10 April 2008

Melawan Konversi Minyak Tanah Dengan Kompor Solar dan Serbuk Gergaji

Iman D. Nugroho

Ketika masyakat pengguna minyak tanah mengantri untuk mendapatkan minyak tanah yang semakin langka dan melambung harganya, H. Ali Soleh memilih untuk mengutak-atik kompor dagangannya. Satu pertanyaan yang ada dibenaknya, bagaimana kompor minyak tanah bisa terus menyala, dalam kondisi serba sulit seperti sekarang. "Setelah Saya coba, akhirnya Saya menemukan bahwa minyak solar lebih mudah dan murah untuk menggantikan minyak tanah," katanya pada The Jakarta Post. Perlawanan konversi minyak tanah pun dimulai..


H. Ali Soleh bisa jadi adalah salah satu dari jutaan orang di Indonesia yang terimbas naik dan langkanya minya tanah yang belakangan terjadi. Bedanya Haji Ali, tidak hanya pusing karena harga yang melambung, melainkan juga karena semakin sedikit konsumen yang membeli kompor produksinya. "Saya adalah pembuat kompor, sejak minyak tanah gonjang-ganjing, maka omset kompor buatan saya menurun hingga 80 persen," kata Haji Ali. Tidak hanya itu, laki-laki asli Sidoarjo, Jawa Timur ini juga harus memberhentikan 100 orang karyawan pabrik kompor miliknya.

Padahal sebelum gonjang-ganjing minyak tanah ini terjadi, kompor buatan Haji Ali yang dijual Rp.25-35 ribu itu bisa laku hingga 1000 biji/harinya. Sekarang, hanya laku, 250 biji/hari. Kondisi itu membuat bapak tujuh anak ini berpikir keras untuk tetap bertahan. Kuncinya, menurut Haji Ali, adalah mencari sumber bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah.

Program pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah dengan gas elpiji, menurut Haji Ali masih belum bisa diterima oleh masyarakat. "Masih banyak orang yang takut menggunakan gas," katanya. Pilihan bakar bakar alternatif itu jatuh pada solar. Bahan bakar minyak yang biasa digunakan untuk menjalankan mesin diesel itu, menurut Haji Ali memiliki karekter yang hampir sama dengan minyak tanah.

Apalagi, dari segi harga, solar relatif lebih murah, meskipun saat ini, harga solar masih lebih tinggi dari minyak gas. "Harga minyak gas sekitar Rp.3500/liter, sementara solar Rp.4300,-, tapi bila subsidi minyak tanah sudah dicabut, maka harga minyak tanah bisa melambung menjadi Rp.8000,-an, sementara harga solar tidak berubah,"katanya. Karena itu, dalam jangka panjang, harga solar masih bisa dijangkau. Haji Ali pun melakukan beberapa percobaan sederhana untuk mengukur kemampuan solar bila digunakan menjadi untuk kompor minyak.

Dalam percobaan itu, Haji Ali menemukan bukti bahwa kompor minyak tanah pun bisa dengan langsung diganti dengan solar. Tidak perlu dimodifikasi ulang. Dalam kondisi normal, solar yang diisikan di kompor minyak bisa menghasilkan api yang hampir sama dengan minyak tanah. "Coba lihat, apinya biru, seperti minyak tanah," kata Haji Ali ketika mencoba kompor solar dihadapan The Post. Panas yang dihasilkan pun relatif sama.

Untuk mendidihkan 5,5 air, kompor solar memerlukan waktu sekitar 30 menit. Waktu yang sama dengan kompor minyak. “Kalau melihat hasilnya, sepertinya panas yang dihasilkan pun tidak berbeda, mengapa tidak menggunakan solar untuk mengganti minyak tanah yang semakin mahal dan langka,” kata Haji Ali. Hanya saja, Haji Ali mengingatkan, tidak mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan solar. Bisa-bisa bisa dituduh menimbun solar. “Katanya kalau beli solar dalam ukuran banyak, akan dituduh menimbun ya, haha,..” celotehnya.

Inovasi Haji Ali tidak benhenti. Suksesnya eksperimen dengan solar, membuat pembuat kompor sejak 1982 itu kembali bereksperimen. Kali ini, serbuk berbaji kayu akan menjadi salah satu obyek percobaan. Ide serbuk gergaji kayu ini memang bukan ide orisinal. “Saya mendengar, sudah banyak orang di daerah Probolinggo, Jawa Timur yang menggunakan sebuk gergaji kayu untuk bahan bakar,” katanya.

Hanya saja, penggunaan serbuk gergaji secara tradisional tidak efektif dan cenderung boros. Secara sederhana, serbuk gergaji itu hanya dibakar saja. Namun, Haji Ali coba memadatkan dan mencetaknya menjadi balok-balok kecil. Dengan kepadatan yang tinggi, maka serbuk gergaji akan menjadi bahan bakar yang berkualitas. “Saya masih pesan serbuk bergaji untuk saya padatkan, bila sudah Saya nilai layak, mungkin akan Saya jual,” katanya.

Menyangkut ide serbuk gergaji ini, Haji Ali menekankan perlunya dilihat jenis kayu yang digunakan. Ada beberapa kayu yang menghasilkan minyak, bila serbuk gergajinya dipadatkan. “Karena itu, serbuk bergaji padat, belum sepenuhnya bisa digunakan, masih saya uji lagi,” jelasnya.

Satu hal yang pantas dipuji adalah, keikhlasan Haji Ali dalam menciptakan ide-ide kratif untuk keluar dari keterpurukan. “Semua masyarakat bisa menggunakan ide Saya ini dengan bebas, bahkan bila akan memproduksi secara massal, silahkan saja, asal bisa memudahkan hidup yang serba susah ini,” katanya. Hebat!


No comments:

Post a Comment