Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Keroncong Kenangan
       

13 Maret 2010

Nyamannya Berkendara di AS, Indonesia Harusnya Juga Bisa

Maya Mandley

Perjalanan jauh dengan menggunakan mobil membelah Benua Amerika, asyik juga. Sejak di sini, beberapa kali Aku melakukannya. Sejauh yang aku ingat, Aku pernah berkendara dari kota Oakhurst di negara bagian New Jersey (di bagian timur benua Amerika), ke kota Fort Wayne, negara bagian Indiana (di arah barat). Jarak sekitar 600 miles atau 1000 Km. Suamiku yang nyupir, mampu menempuh jarak itu 'hanya' dengan 12 jam saja. Cukup lumayan untuk ukuran jalan darat. Selain mobilnya ber-cc besar, jalan yang mulus, juga menjadi salah satu faktor yang membuat perjalanan itu lebih cepat. Sorry, bukan bermaksud membandingkan, tapi, bila perjalanan dengan jarak yang sama di lakukan di Indonesia, mungkin, perlu waktu yang lebih panjang.

Waktu berangkat dari Oakhurst, kami pergi ke arah barat lewat jalan tol dengan melewati 4 negara bagian. Mulai dari New Jersey Turnpike, Pennsylvania Turnpike, Ohio Turnpike dan terakhir Indiana Turnpike. Kondisi jalan tol di 4 negara bagian ini sangat terawat. Karena memang jalan tol ini merupakan jalan penghubung utama antara negara-negara bagian itu. Maka tak heran kalo selama perjalanan banyak sekali truk-truk besar yang mengangkut kontainer. Satu arah paling tidak ada 2 lajur. Bahkan di daerah yang tergolong sibuk, satu arah bisa sampai 4 lajur.

Jadi ingat perjalanan panjang Surabaya-Jakarta yang sering Aku lakukan, dulu. Saat baru saja pindah ke Surabaya, hampir setiap tahun aku dan adik-adikku bersama orang tua, mudik ke Jakarta. Sebagai keluarga besar dengan penghasilan yang pas pasan, kendaraan pertama ayah adalah minbus Daihatsu Hijet 1000. Kendaraan kecil itu yang mengantar kami pergi mudik. Jalur pantai utara pulau Jawa-akrab disebut Pantura- menjadi pilihan tersering. Di jalur dua arah itu, sering minibus kamu harus berhadapan dengan truk besar. Bahkan di beberapa tempat, ada pasar tradisional.. Harus pelan-pelan karena banyak pedagang memanfaatkan jalan untuk menggelar daganganya.

Hal lain yang membedakan di AS adalah cara pembayaran tol nya. Sebagai negara yang mengutamakan teknologi, ada sistem pembayaran tol lewat alat yang namanya EZ Pass. EZ Pass adalah semacam alat sensor yang diletakkan di kaca depan mobil. Dengan alat ini, kepadatan di pintu tol bisa terkuranganl. Sebab, dengan masuk ke booth yang bertanda EZ Pass dengan kecepatan antara 25 miles saja, pengemudi tak perlu berhenti untuk bayar toll. EZ Pass sensor di kaca depan mobil akan secara otomatis terhubung dengan sensor di pintu toll khusus itu. Si pemegang EZ Pass biasanya menerima statement setiap bulan, seperti halnya statemen kartu kredit. Konsumen yang ingin mendapatkannya harus berlangganan pada perusahaan EZ Pass, dengan mencantumkan nomor plat mobil yang akan dipasang dan nomor kartu kredit untuk pembayarannya.

Meski sudah ada EZ pass, cara pembayaran manual seperti halnya jalan tol di Indonesia juga ada. Jumlahnya tidak sebanyak pintu toll EZ Pass. Di Indiana, cara pembayarannya lebih unik lagi. Waktu masuk ke jalan tol, pengemudi mengambil tiket (seperti di Indonesia) dan di akhir tujuan, tiket itu dimasukkan sebuah mesin. Mesin itu akan secara otomatis "membaca" tiket, dan menjelaskan berapa yang harus dibayar. Pilihannya, kartu kredit atau cash. Kalau ingin ada tanda terimanya, tinggal pencet tombol receipt, dan tanda terima akan muncul.

