Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

28 April 2010

SIM Amerika Pertamaku, yeeehaaaa,..

Maya Mandley

Sekitar bulan Januari, Aku sudah cerita bagaimana susahnya bisa lulus ujian tulis untuk dapat surat latihan mengemudi bernama permit. Setelah punya permit, artinya Aku sudah dibolehkan berada di belakang kemudi. Tapi bukan berarti sudah bebas bawa mobil, tapi ada persyaratan lain. Misalnya nih, boleh mengendarai pada saat gelap. Paling penting, saat mengemudi harus didampingi alias gak boleh sendirian.

Satu hal yang penting, si pendamping ini juga harus punya SIM yang masih berlaku dan gak boleh ada penumpang lain di belakang. Permit ini berlaku selama tiga bulan sebelum diizinkan ikut road test, yang waktunya sudah ditentukan saat lulus ujian tulis.

Selama 3 bulan itu, Aku cuma latihan beberapa kali saja bersama suami. Alasannya karena banyak tarik uratnya. Malah lebih sering ngambeknya. Seperti saat Aku pertama kali belajar mengemudi di Surabaya bersama ayah. Aku masih ingat, aku selalu harus menahan air mata setiap kali latihan.

Meski Aku juga memanfaatkan jasa sekolah mengemudi waktu di Surabaya, untuk melatih keberanianku di jalan raya. Aku ingat waktu pertama kali dibawa ke jalan raya, aku melintasi Jl. Ahmad Yani yang macet. Bisa dibayangkan pengalaman pertama nyupir dengan mobil butut tanpa AC (seperti umumnya mobil untuk latihan di sekolah mengemudi),

Di New Jersey pun, Aku memanfaatkan jasa sekolah mengemudi. Ketatnya persaingan antara sekolah mengemudi, membuat para konsumen bisa memilih. Namun umumnya biayanya rata-rata USD 50 (sekitar Rp.450 ribu),- per jam. Waktunya pun tinggal memilih. Tergantung jadwal si instruktur dan jadwal kita sendiri. Sangat fleksibel. Karena Aku pernah mengemudi waktu di Surabaya, Aku tak begitu kesulitan untuk berada di belakang kemudi, meski Aku sempat vakum selama 6,5 tahun.

Dan lebih enaknya lagi, mobil di Amerika umumnya automatic alias matic. Lebih mudah dibanding manual yang masih memakai kopling. Yang membedakan adalah letak setir yang di sebelah kiri, dan jalan yang harus selau berada di sebelah kanan. Kebalikan dari Indonesia. Aku memanfaatkan jasa sekolah mengemudi ini kira-kira selama 10 jam selama 3 bulan masa permitku itu berlaku, sampai ikut road test alias tes jalan.

Mobil yang digunakan sekolah mengemudi disini tergolong baru dan bagus-bagus. Menurut instrukturku, mobil-mobil yang digunakan untuk student drivers memang ada persyaratannya. Misalnya ada minimal miles (seperti KM) di mobil. Umumnya mobil-mobil yang digunakan sekolah mengemudi ini umurnya tak boleh lebih dari 2 tahun. Dan paling penting, harus ada asuransi. Mobil juga harus lulus inspeksi mesin yang harus dilakukan tiap 2 tahun sekali.

Lokasi untuk road tes di belakang gedung DMV (Divisions of Motor Vehicles) yang mengeluarkan SIM dan STNK. Halaman belakang gedung itu dibuat seperti simulasi di jalan sesungguhnya. Ada rambu, jembatan dan untuk paralel parkir alias parkir sejajar. Aku datang setengah jam dari jadwal yang sudah ditentukan. Mobil yang akan Aku gunakan, Aku parkir di tempat dimana tes dimulai. Si penguji datang dengan kertas di tangan dan meminta data diriku termasuk permit yang didapat saat lulus ujian tulis.

Di dalam mobil bersamaku, si penguji memberi petunjuk arah mana yang harus kutuju dan apa yang harus kulakukan. Setelah mengerjakan semua yang diperintahkan, tiba-tiba petugas itu berkata,"Congratuliations, you passed,". Leganya!

| republish | Please Send Email to: [email protected] |

The Book of Eli, Berjibaku demi Sebuah Buku

Jojo Raharjo

Menyaksikan secara khusus pemutaran perdana “The Book of Eli” di Djakarta Teater, saya mencermati film yang masuk dalam genre action ini dikemas dengan pesan moral khusus, dengan mengambil latar belakang kondisi dunia pasca perang nuklir. Nice!

Rubrik film kita kali ini mengupas film Hollywood berjudul “The Book of Eli”, film terbaru Denzel Washington yang sedang tayang di jaringan bioskop 21 dan XXI di Indonesia. Saat itu, 30 tahun paska perang nuklir, dunia sudah tak sama lagi. Amerika menjadi padang gurun, manusia sangat jarang junmlahnya, dan mereka saling bunuh demi barang sepele seperti makanan kaleng, air, dan shampo.

Tersebutlah seorang musafir bernama Eli (diperankan secara luar biasa oleh Denzel Washington) yang terus berjalan menyusuri padang gurun nan penuh dengan kejahatan demi sebuah misi sucinya. Dari sinilah, actioon demi action terus tergelar.

