03 May 2008

11 Kasus Kekerasan Terjadi di Jawa Timur dan Madura

Press Release

"Ketika jurnalis dipenjarakan, hak informasi publik dipidana, perempuan dan pemeluk agama dilecehkan, maka tunggulah hari-hari kegelapan itu.."


Hari ini, 3 Mei 2008, masyarakat pers di dunia memperingati Hari
Kebebasan Pers atau World Press Freedom Day. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mengingatkan kekerasan terhadap pers dan ancaman
kriminalisasi dapat mengancam kebebasan pers dan hak informasi publik
secara luas.

Sejak Mei 2007 sampai Mei 2008 Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia menghimpun 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam
berbagai bentuk. Dalam periode itu terjadi 7 kasus ancaman, 5 kasus
pelecehan, 7 kasus pengusiran, 3 kasus pemenjaraan, 4 kasus sensor
berita, 21 kasus serangan fisik, dan 8 kasus tuntutan hukum.
Berdasarkan sebaran wilayah, kekerasan paling banyak terjadi di
propinsi DKI Jakarta (13 kasus), Jawa Timur dan Madura (11 kasus),
serta Jawa Barat dan Depok (8 kasus). Dari segi pelaku kekerasan
terhadap pers dan jurnalis yang terbanyak ialah massa dan preman,
aparat pemerintah, dan aparat TNI/Polri.

Contoh : Dua wartawan TV dan seorang jurnalis radio babak belur
dikeroyok massa di alun-alun Bojonegoro karena kecewa dengan
pemberitaan pers (30/4). Sebelumnya (2/4) dua wartawan TV-One yang
sedang bertugas dianiaya oknum Angkatan Laut yang "berdinas" di
kawasan bisnis Cikarang, Bekasi. Di NTT, secara berturut-turut
wartawan Expo NTT disiksa Sekretaris Daerah Ende (16/2), dan wartawan
Pos Kupang dikeroyok oleh 4 orang preman terkait pemberitaan (17/2).

Kekerasan Non-Fisik
Di luar kekerasan langsung bersifat fisik, kebebasan pers di tanah air
terancam oleh segelintir orang yang menggunakan kekuasaan uang atau
jabatannya. Pada September 2007, wartawan Tempo, Metta Darmasaputra
yang melakukan investigasi dugaan penggelapan pajak oleh PT Asian Agri
milik taipan Sukanto Tanoto, justru disadap dan diancam dipidanakan
oleh aparat Kepolisian Metro Jaya. Fakta ini menunjukkan bahwa
jurnalis dan yang menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan benar
lebih sering mengalami ancaman dan bahaya.

Kekerasan tidak langsung juga dilakukan oleh aparatur penegak hukum
dari Kejaksaan sampai Mahkamah Agung. Sederet kasus penuntutan,
pelarangan terbit dan penghukuman oleh pengadilan terjadi sepanjang
Mei 2007-Mei 2008. Risang Bima Wiyaja (Radar Yogya), Dahri Uhum
(Tabloid Oposisi-Medan), Majalah Time (Asia), dan Edy Sumarsono
(Tabloid Investigasi-Jakarta) adalah sederet nama yang dipaksa
menjalani tuntutan dan putusan pemidanaan akibat pemberitaan pers.
Mereka adalah korban kriminalisasi oleh negara justru pada saat
Indonesia telah memiliki Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang
"bersifat" lex spesialis.

Yang terbaru, negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali
mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang Undang
(UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja
UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi
Publik, RUU Pemilu, dan RUU KUHP yang didalamnya mengandung ancaman
penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar
aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310,
311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini
dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers
dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan
atau nama baik yang tercemar.

Menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 3 Mei
2008, AJI menyatakan keprihatinan mendalam atas terjadinya berbagai
tindak kekerasan terhadap pers. Situasi ini menggambarkan merosotnya
penghargaan publik terhadap pers dan belum optimalnya kesadaran aparat
pemerintah tentang peran dan fungsi pers yang sesungguhnya. AJI
Indonesia kembali mengingatkan bahwa kebebasan pers dijamin dalam
Konstitusi dan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan :

1. Meminta aparat penegak hukum tidak lagi melakukan pemidanaan
terhadap karya jurnalistiknya dan ikut membantu menghentikan
terjadinya tindak kekerasan terhadap pers dan jurnalis

2. Mengajak semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang telah
disediakan oleh UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers apabila menghadapi
sengketa karya jurnalistik, yakni menggunakan hak jawab, hak koreksi,
dan mengadu kepada Dewan Pers

3. Mengajak setiap jurnalis agar meningkatkan profesionalisme dan
kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, menjauhi praktek-praktek
tidak terpuji yang menjatuhkan citra pers dan jurnalis secara umum.
Mari satukan langkah menghadapi ancaman kebebasan pers yang makin
nyata.


Ketua AJI Indonesia
Heru Hendratmoko
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi
Eko Maryadi



No comments:

Post a Comment