Tarifnya reasonable. Waktu lewat NJ Turnpike, kami hanya dikenakan USD 1 (atau Rp.10 ribu) karena tak begitu panjang. Sementara di Pennsylvania Turnpike, kami dikenakan USD. 24 (atau sekitar Rp.240 ribu), karena kami melewati jalan tol dari batas timur negara bagian Pennsylvania, hingga batas baratnya sejauh 532 miles atau 855 km. Dari akhir Pennsylvania Turnpike ke Ohio Turnpike, hanya membayar USD. 3 (atau 30 ribu). Sisanya, di Indiana Turnpike, hanya USD 75 cents .s

Seperti jalan tol di Indonesia, jalan tol di Amerika juga punya batas kecepatan maksimal. Batas kecepatan paling rendah adalah 55 miles/jam (90 km/jam) dan yang tercepat adalah 70 miles/jam (115 km/jam). Tapi umumnya adalah 65 miiles/jam (110 km/jam). Sepanjang jalan tol itu juga ada tempat istirahat dengan bensin (biasanya ada 4 pompa), kamar mandi (yang sangat bersih karena dirawat) dan juga ada kedai makanan cepat saji. Di beberapa tempat juga ada toko yang menjual souvenir. Tentu saja lapangan parkir di tempat istirahat ini sangat luas.

Dan yang paling penting, di Indonesia, perjalanan Surabaya-Jakarta, bertujuan kumpul-kumpul sanak keluarga yang sudah setahun tak bertemu. Rasa capek dalam perjalanan, terobati dengan pertemuan indah lebaran. Sementara di Amerika, yang dikejar adalah kasur empuk hotel karena aku jalan jauh untuk menemani suami dinas! :)

*tulisan Kabar Dari Seberang lainnya, klik di sini.

| republish | Please Send Email to: [email protected] |

[ Photo Corner ] Simbolisasi

Fully Syafi

Seperti yang pernah dibahas sebelumnya, kali ini simbolisasi menjadi sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Dalam sebuah demonstrasi di Surabaya, saya mencoba memperkuat simbolisasi itu dengan hanya menampilkan sosok seorang demonstran berpenutup kepala bergambar obama dan kartun setan. "Kekuatan" foto coba saya munculkan dengan kawat berduri. Not bad,..

*analisa foto lain dalam Photo Corner Iddaily, klik di sini.

| republish | Please Send Email to: [email protected] |

12 Maret 2010

12 Maret, Hari Tanpa Sensor Internet se-Dunia

Iman D. Nugroho | Youtube.com

Jumat (12/3) ini, adalah Hari Tanpa Sensor Internet se-Dunia. Menurut data yang dilansir Reporter San Frontieres, di seluruh dunia ada 12 negara yang telah memenjarakan jurnalis/blogger/aktivis. Di antaranya Azerbaijan, Birma, China, Maroko, Rusia, Siria, Thailand dan Vietnam. Persoalan ini penting untuk diingat dalam konteks ke-Indonesiaan. Apalagi, pagi-pagi Menkominfo Tiffatul Sembiring merencanakan RUU IT dan RUU Konten yang membatasi penggunaan internet. Akankan Indonesia menjadi salah satu negara yang membatasi kebebasan informasi di internet?



| republish | Please Send Email to: [email protected] |

[ Cerita Pendek ] Ibu

Senja Madinah | Bagian I

Di sinilah aku sekarang. Di pantai sebelah selatan, koordinat 0º5' Lintang Utara dan 104º27' Bujur Timur. Tanjung Pinang. Kota pelabuhan yang terletak di pulau Bintan, kepulauan Riau. Di temani rintik hujan yang turun satu-satu. Di langit, awan begitu pekat, berwarna kelabu. Hampir hitam. Meskipun tak mengurangi kecantikan kota ini.

Kota yang elok. Seharusnya aku bisa menikmati kota yang memiliki pesona eksotis ini. Dengan bahasa yang unik, bahasa Melayu yang masih tergolong klasik. Sedikit aneh terdengar di telinga. Namun memiliki daya tarik tersendiri.

Tapi, itu seharusnya. Karena pada kenyataannya, aku justru ikut menangis, seperti langit itu. Aku baru saja lari. Lari dari, aduh! Akan sangat panjang kalau diceritakan. Karena aku telah melakukan pelarian empat kali!

Pelarian ketiga ke Surabaya. Aku lari ke ibu kota propinsi, untuk menemui Yaris, lelakiku. Dia sakit. Jantung. Dan saat itu sedang dirawat di RSUD dr Soetomo. Kedatanganku ternyata hanya untuk menyambut kematiannya. Mengantarnya ke peristirahatan terakhir. Hatiku luruh bersama tanah yang menutup jasadnya.

