Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pati berani!
       

20 Agustus 2007

Perjalanan Sang Budha Di Tebing Tandus

Jalan di lereng perbukitan di Desa Jireg, Bondowoso, Jawa Timur itu tampak lengang. Sesekali, melintas sepeda motor di atas jalan beraspal kasar itu, setelah itu sepi kembali menyelimuti. Di daerah kering, berbatu cadas dan jauh dari hiruk pikuk itulah, terdapat sebuah goa yang dipercaya merupakan goa dengan relief perjalanan Sang Budha terlengkap di dunia.

Sebuah goa di Desa Jireg, Kecamatan Cermee, Kabupaten Bondowoso tiba-tiba saja menjadi bahan pembicaraan. Salah satu Sekte Agama Budha di Indonesia, Theravada mengatakan, goa yang oleh masyarakat di kawasan itu disebut sebagai Gowa Buto (dalam bahasa Madura berarti raksasa-red) itu adalah goa dengan relief perjalanan Sang Budha terlengkap di dunia. Namun, karena lokasinya yang jauh dengan kondisi medan terjal, maka tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan goa ini.

Lokasi goa ini terletak di perbukitan kawasan timur Kabupaten Bondowoso. Tepatnya berada di sempalan jalur Kabupaten Bondowoso ke arah Kabupaten Situbondo, Jawa Timur Atau sekitar 250 KM dari Kota Surabaya. Untuk menuju ke lokasi goa, bisa ditempuh dengan menggunakan mobil atau sepeda motor pribadi. Menyusuri jalan terjal dan berliku yang membentang dari Kecamatan Cermee menuju Desa Jireg sejauh 30-an KM. Melewati hutan Sengon dan hutan Jati.

Sampai di Desa Jireg, bukan berarti “perjuangan” ke Gowa Buto sudah berakhir. Di Desa Miskin berpenduduk 116 keluarga itu, perjalanan akan berlanjut dengan berjalan kaki menuruni tebing dengan kemiringan 70 derajat. Menapaki bebatuan bukit kapur sejauh kurang labih 200 meter, di antara ilalang. Di pertengahan jalan setapak itulah, Goa Buto berada. Letaknya di salah satu cekungan terjal, dipayungi Pohon Sengon tua.

Dalam pengamatan The Jakarta Post, goa itu terdiri dari tiga bagian yang tersebar di tiga tempat dengan jarak sekitar 100 meter. Lokasi pertama berada di sisi kanan jalan setapak, dengan lambang relief kepala raksasa atau Buto di langit-langit goa itu. Lokasi kedua dan ketiga berada di sisi kiri jalan setapak. Di goa kedua inilah, terpahat gambar punden, kerbau dan bunga teratai.

Karena lokasinya lebih menjorok ke dalam, tepat di bawah pahatan punden mengalir mata air. Di dua lokasi goa itu berserakan bunga-bunga dan sesajian. Bekas ritual yang dilakukan di tempat itu. “Tempat dari goa itu yang menjadikan goa ini sebagai satu-satunya di dunia,” kata Ketua Dewan Sesepuh Shangha Theravada Indonesia, Dhamma Subho Mahathera, Senin (13/08) ini di Surabaya. Diperkirakan, situs yang ditemukan tahun 1980-an ini berusia hampir 800 tahun lebih.

Bondowoso adalah salah satu daerah di Jawa Timur yang memiliki peninggalan benda purbakala bersejarah. Dalam catatan Balai Penyelamatan Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan ada sekitar 822 benda purbakala yang di temukan di kabupaten yang selama ini dikenal sebagai kawasan miskin itu. Mulai kursi batu, sarkofagus, dolmen, arca hingga goa. Tersebar di tujuh kecamatan di kabupaten itu. Paling banyak, benda purbakala ditemukan di Kecamatan Grujukan.


Data BP3 menyebutkan, ada lima jenis benda purbakala yang ditemukan di Kecamatan Cermee. Semua berbahan baru breksi dan teridentifikasi berasal jaman pra sejarah. Sayangnya, tidak tampak adanya upaya dari Pemerintah Kabupaten Bondowoso untuk secara khusus menangani benda-benda purbakala itu.

