23 March 2007

Peta Baru dan Mekanisme Pembayaran Belum Disepakati

Keputusan rapat antara Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Kementerian Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dengan jajaran Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pansus DPRD Jawa Timur, Kamis malam kemarin, belum bisa direalisasikan.


Hingga Jumat (23/03) ini, Peta baru yang diharapkan menjadi bukti otentik bagi warga korban lumpur pasca ledakan pipa gas 22 Nopember lalu, sebelum ganti rugi dibayarkan, belum disepakati. Selain itu, mekanisme pembayaran pun masih ruwet.

Bupati Sidoarjo Wien Hendrarso yang memaparkan Peta Baru wilayah luberan lumpur Lapindo pada Panitia Khusus (Pansus) Lumpur Lapindo DPRD Jawa Timur, Jumat ini pulang tengan tangan hampa.

Pansus DPRD Jawa Timur yang diharapkan bisa menyetujui batas baru wilayah yang terkena semburan lumpur, memilih untuk mendesak pemerintah agar membuat Peraturan Pemerintah (Perpu) yang memayungi keputusan Peta Baru itu.

"Perlu ada payung hukum untuk itu, payung hukum yang melindungi hak warga untuk memperoleh uang ganti rugi, juga yang memperlonggar batasan tanah warga dalam peta baru," kata M. Rofik, anggota Pansus Lumpur Lapindo DPRD Jawa Timur.

Sementara Bupati Wien Hendrarso memilih memprioritaskan pada batas wilayah pada peta baru sesuai hasil rapat. "Harus dipetakan yang jelas dulu batasan wilayahnya, ini yang disepakati pertama dan ditandatangani Ketua Pansus, Ketua DPRD Jatim dan DPRD Sidoarjo," katanya. Hingga pertemuan berakhir, belum ada kesepakatan berarti.

Belum selesai kasus Peta Baru, di Sidoarjo, Ketua Tim Nasional (Timnas) Semburan Lumpur Lapindo, Basuki Hadimulyono mendapat protes dari warga desa Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo lantaran tidak ada titik temu mekanisme pembayaran ganti rugi lahan yang terendam lumpur Lapindo. Keempat desa itu lebih dahulu terendam sebelum ada ledakan pipa gas.

Tidak adanya titik temu itu berawal dari tidak adanya kesepakatan data lahan yang terendam. Pihak PT. Minarak Lapindo Jaya, perusahaan di bawah Lapindo Brantas Inc yang bertugas membayar ganti rugi masyarakat, meminta pemerintah menggunakan data dari Tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Sementara masyarakat bersikukuh untuk menggunakan data desa yang ada di kelurahan masing-masing.

Sayang, PT. Minarak Lapindo Jaya tidak hadir dalam pertemuan itu. Dan hanya "mewakilkan" pada Basuki. "Kalau kita sepakat menggunakan data ITS, maka persoalan ini bisa cepat selesai," kata Basuki dalam forum pertemuan yang digelar di Kantor Kabupaten Sidoarjo.

Hanya saja, masyarakat menganggap data yang dimiliki ITS pun tidak selengkap data desa setempat. "Tapi, apakah data yang dimiliki ITS itu valid? Kan juga ada data yang dimiliki oleh kelurahan, data kelurahan lebih kuat karena itu data pemerintah," bantah Lurah Jatirejo, Makmudatul Fajiah.

Data yang dimiliki kelurahan juga termasuk data-data informal jenis tanah Petok "D" dan Petok "C". Data-data semacam itu tidak dimiliki oleh ITS. "Makanya kami rasa lebih baik menggunakan data desa," kata Makmudatul, disambut teriakan setuju warga lain.

Meski akhirnya Basuki menyatakan setuju menggunakan data desa, namun dirinya tidak berani menjamin apakah Pt. Minarak akan setuju dengan keinginan warga itu. "Saya akan sampaikan ke PT. Minarak," kata Basuki. Basuki menambahkan, kesepakatan tentang mekanisme pembayaran dan data yang digunakan adalah hal yang penting. Karena bila peta baru disepakati, maka kesepakatan ini akan digunakan pula oleh wilayah lain yang ada di dalam peta baru itu.

Sementara itu di lokasi semburan lumpur, luberan air lumpur kembali akan menggenangi rel KA. Timnas Semburan Lumpur kesulitan membendung luberan air itu karena hujan kerap kali mengguyur wilayah itu. "Tapi tetap kami usahakan secepatnya," kata Juru Bicara Timnas, Rudi Novrianto.


Kawasan tergerang menurut peta baru:

1. Perumtas 1: 6518 unit rumah
2. Kedung Bendo: 768 unit
3. Ketapang: 76 unit, 8 ha sawah
4. Gempolsari: 73 unit, 13,8 ha sawah
5. Kalitengah: 30 unit, tanah 8,8 ribu m3
6. Renokenongo: 800 unit rumah

No comments:

Post a Comment