat sipil meminta Komnas menyelidiki pelanggaran HAM berat yang terjadi di Talangsari 7 Februari 1989. Dalam pertemuan yang di pimpin oleh Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan, Komnas berjanji akan membawa usulan ini ke rapat pleno 5 Juni 2001.

Desakan yang sama kepada Komnas HAM juga dilakukan kelompok masyarakat sipil pada Juni 2001. Ketika itu, hadir pula aktivis mahasisa yang yang menuntut adanya follow up Komnas HAM dalam kasus penembakan mahasiswa Trisaksi, yang sampai saat ini juga belum selesai.

Setelah mendapat tekanan yang cukup kuat, akhirnya rapat pleno Komnas memutuskan untuk membentuk Komisi Penyelidik bagi dua kasus pelanggaran HAM berat, yaitu: Kasus Talangsari Lampung dan Kasus Trisakti.

Keputusan ini merupakan “pintu gerbang” dan angin segar bagi kelompok masyarakat sipil. Dalam forum lain, KontraS dan kelompok NGO lain mengusulkan kepada Komnas HAM untuk melibatkan warga masyarakat. Sayang, dalam perjalanannya, selama dua tahun berlalu, Komnas HAM tidak segera menindaklanjuti berbagai masukan masyarakat.

BERLARUT-LARUT

Pada 2003, Korban Talangsari bersama Kontras, LBH Lampung dan Komite Smalam  menyurati Ketua komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara. Mereka memrotes keras atas berlarut larutnya proses penyelidikan kasus Talangsari yang diketuai oleh Mayjend Pol (Pur) Koesparmono Irsan, serta  desakan untuk segera mengambil langkah proaktif  dalam melakukan kerja-kerja KPP HAM Talangsari.

Baru dua tahun kemudian muncul perkembangan baru atas kasus ini. Yakni, dibentuknya Tim Penyelidik kasus pelanggaran HAM – termasuk kasus Talangsari- sesuai dengan UU 39 tahun 1999. Tim itu terdiri dari Enny Soeprapto (Kekerasan) Samsuddin( Hak hidup), Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan) dan M Farid (Anak – anak).

Pada tanggal 2 Maret 2005, KontraS bersama korban talangsari dari Lampung dan LBH Bandar Lampung  melakukan audiensi dengan Komnas HAM. Diterima oleh Ruswiati. Atas rekomendasi rapat paripurna 23 Februari dibentuk tim penyelidik berdasarkan UU 39 tahun 1999.

Tim terdiri dari Enny Soeprapto (Kekerasan) Samsuddin( Hak hidup), Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan) dan M Farid (Anak – anak). Tim bekerja dari akhir maret hingga awal april 2005.

Langkah Tim Penyelidik kembali terseok. Penyidikan yang dilakukan terbentur dengan pengabaian Pangdam Sriwijaya dan Korem Garuda Hitam. Surat yang dikirimkan kepada dua lembaga militer itu tidak dijawab.

Pengiriman surat ke Pangdam Sriwijaya ini didasarkan atas hasil pemeriksaan Korem Garuda Hitam sebelumnya, bahwa seluruh berkas yang ada kaitannya dengan kasus Talangsari sudah dilimpahkan ke Kodam Sriwijaya.

Penyelidikan tidak berhenti. Kelompok masyarakat sipil dan keluarga korban Talangsari terus melakukan desakan kepada Komnas HAM. Hingga dua tahun berlalu, Komnas akhirnya mengeluarkan hasil kajian hukum yang dilakukan atas kasus itu.

Menurut Komnas, terdapat indikasi terpenuhinya unsur – unsur obyektif terjadinya tindak perampasan kemerdekaan secara sewenang – wenang. Juga ditemukan adanya penyiksaan sebagai bentuk perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu direkomendasikan pula perlunya dilakukan penyelidikan terhadap dugaan penghilangan paksa dalam kasus ini.

Namun lacur, di tahun yang sama titik terang itu “dihadang” sedemikian rupa oleh Danrem 043 Garuda Hitam, Bambang S Gandhi.Bambang menyatakan, Kasus Talangsari itu sudah ditutup.

“Saya akan bertanggung jawab jika ada orang-orang atau lembaga yang akan mengungkit-ungkit kembali kasus 18 tahun silam itu,” kata Bambang sebagaimana dimuat Lampung Post, 17 Januari 2007. (*KontraS)

DUKUNGAN

  • PBNU menyatakan mendukung penuntasan kasus Talangsari dan akan segera mengirimkan surat kepada Komnas HAM untuk membentuk tim penyelidik pro justicia.
     
  • PP Muhammadyah menyatakan mendukung kasus Talangsari dan akan segera mengirimkan surat kepada Komnas HAM untuk membentuk tim penyelidik pro justicia.
     
  • Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) menyatakan mendukung kasus Talangsari dan akan segera mengirimkan surat kepada Komnas HAM untuk membentuk tim penyelidik pro justicia.
     
  • Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang diwakili oleh Abdul Wahid Alwi (Sekjen) menyatakan mendukung kasus Talangsari dan akan mengirimkan surat ke Komnas HAM, Komisi III DPR RI dan Presiden RI agar serius menuntaskan kasus Talangsari.

No comments:

Post a Comment