Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

20 Januari 2011

Momen Sekejap Mata CCCL Surabaya

Press Release

Centre Culturel et de Coopération Linguistique atau dikenal sebagai Pusat Kebudayaan Prancis (CCCF) menyajikan acara kedua di tahun 2011. Setelah “Chinatowns of South East Asia” karya Zhuang Wubin dari Singapura, kali ini saatnya fotografer Prancis.


Dalam kesempatan ini, CCCF untuk pertama kali bekerjasama dengan AJBS Gallery. Pameran foto karya Sébastien Prioul (baca: sébastiang priul) yang bertema “Instants volés” (baca : angstang volé) atau “Momen Sekejap Mata,” akan digelar di jalan Ratna, Surabaya. Pameran akan dibuka pada Kamis, 27 Januari 2011 pk. 18.00 dan berlangsung hingga 16 Februari mendatang.

Foto-foto karya Prioul mengangkat tema keseharian, momen-momen sekejap mata yang sering terlewatkan, namun melalui penglihatannya yang jeli, menjadi menarik untuk disimak.

Terdapat sekitar 50 karya foto dari hasil perjalanannya ke sejumlah negara di dunia, antara lain Mesir, Spanyol, Inggris, Amerika dan Portugal. Pameran akan diiringi oleh musik yang ia pilih yang terinspirasi dari masing-masing foto yang ditampilkan.

Soekarno-Kartosoewirjo dalam "Satu-7-an"

oleh: Diana AV. Sasa

Surabaya memang kota orator. Kota ini pernah melahirkan singa-singa podium dengan suara menggetarkan di mimbar-mimbar terbuka. Di kota ini, Sukarno, tokoh pendiri Partai Nasional Indonesia dididik bagaimana menjadikan orasi sebagai sebentuk teater kesadaran.


Di kota ini, Semaun, tokoh Partai Komunis Indonesia itu belajar dari guru yang sama bagaimana mempengaruhi massa dengan pidato-pidato yang menggetarkan. Kartosoewirjo, pendiri dan panglima perang NII/DI TII menghikmati khotbah di mimbar-mimbar sebagai cara merekrut dan menanamkan ideologi kepada kader.

Ketiga pendiri ajaran-ajaran paling fantastik dan bersimpang jalan itu diajari oleh guru yang sama dan di kampung yang sama bagaimana orasi sebagai alat pergerakan memaklumatkan martabat, mengideologisasikan ide, dan memakzulkan kezaliman.

H.O.S. Tjkroaminoto di rumah kos pergerakan di Paneleh VII Surabaya. Ia ajarkan menulis di koran kepada tiga isi kepala yang berbeda itu. Tapi sekaligus ia ajarkan orasi semacam teater kesadaran (theatre of mind). Bagi Tjokro, orasi adalah seni pertunjukan gagasan secara terbuka di depan publik. Sebagaimana teater, orasi mestilah membutuhkan panggung, membutuhkan pengeras suara hingga terjauh, juga membutuhkan penonton.

Demikianlah, kota ini terus-menerus melahirkan oratornya. Pasca grup Paneleh VII, orator yang paling dikenang dalam sejarah nasional adalah Bung Tomo. Orator 10 November itu, bukan saja membakar arek-arek di palagan untuk sabung nyawa, tapi juga dikenang bagaimana sebuah ide jatuh dalam tindakan bersama; bagaimana sebuah suara yang diucapkan dengan selantangnya mampu menerbitkan sebuah keberanian.

DBUKU Bibliopholis di era kiwari ini berusaha menghidupkan kembali tradisi itu. Tradisi orator. Tradisi teater kesadaran. Mengikuti kronik sejarah, umumnya orasi-orasi itu dipanggungkan anak-anak muda berusia belia. DBUKU Bibliopois juga mengundang anak-anak muda berpikiran progresif itu untuk maju.

Panggung orasi DBUKU Bibliopolis ini dinamakan “Orasi Satu-7-an”. Bukan saja dilaksanakan di tiap-tiap tanggal 17 bulan berjalan, melainkan merefleksikan tanggal 17 (Agustus) sebagai tanggal revolusi Indonesia di mana orasi dari esei paling memukau, naskah Proklamasi, dibacakan oleh salah satu manusia orator yang pernah dilahirkan Surabaya dan Indonesia, yakni Sukarno.

Agar suara-suara itu menyebar luas, DBUKU merekam suara-suara yang kritis dan reflektif itu dalam pelbagai medium. Seperti brosur, keping cd, dan disiarkan berulang-lang via radio streaming sehingga terdengar ke kalangan terjauh yang terpapar oleh kabel lebar internet.

19 Januari 2011

Telanjang

Oleh: Syarief Wadja Bae

Saat dia telanjang, aku Melihat luka berbaris tak rapi.
Terlintas pesan Bapak yang selalu diulang Mama, tentang jiwa yang besar; nurani dan kekuatan pikiran adalah sekolah tempat membaca dan menulis semesta raya dalam diri.


Jauh sebelum pra-ilmiah kebenaran telah dicabik.
Dan untuk kesekian kalinya, Aku melihat dia telanjang.
Bahkan bekas jahitan di kulitnya dilukai lagi.


Kadang aku benci pada daun kering yang merasa pengabdiannya seperti malaikat yang hidup Cuma sesaat.
Tumbuh, menghijau dalam pelukan dahan, memberi kita oksigen, lalu kering, jatuh, dan memilih bersekutu dengan tanah.
Kenapa tidak memilih untuk mengobati tubuh kebenaran? Atau menjadi pakaiannya?

Samudra yang menampung segala, membuat aku cemburu. aku bertanya pada samudra, kenapa tidak kau ajak kebenaran di daratan tenggelam dalam perutmu?
Mungkin ikan-ikan bisa merawat tubuh telanjangnya yang penuh dengan luka.
Pernah ada yang bilang, puisi itu tidak nyata. Beberapa orang dalam suatu waktu pernah berkata, cerpen itu maya.

Namun sekarang semua sudah menjadi puisi.
Di media berhamburan realita seperti cerpen.
Seolah-olah fiksi dan fakta saling menyamar.
Dan tubuh kebenaran terus dibakar.
Ini bukan gambaran putus asa.
Tapi kita perlu bertanya ulang, apakah kita sudah belajar di sekolah tempat membaca dan menulis semesta raya dalam diri?

Aku melihat tubuh kejujuran menjadi sangat gendut.
Disuap segala macam transaksi.
Sewaktu kita kecil, film, komik, puisi, dan cerpen, menyajikan kisah yang berkesimpulan heroik.
Beranjak remaja dan dewasa dalam perspektif usia, kita disuguhkan cerita dan berita yang membuat kita bingung menjelaskan mana yang pahlawan dan mana yang bukan.
Susno atau Gayus kah yang menjadi pahlawan kita?
Banyak buku yang seakan-akan menjadi ahli sejarah.

Sementara adik-adik kita beluma paham dengan jelas Tan Malaka itu siapa.
Banyak dari kita yang menyamakan antara menghargai waktu demi perut dan demi kepentingan para penjahat yang menginjak kita selama ini.
Kalau tidak kerja mertua bawel.
Sudah kerja pun masih ditanya bagaimana jaminan hari tua kita, dan kelangsungan masa depan anak serta cucunya nanti.

Seolah-olah tidak percaya adanya akhirat.
Memangnya siapa yang mau lapar?
Namun apa kita mau membiarkan tubuh kejujuran terus gendut tak beraturan hanya demi mertua?
Lalu seperti apa tubuh ideal untuk kejujuran?
Di jaman seperti sekarang kejujuran belum tentu benar.
Dan tubuh kebenaran yang telanjang, telah berulangkali dibanjiri luka.
Mari kita belajar berjiwa besar.
Karena nurani dan kekuatan pikiran adalah sekolah tempat membaca dan menulis semesta raya dalam diri.

Terimakasih Mama.
Terimakasih Mama.
Terimakasih Mama.

Engkau selalu mengingatkan aku dengan pesan Bapak.

Januari 2011

*Puisi lain, klik di sini.

Lima alasan film porno harus dilarang

Oleh: Yanto

Keinginan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring untuk memblock pornografi, memang ada benarnya. Blue film misalnya, di dalamnya terdapat lima hal yang membuatnya layak untuk dilarang.


1. Nggak jelas mana jagoan dan mana penjahatnya

2. Terlalu berbahaya: Semuanya ADEGAN dilakukan tanpa pemeran pengganti.

3. Tidak masuk Akal. Yang cewek sakti banget, sudah dikeroyok, ditusuk puluhan kali, dari depan, belakang, atas, bawah tapi nggak mati mati. Justru yang kalah malah cowoknya. Setelah nembak malah lemes ngak bisa bangun lagi.

4. Dialognya terlalu Religius. Ini kan bukan film ROHANI. Si Cewek selalu saja teriak teriak Oh My God.... Oh My God.....!!!

5. Sering pula pemainnya melakukan dialog yg plin plan.. Oh yes..Ooohh Yesss... Ooohh No ... Oooohh No... yg bener yg mana?

18 Januari 2011

Membuat musik di dalam kamar

Oleh: Kokoh Yanuar

Menyulap sebuah kamar menjadi studio rekaman musik, itulah tema yang akan kita bahas saat ini.


Pertama jangan membayangkan sebuah studio yang mahal dengan peredam lantas kita bangun didalam kamar kita, karena yang kita butuhkan hanya sebuah komputer dan speaker saja. sungguh diluar yang kita bayangkan.

Bila anda punya cukup waktu, cobalah mengunjungi studio rekaman profesional terdekat, kemudian amati peralatan yang terdapat didalam room controlnya, pasti akan anda menjumpai sebuah CPU.

Meskipun biasanya terdapat banyak varian tambahan seperti mixer,rack effect,flat speaker,dll. perlu anda ketahui bahwa CPU itulah yang menjadi sebuah kunci mati sebuah studio rekaman saat ini. Disanalah sebuah software perekaman bekerja untuk merekam, memproses, hingga menjadikannya sebuah CD audio/WAV/mp3/dll.

kesimpulannya adalah dengan mengambil CPU tersebut dan meletakkannya didalam kamar pribadi kita, dengan sesuka hati kita dapat membuat musik yang kita inginkan. Membongkar software apa saja yang terdapat di CPU Studio rekaman profesional

Spesifikasi CPU

Untuk mencukupi kebutuhan standar rekaman didalam CPU baiknya memiliki spesifikasi Pentium IV atau setara; Hard Disk Drive 80GB; Memory 512GB; DVDcombo; dengan Operating System Windows XP Profesional dan ingat bahwa tersebut diatas merupakan spesifikasi standar, bila CPU anda lebih dari itu semakin bagus. (akan menjumpai kendala dengan OS Windows vista, seven, linux).

Software

Untuk software perekaman standar studio profesional yang memiliki tambahan plugins (sample suara instrumen) hingga ribuan adalah Nuendo; cubase; Studio One. anda dapat memilih salah satu dari pilihan tersebut.

Untuk suara instrumen drum, bass, piano, biola, gitar, terompet, dan lainnya anda dapat menginstal software tambahan (plugins) seperti hypersonic, sample tank, kore, kontakt, halion one, dll. Perlu anda ketahui bahwa untuk software ini, anda dapat menginstal mereka semua kedalam CPU anda.

Mengapa tidak boleh beritakan sakitnya Menkes?

Oleh: Iman D. Nugroho

Sakit kanker paru-paru Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih tiba-tiba menjadi penting. Dengan alasan etika, pengungkapan sakitnya Menkes oleh media massa, justru menempatkan media sebagai pihak yang bersalah. Mengapa ini tidak berlaku untuk orang lain?


Ketika mantan Presiden RI alm. Soeharto sakit misalnya. Koran Tempo menuliskan dalam laporannya | Silahkan klik di sini | Sama halnya dengan Kompas yang menyajikan sakitnya Soeharto sebagai pemberitaan pada 6 Januari 2008. Seingat saya, mayoritas orang menganggap pemberitaan itu hal yang wajar. Orang yang mengingatkan media untuk tidak mempolitisasi sakitnya soeharto, justru dipandang miring dan dicibir sebagai kroni.

Berangkat dari pemberitaan sakitnya Soeharto itulah, orang kemudian membanding-bandingkan penanganan Soeharto dan Soekarno dalam keadaan sakit. Ada aroma ketidakadilan. Mengapa Soeharto bisa diperlakukan istimewa di RSPP, Jakarta, dengan keluarganya mengelilingi, sementara Soekarno dibiarkan sendiri. Pihak keluarga yang ingin mendekat pun tidak boleh.

Komentar tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja di Kompas.com menarik untuk disimak. Atma justru memandang pemberitaan sakitnya Soeharto adalah hal yang baik dalam hal pemenuhan informasi masyarakat. Apalagi, saat Soekarno sakit pada bulan Juni 1970, media sangat susah mendapatkan keterangan.

Harian Indonesia Raya, kenang Atma, memberitakan tentang sakit Soekarno pada edisi 18 Juni 1970, dengan judul "Soekarno Sakit Keras." Pemberitaan terus dilakukan hingga Soekarno wafat pada tanggal 22 Juni 1970.

ETIKA DOKTER

Dalam sebuah wawancara dengan Menkes Endang, tertangkap kesan penyayangan pengungkapan penyakitnya. Apalagi, tanpa persetujuan darinya. Sikap ini mengingatkan kembali Pasal 12 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang tertulis: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. | Kode Etik selengkapnya |

Memang, dalam pasal itu, dokter yang disebut-sebut telah 'membocorkan' penyakit Menkes Endang, bisa dinilai bersalah. Tapi, jangan lupakan Pasal 8 dalam kode etik yang sama. Tertulis: Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Nah! Bagaimana bila kepentingan masyarakat (yang lebih luas) yang menjadi dasar pembocoran penyakit itu. Karena dalam sengketa pembocoran penyakit Menkes Endang, ada kepentingan masyarakat yang sudah tercederai. Coba search di internat perihal pemberitaan sakitnya Menkes Endang.

Disebutkan, kanker paru-paru Menkes Endang tidak terdeteksi saat pertama kali diperiksa dokter saat pencalonannya sebagai Menteri Kesehatan. Benarkah? Hanya Menkes Endang dan dokter pemeriksanya yang tahu. Yang pasti, ketika penyakit itu dinilai sudah semakin 'mengganggu', proses penyembuhan sudah dilakukan. Sampai harus ke China untuk mencari pengobatan.

Apakah ada pengakuan dari Menkes Endang sendiri soal sakitnya? Tidak. Boleh-boleh saja dia tidak mengungkapkan. Apalagi, dia merasa mampu terus beraktivitas sebagai Menteri Kesehatan RI. Tapi jangan lupa, itu adalah keputusan subyektif Menkes Endang. Namun sebagai pertanggungjawaban moralnya pada masyarakat yang mempercayakan persoalan kesehatan padanya, apakah tidak lebih pas bila Menkes Endang mengungkapkannya.

Jadi siapa yang lebih memiliki 'bobot' kesalahan. Dokter yang merasa bertanggungjawab pada masyarakat, atau Menkes Endang yang menutupinya dari masyarakat?