Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

03 Januari 2011

Presiden Indonesia yang paling gemar berbahasa Inggris

Iman D. Nugroho | grafis Inilahcom | Berita Detikcom ini memalukan. Presiden SBY sangat sering menggunakan bahasa asing, bahasa Inggris dalam pidatonya. Senin (3/1) ini misalnya. Entah, apa tujuannya.


Itu jelas tidak konsisten dengan Keputusan Presiden (Keppres) Peraturan Presiden No 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia bagi pejabat negara, yang dibuatnya sendiri (klik di sini).

Berikut ungkapan-ungkapan sok keminggris (baca: sok orang Inggris) SBY yang dimuat Detikcom. Ini hanya di 30 menit pertama! Capek deh.

1. Dalam melakukan evaluasi kita harus merujuk pada parameter dan ukuran yang jelas. Correct measurement.

2. ...jangan mengukur sesuatu yang tidak menjadi rencana yang dijalankan pemerintah pada 2010 kemarin, termasuk means yang kita gunakan.

3. ...bukan hanya ditinjau dari implementasi dari kinerja pemerintah. Tetapi, secara umum, in general, kita harus juga melihat...

4. Pemulihan ekonomi untuk menjaga kesejahteraan rakyat, atau dengan bahasa bebas saya katakan minimizing the impact of the global economic crisis.

5. Kita tetapkan sejumlah kebijakan, policies, dan tindakan nyata, actions.

6. ...dan segala upaya yang intinya adalah economic recovery dan maintaining
people’s welfare.

7. ...mari kita lihat satu persatu, pertumbuhan ekonomi growth...

8. Insya Allah tahun 2010 ini kita bisa mencapai enam persen, close to six percent.

9. ...tujuan untuk sebuah pemulihan ekonomi, economic recovery itu dicapai.

10.Inilah yang mendongkrak perekonomian kita sekarang ini, dan insya Allah growth itu akan menjadi lebih sustain.

11. Unemployment menurun. Banyak negara yang meledak unemployment-nya.

12. Kalau kita bicara pertumbuhan harus disertai dengan pemerataan, growth with equity.

13. ...didukung tata kelola good governance.

14. Sekarang seperti apa structure, magnitude dan sasaran APBN 2011.

15. Supaya saudara tau makna dan arti penting APBN sebagai means sebagai tools untuk mencapai tujuan dan sasaran.

16. APBN dalam arti government expenditure, government spending...

17. ...menuju sebuah anggaran yang berimbang, balance badget.

18. ...yang menyakitkan, yang painful.

19. ...ternyata hanya mencapai 0,62 persen. Why? Bukan karena kita tidak membelanjakan, tetapi revenue itu ternyata lebih tinggi sepanjang 2010.

20. Tapi, kami pemerintah mengatakan, it is achievable, bisa dicapai.

21. ...lebih baik yang realistic, achievable, attainable.

22. Apa faktor yang bisa menggagalkan pencapaian sasaran itu, atau dari perspektif yang lain what kind of assumptions yang bisa kita tetapkan...

23. ...semua proyeksi, semua estimate, di semua negara bagus, global economy will grow.

24. Tidak ada yang meramalkan, semuanya everything is nice.

Sepakbola Indonesia-Malaysia beragam "warna",..

Febe Oktriviana | Permusuhan antara Indonesia dan Malaysia ternyata tidak sekedar pada dunia politik saja. Dalam dunia olahraga, “permusuhan” ini juga terlihat saat pertandingan final kedua kesebelasan dalam Piala AFF.


Memang bukan masalah pertandingannya, tetapi perlakuan para suporter Malaysia terhadap suporter dan pemain Indonesia. Saat di lapangan, para suporter Malaysia dengan sengaja “menembakkan” laser untuk mengganggu konsentrasi para pemain Indonesia. Sehingga tak dapat dihindari, Indonesia kalah telak dari Malaysia dengan skor 3-0.

Tak hanya itu, menurut informasi dari beberapa sumber, para suporter Malaysia ternyata melempari suporter Indonesia, membuat pendukung Indonesia turun dari tribun untuk menghindar. Komentator sebuah stasiun tv menilai turunnya suporter itu sebagai tanda kekecewaan. Padahal tidak!

Kehilangan Mental Juara

Rupanya upaya suporter Malaysia membuahkan hasil. Indonesia mulai kehilangan konsentrasi. Ritme permainan yang sudah mulai tidak terkontrol. Mental juara yang sudah mulai dibangun ketika memenangkan beberapa pertandingan, hilang.

Kekalahan Indonesia saat itu bukan serta merta karena skill timnas, namun juga kondisi fisik para pemain. Kondisi lapangan pun, agaknya kurang kondusif bagi mereka. Sialnya, berbagai peristiwa yang dinilai tidak fair, memperlemah mental.

Ketika salah satu pemain Malaysia melakukan pelanggaran dan harus mendapat kartu kuning, justru dipandang bukan pelanggaran. Ketika salah satu permain Malaysia melakukan hands ball, ternyata juga tidak dihitung sebagai pelanggaran.