Di Goa Buto misalnya. Selama ini hanya “dijaga” oleh Misraya,47, warga Desa Jireg yang ditugaskan menjaga peninggalan purbakala itu. Laki-laki lulusan SD ini menggantikan ayah mertuanya, Sumarto yang juga memiliki tugas yang sama. Setiap tiga hari, Misraya mengunjungi Goa Buto untuk membersihkan situs purbakala itu. Dalam satu bulan, Misraya mendapatkan gaji sebanyak Rp.280 ribu.

Kepada The Jakarta Post Misraya mengaku tidak mengetahui cerita dibalik situs purbakala itu. “Saya tidak tahu sejarahnya, yang pasti tugas saya hanya membersihkan saja,” katanya. Bagi laki-laki empat cucu ini, yang dia tahu adalah seringnya Umat Budha dari etnis Tionghoa yang mengunjungi tempat itu untuk berdoa.

Nisin,40, salah satu warga Desa Jireg yang tinggal sekitar 200 meter dari lokasi gowa menceritakan hal yang sama. Meski jarang, dalam satu bulan pasti ada rombongan umat Budha yang mengunjungi tempat itu. Selain berdoa, mereka juga mempersihkan lokasi di lereng bukit itu. “Biasanya mereka akan mampir ke desa untuk berbincang-bincang dengan warga desa,” kata Nisin.


Dalam kenangan Nisin yang asli Jireg ini, kondisi Goa Buto beberapa tahun lalu jauh lebih baik. Banyak patung-patung yang bisa ditemukan di lokasi itu. “Tapi lama-lama jumlah patung itu tidak ada. “Saya ingat, dulu banyak patung di Gowa Buto, apakah dicuri orang, saya tidak tahu,” katanya.

Dicuri atau tidak, kondisi di Goa Buto memang tampak tidak terurus. Selain tidak adanya akses ke lokasi yang memadai, di tempat yang seharusnya disucikan bagi Umat Budha itu tumbuh subur taman liar. Relief yang terpahat di bebatuan pun mulai rusak karena korosi dan desakan akar pohon besar yang ada di lokasi itu.

Kondisi itu juga yang membuat Yenny, pemimpin Vihara Budha Yayasan Maitreya Bondowoso merasa prihatin. Menurut perempuan keturunan Tionghoa ini, harusnya kalau ada penemuan penting seperti yang ditemukan di Jireg, Bondowoso, maka harus disosialisasikan dan dijaga keberadaannya. “Karena menurut keyakinan kami, pasti ada maksud dibalik pembuatan tempat suci itu,” kata Yenny pada The Jakarta Post.

Yenny mengaku, dirinya baru mengetahui adanya Goa Buto atau Goa Budha itu ketika minggu ini goa itu menjadi bahan pembicaraan. Besar kemungkinan, umat Budha di Bondowoso yang saat ini berjumlah 1500-an orang pun belum banyak yang mengatahui hal itu. “Kalau itu adalah sejarah, maka harus diberitahukan ke masyarakat luas,” katanya. Semoga perjalanan Budha di tebing tandus akan berlanjut...



17 Agustus 2007

Aku Mengenalmu Sebagai Indonesia

Aku mengenalmu sebagai Indonesia
Negeri yang disebari dengan ribuan pulau
Begitu banyaknya pulau itu,..
Hingga Aku tak pernah ingat nama-namanya
Namun Aku meyakini, di setiap pulau itu tertulis prasasti:
"Aku bagian dari Indonesia, Aku cinta negeri ini,.."

Aku mengenalmu sebagai Indonesia
Negeri dengan lebih dari 220 juta orang di dalamnya
Berbagai suku, bahasa, agama dan budayanya
Tentu saja, dengan berbagai persoalan yang melekat pada mereka
Yakinlah, persoalan itu yang membuat rakyatmu semakin cinta

Aku mengenalmu sebagai Indonesia
Negeri dengan bencana yang tidak pernah berhenti
Entah, semua terjadi karena hukuman bagi dosa orang-orang di dalamnya
Atau justru manifestasi rasa cinta Tuhan pada umatnya
Tak tahu lagi, kemana harus bertanya,..

Aku mengenalmu sebagai Indonesia,...
Indonesia
yang sama
Indonesia yang menjadi cita-cita


14 Agustus 2007

Ketika Si Buta Berlomba Tujuhbelasan

Suara tawa mulai terpecah ketika Eka Kristian, Biko Danusworo dan M.Ismail mulai berlomba. Ketiga remaja tuna netra itu mencoba menggigit kerupuk yang tergantung tali, tepat di depan wajah ketiganya. Di saat yang sama, angin nakal menggoyang-goyangkan krupuk, menyulitkan mereka. “Ayo Eka,..jangan menyerah Biko,...gigit terus dong Ismail,” sorak sorai menonton yang menyaksikan lomba makan krupuk, Selasa (14/8) siang ini.