Ya, pelarian keduaku karena pacar yang ku kenal melalui teman main karibku. Tapi, tak pernah mendapatkan restu dari orang tuaku. Dari Bapak tiriku, tepatnya. Di depan ibu, dia selalu mencibir, pergaulan di luar sangat tidak baik untuk perawan sepertiku. Aku hanya bisa menelan ludah. Karena kalau saja aku punya sedikit keberanian, pasti ludah itu ku cipratkan ke mukanya.

Aku tak pernah percaya padanya. Pada laki-laki ketiga yang mengisi hidup ibu. Aku tak pernah percaya, karena lelaki yang tak sudi ku panggil bapak itu, pernah mencoba mengangkangi ku, saat ibuku sedang menstruasi. Atau saat ibuku sedang pergi ke pasar untuk berdagang ikan.

Karena itu, aku tak pernah betah tinggal di rumah. Sebab di tempat itu, aku seperti berada di sebuah ngarai di lereng tebing dengan dinding-dinding terjal yang menjulang menembus tajuk terburai menjadi jarum, sirip, serta menara. Bak tsingy di Madagaskar. Hingga aku nyaris tak mungkin memanjat dinding-dinding runcing itu.

Tapi, aku tak pernah bisa meninggalkan rumah itu. Atau setidaknya, tidak bisa jauh dari rumah itu. Sebab bapak tiriku acap kali memukul ibu dengan alasan yang tak jelas. Sialnya, ibu selalu marah jika aku mengangkat pisau atau timba untuk ku lempar kepadanya. Seperti malam itu, ketika bapak memukulinya karena kepergok mengobrol dengan Suami kedua ibu. Aku yang tak tahan dengan perlakukan bapak melemparnya dengan timba berisi penuh cucian.

“Nyapo koen nduk? Menengo, ojo melu-melu urusane wong tua! (Ngapain kamu nak? Diamlah, tak usah ikut urusan orang tua!)” Katanya sambil balik memukulku, dan mengusirku.

Ah, aku tak pernah mengerti tentang cinta yang sedang bersemi dan mereka bangun itu. Cinta yang begitu banyak kemarahan di dalamnya. Begitu banyak cemburu. Bahkan, ibu tak jarang ke orang pintar meminta syarat agar bapak tak melirik ke perempuan lain. Banyak uang yang terbuang sia-sia pada kyai atau orang pintar sebangsa dukun itu. Padahal kami bukan orang berkecukupan. Hmm,… Aku jadi begidik sendiri, kalau saja ibu tahu orang yang begitu dipujanya itu pernah mencoba memerawaniku.

Sepulang dari Surabaya, aku mendapati tulang pipi ibuku lebam. Belum lagi lengan dan mungkin di beberapa bagian yang terselip di balik daster yang dikenakannya. Dia pasti dipukuli karena kenekatanku kabur melalui jendela kamar atas, tempat anak kost. Ia terkejut melihatku. Buru-buru mencari celah, untuk menyembunyikanku. Tapi terlambat.

“Ngapain kamu pulang, anak binal? Sudah ketemu dengan kontol Surabaya itu? Kenapa tidak sekalian ngecer di gang Dolly?” Suaranya kasar, menukik-nukik di telinga. Membuatku geram. Lebih geram lagi, karena usahaku untuk menjaga keperempuananku diejek begitu hina bahkan oleh orang yang pernah ingin merenggutnya.

Belum sempat aku menoleh untuk membalas umpatan, kedua tangannya ku rasa menjambak rambutku yang keriting. Jambakan itu dihentakkan ke belakang, hingga membuatku terjengkang. Dari arah depan, ku lihat ibu berusaha meraih kaki laki-laki itu. Memohon-mohon agar tak lagi memukulku. Hidungnya menyentuh jempol kaki bapak. Air matanya bercucuran, seiring suaranya yang parau merintih.

“Sudah, tak perlu membela anak tak tahu diuntung ini. dieman, ora ngerti (disayang kok nggak ngerti)!” Tukasnya sambil berusaha melepaskan kakinya dari cengkraman ibu.

“Mas, wes to mas,… isin dirungoke tonggo, (mas, sudahlah mas, malu didengar tentangga)” Suara sengau ibu termakan isak tangisnya. Ku lihat para tetangga mulai berdatangan melihat dari ujung pintu yang menganga.

