09 January 2010

Tanpa Keterbukaan, Pelarangan Buku Membodohi Rakyat

Press Release YLBHI

Setelah reda masalah pembakaran buku, dipenghujung tahun 2009 kembali terjadi praktik yang seringkali dilakukan rezim otoritarian dan totalitarian. Pelarangan penerbitan buku dan/atau pelarangan peredaran buku, penyitaan atau prilaku sejenis, bukanlah masalah yang sederhana. Praktik semacam ini seringkali bertumpu dan mudah disalahgunakan.

Celakanya, jika otoritas yang diberikan kewenangan melarang buku tidak independen. Baru-baru ini, Kejaksaan Agung menerbitkan pelarangan 5 (lima) buku melalui Keputusan Jaksa Agung No.139 sampai dengan No. 143/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009. Lebih lanjut, tindakan Departemen Hukum dan HAM melakukan kajian terhadap ratusan buku dan memutuskan 20 buku memuat isi yang provokatif patut dipertanyakan.

Pelarangan buku di Indonesia, dalam sejarahnya, tidak jarang hanya semata-mata karena kepentingan penguasa. Sebatas suka atau tidak suka, bukan berdasarkan penilaian yang obyektif. Sebagai contoh, pada masa Orde Baru, peredaran buku yang dinilai banyak orang menyudutkan Bung Karno tidak dilarang oleh pihak Kejaksaan Agung. Sebaliknya, dengan cepat buku yang mengkritik kekuasaan Soeharto dilarang oleh Kejaksaan Agung.

Berkaca dari praktik ini, maka perlu adanya sebuah mekanisme yang fair, yaitu melalui mekanisme peradilan. Namun, ini mekanisme juga mengandung kelemahan jika kekuasaan kehakiman juga tidak dapat memeriksa dan memutusnya secara imparsial dan fair. Ketiadaan penilaian obyektif, pemeriksaan dan putusan peredaran barang cetakan yang fair dan imparsial sama artinya dengan praktik pelanggaran hak asasi dan kebebasan fundamental, seperti hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, termasuk melalui barang cetakan (vide Pasal 28 F UUD 1945).

Menurut penilaian Kami, kewenangan kejaksaan untuk mengawasi peredaran barang cetakan (vide Pasal 30 ayat (3) huruf c UU 16/2004 tentang Kejaksaan), dihapuskan saja dan digantikan dengan mekanisme penilaian yang lebih fair dan independen. Dalam UU Kejaksaan, tidak ditemukan definisi ”ketertiban dan ketenteraman umum”. Sebaiknya tugas dan kewenangan kejaksaan dan energi yang dimiliki diprioritaskan dan difokuskan untuk, memberantas mafia hukum dilingkungan kejaksaan.

Juga membangun sistem informasi dan pengelolaan uang pengganti keuangan Negara serta pengawasannya. Uang pengganti kerugian negara yang mesti dipertanggungjawabkan oleh Kejaksaan Agung mencapai trilyunan rupiah – yang mesti masuk ke kas negara- dan mengejar aset yang diduga hasil tindak pidana dan tindak pidana korupsi, seperti aset almarhum Presiden Soeharto dan aset Bank Century.

Kembali ke soal pelarangan berang cetakan, dari praktik pelarangannya, terdapat beberapa masalah.

1. Alasan dikemukakan isi dari buku tersebut dapat mengganggu ketertiban umum sehingga dapat menimbulkan kerawanan terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, menimbulkan keresahan dan terganggunya ketertiban umum. Tanpa dapat dirinci indikator dan alat ukurnya;

2. Seringkali tidak dijelaskan bagian-bagian mana dalam buku yang menjadi bahan penilaian pelarangan;

3. Pelarangan buku yang bersifat koruptif dan sewenang wenang sama artinya merendahkan akal sehat masyarakat sekaligus tidak memberdayakan masyarakat. Sebaliknya tidak menuntut klarifikasi dan pemaparan fakta yang sebenarnya dari pemerintahan yang berkuasa.

Merespon hal-hal tersebut diatas, Yayasan LBH Indonesia dan Ikatan Penerbit Indonesia menilai perlu untuk menyatakan hal-hal sebagai berikut:

1. Mendesak moratorium pelarangan buku,

2.. Meminta pemeriksaan dan pengambilan keputusan pelarangan buku dilakukan secara terbuka melalui mekanisme dimuka badan peradilan;

3. Mendesak pencabutan kewenangan Jaksa Agung untuk mengawasi barang cetakan melalui perubahan UU 16/2004 tentang Kejaksaan dan pencabutan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti UU 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum jo. UU 5/1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang.

No comments:

Post a Comment