05 May 2009

Kampung Tempe Petemon Surabaya Nggak Ada Matinya

Okky F Suryatama

Surabaya(03/05) Makanan khas rakyat Indonesia salah satunya adalah tempe, yang berasal dari bahan baku kedelai. Di Surabaya sendiri ternyata ada yang namanya kampung tempe, kampung tersebut berada tepatnya di Jl Petemon Barat, kecamatan Sawahan, masuk kedalam sebuah gang kecil berukuran lebar 4 meter, di sisi kanan dan kiri ada rumah petak kecil, di sepanjang gang kecil inilah kampung tempe berada. Julukan ini diberikan untuk kampung yang mayoritas penduduknya pembuat dan penjual tempe.


Namanya pak Supri (40) salah satu dari pembuat dan penjual tempe, ia pun tidak sendiri berjuang demi keluarganya untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada kurang lebih 15 orang pembuat tempe sekaligus penjual tempe di gang ini. Pada kesempatan siang itu ketika menemui pak Supri di rumah kontrakannya, ia menjelasakan, pada tahun 1940-an kampung ini sudah menjadi kampung yang memang seluruhnya adalah pembuat dan penjual tempe.

Sedangkan yang menjadi sesepuh di kampung tempe ini adalah pak Sareh (80), dalam sehari ia membeli 18kg kedelai untuk diproses menjadi tempe. Pak Supri menambahkan, untuk sehari – hari pak Sareh yang menjadi sesepuh kampung tempe itu berjualan menggunakan sepeda Jengki berangkat pukul 03:00 pagi, ada juga pak Suprayin (50) yang berasal dari Jombang, rumahnya tepat berhadapan dengan pak Supri, sedangkan untuk berjualan sehari – hari di daerah Simo dekat jalan tol, lalu bu Asih (55) berasal dari lamongan yang berjualan tempe di petemon gang kuburan, serta beberapa warga kampung tempe lainnya di Petemon barat ini.

”Memang sejarah kampung ini dulunya semua pembuat dan penjual tempe mas, waktu dulu itu orang – orang jualan sampai naik kereta kuda yang berisi tempe semua sambil berjualan keliling,” kata pak Supri sambil memberikan segelas air mineral.

Rumah kontrakan yang sudah ditempati selama 6 tahun itu terlihat amat sederhana, disitulah pak supri, istrinya bu Uriyani (36,) serta anaknya kelas 3 SD yang siang itu sedang sekolah. Pak Supri menjelaskan kembali, penjualan tempenya saat ini agak menurun, sejak tahun 1989 ia memulai usaha membuat dan menjual tempe, awal mulanya ikut membantu kakak lalu memutuskan untuk mandiri. “Sudah 19 tahun lamanya mas, membuat dan berjualan tempe, sampai sekarang yang tidak bisa apa – apa, tidak bisa beli rumah sendiri, rumah ini saja masih mengontrak, setiap tahun ya harus bayar 1,5 juta rupiah,” ujarnya sambil tersenyum kecil lalu mempersilahkan minum.

Pak Supri mengatakan, proses untuk membuat tempe sendiri tak ubahnya proses rumit dan lama. Tempe yang dibeli setiap hari di koperasi untuk 1kg-nya Rp 6600 rupiah, saat ini tempe mendapat potongan harga atau subsidi dari pemerintah sebesar Rp 1000 rupiah menjadi Rp 5500 rupiah untuk 1kg kedelai. Sedangkan dalam sehari pak Supri membeli 10kg kedelai jumlah keseluruhan uang yang harus dikeluarkan Rp 55.000 rupiah.

Dengan mengenakan pakaian yang sederhana kaos oblong polos warna biru, pak supri menjelaskan siang itu, untuk proses membuat tempe yang pertama kedelai dicuci bersih dengan air matang, setelah itu kedelai direbus, dalam proses ini kedelai dimasak setengah matang. Sementara itu, di kamar tidur tersekat papan kayu yang bersebelahan dengan dapur disitulah terdapat tong berukuran besar tempatuntuk memasak kedelai, bukan menggunakan kompor minyak tanah atau gas elpiji, melainkan dengan kayu baker, tempatnya sedikit kumuh dan kotor, ini dikarenakan memang usia alat – alatnya terlampau tua, begitu juga kampung tempe yang menjadi sejarah ini.