“Awakmu mbelani? Mbelani bocah ra kena dieman iki? (kau membelanya? Membela anak yang tidak tahu diuntung ini?)” Satu tangan terlepas dari kepalaku. Sedikit lega, merasakan aliran darah sedikit normal. Tapi ternyata, tangan kanan itu justru mengambil rotan dan mengayuhkannya ke tubuh ibu. Rasa sakit di hatiku lebih meleleh daripada kepalaku yang mulai berdenyut-denyut.

Aku berusaha meraih botol topi miring yang terletak di sudut ruang tamu. Tarikan tangannya yang berusaha memburu ibu menguntungkan posisiku. Selain luput dari pandangannya, tarikan itu membuatku bisa berdiri. Saat itulah ku arahkan botol kosong itu ke tengkuknya, sekuat tenaga. tetesan darah mengucur dari tempat bersembunyinya otak kecil.

Aku terkesiap. Ia menolehku. Sedikit meringis, sebelum akhirnya amarah itu kembali memenuhi matanya yang semakin membesar dan memerah. (bersambung)

*Ibu Bagian II, klik di sini.

*Ibu Bagian III, klik di sini.


| republish | Please Send Email to: [email protected] |

Shutter Island, Tegang, Rumit, tapi Asyik

Jojo Raharjo

Leonardo di Caprio is back. Itulah topik rubrik film ID Daily kali ini membahas lakon aktor ganteng itu yang kembali berduet dengan sutradara Martin Scorsese. Saat ini, Shutter Island” masih tayang di gedung-gedung bioskop di Jakarta maupun kota besar lainnya.

Shutter Island mengambil setting seorang pria yang diduga menghabisi isteri dan ketiga anaknya, diadaptasi dari novel tahun 2003 dengan judul sama karangan Dennis Lehane. Film ini menampilkan kisah Teddy Daniels yang diperankan oleh Leo Di Caprio dan partnernya Chuck Aule yang dimainkan Mark Ruffalo. Dua anggota U.S. Marshal itu menyelidiki hilangnya seorang pembunuh, Pada 1954, setelah kabur dari rumah sakit dan diduga bersembunyi di sebuah pulau terpencil. Mereka mengalami masalah ketika angin topan menghantam tempat itu dan kemudian terjebak dalam kerusuhan yang dilakukan oleh para narapidana.

Film ini cukup menegangkan dan bisa membuat kamu tidak berkedip dari awal sampai akhir. Hanya saja, memang butuh ketelitian dan kecermatan untuk memahami alur ceritanya yang berliku. Sebagaimana duet Leo dan sutradara Martin Scorsese sebelumnya, Shutter Island juga diharapkan meraup sukses.

Shutter Island merupakan film keempat hasil kolaborasi sutradara Martin Scorsese dan artis Leonardo Di Caprio yang sukses meluncur mulus ke puncak box office Maret ini. Sebelumnya, Martin dan Leo sudah merilis Gangs of New York, The Aviator , dan The Departed. Film-film itu pun sukses secara prestasi maupun komersil. “Shutter Island", film yang dirilis Paramount untuk musim gugur sampai musim dingin ini, memuncaki tangga film Amerika Serikat dengan meraih keuntungan 40,2 juta dollar AS.

Setelah pemutaran perdana Shutter Island di Djakarta Theater beberapa waktu lalu, saya berbincang dengan Muti Siahaan, pengamat film yang juga wartawati majalah Kawanku Muti mengakui, butuh konsentrasi tersendiri untuk mengikuti alur cerita film Shutter Island. “Ceritanya seperti main game ya. Tergantung otak kita menginterpretasikannya seperti apa, ya itulah yang terjadi. Seperti tokoh utama yang diperankan Leo ini, sebenarnya dia punya pikiran dan dunia sendiri yang berbeda dengan dunia yang dilihat orang lain,” kata Muti.

Muti Siahaan mengakui, kekompakan antara sutradara dan seorang aktor utama memegang kunci sukses film ini. ”Mungkin karena mereka pernah bekerjasama beberapa kali jadi klik nya ketemu. Leo pun jadi tahu bagaimana karakter yang diinginkan Martin Scorsese, yang memang terkenal kuat kalau bikin karakter,” ungkapnya.

Itulah, kisah film “Shutter Island”.yang menyadarkan kita betapa pentingnya keluarga dan kasih sayang di antara hidup yang kadang terasa begitu keras. Masih penasaran? Tonton saja langsung filmnya di bioskop kesayangan kamu.

| republish | Please Send Email to: [email protected] |