15 February 2011

Wujudkan UU Perlindungan PRT, segera!

Ketika banyak orang, pemimpin, penyelenggara negara, para tokoh bicara keadilan, kesetaraan, demokrasi, bicara hak asasi manusia, orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa menikmati demokrasi dan hak asasi tetapi bisa membuat banyak orang tersebut bicara keadilan, kesetaraan, demokrasi dan hak asasi


Ketika banyak orang, pemimpin, penyelenggara negara, para tokoh bicara kesejahteraan, orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa hidup sehat, sejahtera tetapi bisa membuat banyak orang tersebut bicara kesejateraan dan bisa hidup sejahtera.

Ketika banyak orang, pemimpin, penyelenggara negara, para tokoh bicara pendidikan, orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa mengakses pendidikan tetapi bisa membuat banyak orang tersebut bicara pendidikan dan bisa menikmati pendidikan.

Sekian banyak pemimpin, penyelenggara negara, tokoh, dan sebagian kalayak masyarakat, majikan yang lupa, bahwa ada ”Tokoh di belakang kayar” yaitu pekerja rumah tangga (PRT) yang memungkinkan mereka bisa bekerja.

Berbicara banyak tentang demokrasi, keadilan, kesejahteraan, HAM, perubahan iklim, kesehatan, atas nama rakyat, bekerja dengan profesional, memiliki kesuksesan karir, memiliki keahlian di bidangnya, hidup sejahtera dan juga untuk keluarganya.

Mereka bisa berbicara, berperan, menyelenggarakan segala aktivitas dan aspek kehidupan publik segala sektor penyelenggaraan negara, pendidikan, pengembangan iptek, usaha: industri barang, jasa, hiburan, karena kontribusi besar ekonomi, sosial, waktu dari PRT,

Ironis

Namun demikian, situasi Pekerja Rumah (PRT) Tangga sungguh berbeda, jauh dengan situasi bertema kesetaraan, keadilan, HAM, kesejahteraan. Realitas menunjukkan pelanggaran HAM kerap terjadi pada kawan-kawan yang bekerja sebagai PRT - yang mayoritas adalah perempuan dan anak.

Dimensi pelanggarannya adalah pelanggaran atas hak anak, hak pendidikan, kekerasan dalam berbagai bentuk. PRT ini rentan berbagai kekerasan dari fisik, psikis, ekonomi, sosial. PRT berada dalam situasi hidup dan kerja yang tidak layak, situasi perbudakan.

PRT mengalami pelanggaran hak-haknya: upah yang sangat rendah ataupun tidak dibayar; ditunda pembayarannya; pemotongan semena-mena; tidak ada batasan beban kerja yang jelas dan layak. Semua beban kerja domestik bisa ditimpakan kepada PRT, jam kerja yang panjang: rata-rata di atas 12-16 jam kerja yang beresiko tinggi terhadap kesehatan, nasib tergantung pada kebaikan majikan.

Tidak ada hari libur mingguan, cuti; minim akses bersosialisasi - terisolasi di rumah majikan, rentan akan eksploitasi agen - korban trafficking, tidak ada jaminan sosial, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan, dan PRT migran berada dalam situasi kekuasaan negara lain.

PRT tidak diakui sebagai pekerja, karena pekerjaan rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan yang sesungguhnya dan mengalami diskriminasi terhadap mereka sebagai perempuan, pekerja rumah tangga dan anak-anak. Dikotomi antara PRT dengan buruh pada sektor yang lain sering mengakibatkan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif bagi PRT.

Hari PRT

Pada tanggal 15 Februari 2011 ini, Indonesia memperingati Hari PRT yang ke-5, sejak Hari PRT ini dilaunching pada tahun 2007. Hari PRT ini dilatarbelakangi oleh peristiwa penganiyaan terhadap PRT Anak bernama Sunarsih usia 14 tahun yang dianiaya oleh majikannya hingga meninggal pada tahun 2001 di kota Surabaya, dan majikannya berkali 4 melakukan penganiayaan terhadap PRT berbeda-beda pada tahun 1999, 2000, 2001, 2005, namun tak pernah dihukum.

Peringatan ke-5 ini artinya 10 tahun sejak peristiwa Sunarsih, dan di negara kita belum terjadi perubahan apapun dalam perlindungan PRT di Indonesia dan juga PRT Migran. Sebagaimana kita ketahui Indonesia adalah salah negara dengan jumlah PRT terbesar dengan 10 juta PRT lokal dan 6 juta PRT migran.

Selama 10 tahun masih terjadi terus terjadi dan bahkan semakin betambah jumlahnya atas “Sunarsih-Sunarsih” yang lain. 5 tahun dari 2007 sampai dengan 2011, tercatat 726 kasus kekerasan berat terhadap PRT di Indonesia, yang mana 536 kasus upah tak dibayar, 348 diantaranya terjadi pada PRTA, 617 kasus penyekapan, penganiayaan hingga luka berat, dan bahkan meninggal.

Berbagai kasus bisa diketahui setelah ada proses pendampingan, sebagian diketahui dan dilaporkan oleh masyarakat setelah PRT mengalami luka parah. Kasus kekerasan yang terjadi ini adalah kasus kekerasan di samping pelanggaran hak-hak mereka sebagai pekerja, seperti tidakadanya libur mingguan, larangan bersosialisasi, berkumpul, tidak ada kesepakatan yanng jelas, sehingga majikan bisa ingkar janji.

Untuk itu kami:
1. Mendesak DPR, Presiden, Menakertrans untuk segera membahas dan mewujudkan UU PRT di tahun 2011.
2. Mendesak Pemerintah untuk mendukung konvensi kerja layak PRT yang disahkan pada sesi ke-100 sidang perburuhan internasional pada Juni 2011.
3. Mendesak penetapan Hari PRT pada 15 Pebruari dan hari libur PRT.
4. Mendesak pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang perlindungan hak buruh migran dan keluarganya.
5. Mendesak revisi UU no.39 tahun 2004 tentang Penempatan Perlindungan TKI Luar Negeri berdasar Konvensi PBB tahun 1990.

15 Pebruari 2011,

Komite Aksi Pekerja Rumah Tangga
*Pernyataan sikap bersama

No comments:

Post a Comment