Selanjutnya, dari dapur kami kembali ke ruang tamu yang memang tanpa ada kursi jadi duduk di ubin tegel, tak terasa waktu pun berjalan dan gema adzan ashar pun berkumandang, lalu pak Supri meminta ijin untuk menunaikan shalat. Setelah itu ia pun menjelaskan kembali, dari kedelai yang setengah matang itu kembali didinginkan perhitungan waktunya kurang lebih 30 menit. Proses demi proses untuk membuat tempe memang perlu diperhitungkan, jika tidak akan sia – sia dan urung menjadi sebuah tempe yang layak untuk diperjualkan. Lalu pak Supri mengatakan, setelah dingin kedelai tersebut harus dibawa keluar untuk digiling, dalam proses menggiling ini kedelai dibawa ke tempat tak jauh jaraknya kira – kira 5 rumah dari tempat pak Supri tinggal.

“Tempat penggilingan itu memang digunakan sudah sejak lama, ada 5 orang yang menggiling disitu, kalau menggiling ya tidak bayar, cuman mengganti biaya listrik sebesar Rp 1000 rupiah satu hari, jadi bayarnya ya bulanan Rp 30.000, kalau pak Sareh (80) sudah punya penggilingan sendiri di rumahnya,” katanya.

Uriyani (36), istri pak Supri pun datang, lalu mempersilahkan memakan jajanan kecil, ia meminta maaf karena keadaan rumahnya yang sangat sederhana. Pak supri mengatakan, setelah proses penggilingan itu, kedelai harus direndam dengan air kemudian diberi ragi, dalam proses ini memakan waktu yang cukup lama sekitar 10 jam. “Ini adalah proses yang rumit dan lama mas, semisal kalau sudah digiling direndam dengan air ragi lalu didiamkan pukul 16:00 sore maka selesainya pukul 02:00 pagi, jam segitu saya sudah bangun untuk mempersiapkan segala sesuatunya mas,” kata pak Supri sambil menunjukkan tempe setengah jadi di dapurnya.

Pria yang berperawakan kecil lahir tahun 1968 dan sudah berjuang untuk hidup dari membuat dan menjual tempe selama 19 tahun ini mengatakan, setelah didiamkan selama 10 jam, tempe yang setengah jadi itu di angin – anginkan dengan kipas angin atau di tempatkan diluar rumah, waktu yang diperlukan kurang lebih selama 30 menit atau 1 jam, setelah itu tempe tentunya belum siap untuk dijual harus menunggu besok, lalu tempe – tempe itu dipotong panjang, dan dikemas dengan plastik agar bersih dan tampak rapi. Pukul 05:30 pagi, usai shalat shubuh, ia berangkat untuk menjual tempe.

“Saya berjualan setelah shalat shubuh, yang lainnya, orang – orang disini sudah berangkat pukul 03:00 pagi, saya yang paling siang berangkatnya, kalau berjualan tempe di daerah kali sosok, lewat Jembatan Merah Plasa, tepatnya di pasar Pesapen, waktu tahun 1995 saya jualan menggunakan sepeda jengki, kira – kira ya 3 tahun naik sepeda jengki, sekarang sudah naik sepeda motor” ungkapnya sambil menunjukkan sepeda motornya di ruang tamu itu.

Sementara itu, pria yang membuat dan menjual tempe, selain itu juga menjadi guru ngaji TPA Libsuttaqwa, didaerah petemon barat, tepatnya di SD Nurul Huda ini mengatakan, tempe yang dijual harganya bervariasi, sesuai dengan potongan tempe, ada yang beli Rp 1000 rupiah, ada juga Rp 2000 rupiah, hasil yang diperoleh dalam penjualan tempe dapat mencapai Rp 100 ribu rupiah sehari, ini merupakan hasil kotor penjualan.

“Uang itu ya tidak cukup mas kalau dihitung – hitung untuk kebutuhan sehari – hari, soalnya belum dipotong untuk ini dan itu, tidak mesti mas untuk pendapatan sehari, tapi saya bersyukur tidak seperti bulan januari lalu, kedelai memang sempat mahal harganya mas sampai Rp 7500 rupiah per kg, wah susah pokoknya,” kata pak Supri sambil tersenyum kembali.

4 comments:

  1. Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai kampung tempe petemon Indonesia.Benar benar sangat bermamfaat dalam menambah wawasan kita menjadi mengetaui lebih jauh mengenai indonesia.Saya juga mempunyai artikel yang sejenis mengenai indonesia yang bisa anda kunjungi di Indonesia Gunadarma

    ReplyDelete
  2. Artikel ini sangat bermanfaat dan menarik sekali
    ST3 Telkom

    ReplyDelete