23 July 2009

I will miss our miscommunications,..

Iman D. Nugroho
Sebuah cerita sangat pendek [di sela delay di Ngurah Rai Denpasar]

Cerita ini berawal dari telepon antara Mumung dan Nurhayati, siang tadi. Bukan sebuah percakapan yang mesra, lebih mirip cerita berbuah aliran air mata. Kekeke,..memang seperti itu. Apa yang dialami Mumung sore ini, seperti sebuah ujung dari semua cerita indah antara Mumung dan Nurhayati. "Tapi aku nggak mau berakhir," kata Mumung di ujung percakapannya. "Nggak bisa, ini sudah menjadi kesimpulanku," Nurhayati sengit. "Tapi.." Mumung terpenggal. "Sapi!, kamu memanggil aku sapi!" Nurhayati meradang.


Mumung kelimpungan. Keinginannya merajuk, berbuah salah pesepsi yang sangat gawat: mengatai sapi!, seperti yang dituduhkan Nurhayati. "Inilah yang sering membuat kita masuk dalam pertengkaran, kamu tidak pernah mencerna apa yang aku katakan," Mumung bertahan. Mirip Elias Pical, petinju Indonesia tahun 80-an saat mendapat serangan. "Sering aku omong apa, eh, nangkapnya apa," Mumung coba tenang. Seperti Kali Ciliwung, saat nggak ada airnya. "Buat apa aku panggil kamu sapi?! Memangnya aku mau binatang itu jadi istriku!" nadanya naik satu oktaf.

Nurhayati bergeming. Perempuan berponi gaya Adi Bing Slamet saat kecil itu diam sejuta bahasa. Jujurnya, Nurhayati ingin tertawa.Tapi sudah terlanjung pasang muka marah. Gengsi dong! Jadinya dia cekikikan tidak terdengar. "Halo-halo,.." Mumung memanggil. "Apa?!" Mumung makin keki. Bingung. Dasarnya, Mumung memang suka bingung kalau Nurhayati marah. Bukan apa-apa sih, cewek yang kalau tertawa sering membuat orang salah sangka ini (maksud lu?") kalau sudah marah jelek banget. Semua hal menjadi salah. Moody,..kata orang bule. Nah, Mumung yang terpaksa merayu untuk mencairkan hal itu.

Tidak selalu berhasil. Malah yang sering, telepon terbanting dengan sengaja. Sudah tak terhitung lagi, berapa kali Mumung memporak porandakan telepon genggam miliknya. Tembok kamar menjadi sasaran paling sering. Sesekali, hape itu mendarat di pohon mangga milik pak Rudy,..eh,..pohon mangga apa punggung pak Rudy ya? Kayaknya pohon mangga deh. Juga mendarat di permukaan air danau di depan kampusnya. Hanya beberapa saat, sebelum blukutuk-blukutuk tenggelam. Karena itu juga, Mumung lebih suka memilih hape murahan. Tak lebih dari Rp.100 ribu. Agar tidak terlalu dalam penyesalan yang datang, setelah hape itu terbelah menjadi beberapa bagian.

Siang ini, sudah tak tahan lagi Mumung untuk membanting hape hitam itu. Eits,..uang Rp.1,2 juta segera melintas. Mumung mengurungkan niat. "Jangan dibanting lagi" teriak Nurhayati. Nah, angin perdamaian neh. "Ayolah burung daraku,..dengarkan dulu penjelasanku," Mumung beraksi. Rayuan gaya Satria Bergitar itu pun meluncur manis. "Apa?!! Bendahara?! Emangnya aku ini pegawai koperasi unit desa, yang ada bendaharanya! Kamu itu ya,...." Nurhayati menahan jengkel. Mumung melongo. Semua ucapannya menjadi disalaharti.

Prakkk!!!

Hape itu terbelah.

No comments:

Post a Comment