Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

18 Januari 2011

Inggris atau Jawa?

Oleh: Nunik

Dalam versi bahasa Inggris, tulisan di bawah ini sedikit sulit dibaca dan memiliki arti yang aneh:

"Wish a does do wrong? Next do wrong a does the seek been she gear & awake is so she had or a the row booty smooth, law leer, band or a key cut!"

Uniknya, semua akan berubah ketika dibaca dalam bahasa Jawa. Coba saja!
Sent through BlackBerry®

17 Januari 2011

Hariman turun jalan pimpin tolak SBY

Informasi

Asosiasi Marga Siregar, Pimpinan Hariman Siregar dan Syamsir Siregar, akan memimpin aksi massa penolakan penganugerahan gelar Siregar kepada SBY. Konsolidasi persiapan dilakukan di markas Indemo, Jl. Lautze, di acara Raboan, besok tanggal 19 Januari 2011, Jam 15. Kabarkan pada Siregar yg lain.
Sent through BlackBerry®

16 Januari 2011

Ojo Kesusu

Oleh: Inez

Poltak, anak Medan kuliah di Jogja, lagi kesengsem sama Sulastri, gadis manis asal Solo. Suatu hari Poltak mengajak pacarnya, Sulastri, jalan-jalan keliling kota dengan sepeda motor RX-King-nya.


Di tengah jalan mereka berbincang, karena motor melaju sangat cepat, maka si Sulastri mulai protes. "Mas, ojo kesusu..(jangan terlalu cepat-jawa)," kata Sulastri manja.

Poltak diam aja, karena dikiranya dia duduk terlalu dekat dengan Sulasti. Dengan sopan, duduknya bergeser maju sedikit, agar tidak terlalu dekat dengan dada Sulastri. Motor tetap saja terus melaju kencang.

Merasa tidak ada perubahan, Sulastri kembali mengingatkan. "Maass… ojo kesusu tho ?!!" pintanya dengan logat Jawa kental. Poltak masih diam, tapi duduknya makin maju sampai ke tangki motor.

"Mas iki piye tho, mbok jangan kesusuuu….," Sulastri menaikkan intonasi suaranya. Poltak hilang kesabarannya, badannya makin maju sampai mepet stang motor, dan keluarlah logat Bataknya.

"Bah! Panjang kale susu kau, Lastriii,.." kata Poltak sambil duduk di atas tangki motor yang melaju kencang

--------------------------
*nama-nama hanya rekaan semata
Sent through BlackBerry

14 Januari 2011

SBY ke Sidoarjo tapi tidak ke Porong

OLeh: Iman D. Nugroho

Geli rasanya membaca berita Presiden SBY yang akan mencanangkan Gerakan Nasional Menghadapi Anomali Perubahan Iklim Indonesia di Sidoarjo, Jawa Timur. SBY sepertinya lupa, di kabupaten yang sama, ada semburan lumpur Lapindo yang belum tuntas diselesaikan.


Semoga saja, bila SBY mendatangi lokasi pencanangan, Jumat (14/1) ini dengan menggunakan helikopter, maka dia akan ingat kejadian beberapa tahun lalu, ketika melintas di atas main hole lumpur Lapindo. Ketika itu, masyarakat yang sudah menunggunya di lokasi semburan harus kecewa, karena SBY tidak turun ke lokasi lumpur.

Bahaya? Mungkin saja lokasi semburan itu berbahaya bagi seorang presiden. Bagaimana dengan masyarakat yang berkehidupan di sekitar lokasi semburan? Apakah SBY tidak pernah berpikir bahwa ribuan orang itu juga diambang bahaya? Jelasnya, tidak. Kalau SBY berpikir, hausnya persoalan semburan Lumpur Lapindo diselesaikan segera.

