03 January 2015

HUKUMAN MATI, "SALAH LANGKAH" MAHKAMAH AGUNG

Ilustrasi terpidana | *repro. follow URL
Mengakhiri 2014, Mahkamah Agung (MA) memberikan kado tahun baru berupa pembatasan Peninjauan Kembali (PK) yang diatur melalui instrumen Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

Pada intinya SEMA ini memberikan instruksi terhadap seluruh Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) untuk tidak menerima permohonan PK lebih dari satu kali kepada terpidana.

Menurut Ketua Tim Perumus SEMA PK, Suhadi, Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK bertentangan dengan konstitusi, adalah cacat hukum karena masih ada aturan yang membatasi pengajuan PK.

Yaitu Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dan Pasal 66 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 tentang MA. Kedua peraturan ini menurut Suhadi tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)

Dalam pasal 24 ayat UU No 48/2009 tertulis tentang putusan peninjauan kembali yang tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Sementara asal 66 ayat (1) UU No 14/1985 tertulis, permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.

PERMINTAAN JAKSA AGUNG

Salah satu penyebab utama keluarnya SEMA adalah permintaan Jaksa Agung pada MA untuk segera menerbitkan Perma yang mengatur permohonan PK terhadap terpidana mati.

Peraturan ini diperlukan karena Jaksa Agung Prasetyo menunda eksekusi mati dua terpidana narkoba, Agus Hadi dan Pujo Lestari. Dua terpidana itu mengajukan PK kedua, setelah grasinya ditolak.

Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) berpendapat, pengaturan pembatasan PK melalui SEMA tidak tepat, karena setiap pembatasan terhadap hak asasi haruslah dilakukan dengan UU, sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J UUD 1945.

Anggara, Ketua Badan Pengurus ICJR menyatakan, MA telah melupakan prinsip “Lex Specialis Derogat Legi Generali” dalam Pembentukan SEMA Pembatasan PK. Kedua UU yang menjadi sandaran pembentukan SEMA sebagaimana diungkapkan Suhadi, justru tidak pas.

Karena khusus untuk perkara pidana, pengaturan PK sudah diatur dalam KUHAP. “Mahkamah Agung semestinya berhati – hati menerobos prinsip hukum yang sudah lama dianut dalam negara hukum modern," katanya.

Dengan melanggar prinsip ini, kata Anggara, maka MA telah mengingkari prinsip Negara hukum yang dianut dalam UUD 1945.

Anggara mengingatkan, pidana hukuman mati masih dianggap sesuai dengan konstitusi menurut Putusan MK. Oleh karena itu, pengajuan PK oleh terpidana pada dasarnya tidak dapat menghalangi eksekusi terhadap terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati.

Bahkan, berdasarkan KUHAP, meskipun terpidana sudah menjalani hukuman mati, PK masih bisa diajukan oleh ahli waris dari terpidana. Bila Jaksa Agung enggan mengeksekusi terpidana mati karena masalah pengajuan PK, tambahnya, mestinya Jaksa Agung juga tidak menuntut terdakwa dengan tuntutan hukuman mati.

Lebih jauh Anggara mengingatkan, di tengah buruknya sistem peradilan pidana Indonesia saat ini, pemberlakukan tuntutan hukuman mati harus diterapkan dengan hati–hati dan sangat ketat.

Hak-hak tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana mati harus dijamin dan dilindungi dengan sangat ketat, agar proses “peradilan sesat” dapat diminamilisir.

*Press Release ICJR

No comments:

Post a Comment