29 May 2008

Maulid Hijau, Sebuah Perlawanan “Fatwa” Kacau

Iman D. Nugroho

Usulan fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lumajang pada acara Maulid Hijau mendapatkan perlawanan warga Desa Tegal Randu, Lumajang. Selama tiga hari, acara itu tetap digelar. “Kami hanya menjalankan budaya, kalau MUI Lumajang tetap menfatwa sesat, kami siap melawan apapun yang terjadi,” kata Yunus Afrianto, Lurah Tegal Randu.



“Biarkan kami tetap melaksanakan acara Maulid Hijau ini dan kami siap dengan siksa neraka.” Ucapan ini adalah ucapan besar, ucapan kecongkakan yang belum pernah kita dengar walaupun dari mahluk paling congkak sekalipun semacam Iblis Laknatulloh atau Fir’aun Latnatulloh.

Kalimat bernada kecaman terhadap acara Maulid Hijau itu termuat di selebaran masjid Al I’tisham terbitan Lembaga Da’wah An Nasshirus Sunnah Lumajang. Entah mengapa, selebaran itu menyebar saat Sholat Jumat dilaksanakan di masjid-masjid di Lumajang, Jawa Timur. “Kita tahu siapa yang menyebarkan, biar sajalah, yang penting kita melaksanakan Maulid Hijau dengan niat yang baik,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pemrakarsa Maulid Hijau pada The Jakarta Post.

Maulid Hijau adalah sebuah acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan di samping danau Klakah (Ranu Klakah), Desa Tegal Randu, Kabupaten Lumajang. Acara yang sudah dilaksanakan selama tiga kali ini pada dasarnya adalah menggabungkan perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan penghijauan di sekitar danau.

Acara yang merupakan budaya turun menurun di Tegal Randu ini, sejak setahun lalu menjadi pembicaraan. Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lumajang mengusulkan kepada MUI Jawa Timur agar mengelarkan fatwa atas acara itu. MUI Lumajang menganggap acara itu sesat. Poin kesesatan yang ada di acara itu terletak pada prosesi larung sesaji di tengah danau.

“Memang sudah ada surat usulan untuk menyatakan Maulid Hijau sebagai ajaran sesat, karena acara itu menggabungkan yang benar (pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad) dengan yang tidak benar (Larung sesaji,” kata Ketua MUI Jawa Timur, Abdushomad Bukhori pada The Jakarta Post. Abdushomad menganggap, Maulid Hijau tidak perlu diteruskan.

Penilaian MUI Lumajang atas Maulid Hijau dianggap angin lalu oleh Perguruan Rakyat Merdeka (PRM) selaku panitia pelaksana. PRM menganggap, MUI Lumajang telah menilai dengan keliru pelaksanaan acara itu. “Kalau MUI Lumajang mau memperhatikan, rangkaian acara Maulid Hijau dikemas secara Islami. Larung, hanya budaya masyarakat setempat, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran sesat,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pihak penyelenggara.

Karenanya, pada Jumat-Minggu (23-25/05/08) lalu, acara Maulid Hijau tetap digelar. Seperti acara-acara di daerah berbasis Islam di Jawa Timur, Maulid Hijau pun digelar dengan berbagai kesenian rakyat berbasis keislaman. Seperti lomba Sholawat, lomba Qiro’atil Quran, lomba Tadarus, lomba Adzan hingga lomba balita sehat. Hari kedua, dilaksanakan Isighosah Kubro dan lomba Nasyid. Di puncak acara digelar Yasinan dengan mengundang kyai setempat.

Yang membuat acara ini berbeda, di sela-sela acara, dilaksanakan aksi penanaman benih pohon di sekitar danau. Benih itu diharapkan menjadi penguat tanah di sekitar Ranu Klakah yang belakangan mulai tergerus oleh aksi penebangan pohon. “Coba Anda, mana di antara rangkaian acara ini yang mengandung kesesatan,” kata Aak.

Karena keyakinan itu juga, masyarakat Tegal Randu kekeh membela acara yang dinilai bisa meningkatkan keimanan kepada Islam, sekaligus menambah semarak potensi wisata Danau (Ranu) Klakah itu. Sasmitho, 80, salah satu sesepuh Desa Tegal Randu menganggap usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu sebagai sebuah kebodohan. “Kalau tidak bodoh, tidak mungkin seperti itu, ini adalah cara budaya dalam kemasan Islam,” kata Sasmitho dalam bahasa Madura.

Sasmitho menjelaskan, sejak dirinya masih muda, acara semacam Maulid Hijau sudah dilaksanakan. Dengan nama yang berbeda tentunya. Namun intinya tetap sama, mendoakan kelahiran Nabi Muhammad. “Kami di Tegal Randu semuanya orang Islam, dan kami melaksanakan Maulid Nabi Muhammad juga dengan cara Islam, mengapa harus dilarang, apa MUI Lumajang menganggap kami sedesa ini sebagai orang yang sesat?” katanya.

Seluruh masyarakat Desa Tegal Randu siap melawan MUI Lumajang bila memang MUI Lumajang bersikukuh melarang acara ini. Penegasan itu dikatakan Lurah Tegal Randu Yunus Afrianto. Yunus yang juga guru tari di Tegal Randu menyiapkan pemuda-pemudi setempat untuk ikut berlaga di acara itu. “Ini acara dari rakyat dan untuk rakyat, mengapa harus dilarang,” kata Yunus.

Ironisnya, usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu berbuah buruk bagi Maulid Hijau. Beberapa pengisi acara yang dijadwalkan hadir memeriahkan, membatalkan diri pada detik-detik terakhir. Begitu juga dengan peserta lomba Hadrah. Dari 21 peserta, hanya 4 peserta yang bisa tampil. Yang lebih parah, jumlah stan bazaar yang disediakan panitia, kosong di beberapa tempat. Tidak ada pedagang yang bersedia mengisi.

“Sponsor pun tidak ada yang berani berpartisipasi, mereka juga ikut takut karena usulan fatwa sesat itu, kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya membawa kerusakan di muka bumi?” kata Aak Abdulah Al Kudus.


No comments:

Post a Comment