13 December 2009

"Aku benci pagi hari ini, Jen,.."

Iman D. Nugroho

Belaian tanganmu mengejutkanku. Tak pernah kusangka, hembusan sejuk AC di kamar hotel ini membuat tanganmu sedingin itu. "It's time to wake up, my love?" katamu berbisik. Sial. Bagaimana aku bisa ketiduran! Wawancara pagi ini sangat penting untuk buku terakhirku. "Okay, thank you,.." Aku bangun cepat. Masuk ke kamar mandi. Kau hanya melihatku, tersenyum di balik selimut putih itu. "Don't forget to kiss me before you go," katamu.

Tak perlu aku jelaskan detil siapa Aku. Singkatnya, aku adalah seorang penulis buku. Tidak seberapa terkenal. Bukuku juga nggak pernah jadi Best Seller di toko buku. Yah, hanya beberapa kali resensinya naik di koran nasional. Itu pun karena aku meminta kawan-kawanku menulisnya untukku, dan mengirimnya ke media cetak nasional kelas dua. Orang memanggilku, Rei.

Setahun lalu, adalah awal dari kelahiran kedua bagiku. Ketika Jen menyorongkan tangannya untuk berkenalan. "I am Jennifer, you can call me Jen," katanya di depan fast food Bandara Sukarno Hatta. Kejadian itu bukan kejadian yang pantas diceritakan sebetulnya, apalagi dijadikan status facebook. Bagaimana bisa, ketika itu Jen menolongku dari keroyokan pengunjung bandara yang entah mengapa meneriakiku sebagai pencopet. Sial!

Saat itu, Jen yang ternyata sebelumnya satu pesawat denganku, melerai dan menyakinkan pada orang-orang yang marah itu atas kesalahpahaman mereka. "You are wrong! This guy is just arrived with me!" kata Jen setengah berteriak. Melihat orang bule yang bicara, orang-orang itu keder juga. Meski beberapa di antaranya masih melayangkan tinjunya padaku.

Sejak itu, kita pun akrab. Hanya teman biasa yang saling sapa di Facebook. Nothing special. Tidak seperti cerita romantis pada umumnya, Jen sama sekali tidak pernah membaca bukuku. Tapi, dia menghargai profesiku sebagai penulis. "Owesome!" katanya. "Well, even I am a book writer but your skin is whiter than me,.." kataku. Jen hanya melongo, nggak nyambung memang. Habisnya, aku bingung mau omong apa.

Ketidaknyambungan itu (ini bahasa apa sih!), yang justru membuat kami semakin dekat. Jen beberapa kali memintaku untuk mengajaknya bila aku ada rencana "belanja" bahan untuk buku baruku. Eits! Aku sempat curiga, jangan-jangan dia agen CIA atau FBI yang sengaja ditugaskan untuk membuntuti aku. Hmmmm,..Tapi untuk apa. Buku yang aku tulis pun, bukan buku berbahaya yang pantas di-intel-i. Buku terakhirku adalah resep masakan Indonesia. Apa pentingnya bagi CIA atau FBI?

Sudahlah, akhirnya aku mulai mengajakkan bekerja. Ikut wawancara, ikut jalan-jalan ke gunung, kemana saja. Jen mengaku senang. Seperti merasakan Indonesia sebenarnya, setelah tiga bulan dia ada di sini. Jen, memang bukan CIA atau FBI. Dia hanya guru bahasa Inggris di salah satu lembaga kursus bahasa Inggris di Jakarta. Teman-temannya, ya banyak orang bule. Kalau toh ada orang lokal (jadi ingat buah-buahan), itu nggak jauh-jauh dari relasi di tempat kursus, atau murid-muridnya. Aku adalah temannya yang paling aneh, baginya. "But I love you,.. I mean,..I love you as a friend," katanya.

Aku yang nggak seberapa paham bahasa Inggris, hanya mantuk-mantuk (mengangguk-angguk) saja. Sambil tersenyum. Satu hal yang aku tahu, ada kata "love" di dalamnya. Tapi aku nggak boleh GR dong. Siapa tahu "love" yang dimaksud ini, bukan cinta dalam arti romantis, tapi dalam arti lain. Misalnya: I love dog! Masa aku harus GR dengan kalimat itu! Tapi tetap saja, aku "waspada". Bagaimana tidak, nggak setiap hari bisa jalan-jalan sama perempuan berambut pirang, mancung dan cerdas banget! Sumpah!

"So, we will go to Malang of East Java for 2 days?" tanya Jen melalui SMS. "Yes, like usual, you will join with me, right?" balasku. Kringggg,...kringggg,... tiba-tiba HP-ku berbunyi. Jen menelepon. "Do you still want me to unswer it?" tanyanya. "Hahaha,..no! Okay, where is our meeting point?" jawabku dengan tanya. "I'll pick you up, bye Rei," Jen mengakhiri pembicaraan. Hmmm, Jen.

Rumit juga menjelaskan bagaimana aku dan Jen setelah hampir setahun ini bersama-sama. Memang tidak pernah ada kata cinta terucap. Tapi, apa yang kami lakukan, sepertinya melewati semuanya. Seperti ketika malam bebarapa bulan lalu itu. Entah bagaimana, Jen begitu mesra. Keringat yang menetes di sela-sela debu Jakarta, tak menghentikannya menciumiku. Dan setelah itu,... "Jen,.." desahku. Jen tidak membalas.

Detik terus berlalu. Sudah 5 sore, Jen belum juga datang. Pesawat kami harus berangkat jam 8 malam. Lima SMS-ku, tak terbalas.Teleponku pun tak diangkatnya. Email dan FB yang aku buka melalui handphone pun tak berisi pesan darinya. Dua tiket pesawat di tanganku, seperti terus memanggil. Mengingatkan betapa pentingnya perjalanan ke Malang kali ini. "Jen,.kau kemana?"

***

Aku terperanjat. Guyuran air dari shower membangunkan lamunanku. Kubuka pintu kamar mandi hotel dan melihat ke arah tempat tidur. Jen tidak ada di sana. Hanya laptop dan handphone yang menyala lampunya,..sebuah SMS masuk. "Rei. Bom meledak di JW Marriot dan Ritz Carlton. Segera ke Jakarta."

"God, please no..,"

No comments:

Post a Comment