Seperti di banyak tempat di Indonesia, pelaksanaan lomba dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-62 juga digelar di Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB)-A Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (YPAB) Surabaya yang memiliki 14 siswa. Bedanya, lomba-lomba yang dilaksanakan di tempat itu disesuaikan dengan kemampuan peserta lomba yang semuanya tidak mampu melihat atau tuna netra. “Kami mengadakan lomba yang sekaligus melatih kemampuan anak didik dan mempraktekkan pelajaran yang sudah dipelajari,” kata Tutus Setyawan, salah satu guru SMPLB YPAB.

Lomba-lomba yang digelar antara lain, lomba mencari pasangan, lomba tenis meja, lomba makan kerupuk, lomba menyanyi lagu perjuangan, lomba mengambil bola dan lomba memasang sepatu. “Bila diperhatikan, lomba-lomba itu mengasah orientasi mobilitas siswa-siswa, terutama ditekankan kepada kemampuan motorik,” kata Tutus yang sehari-hari mengajar pelajaran pijat memijat atau massage.

Dalam lomba mencari pasangan misalnya. Peserta lomba diharapkan bisa mengetahui pasangan mereka hanya dengan memegang lengan, tanpa boleh bersuara. Hal itu mengasah kemampuan meraba. Dalam lomba tenis meja pun sama. Tidak seperti tenis meja normal, tenis meja versi YPAB hanya dinilai kemampuan peserta memukul bola dengan menggunakan bet tenis meja. Bola yang digunakan dalam tenis meja itu diisi oleh beras atau gotri besi, sehingga bisa terdengar saat menggelinding. “Kemampuan mendengarkan adalah kunci kemenangan,” kata Titus.

Muhammad Ismail, 15, adalah salah satu siswa yang menikmati digelarnya perlombaan Tujuhbelasan itu. Remaja asli Surabaya ini berhasil menyabet juara pertama dalam lomba mencari pasangan. Sementara dalam lomba makan kerupuk, anak pasangan Agus Sulaiman dan Hasna Julia itu menempati urutan kedua. “Saya baru sekali ini ikut Tujuhbelasan di YPAB, ramai juga di sini,” Ismail.

Ismail mengaku, meski dirinya tuna netra, namun hal itu tidak membuat warga Ampel Surabaya ini merasa berbeda dengan anak-anak lain yang bisa melihat. “Kalau anak-anak lain bisa berlomba, saya pun juga bisa kan,” katanya. Karena itu jugalah, sejak Ismail menyadari kekurangannya, tetap saja tidak ada perubahan prilaku keseharian. Bahkan, Ismail pun memiliki cita-cita yang tidak kalah hebat. “Saya ingin menjadi guru les organ dan les komputer,” katanya.

Demikian halnya dengan Muhammad Syofi Isa Anshori, 16. Remaja asal Sidoarjo Jawa Timur ini merasa aktivitas yang dilakukan di YPAB benar-benar mampu membangkitkan semangatnya. “Ketika saya tahu saya tuna netra, saya sempat bersedih, tapi ketika saya kumpul dengan teman-teman tuna netra yang lain dan melakukan kegiatan yang sama ketika saya masih bisa melihat, rasanya nggak sedih lagi,” kata remaja yang mulai merasakan kebutaan saat kelas 2 SMP ini.

Karena itulah, Syofi tidak bersedih meskipun dalam perlombaan kali ini dirinya sama sekali tidak menyabet predikat juara. “Yang penting bisa senang-senang dengan teman-teman,” kata anak kedua pasangan Kardi dan Lulik Pujiati ini. Syofi membayangkan, selepas dari SMPLB ini dirinya bisa merealisasikan cita-citanya untuk bisa menjadi guru agama bagi anak-anak tuna netra.

Semangat tinggi siswa tuna netra dan 12 guru SMPLB ini menjadi suntikan energi bagi pengelola Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB). Pihak yayasan bertekad untuk terus meningkatkan fasilitas di sekolah seluas 1,6 hektar ini. “Sejak tahun 1959 semangat kami sudah jelas, ingin memberi kesempatan kepada siswa tuna netra untuk bisa berkarya seperti orang normal pada umumnya,” kata Kepala Sekolah Eko Purwanto.

