07 August 2008

Dynand Fariz Merawat dan Mengreasi Fashion di Jalanan


Iman D. Nugroho

Angin mendadak bertiup kencang, saat Dynand Fariz mulai menapaki catwalk dalam Jember Fashion Carnival (JFC) ke-7, awal Agustus 2008 ini. Topi setinggi 1,5 M seberat 7 Kg yang dikenakannya sedikit miring. Bulu dan ornamen di topi itu menjadi terpaan angin. Dengan cekatan, pemrakarsa JFC ini menopang dengan tangan kanannya, sembari terus bergoyang mengukuti irama lagu etnik Papua yang bertalu-talu. “Gila anginnya kenceng banget, kalau tidak biasanya, mungkin bisa langsung jatuh tertiup angin,” kata Dynand pada The Jakarta Post.


Terpaan angin pada topi Dynand Fariz adalah sepihan cerita JFC-7. Selebihnya, sama seperti enam JFC sebelumnya, hanya tepukan tangan dan decak kekaguman yang menjadi kesan pagelaran fashion terakbar di Indonesia itu. Bagaimana tidak, ada 550 model yang berpartisipasi dengan 550 rancangan yang berbeda pula. Belum lagi catwalknya. Sepanjang 3,6 Km, dengan memanfaatkan jalan protokol Kota Jember Jawa Timur. Bisa dibayangkan, ada sekitar 200 ribu penonton yang berjajar di sepanjang jalan yang menyaksikannya. JFC adalah salah satu event “gila” di Indonesia.

“Kegilaan” pagelaran fahion ini terletak pada Dynand Fariz, sang pemrakarsa. “Sejak awal saya menyadari melaksanakn fashion di jalanan memang “gila”, lebih gila lagi, ketika hal itu dilaksanakan di Jember, “ kata anak ke Anak ke 8 dari 11 bersaudara itu pada The Post. Jember, adalah kota yang terletak 190-an Km dari Surabaya, Jawa Timur. Di kota yang merupakan basis Islam tradisional ini, dikenal pula sebagai kota yang konvensional. Budaya campuran Jawa-Madura plus sisi ke-islaman-annya, membuat Jember menolak modernisasi. Apalagi, modernisasi yang dianggap hanya glamor dan hura-hura. “Tapi saya yakin, JFC bukan Cuma urusan glamor dan hura-hura, karena itulah, saya bersikeras menggelarnya di Jember,” kata laki-laki kelahiran Jember, 23 Mei 1953 ini.

Kehadiran JFC berawal dari dibangunnya Rumah Mode Dynand Fariz pada tahun 1998. Tiga tahun kemudian, rumah mode itu menggelar apa yang disebut Pekan Mode Dynand Fariz. Konsepnya sederhana. Yakni, mewajibkan seluruh karyawan rumah mode untuk berpakaian sesuai dengan trend fashion dunia selama seminggu penuh. Tidak puas dengan itu, pada tahun 2002, Pekan Mode Dynand Fariz diisi dengan parade berkeliling kampung dan alun-alun Kota Jember . Hingga pada 2003, Jember pun tergetar saat JFC hadir pertama kali pada 1 Januari 2003, bersamaan dengan HUT Kota Jember.

Pro-kontra pun tidak terelakkan. Apalagi, dalam JFC melibatkan model-model waria yang sampai kini keberadaannya masih diperdebatkan. Dynand tidak ambil pusing. Berturut-turut, lulusan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan ( IKIP ) Surabaya tahun 1984 ini tetap saja menggelar JFC. Berturut-turut, digelar JFC-2 pada 30 Agustus 2003, JFC-3 pada 8 Agustus 2004 dan JFC-4 pada 7 Agustus 2005 dengan tema utama Discover The World. “Tidak banyak orang tahu, penolakan itu bergitu besar, pernah saat beraksi di jalanan, ada seseorang yang meludahi wajah saya,” katanya.

Show must goon. Tentangan yang begitu kuat itu perlahan-lahan hilang saat JFC benar-benar mengglobal. Pada JFC-5lah, cover media massa pada JFC tidak bisa dibendung. Tema Anxiety and Spirit of The World yang diusung dalam JFC-5 itu membuat mata dunia terbelalak. Ada sekitar 200 media massa, dari dalam dan luar negeri, termasuk kantor berita asing dan fotografer profesional dari berbagai negara hadir di Jember untuk mengabadikan momen itu. “Sepertinya, orang mulai tahu, JFC adalah upaya yang harus dilakukan untuk menjadikan Jember sebagai Rio de Janeiro-nya Indonesia,” kata lulusan sekolah mode Esmod Jakarta dan Prancis ini.

