20 August 2007

Perjalanan Sang Budha Di Tebing Tandus

Jalan di lereng perbukitan di Desa Jireg, Bondowoso, Jawa Timur itu tampak lengang. Sesekali, melintas sepeda motor di atas jalan beraspal kasar itu, setelah itu sepi kembali menyelimuti. Di daerah kering, berbatu cadas dan jauh dari hiruk pikuk itulah, terdapat sebuah goa yang dipercaya merupakan goa dengan relief perjalanan Sang Budha terlengkap di dunia.

Sebuah goa di Desa Jireg, Kecamatan Cermee, Kabupaten Bondowoso tiba-tiba saja menjadi bahan pembicaraan. Salah satu Sekte Agama Budha di Indonesia, Theravada mengatakan, goa yang oleh masyarakat di kawasan itu disebut sebagai Gowa Buto (dalam bahasa Madura berarti raksasa-red) itu adalah goa dengan relief perjalanan Sang Budha terlengkap di dunia. Namun, karena lokasinya yang jauh dengan kondisi medan terjal, maka tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan goa ini.

Lokasi goa ini terletak di perbukitan kawasan timur Kabupaten Bondowoso. Tepatnya berada di sempalan jalur Kabupaten Bondowoso ke arah Kabupaten Situbondo, Jawa Timur Atau sekitar 250 KM dari Kota Surabaya. Untuk menuju ke lokasi goa, bisa ditempuh dengan menggunakan mobil atau sepeda motor pribadi. Menyusuri jalan terjal dan berliku yang membentang dari Kecamatan Cermee menuju Desa Jireg sejauh 30-an KM. Melewati hutan Sengon dan hutan Jati.

Sampai di Desa Jireg, bukan berarti “perjuangan” ke Gowa Buto sudah berakhir. Di Desa Miskin berpenduduk 116 keluarga itu, perjalanan akan berlanjut dengan berjalan kaki menuruni tebing dengan kemiringan 70 derajat. Menapaki bebatuan bukit kapur sejauh kurang labih 200 meter, di antara ilalang. Di pertengahan jalan setapak itulah, Goa Buto berada. Letaknya di salah satu cekungan terjal, dipayungi Pohon Sengon tua.

Dalam pengamatan The Jakarta Post, goa itu terdiri dari tiga bagian yang tersebar di tiga tempat dengan jarak sekitar 100 meter. Lokasi pertama berada di sisi kanan jalan setapak, dengan lambang relief kepala raksasa atau Buto di langit-langit goa itu. Lokasi kedua dan ketiga berada di sisi kiri jalan setapak. Di goa kedua inilah, terpahat gambar punden, kerbau dan bunga teratai.

Karena lokasinya lebih menjorok ke dalam, tepat di bawah pahatan punden mengalir mata air. Di dua lokasi goa itu berserakan bunga-bunga dan sesajian. Bekas ritual yang dilakukan di tempat itu. “Tempat dari goa itu yang menjadikan goa ini sebagai satu-satunya di dunia,” kata Ketua Dewan Sesepuh Shangha Theravada Indonesia, Dhamma Subho Mahathera, Senin (13/08) ini di Surabaya. Diperkirakan, situs yang ditemukan tahun 1980-an ini berusia hampir 800 tahun lebih.

Bondowoso adalah salah satu daerah di Jawa Timur yang memiliki peninggalan benda purbakala bersejarah. Dalam catatan Balai Penyelamatan Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan ada sekitar 822 benda purbakala yang di temukan di kabupaten yang selama ini dikenal sebagai kawasan miskin itu. Mulai kursi batu, sarkofagus, dolmen, arca hingga goa. Tersebar di tujuh kecamatan di kabupaten itu. Paling banyak, benda purbakala ditemukan di Kecamatan Grujukan.


Data BP3 menyebutkan, ada lima jenis benda purbakala yang ditemukan di Kecamatan Cermee. Semua berbahan baru breksi dan teridentifikasi berasal jaman pra sejarah. Sayangnya, tidak tampak adanya upaya dari Pemerintah Kabupaten Bondowoso untuk secara khusus menangani benda-benda purbakala itu.

Di Goa Buto misalnya. Selama ini hanya “dijaga” oleh Misraya,47, warga Desa Jireg yang ditugaskan menjaga peninggalan purbakala itu. Laki-laki lulusan SD ini menggantikan ayah mertuanya, Sumarto yang juga memiliki tugas yang sama. Setiap tiga hari, Misraya mengunjungi Goa Buto untuk membersihkan situs purbakala itu. Dalam satu bulan, Misraya mendapatkan gaji sebanyak Rp.280 ribu.

Kepada The Jakarta Post Misraya mengaku tidak mengetahui cerita dibalik situs purbakala itu. “Saya tidak tahu sejarahnya, yang pasti tugas saya hanya membersihkan saja,” katanya. Bagi laki-laki empat cucu ini, yang dia tahu adalah seringnya Umat Budha dari etnis Tionghoa yang mengunjungi tempat itu untuk berdoa.

Nisin,40, salah satu warga Desa Jireg yang tinggal sekitar 200 meter dari lokasi gowa menceritakan hal yang sama. Meski jarang, dalam satu bulan pasti ada rombongan umat Budha yang mengunjungi tempat itu. Selain berdoa, mereka juga mempersihkan lokasi di lereng bukit itu. “Biasanya mereka akan mampir ke desa untuk berbincang-bincang dengan warga desa,” kata Nisin.


Dalam kenangan Nisin yang asli Jireg ini, kondisi Goa Buto beberapa tahun lalu jauh lebih baik. Banyak patung-patung yang bisa ditemukan di lokasi itu. “Tapi lama-lama jumlah patung itu tidak ada. “Saya ingat, dulu banyak patung di Gowa Buto, apakah dicuri orang, saya tidak tahu,” katanya.

Dicuri atau tidak, kondisi di Goa Buto memang tampak tidak terurus. Selain tidak adanya akses ke lokasi yang memadai, di tempat yang seharusnya disucikan bagi Umat Budha itu tumbuh subur taman liar. Relief yang terpahat di bebatuan pun mulai rusak karena korosi dan desakan akar pohon besar yang ada di lokasi itu.

Kondisi itu juga yang membuat Yenny, pemimpin Vihara Budha Yayasan Maitreya Bondowoso merasa prihatin. Menurut perempuan keturunan Tionghoa ini, harusnya kalau ada penemuan penting seperti yang ditemukan di Jireg, Bondowoso, maka harus disosialisasikan dan dijaga keberadaannya. “Karena menurut keyakinan kami, pasti ada maksud dibalik pembuatan tempat suci itu,” kata Yenny pada The Jakarta Post.

Yenny mengaku, dirinya baru mengetahui adanya Goa Buto atau Goa Budha itu ketika minggu ini goa itu menjadi bahan pembicaraan. Besar kemungkinan, umat Budha di Bondowoso yang saat ini berjumlah 1500-an orang pun belum banyak yang mengatahui hal itu. “Kalau itu adalah sejarah, maka harus diberitahukan ke masyarakat luas,” katanya. Semoga perjalanan Budha di tebing tandus akan berlanjut...



1 comment:

  1. Anonymous10:03 am

    Banyak dari kita yang tidak peduli kepada identitas, siapakah sebenarnya kita sebagai bangsa, yang punya perjalanan sejarah yang cukup panjang ini. Kita pernah menjadi bangsa yang besar, dengan keragaman budaya dan agama. Tapi kini banyak yang tidak peduli

    ReplyDelete