Membuahkan Gol

Niat untuk membalas kekalahan rupanya sudah membayangi timnas Indonesia. Sedikit demi sedikit, Timnas memperbaiki mentalnya sebagai juara. Hanya saja, ritme permainan mereka tidak cukup bagus ketika di lapangan.

Semangat yang sempat pudar itu, agaknya kembali lagi ketika berada di negeri sendiri. Beberapa shoot yang luar biasa melesat dari pemain Timnas. Asyik menyerang, lini belakang Timnas melemah, sampai satu gol disumbangkan oleh Safee dari Malaysia.

Dari pengalaman itu, timnas Indonesia bermain lebih berhati – hati, dan kembali memperkuat lini belakang, Sehingga agak sulit ditembus. Sayangnya, kontrol pemain Indonesia sangat buruk. Empat kartu kuningpun dikantongi mereka.

Beberapa menit sebelum pertandingan berakhir, Nasuha dan M. Ridwan menyumbangkan gol untuk timnas Indonesia. Sehingga, skor terakhir adalah 2 untuk Indonesia, dan 1 untuk Malaysia. Setidaknya, walaupun tidak menjadi juara, tetapi Indonesia tetap kalah dengan terhormat dan tetap menang dengan permainan yang bersih.

Semoga ke depan lebih baik,..

*analisa olahraga lain di sini.

02 Januari 2011

Yang satu itu siapa?

Syarief Waja Bae | Selalu ada yang mati dengan membawa rahasia abadi, kecuali mereka yang berjumpa di bukit yang tinggi. Tempat darah-darah membumi karena niat serakah dan saling menghianati.


Sua yang menjadikan mereka kerabat, adalah perjalanan berat. Rusuh, Saling membunuh, terjangkitnya penyakit-penyakit, Sampai pada kemarahan alam, tak mampu membongkar rahasia itu. Lalu siapa mereka? Apa mereka awalnya berdua, bertiga, bertujuh bersembilan, atau...? Dan dimana bukit itu?

Hanya ada satu yang tersisa dari mereka. Tapi yang lain tidak mati. Melainkan minta diantar kembali ke langit. Apa ini dongeng, atau misteri? Bukan. Mereka selalu melawan dengan diam. menuntun dengan tangan dalam hati mereka.

Mereka menjadikan ratusan juta boneka menjadi manusia, yang sebelumnya dianggap sampah oleh pencetus julukan boneka.
Mereka mengerti kebutuhan jiwa.

Yang satu itu siapa?


Surabaya, 02-01-2011

31 Desember 2010

Tidak perlu catatan akhir tahun

Iman D. Nugroho | Sungguh, negeri ini tidak memerlukan catatan akhir tahun. Semua tetap sama. Masih ada korupsi, masih wartawan mati, masih ada orang miskin, masih ada pelarangan beribadah dan berjuta kesedihan yang bisa diungkapkan. Catatan yang sama setiap tahun berganti.


Lalu, untuk apa bertahun baru? Agar bisa memperbaiki, katanya.Itulah pokok persoalannya, namun tetap saja tidak bisa (atau tidak mau?) mengubahnya. Cobalah search harapan pergantian tahun yang terjadi saat Soekarno berkuasa. Atau ketika Soeharto mencengkeramkan kuku Orde Barunya.

Lirik juga jaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan tentu saja, Susilo Bambang Yudhoyono. Hampir pasti, harapan tumpah ruah dalam pergantian tahun. Tapi, siapa saja bisa berharap dan bagaimana mewujudkan harapan itu, menjadi tanya yang tidak terjawab.

Si miskin ingin memperbaiki nasibnya, tapi si kaya menghalangi. Penganut agama minoritas ingin bisa bebas beribadah, tapi yang mayoritas kerap kali menekannya. Korban pelanggaran HAM ingin keadilan ditegakkan, tapi pemangku keadilan menepisnya. Semua seperti berulang dan kembali diharapkan dari tahun ke tahun.

Lalu, untuk apa bertahun baru? Apatis. Tentu saja tidak. Tulisan ini bukan sikap apatisme. Namun sebuah dorongan untuk evaluasi dan menemukan solusi cerdas akan semuanya. Tentu saja, tidak mudah. Karena memang kemudahan sepertinya dihapus dari jalan hidup orang-orang kalah. Sayangnya, orang-orang kalah itu bukan 'kita'.

Kita tidak butuh catatan akhir tahun. Kita butuh solusi di setiap tahun.

Catatan Langkah

Oleh Syarief Waja Bae | Kita menjelma serbuk arang.
Menetaskan tegang dari lidah kita.
Jangan gagap dengan keadaan ini.
Bebaskan pikiranmu berkelana dalam alur kodrat.
Sesekali kita Membara seperti matahari merobek pori-pori.


Mari kita Petik segala yang kita muntahkan pada debat.
Ini bukan luka, tapi ini catatan langkah.
Yang didalamnya terselip ilmu makna.
Di lingkaran ini, kita bangun.