Eko menjelaskan, selama ini pihak pemerintah sudah cukup perhatian dengan nasib guru-guru SMPLB. Dalam setahun terakhir, hampir semua guru di sekolah ini diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS). “Kami tetap berharap pemerintah memberikan suntikan dan lebih banyak, karena tanpa dana, semua yang kita perjuangan kepada tuna netra akan menjadi sia-sia,” ungkap Eko Purwanto. Semoga pemerintah mendengarnya.


13 Agustus 2007

Tangki Solar Dekat Semburan Lumpur Lapindo Meledak

MELEDAK
Sebuah tangki penyimpanan solar milik perusahaan sabun, meledak 100 meter dari tanggul cincin pusat semburan lumpur Lapindo Porong Sidoarjo, Minggu (11/8) sore. Meledaknya tangki itu disebabkan aksi pencurian dan pemotongan tangki yang dilakukan oleh tiga orang warga Porong, Sidoarjo. Meski tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini, namun sempat menyita perhatian karena ledakan terjadi di dekat pipa gas milik Pertamina yang melintas di sekitar tanggul. Beruntung api yang berkobar selama dua jam berhasil ditaklukkan.


07 Agustus 2007

Tradisi Baru Masyarakat Jember: Fashion Carnaval!

Enam tahun lalu, ketika Jember Fashion Carnaval (JFC) digelar pertama kali, tidak pernah terbayang acara fashion show ini akan terus bisa berlangsung. Namun, pelaksanaan JFC 6 tahun 2007 ini telah membuktikan bahwa kota/kabupaten kecil di Jawa Timur itu telah memiliki tradisi baru tingkat dunia: Fashion Carnaval!

Minggu (5/8/07) ini, untuk keenam kalinya Jember Fashion Carnaval digelar di Kota Jember Jawa Timur. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan fashion show massal itu mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat kota yang dikenal sebagai Kota Tembakau dan Kota Suar-suir itu.

Sekitar 150 ribu orang menyemut di pinggir jalan protokol yang juga catwalk sejauh 3,6 KM itu. Mereka bersorak ketika defile peserta JFC melintas dari dari Jl.Sudarman hingga Gedung Olahraga (GOR) Kota Jember. Gerimis yang turun malu-malu siang itu pun tidak mereka hiraukan.

Sorak sorai pentonon JFC memang bukan tanpa alasan. Rancangan disain pakaian, make up, tata rambut hingga penyajian modern yang ditunjukkan oleh 450 orang peserta JFC memang selalu mengundang decak kagum. Belum lagi asesoris tambahan yang semakin memperkaya penampilan peraga busana yang semuanya berasal dari kota Jember itu.

Tema besar JFC kali ini, Save Our World benar-benar terasa. Penerjemahan dalam delapan defile, Borneo, Prison, Predator, Undercover, Amazon, Chinese Opera, Anime dan Recycle menajamkan garis perbedaan JFC dengan even fashion yang banyak digelar di berbagai daerah di Indonesia. “Selain tema, jauhnya catwalk yang hingga saat ini masih yang terpanjang di dunia juga yang membuat JFC tetap berbeda,” ungkap Dynand Fariz, pemrakarsa yang juga Presiden JFC pada The Jakarta Post.

KELUAR DARI BERBAGAI KENDALA

Dynand Fariz boleh berbangga dengan buah karyanya. Apalagi, sejarah pelaksanaan JFC seringkali berbenturan dengan berbagai kendala. Mulai penolakan fashion show yang dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat, hingga keadaan cuaca yang kerap kali tidak menentu. “Saya ingat, bagaimana tahun-tahun lalu kita begitu ditentang, spanduk yang kita pasang pun sering hilang, kita dianggap merusak bangsa dan pada hari H JFC pertama, hujan deras sekali, ha,..ha,..,” kata Dynand sambil tertawa.

Yang paling menyakitkan, penolakan itu salah satunya disebabkan karena JFC melibatkan para waria, selain pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum sebagai peraga busana. “Para penolak JFC sepertinya lupa, event ini adalah pertunjukan fashion yang sama sekali tidak berhubungan dengan hal negatif yang dikhawatirkan,” katanya.