Kalah di MA

Seorang kawan memberi tahu, kasus lumpur Lapindo sudah "berakhir" kasusnya, ketika MA menyatakan gugatan hukum NGO lingkungan Walhi dkk kalah di Mahkamah Agung (MA). Itu sangat menyakitkan. Akibatnya, perjuangan dari sisi hukum patahlah sudah. Lalu apa yang harus dilakukan?

Pemerintah, bila memang mau, masih bisa kembali menempatkan kasus lumpur Lapindo sebagai prioritas, selama lumpur itu masih menyembur. Dengan tanpa henti mengupayakan secara maksimal proses teknis penutupannya. Tapi yang terjadi tidak demikian. Lumpur Lapindo dibiarkan saja, sampai waktu melupakannya.

Pemerintah yang abai, tidak harus membuat masyarakat abai juga. Mari terus mengingatkan kasus lumpur Lapindo masih ada. Jutaan kubik lumpur masih menyembur dari sumur yang digali oleh Lapindo Brantas Inc.

12 Januari 2011

Karena pemerintah memang tak ingin BPJS ada

Oleh: Iman D. Nugroho

Dalam sebuah wawancara dengan anggota Panitia Khusus (Pansus) Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) dari FPDIP Surya Chandra untuk Jurnalparlemen.com, sempat terungkap bahwa Menkeu Keuangan Agus Marto memang tidak ingin merealisasikan RUU BPJS.


Kepada peneliti NGO GTZ Menkeu mengatakan, secara hitung-hitungan fikalnya, tidak memungkinkan BPJS direalisasikan. Uniknya, dalam pembicaraan Pansus BPJS dengan empat ahli hukum dan ketatanegaraan pun, muncul kesimpulan yang sama: pemerintah tidak rela BPJS ini ada. The big question is WHY?

Dalam sebuah rapat dengat pendapat dengan beberapa ahli, salah satunya Anggito Abimanyu, alasan fiskal itu tidak beralasan. Coba buka link ini. Artinya, Anggito yang juga mantan Wakil Menteri Keuangan itu justru tidak habis pikir, mengapa sampai urusan fiskal dipersoalkan pemerintah.

Padahal, BPJS yang bila terealisasi akan sangat membantu masyarakat karena bisa menjadi asuransi kesehatan hingga pensiun untuk seluruh rakyat Indonesia, adalah badan yang menguntungkan dan tidak membebani pemerintah.

Ujungnya Duit

Saya menduga, seperti biasanya, ujung-ujung dari persoalan ini adalah duit. Ketidakmauan itu didasari oleh kemungkinan hilangnya pendapatan pemerintah dari empat BUMN Asuransi, Jamsostek, Askes, Taspen dan Asabri. Sampai saat ini, uang yang ngendon di tiga BUMN ini trilyunan rupiah.

Baik pengelola empat BUMN itu, atau pun orang-orang lingkaran tertentu yang terpercik dananya, tidak rela bila benefit dari BUMN itu berhenti begitu saja. Apalagi selama ini, pengelolaan dana itu tidak betul-betul transparan. Lihat saja, setidaknya lebih dari Rp.40 triliun dana Jamsostek yang seharusnya dikembalikan ke pekerja (nasabah Jamsostek) yang tidak dibayarkan ke pekerja.

Saya juga menilai, penolakan terkait dengan gelombang isu international yang menilai BPJS sebagai produk berwarna "kekiri-kirian" yang tidak senapas dengan Pemerintah RI yang katanya Pancasilais dan "bukan kiri". Penolakan yang sama juga ditunjukkan masyarakat AS ketika Presiden Obama ingin menambah anggaran asuransi kesehatan di AS.

Karena itulah, lembaga keuangan international seperti World Bank atau IMF, tidak pernah menjadikan BPJS sebagai salah satu hal yang harus diprioritaskan. Keuntungan BPJS memang untuk rakyat, bukan untuk lembaga funding itu. Sayang, Pemerintah RI lebih tunduk pada agenda lembaga funding internasional, ketimbang menyejahterakan rakyat.