Dan “mimpi” itu terbukti bukan isapan jempol semata. Apa yang ditemui dalam JFC, seperti juga yang terjadi di Rio de Janeiro Brazil. Sekitar 500-an model, dari berbagai latar belakang usia, pendidikan dan status social untuk berkarnaval, berfashion run way dan dance, di jalan utama kota Jember disaksikan oleh ratusan ribu penonton di kanan dan kiri jalan. Mereka terbagi dalam beberapa defile yang masing-masing defile mencerminkan trend fashion pada tahun yang bersangkutan. Uniknya, para peserta merancang, membuat, dan memperagakan sendiri costume yang mereka buat. Termasuk make up dan hair style yang ditampilkan. “Yang sering tidak disangka-sangka adalah event lain dari JFC, yakni pengembangan dunia pendidikan, kesenian, budaya dan tentu saja perekonomian,” kata Dynand.

Dynand mengembangkan konsep 4E. Education (pendidikan), Entertainment (hiburan), Exhibition (pameran) dan Economic Benefit (keuntungan ekonomi). Dalam E pertama, Dynand melakukan pendekatan in house training para peserta. Pengetahuan tentang merancang busana, fashion run way, fashion dance, presenter, make up dan hairstyle dan melalui ajang kompetisi ( olympiade) diberikan secara cuma-cuma setahun sebelum acara ini digelar. Bukan tidak mungkin, akan lahir instruktur, leader, koreographer, presenter , singer baru setelah JFC. “Temanya pun tidak sembarangan, ada research dari trend fashion dunia yang bakalan menjadi trend tahun, kreator memang tidak bisa berbicara sendiri, tapi juga mendengar dari pihak lain,” katanya. member of Indonesian Social Interpreneur dari Fellow Ashoka , Washington DC ini.

Dalam JFC-7 2008 ini, Dynand Fariz mengusung World Evolution sebagai tema besarnya. Di dalamnya ada Archipelago Papua, Barricade, Off Earth, Gate-11, Roots, Metamorphic, Undersea dan Robotic. Masing-masing tema dalam World Evolution memiliki nilai filosofi tersendiri. Dalam Arhipelago Papua misalnya, Dynand menginginkan masyakat dunia kembali melirik Papua dengan berbagai fenomenanya. Termasuk “menangkap” air mata masyarakat Papua yang saat ini masih mengalir. “Papua adalah potensi, banyak yang belum digarap di sana, saya ingin masyakat dunia kembali melirik ke sana,” kata peraih Best Costume dan Unique Costume ESMOD Santa Chaterina Day.

Hilangnya sisi natural di dunia coba dimanifestasikan dalam tema Off Earth. Para designer merancang fashion yang penuh dengan plastik berwarna putih. Begitu juga dengan Robotic, penggambaran dunia saat sudah kehilangan manusia dan dipenuhi dengan robot. Roots dan Undersea menyoroti alam Indonesia yang rusak. “Dalam Roots, pesan yang ada adalah mencoba menggali persoalan dari dalam, tidak cuma yang tampak dipermukaan saja,” katanya. Sementara Barricade, Gate-11 dan Metamorphic, memiliki nilai human interest yang kuat. Dynand menangkap adanya semangat manusia untuk menerobos “barikade” nilai-nilai kehidupan. Padahal, manusia mengatuhi, ada kepalsuan di dalamnya, seperti yang tergambar dalam Metamorphic.

“Ironisnya, manusia seringkali acuh tak acuh, seperti saat kita berada di gerbang bandara udara, orang dengan tujuan yang sama namun acuh tak acuh dengan sesamanya, itu yang akan muncul dalam Gate-11,” kata peraih penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk kategori Catwalk Terpanjang pada Penyelenggaraan Jember Fashion Carnaval III ini.

Lima tahun Jember Fashion Carnaval (JFC) berjalan. Pelan-pelan, “benih” yang ditanam Dynand Fariz di Jember mulai menuai hasilnya. Tim JFC pun mendapatkan undangan dari berbagai event nasional dan internasional. Mulai Fashion Street Kuta Karnival Bali, Bali Fashion Week Bali, Exhibition bersama Nusantara Culture dan Foundation Indonesia pimpinan Marzuki Usman di Jakarta, 100th, World Scout Jamboree dalam Indonesian Day London dan Indonesian Reception Day di Mumbay, India. “Ini belum apa-apa, saya minta dukungan untuk terus menjaga dan mengkreasi fashion di jalanan kota Jember dalam JFC selanjutnya,” katanya.



No comments:

Post a Comment