30 December 2009

“Kebebasan di Dunia Maya dalam Ancaman”

Catatan AJI Indonesia

Kemajuan teknologi informasi telah membawa perubahan pesat bagi dunia pers dan cara masyarakat dalam mengekspresikan pendapat dan perasaannya. Kemajuan ini ditandai dengan tumbuhnya situs-situs berita, blog dan jejaring sosial di internet. Media-media sosial di internet telah menjadi saluran komunikasi alternatif bagi masyarakat. Pengguna media sosial di internet pun tumbuh subur. Namun, dunia maya yang dikenal sebagai media paling bebas pun kini tengah terancam oleh hukum yang tidak demokratis.

Sepanjang 2009, muncul sejumlah kasus kriminalisasi pencemaran nama oleh pengguna internet di Indonesia. Kasus-kasus tersebut adalah:

1. Ujang Romansyah, seorang pelajar di Bogor karena update status di situs jejaring sosial Facebook pada 30 Juni 2009. Ujang dituduh mencemarkan nama baik Felly, pengguna Facebook lain, karena pesan di wall Facebook.

2. Muhammad Iqbal, seorang pegawai honorer di Dinas Kehutanan Lampung, dilaporkan sekretaris Dinas Kehutanan Lampung, Veronica Bertha, ke polisi pada 2 Juli 2009 karena pesan di Facebook. Kasus ini terjadi gara-gara Iqbal mengirimkan pesan di wall Belinda, seorang pegawai honorer di instansi yang sama.

3. Anggota DPRD Sulsel, Imbar Ismail, dilaporkan ke polisi karena Facebook pada 23 September 2009. Imbar telah mengirim pesan ke inbox Facebook milik Dewi Riasari Zainuddin, seorang dokter gigi di Bandung, Jawa Barat. Kata-kata dalam pesan Imbar dinilai mengandung penghinaan karena dianggap tidak pantas.

4. Luna Maya, seorang artis, dilaporkan polisi oleh pekerja infotainment pada 15 Desember 2009. Luna dituduh mencemarkan nama gara-gara pernyataannya di akun microblogging Twitter.com miliknya.

Jika dibanding tahun 2008, kasus pencemaran nama di internet naik dua kali lipat. Pada 2008, terdapat dua kasus, yakni kasus pencemaran oleh blogger Nurliswandi Pilliang atas laporan anggota DPR Alvin Lie dan kasus Prita Mulyasari yang dilaporkan RS Omni International Alam Sutra Tangerang.

Produk Perundang-undangan yang Represif
Kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia terbentur oleh hukum yang tidak demokratis. Kriminalisasi pencemaran nama menjadi senjata untuk menekan orang-orang yang kritis.
Kriminalisasi pencemaran nama tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 14 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal-pasal pencemaran nama dalam KUHP meliputi pencemaran nama kepala negara sahabat (pasal 142 sampai 144), pencemaran nama pejabat negara (pasal 207 dan 208), dan penghinaan terhadap orang lain (pasal 310 sampai 322).

Pencemaran nama melalui media diatur dalam pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Pasal tersebut mengancam hukuman 6 tahun penjara bagi “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Pasal 27 ayat (3) tersebut jauh lebih represif dibanding KUHP, baik dari segi ancaman hukumannya maupun dari rumusan deliknya. Pencemaran nama melalui media elektronik diancam pidana 6 tahun penjara. Sementara, ancaman pidana maksimum untuk delik pencemaran nama di KUHP “hanya” 1 tahun 4 bulan.

Dilihat dari rumusan deliknya, pasal 27 ayat (3) KUHP tidak mensyaratkan pencemaran dilakukan di depan umum. Dengan demikian, pencemaran melalui jalur komunikasi privat juga dapat dijerat oleh pasal ini. Padahal, menurut KUHP pencemaran nama hanya dapat dihukum jika dilakukan di depan umum.

Selain itu, pencemaran nama berdasarkan pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mensyaratkan adanya orang atau lembaga yang jadi obyek, sebagaimana diatur KUHP. Dengan demikian, pencemaran nama terhadap benda atau obyek selain orang dapat dijerat berdasarkan pasal ini. Sementara menurut KUHP, hanya mencemarkan nama orang lain atau badan hukum yang dapat dijerat.

Rumusan seperti itu membuat pasal 27 ayat (3) menjadi pasal karet, sehingga mudah digunakan untuk menjerat siapa pun. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum yang mensyaratkan adanya perumusan yang jelas dan ketat. Dengan demikian, pasal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum.

Selain itu, hukuman 6 tahun penjara berpotensi membuat pasal 27 ayat (3) menjadi aturan yang diskriminatif terhadap jurnalis media online dan pengguna internet. Sebab, bagi orang yang mencemarkan nama dengan media konvensional “hanya” diancam pidana maksimum 1 tahun 4 bulan, sementara pencemaran melalui internet hukumannya 6 tahun. Hal ini bertentangan dengan asas keadilan, sebab memberikan ancaman hukuman berbeda untuk perbuatan yang sama.

Selain pasal 27 ayat (3), ancaman pasal 28 ayat (1) juga mengancam pidana 6 tahun penjara bagi orang yang menyebarkan berita bohong lewat internet. Pasal ini juga jauh lebih represif dibanding pasal 311 KUHP tentang fitnah yang ancamannya 4 tahun penjara.

AJI Indonesia pernah melakukan uji materi terhadap pasal 27 ayat (3) UU ITE, namun Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan tersebut. Untuk itu, saat ini AJI Indonesia mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi UU ITE.

Kekerasan Terhadap Jurnalis
Sepanjang tahun 2009, jurnalis Indonesia masih menghadapi ancaman berbagai bentuk kekerasan. Jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis tahun ini adalah 40 kasus. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi, pembunuhan (1 kasus), pemukulan (20 kasus), larangan meliput (4 kasus), tuntutan hukum (7 kasus), penyanderaan (2 kasus), intimidasi (1 kasus), demonstrasi (2 kasus), dan sensor (2 kasus),.

Dibanding tahun lalu, jumlah kekerasan terhadap jurnalis mengalami penurunan. Menurut catatan AJI Indonesia, sepanjang 2008 terdapat 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kasus-kasus tersebut meliputi pemukulan (21 kasus), intimidasi (19 kasus), larangan meliput (9 kasus), tuntutan hukum (6 kasus), sensor (3 kasus), demonstrasi (1 kasus) dan sensor (1 kasus).

Jakarta, 29 Desember 2009

No comments:

Post a Comment