31 December 2008

Regenerasi Penari Agar Seni Reyog Tak Pernah Basi

Iman D. Nugroho, Ponorogo, Jawa Timur

Alunan suara gamelan khas Ponorogo bertalu-talu, saat Holsea Peter Agung Saputra atau Peter bersama dua temannya beraksi dia atas panggung penutupan Festival Reyog Ponorogo, akhir Desember 2008 lalu. Dengan rancak, Peter yang kini berusia 12 tahun itu menari khas Bujang Ganong, salah satu tokoh dalam tarian Reyog Ponorogo. Tidak hanya menari, Peter dan dua temannya juga jumpalitan bersalto bak atlet senam. Decak kagum dan tawa renyah ribuan penonton yang hadir terdengar.


Peter adalah salah satu seniman muda dalam dunia Reyog Ponorogo. Anak pasangan Andik Riyanto dan Lidya Trimurti itu sudah menggeluti dunia reyog sejak masih bersekolah di taman kanak-kanak. "Sejak awal saya melihat ada bakat menari di dalam anak saya, waktu saya perkenalkan dengan reyog, ternyata dia suka sekali," kenang Andik pada The Jakarta Post. Sejak itulah, Peter seakan tidak pernah berhenti menari.

Sepulang sekolah, Peter mendapatkan latihan privat dari sang ayah. Mulai mengenal jenis-jenis gerakan tari, hingga belajar bersalto. Namanya anak kecil, hal itu dipandang sebagai permainan belaka. "Peter suka sekali menari, sampai prestasi pertamanya diraih saat kelas 4 SD (Sekolah Dasar)," kenang Andik. Saat itu, Peter menyabet juara satu Lomba Tari Bujang Ganong untuk siswa SD se-Ponorogo. Andik pun mengarahkan Peter menjadi seniman profesional dengan memasukkan Peter ke sanggar reyog Singo Aglar Nuswantoro pimpinan Seniman Reyog, Shodik Pristiwanto.

Kehadiran Peter dalam dunia reyog di Ponorogo adalah salah satu gambaran upaya regenerasi seniman reyog di kota itu. Hal itu penting, seperti banyak seni tradisional lain, reyog pun memiliki ancaman tergerus gempuran budaya modern. Hal itu juga yang dirasakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo hingga perlu menstimulus munculnya seniman reyog dengan menggelar Reyog Ponorogo untuk anak-anak atau dikenal dengan Reyog Mini. "Itu salah satu upaya melestarikan Reyog Ponorogo," kata Wiwik Dyah Pratiwi, Kepala Seksi Dinas Promosi Wisata Dinas Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Ponorogo.

Reyog Mini adalah festival Reyog Ponorogo yang dikhususkan untuk anak-anak dan remaja. Pelaksanaan festival yang dimulai lima tahun lalu itu adalah ajang bagi sanggar-sanggar reyog yang banyak tersebar di Ponorogo untuk menunjukkan kebolehan anak didiknya. Juga, ruang apresiasi grup reyog yang dimiliki sekolah-sekolah di Ponorogo.

"Hampir setiap sanggar reyog dan sekolah di Ponorogo memiliki grup reyog, saat Festival Reyog Mini itulah mereka beraksi," kata Wiwik pada The Post. Satu grup reyog mini memiliki paling tidak 40 pemain. Semuanya tersebar sebagai penari Jatilan, penari Dhadak Merak dan Karawitan. Selain festival Reyog Mini, Kabupaten Ponorogo juga memiliki even bertajuk Parade Budaya yang dilaksanakan setiap tahun. Dalam parade budaya itu, seluruh grup reyog di seantero Kabupaten Ponorogo akan menunjukkan performanya dengan berkarnaval keliling kota Ponorogo.

Kabupaten Ponorogo juga memiliki cara lain untuk meregenerasi senimannya. Yakni dengan memasukkan pelajaran Reyog Ponorogo dalam Kurikulum Lokal tiap sekolah di Ponorogo. Dalam mata pelajaran kesenian, siswa di Ponorogo diajarkan secara utuh tentang Reyog Ponorogo. Mulai sejarah, jalan cerita, arti busana yang dikenakan hingga makna gerakan tari tiap-tiap tokoh yang diperankan dalam pagelaran Reyog Ponorogo. Karena kurikulum lokal itulah, mayoritas anak-anak dan remaja di Ponorogo memahami Reyog Ponorogo secara utuh.

Shodig Pristiwanto, salah satu seniman Reyog Ponorogo yang juga pimpinan sanggar reyog Singo Aglar Nuswantoro mengatakan, adanya kurikulum itu mempermudah pegiat seni reyog di Ponorogo untuk meregenerasi seniman reyog. "Kurikulum lokal itu paling tidak sudah meletakkan dasar seni yang kuat bagi seniman reyog di Ponorogo," katanya. Shodig mencotohkan sosok Peter yang juga salah satu anggota sanggar yang dipimpinnya.

Di mata Shodik, Peter adalah sosok seniman muda yang kuat nilai seninya. Karena itu juga, Shodik tidak ragu memasang Peter sebagai pemain tokoh Bujang Ganong saat grupnya mengikuti Festival Reyog Nasional 2008 lalu. Hebatnya, dalam festival itu Singo Aglar Nuswantoro menyabet juara pertama. Prestasi itu tidak bisa dilepaskan dari sosok Peter sebagai salah satu pemain tokoh Bujang Ganong. "Kalau Bujang Ganongnya jelek, mungkin kami tidak akan menang, jadi kemenangan ini adalah kemenangan seluruh anggota sanggar, termasuk Peter," kata Shodik.

Pentingnya regenerasi seniman Reyog juga dirasakan grup Reyog yang ada di luar Jawa, seperti Grup Reyog Margomulyo asal Tarakan, Kalimantan Timur. Menurut Ketua Grup Reyog Margomulyo, Sarju Prasetyo, regenerasi seniman reyog akan terkait dengan masa depan seni Reyog itu sendiri. "Bayangkan saja, sekarang saja, Malaysia sudah berani mengklaim reyog sebagai budaya mereka, bagaimana bila nanti seniman reyog sudah hilang?" kata Sarju pada The Post.

Awal Januari lalu, dalam website Dinas Pariwisata Malaysia termuat klaim reyog sebagai budaya asli Malaysia. Hal itu sempat memicu kemarahan seniman reyog di Indonesia. Termasuk seniman reyog di Tarakan, daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. "Tidak ada solusi lain, selain regenerasi seniman reyog," tegas Sarju.

No comments:

Post a Comment