19 July 2008

Eksekusi Mati, Pengacara Merasa Gagal, Kejaksaan Malah Bangga

Iman D. Nugroho

Eksekusi mati dua terpidana mati asal Surabaya, Sumiasih dan Sugeng dilaksanakan di Surabaya, Sabtu (19/07) dinihari. Usai pelaksanaan eksekusi, jenazah keduanya diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan di Malang, Jawa Timur. Pengacara mengaku gagal, Kejaksaan malah bangga.


Drama eksekusi mati Sumiasih dan Sugeng itu diawali dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya. Dengan menggunakan enam mobil, keduanya dibawa di suatu tempat yang dirahasiakan. Beberapa wartawan yang coba membuntuti mobil yang membawa kedua narapidana, tidak mampu mengetahui lokasi pasti eksekusi itu, lantaran keenam mobil itu berjalan ke arah yang berbeda.

Ada dugaan, eksekusi itu dilakukan di lapangan tembak Markas Polda Jawa Timur di Jl. Ahmad Yani Surabaya. Beberapa wartawan yang menunggu di Mapolda Jatim melihat iring-iringan mobil masuk ke Mapolda Jatim. Tak lama berselang, iring-iringan mobil itu meninggalkan Mapolda Jatim dengan diiringi oleh sebuah mobil ambulance, menuju ke RSU Dr.Soetomo Surabaya untuk diotopsi.

“Yang pasti pelaksanaannya di sebuah lapangan luas, lokasi pastinya, jelas rahasia,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur yang juga Ketua Tim ekesekutor, Purwosudiro, Sabtu dini hari, usai pelaksanaan otopsi. Setelah semua proses selesai, jenazah Sumiasih dan Sugeng dirahterimakan kepada keluarga untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum di Malang, Jawa Timur.

Sumiasih dan Sugeng adalah dua terpidana mati yang “tersisa” dalam kasus pembunuhan keluarga Letkol (purn) Marinir Purwanto dan empat anggota keluarganya di Surabaya 1988. Dua terpidana lain, Djais Adi Prayitno (meninggal karena sakit pada tahun 2005-RED) dan Adi Sucipto (dieksekusi mati tahun 1992-RED) sudah terlebih dahulu menghadap sang kuasa.

Atas pelaksanaan eksekusi itu, pengacara dua terpidana mati, Sutedja Djajasasmitha mengaku gagal mengubah nasib Sumiasih dan Sugeng. Upaya hukum Seutedja selama 20 tahun untuk mengubah vonis mati menjadi hukuman kurungan, tidak berhasil. “Namun semua upaya hukum mulai Naik Banding hingga Grasi Presiden, gagal, hingga akhirnya terdakwa dieksekusi pagi ini,” kata Sutedja.

Sutedja menilai, pelaksanaan hukuman mati hendaknya tidak lagi dilakukan diganti dengan hukuman badan seperti hukuman seumur hidup. “Meski gelap, Saya bisa melihat dari kegelapan bagaimana eksekusi itu,” kata Sutedja. Sumiasih dan Sugeng, katanya, duduk di dua kursi berjarak sekitar 20-an meter.

Tangan ibu dan anak itu ditalikan di sandaran belakang kursi. Di depan mereka ada dua regu tembak yang mengambil posisi tiarap. “Saya ada di sana sebagai saksi, para penembak tiarap, setelah ada komando, dua regu tembak itu menembak secara bersama-sama,” kata Sutedja. Semuanya mengarah ke bagian jantung yang ditandai dengan warna terang. Dor! Sumiasih dan Sugeng pun meninggal seketika.

Dua dokter polisi yang disiagakan di lokasi, segera memeriksa keadaan keduanya. Dan memastikan dua terpidana mati yang sudah menunggu pelaksanaan eksekusi selama 20 tahun itu benar-benar meregang nyawa. “Setelah itu Saya diminta menandatangani berita acara,” kata Sutedja. “Sebagai manusia, saya tidak ingin hal itu terjadi, Saya sudah berjuang bersama teman-teman jaringan di seluruh dunia untuk membatalkannya, tapi tetap gagal,” katanya.

Kejati Jatim yang juga Ketua Tim Eksekutor, Purwosudiro mendiskripsikan, Sumiasih dan Sugeng dalam keadaan ikhlas saat pelaksanaan eksekusi. Semua ditunjukkan dengan penandatanganan berita acara eksekusi oleh keduanya sebelum eksekusi dilaksanaan. “Keduanya mata mereka ditutup, mulut mereka dibiarkan terbuka untuk membaca doa,” kata Purwosudiro. Purwosudiro menjelaskan, tembakan peluru pasukan eksekusi menembus tubuh Sumiasih dan Sugeng.

Purwosudiro sempat menyinggung statemen beberapa pihak yang tidak sepakat dengan hukuman mati, dan mengatakan kedua terpidana menjalani hukuman dua kali, 20 tahun kurungan dan eksekusi mati. “Itu tidak benar, hukuman mereka cuma sekali, namun karena terpidana meminta banding, kasasi dan grasi, yang memakan waktu 20 tahun, kesannya pelaksanaan hukuman menjadi sangat panjang,” katanya. Padahal, bila Sumiasih dan Sugeng menerima vonis mati, maka eksekusi bisa langsung dilakukan. Seperti yang terjadi pada terpidana mati Adi Sucipto.

Kepala Kejaksaan Negeri yang juga anggota tim eksekutor, Abdul Azis mengatakan, apa yang dilakukan Kejaksaan Jawa Timur adalah penegakan Undang-Undang. Harus diingat, Sumiasih dan Sugeng sudah melakukan perbuatan keji berupa pembunuhan keluarga Letkol (purn) Marinis Purwanto. ”Pembunuhan yang dilakukan 13 Agustus 1989 itu memang keji, ingat, istri Letkol Purwanto sedang hamil ketika persitiwa itu terjadi,” katanya.

Tidak hanya membunuh, usai melakukan tindakan itu, korban dinaikkan ke mobil dan dibuang ke jurang dalam keadaan terbakar. “Jadi seharusnya kita bangga, penegakan hukum sudah dilakukan di Jawa Timur. Setelah Sumiasih, dua terpidana mati lain di Surabaya menunggu waktu eksekusi. “Tinggal tunggu saja, kalau grasi mereka ditolak, maka eksekusi akan segera dilakukan.

Meski begitu, Abdul Azis mengakui masih ada yang tidak setuju dengan pelaksanaan hukum mati. Ketidaksetujuan itu hendaknya disalurkan ke DPR untuk bisa merubah UU. “Kejaksaan hanya melaksanakan UU saja,” katanya.

No comments:

Post a Comment