06 November 2015

DUA MUKA, SURAT PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN

KAPOLRI BADRODIN HAITI SAAT MENJELASKAN SURAT EDARAN | ID NUGROHO |
Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tentang Penanganan Ujaran Kebencian menciptakan pro-kontra. Polisi berdalih, surat itu ditujukan hanya untuk internal kepolisian, sekaligus sebagai tindakan preventif atas maraknya aksi hate speech. Namun banyak yang khawatir, surat itu adalah awal pembungkaman kritik dan kebebasan berekspresi.

Kapolri Jenderal Badrodin menyadari, Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian yang dikeluarkannya menciptakan reaksi di masyarakat.

Kamis siang awal Oktober 2015, secara khusus Badrodin menjelaskan perihal surat edaran itu di depan forum silaturahmi jajaran Polri dengan pimpinan media massa dan organisasi jurnalis, di Mabes Polri.

Menurutnya, surat itu hanyalah edaran untuk internal Polri, menyangkut pemberitahuan mengenai ketentuan yang harus dilaksanakan dalam penanganan tindakan ujaran kebencian. Hal itu dianggap penting, mengingat ujaran kebencian semakin mendapat perhatian di masyarakat.

Di mata Polri, ujaran kebencian bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif, diskriminasi, bahkan sampai pembantaian etnis atau genosida. Pemahaman ini yang harus dimiliki oleh personel Polri, sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan sedini mungkin.

Tindakan yang dimaksud, menurut Badrodin, kembali disandarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU no.11 tahun 2008. Yakni, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan, serta penyebaran berita bohong.

Bila hal-hal itu ditemukan, maka polisi akan melakukan pendekatan pada pelaku yang diduga melakukan hate speech, untuk mencari solusi damai, dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang ditimbulkan atas hate speech. Namun, bila tindakan preventif itu tidak menyelesaikan masalah, akan dilakukan penegakan hukum.

TIDAK TEPAT

Organisasi profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) adalah salah satu pihak yang menilai langkah Kapolri Badrodin Haiti mengeluarkan surat edaran, sebagai tindakan yang tidak tepat.

Meskipun AJI setuju polisi menindak tegas segala ujaran kebencian, bahkan  pemidanaan segala anjuran kekerasan, namun tetap menolak memasukkan kritik ke dalam unsur pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan.

Ketua AJI Suwarjono menilai, menyamakan kritik pada pejabat publik sebagai ujaran kebencian berpotensi menghambat kebebasan berpendapat. Tafsir pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, kata Suwarjono, bersifat karet, bila tidak dipahami aparat kepolisian.

Pasal itu juga berpotensi menjadi pintu masuk upaya pemidanaan sikap kritis masyarakat. Termasuk mempidanakan jurnalis atau media. Ini, jelas Suwarjono, bisa membuat kebebasan berpendapat terbelenggu, dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers.

AJI juga menilai, surat edaran itu mengaburkan batasan universal tentang ujaran kebencian. Seharusnya, penindakan hukum terhadap para penyebar ujaran kebencian dilakukan tanpa melanggar hak warga negara untuk berekspresi, sebagaimana dijamin Undang-undang Dasar 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta Konvenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Republik Indonesia.

Suwarjono menegaskan, penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan karena perbedaan agama atau ras yang harus dilarang oleh hukum. Tanpa dicampur aduk dengan perbedaan pendapat, sikap kritis masyarakat.

Berdasar hal-hal itu, AJI menilai, surat edaran Kapolri justru lebih didasari kepentingan politik, untuk membungkam kritik terhadap penyelenggara negara dan lembaga negara.

Bagi AJI, ketegasan Polri dalam menindak penyebar ujaran kebencian harusnya diarahkan pada kelompok intoleran, yang sering melakukan hal itu. Selama ini, Polri justru abai terhadap berbagai ujaran kebencian, bahkan ancaman kekerasan, yang dilakukan oleh kelompok radikal.

No comments:

Post a Comment