Tentu ada resiko bila terpeleset.
Teori memang penting,
tapi akan lebih penting jika berguru pada keadaan.

Desember 2010


Sent through BlackBerry®

30 Desember 2010

Mencintai Garuda dengan sederhana

Jojo Raharjo | Photo by Reuter via Yahoo| Apakah Anda termasuk orang yang mencintai seseorang atau sesuatu hanya pada saat berada dalam kondisi menyenangkan saja?


Lalu, apa yang terjadi ketika sayur yang dimasak isteri Anda ternyata kurang asin, ketika nilai raport anak Anda lebih banyak merahnya, ketika klub kegemaran Anda terperosok dalam prestasi buruk, ketika selebritas idola Anda masuk penjara, atau saat organisasi Anda terjerat konflik menyesakkan.

Kalau memang Anda hanya mencintai figur-figur itu dalam kondisi positif, tak ubahnya Anda layak disejajarkan dengan orang-orang yang pada sebulan terakhir disebut sebagai “Mendadak Timnas”.

Mereka yang tak tahu sejarah sepakbola Indonesia tapi tiba-tiba memasang poster Irfan Bachdim di kamar. Mereka yang memuja-muja Cristian Gonzales tanpa pernah berpikir dia adalah pemain bola nan sama sekali tak sempurna. Mereka yang menganggap Markus Haris seolah dialah ‘portiere’ terbaik di negeri ini sepuluh tahun terakhir…

Di Final Piala AFF 2010, harapan itu terlalu berat dibebankan di pundak mereka. Sebesar dan sekencang teriakan belasan supporter yang menyeruduk masuk busway di Halte Karet tadi, saat jarum jam menunjukkan waktu 30 menit menjelang pertandingan dimulai.

“Pak Sopir, cepat, nanti tiketku hangus.Harganya mahal, lho…” “Hooy, cepat, aku nanti duduk di samping SBY…”, “Kalau nggak ada aku, SBY nggak masuk..” “Ayo, yang Indonesia masuk, yang Malaysia turun saja…”

GBK MEMBARA


Sebenarnya asa itu tak pernah salah. Belum pernah kulihat sekeliling stadion ini begitu berlimpah manusia. Layar lebar ditancapkan di penjuru gelanggang olahraga berbentuk “tungku raksasa” yang dibangun Sukarno 48 tahun lalu itu.

Ada penjaja kaos, jagung rebus, siomay dan anak muda berpasang-pasangan dengan tempelan merah putih di dua belah pipi. Inilah pesta rakyat sebenarnya.

Semua memang haus prestasi, haus pahlawan. Dan, ke-14 anak muda yang malam ini bersimbah peluh bukannya tak mau jadi pahlawan. Kapten kesebelasan Firman Utina tentu tak pernah sengaja menendang penalti begitu lemah.

Kiper Markus tak pernah menyangka kembali dipecundangi Mohd Safee Sali. Bek Maman tak pernah menduga, keisengannya menyentuh piala pada permulaan laga di Bukit Jalil berbuah sial, menjadi penyebab dua gol ke gawang timnya.

Sekali di kandang lawan, dan sekali di depan 95 ribu pasang mata yang menyemut di Senayan. Menang 2-1 di rumah tak ada artinya setelah keok 0-3 di negeri tetangga. Dua gol Nasuha dan Ridwan bolehlah jadi penghibur, bahwa setidaknya kita menang dua kali atas Malaysia dalam satu turnamen. Meski akhirnya tak jadi juara.

Tak ada yang disalahkan. Mereka sudah berbuat sekerasnya. Tapi bola yang mahakuasa telah memilih mana tim terbaik. Mereka kalah oleh tim yang mementingkan pembinaan di atas segalanya. Sebuah liga yang tak membolehkan pemain asing mencari nafkah di sana.

TANPA NATURALISASI

Sementara di sini, baik di liga yang sudah ada maupun baru berputar bulan depan, satu tim boleh punya lima pemain impor. Profesionalisme bisa jadi alasan, tapi tentu tak usah menutup mata ada mata pencaharian agen, pengurus, dan mata rantai lain yang tertutup kalau keran ekspatriat itu dihentikan. Mungkin prinsipnya, kalau ada yang benar-benar menguntungkan, bolehlah sekalian diberi hadiah paspor.

“Inilah buah dari keputusan Persatuan Bola Sepak Malaysia, tidak adanya pemain asing membolehkan pemain muda kami lebih berkembang,” kata Krishnasamy Rajagopal dalam jumpa pers usai partai pamungkas.

Pria kelahiran Selangor 54 tahun silam ini tak sedang menggombal, tapi medali emas Sea Games Laos tahun lalu, dan kini Juara Piala AFF membuktikan sistem pembinaan itu.

Malam ini Garuda menang tapi kalah. Tapi, tak selayaknya kita hanya mencintainya ketika mereka berjaya. Kalau tak mau disebut sebagai golongan supporter ‘mendadak timnas’ maka katakanlah kepada lambang Garuda itu.


“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu,"


*analisa olah raga lain, klik di sini.