Fakta, masih tidak ada keadilan

Oleh Welhelmus Poek.

“Kalau ada masyarakat pencuri telur ayam, biar tidak ada bukti, asalkan sudah dilaporkan polisi, pasti dibekuk dan ditahan. Tapi kalau ‘orang besar’ korupsi uang Negara, biar sudah ada banyak bukti masih putar sana putar sini cari jalan agar kasusnya mengendap,”


Pikiran semacam itu masih ada di masyarakat. Karena memang benar, saat ini, hampir semua warung kopi dijajani menu tambahan; ‘debat kusir’ peliknya persoalan hukum. Sebenarnya apa yang terjadi dengan system penyelengaraan pemerintahan kita?

Bukankah Pemerintah memiliki kewajiban utama dalam memenuhi hak-hak warganya dengan menciptakan sebuah system pemerintahan yang baik? Tapi mengapa sampai saat ini masih ada ketidakpuasan? Apa yang dilakukan pemerintah saat ini belum memenuhi fungsinya.

Sangat rumit mengungkap satu persatu masalah yang ada, apalagi memastikan siapa yang salah siapa yang benar. Atau siapa yang diam siapa yang bekerja, siapa yang diatur siapa yang mengatur, siapa yang ‘diamankan' siapa yang 'mengamankan’. Termasuk siapa yang diprioritaskan siapa yang dikesampingkan dan lain sebagainya.

Fakta sudah berkata demikian. Alih-alih mengklaim menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, padahal ada juga niat membuat masyarakat yang tidak berdaya menjadi lebih sekarat.

Perubahan

Kepada siapa dan apa yang harus kita tuntut untuk sebuah perubahan? Hukum yang berlaku di Negara ini jelas-jelas sudah menekankan bahwa Pemerintah bertanggungjawab penuh dan memiliki kepentingan sebagai pemangku kewajiban utama dalam memenuhi hak-hak warganya. Artinya, jelas bahwa siapa yang kita tuntut adalah Penyelenggara Negara dalam hal ini pemerintah.

Ketidakharmonisan instrument hukum yang ada di Negara kita, menjadi salah satu penyebab peliknya persoalan yang kita hadapi. Banyak fakta di lapangan yang bisa kita pertanggungjawabkan atas gagalnya instrument hukum yang pro rakyat. Terutama rakyat kecil.

Saya tidak menyangkal bahwa ada penyelenggara Negara yang juga menjadi bagian dari ‘penegasan’ pemberlakuan hukum yang ada. Mereka ditahan, dipecat dan sebagainya. Ada pula yang ditahan tidak lama kemudian dibebaskan.

Hal ini tidak sebanding dengan yang menjadi ‘korban’ masyarakat ‘kecil’ yang bukan berkuasa. Sekali masuk dalam jeratan hukum, tuntutan tertinggi dari aturan yang berlaku menjadi santapan umum mereka, tidak dibela malah ditindas.

Staf Dikorbankan

Persoalan lain yang agak aneh penegakkan hukumnya, adalah ketika seorang staf diduga menyalahgunakan wewenangnya dan menyebabkan kerugian baik materi maupun non materi, akan dituntut dan diproses. Tapi tidak berlaku bagi seorang pejabat yang akan selalu dilindungi perbuatannya. Staf tersebut dikorbankan.

Tidak heran jika, istilah cicak buaya, ikan teri ikan kakap, ikan paus, ikan hiu dan istilah-istilah lainnya menjadi cermin bagi kita bahwa hukum kita masih memihak pada orang yang berkuasa, apalagi pejabat Negara.

Saya sebagai bagian dari masyarakat yang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya, merasa pesimis dengan tata kelola pemerintahan yang ada, jika tidak ditunjang dengan upaya pemerintah melakukan harmonisasi UU agar memenuhi kewajibannya, memenuhi hak-hak warga Negara dan menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik.