26 November 2008

Bila si Cacat Berlaga di Tengah Arena


Iman D. Nugroho, Surabaya

Butiran pasir di bak pasir Lapangan KONI Surabaya terpercik ketika Yusak Immanuel mendarat di atasnya.Siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Siswa Budi Surabaya itu meloncat kegirangan. Tangannya melambai ke udara, seakan merayakan hasil loncatannya yang lebih jauh dari yang dia perkirakan. "Saya senang (berlomba seperti ini), Saya ingin jadi juaranya," kata Yusak Immanuel yang menderita tuna grahita itu pada The Jakarta Post, Rabu (26/11) ini.


Yusak Immanuel adalah salah satu dari 230 atlet cacat yang berlaga dalam Kejuaraan Olah Raga anak cacat, yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Olah Raga Cacat (BPOC) Surabaya. Seperti atlet yang lain, Yusak yang menderita Tuna Grahita itu berjuang mendapatkan posisi terbaik dalam sembilan cabang olah raga yang dilombakan. Catur, tenis, lari 100 meter, lari 50 meter, lompat jauh, lompat jauh tanpa awalan, tolak peluru, lempar cakram dan lempar lembing.

Berbeda dengan kejuaraan pada umumnya, lomba yang diikuti oleh anak cacat dari 45 SLB di seluruh Surabaya ini memiliki standarisasi tersendiri. Terutama, mempertimbangkan kondisi fisik peserta lomba yang dalam beberapa hal tidak bisa "sama" dengan orang kebanyakan. "Untuk lomba-lomba yang sifatnya tidak bisa dijangkau oleh kecacatan, jelas tidak bisa diikuti," kata Kasmin, Ketua BPOC pada The Post. Namun, bila jenis lomba itu masih bisa dilakukan, maka tidak ada halangan bagi penderita cacat untuk melakukannya.

Dalam pertandingan Rabu ini, tampak sekali atlet junior SLB itu piawai melakukan berbagai jenis olah raga yang dipertandingkannya. Seperti lomba lari yang dilombakan untuk anak kelas B atau bisu tuli. Sejak mereka melakukan start hingga finish, seperti layaknya atlet profesional. Begitu juga untuk lomba lompat jauh bagi anak-anak Tuna Grahita dan Sindroma Down. Meski pun hasil lompatannya tidak jauh, namun semuanya dilakukan dengan penuh semangat.

Di sela-sela semuanya, ada juga kelucuan yang diakibatkan keterbatasan fisik yang dimiliki atlet. Dalam lomba lempar lembing untuk atlet Tuna Netra misalnya. Tongkat lempar lembing yang dilemparkan, justru mengarah ke penonton yang ada di belakang pelempar. Dalam lomba lari untuk atlet autis dan sindroma down misalnya, ada salah satu atlet yang terus berlari meskipun sudah menembus garis finish. Lomba lompat jauh pun sama. Panitia dan guru pendamping harus mengingatkan cara perlombaan secara berulang-ulang kepada atlet yang akan berlomba. "Lompat ya,...dengan kedua kaki,..jangan melangkah," kata panitia berulang-ulang.

Nunik Malinda, guru olah raga dari SLB Siswa Budi menjelaskan, ada beberapa trik yang harus dimiliki guru untuk melatih anak-anak cacat menjadi atlet. Salah satunya dengan mengetahui karakteristik "kekurangan" anak dan membiarkan anak-anak itu tetap menjadi anak-anak. "Mereka selalu ingin bermain, setelah itu baru mereka diajari pelan-pelan dan di arahkan," kata Nunik. Yang paling susah berhadapan dengan sindroma down dan tuna grahita atau kombinasi keduanya. "Perlu ekstra kesabaran," jelasnya.

Karena kesulitan itulah, jumlah atlet yang dimiliki SLB tergolong sedikit. Dari 53 anak cacat yang bersekolah di Siswa Budi misalnya, hanya lima atlet yang dikirim dalam kejuaraan anak cacat itu. Kondisi serupa juga dialami oleh SLB Sasanti Wiyata. Di sekolah daerah Simorejo, Surabaya itu, para guru harus menghadapi minimnya fasilitas pendidikan, khususnya olah raga. "Kita harus berhadapan dengan minimnya fasilitas, namun mau tidak mau semua itu harus dijalani," kata Biva Syaria Juned, guru di Sasanti Wijaya pada The Post.

Meskipun penuh keterbatasan, bukan berarti Surabaya tidak pernah menelorkan atlet cacat profesional. Dalam sejarahnya, ada tiga atlet cacat profesional asal Surabaya yang pernah berlaga dalamevent internasional. Yan Subiyanto, Wijanarko dan Soeharto. Tiga atlet cabang atletik ini sempat berlaga di event olahraga internasional seperti Jepang, Belanda, Hong Kong, Canada dan Inggris. "Semua itu tergantung bagaimana sang atlet, kalau sang atlet bisa gigih berjuang, dalam kondisi seperti apapun, pasti bisa berprestasi," kata Wijanarko pada The Post.

Sayangnya, dibanding olah raga pada umumnya, hingga saat ini masih terasa adanya diskriminasi pada penyandang cacat. Kasus atlet pencak silat Imam Kuncoro adalah contohnya. Imam yang cacat bisu tuli terpaksa harus "dikalahkan" dan gagal masuk PON meskipun lolos kualifikasi. "Diskriminasi itu memang masih terasa," kata Kasmin, Ketua BPOC.


No comments:

Post a Comment