Selain fashion show, event ini juga menawarkan berbagai kegiatan positif. Seperti ajang kompetisi fashion, dancer, singer dan presenter hingga kursus in house training fashion yang diberikan secara cuma-cuma. “Lalu sisi negatifnya mana? JFC harus jalan terus,” tanya Dynand. Hingga masuk ke JFC ke-5 pada tahun 2006 lalu, penolakan masih terasa. Bahkan semakin besar. Tapi dibalik itu, justru JFC pada tahun itu sekaligus sebagai salah satu momentum tinggal landas bagi fashion show yang dilaksanakan di kota berjarak 222 KM dari Surabaya itu. Pada tahun itulah, JFC mulai mendapatkan undangan untuk tampil di berbagai event busana.

Beberapa event besar yang patut dibanggakan adalah Kongres International di Bandung, Pawai Budaya di Istana Negara Jakarta, Kuta Carnival di Bali, Bali Fashion Week, Kutai kertanegara Parade dan Jambore Pramuka International di London Inggris. “Bukan omong kosong, sambutannya sangat meriah,” kenang Dynand.

Laki-laki asli Jember itu menceritakan, di Jambore Pramuka International di London Inggris busana JFC yang dikenakannya sempat dinilai sebagai busana yang “tidak lazim”. Beberapa pengunjung dan wartawan asing di London mempertanyakan hal itu kepada Dynand. “Waktu itu saya perform baju bertema Bali, banyak yang bertanya, kok saya tidak melihat desai baju ini di Bali, padahal saya pernah ke sana,” kata Dynand menirukan.

AJANG BAGI DESIGNER MUDA

Hal penting yang paling mahal dalam setiap pelaksanaan JFC adalah kesempatan bagi designer muda atau bahkan designer yang sebelumnya tidak pernah mendesign baju untuk unjuk gigi dalam event yang kini sudah punya nama di event fashion international ini. Eko Purwanto adalah salah satunya. Pemuda asal Banyuwangi, Jawa Timur ini adalah salah satu designer muda yang dalam JFC ke-6 kali ini menempatkan karyanya sebagai master dalam defile Chinese Opera.

Busana karya Eko didominasi warna merah menyala. Dengan jubah dan topi yang menawarkan kemegahan baju kekaisaran China pada abad ke 13. Belum lagi tongkat, sepatu dan asesoris lain yang senada dengan baju yang dikenakan. “Saya terinspirasi film Kera Sakti, saya mencoba membuat baju seperti yang dikenakan tokoh di film itu, tentu saja, dengan tambahan-tambahan lain,” kata lulusan sekolah mode Esmod Jakarta ini pada The Jakarta Post.

Yang menarik, Eko mengkolaborasikan baju rancangannya dengan tambahan lain, seperti kawat kassa nyamuk sebagai topi, kemucing (pembersih debu) sebagai tanduk atas, serta kain-kain perca yang dipotong dengan motif yang senada dengan Chinese Opera. Hasilnya, sebuah jubah kaisar China seberat 10 kg pun tercipta untuk komandan defile Chinese Opera JFC.

Prasetyo, designer muda lain yang juga menyajikan karyanya dalam JFC ke-6 lebih memilih tema Amazon. Laki-laki pendiam ini menyajikan sebuah baju yang sepintas terkesan dingin, mengerikan namun tetap indah. Padahal, baju yang didesignnya berasal dari kain karpet, terpal, keset dan sabut kelapa. “Kuncinya pada cara memotong yang seirama dengan daun-daun yang ada di hutan Amazon,” kata pemuda yang akrab dipanggil Pras ini.

Lain lagi dengan Arif Trifajar Setyawan, 14 dan Oki Guntur Dwi Permadi, 14. Dua anak siswa Sekolah Menengah Pertama di Jember ini rela mengorbankan barang yang paling berharga demi JFC. Aris misalnya, mengorbankan seragam pencak silat miliknya untuk diubah menjadi busana bernuansa China. Sementara Oki, lebih suka mempraktekkan pelajaran Tata Busana yang didapatkannya di sekolah.

Hasilnya pun tidak mengecewakan. Bagi Frank Abi asal Swis, petunjukan JFC yang dilakukan di Jember sangat menarik. “Its lovely, beautiful, joyful, entertaining and diverent,” kata Frank pada The Jakarta Post. Sepertinya JFC adalah tradisi baru di Jember yang harus diteruskan.

Teks foto: Dynand Fariz dalam World Jambore 2007 di London Inggris.
Foto by: Dynand Fariz Center