Dalam perjalanannya menempuh kehidupan yang keras, Eli membawa sebuah ransel berisi bahan bahan kebutuhannya sehari hari. Saat itulah, seorang pemimpin kota yang jahat bernama Carnegie, diperankan oleh Gary Oldman, tahu bahwa di dalam ransel Eli tersembunyi sebuah buku yang dicarinya. Fokus film kemudian berubah dengan berbagai adegan aksi bagaimana Eli mencoba mempertahankan buku itu bersama anak angkat Solara, anak angkat Carnegie yang berpihak padanya.

Carnegie dan pengikut setianya terus memburu Eli, yang mati-matian mempertahankan buku itu meski terus dikepung komplotan jahat bersenjata lengkap. Melalui serangkaian adu tembak, buku itu memang akhirnya berpindah tangan ke kelompok penjahat, namun tragis bagi Carnegie karena mereka tak dapat membaca buku yang ternyata ditulis dalam huruf braille.

Akan halnya Eli, ia dapat menyelamatkan diri menuju sebuah pulau yang mencetak ulang semua buku yang telah musnah di muka bumi ini. Dengan hafalan dalam memori di kepalanya, Eli menulis ulang seluruh isi buku itu, yang ternyata merupakan Kitab Suci versi King James.

Eva Mindardjatims, wartawati Astaga dot Com yang menyaksikan pemutaran perdana “The Book of Eli” memuji alur cerita dalam film ini. “Bagus banget.. dari awal sampai akhir nonton, kita tak menduga alur ceritanya dan ending-nya seperti apa. Pada akhirnya kita menebak buku itu apa, yang ternyata ada misteri lagi di balik itu. Dalam banget pesannya,” kata Eva.

Eva menegaskan, untuk mendapat pesan utuh dari film ini, seorang penonton harus menyimak secara sabar karena film ini memang kuat dalam pesannya, tapi secara ketegangan atau suspense yang disajikan sebenarnya masih standar. “Suspense sih tidak terlalu banyak, kecuali memang ketegangan saat pembunuhan misalnya. Tapi itu wajar, karena dalam situasi zaman paska perang abad keduapuluh sekian itu, pilihannya kalau mau selamat ya harus bunuh orang,” kata Eva tentang “The Book of Eli” yang diproduksi oleh Warner Bross Pictures.

| republish | Please Send Email to: [email protected] |

27 April 2010

Menyusuri Kanal Amsterdam,..

Iman D. Nugroho, Amsterdam

Kanal-kanal di Amsterdam menyimpan berbagai cerita. Tidak hanya sampan dan boat yang dengan elegan membelah aliran di sela-sela gedung tua itu, melainkan juga kehidupan orang-orangnya. "Percayalah, Eropa jauh lebih bebas dan nyaman dari Amerika," kata seorang kawan. Hmmm,..benar juga.

| republish | Please Send Email to: [email protected] |





24 April 2010

Penggalan Cerita Schiphol-Bussum,..

Iman D. Nugroho, Netherands

Penggalan cerita di Bandara Schiphol, hingga ke Bussum, North Holland, Sabtu (24/4) ini. Ingat beberapa hal yang sempat tercatat. Salah satunya, mendaratnya jenazah aktivis HAM Cak Munir.

| republish | Please Send Email to: [email protected] |





23 April 2010

Mendarat di Malaysia, disambut berita sensor TV di Malaysia

Sekitar pukul 09.30, waktu Malaysia. Untuk pertama kali, akhirnya ada kesempatan juga mengunjungi negara serumpun yang pernah tercatat mengklaim budaya Indonesia ini. Bandara International Kuala Lumpur, tidak berbeda dengan Soekarno Hatta. Sedikit lebih bersih dan lebih tertata. Yang tidak mengenakkan, saat membuka email, eh, ada alert dari SEAPA. Berikut selengkapnya: 

17 April 2010

Komunitas Menggeliat lewat Srawung Art.

Dian AV. Sasa | Press Release

Keberadaan komunitas seni budaya dan literasi di berbagai daerah, tidak pernah berhenti dari upaya menghidupi dirinya, sembari menjaga semangat dan tujuan yang dipundaki. Meski terkadang langkah tersandung dan nafas gerakan tersendat, namun kehadiran mereka menjadi sandar penjagaan di tengah arus modernitas yang terus menggerus budaya negeri ini.

Dalam 'keterasingan' mereka melakukan gerakan sunyi yang tak banyak diminati khalayak. Anak-anak muda dengan semangat muda ini selayaknya mendapat apresiasi atas upaya yang mereka lakukan. Gerakan komunitas ini merayap di lajur masing-masing dengan tujuan yang searah:menjaga kelangsungan seni budaya lokal dan membangun kesadaran literasi.

Seringkali, kendala ruang apresiasi menjadi kendala dalam menjaga kelangsungan gerakan komunitas ini. Di Surabaya tak banyak ruang tersedia untuk berkarya dengan dana pas-pasan. Gallery Surabaya yang sering digunakan karena biayanya sangat murah pun kondisinya sudah sangat memprihatinkan dan tidak layak.

Untuk itu, "SRAWUNG ART" mencoba menyediakan ruang untuk menggelar ekspresi karya komunitas musik, teater, senirupa, fotografi, literasi, sastra, dan lain-lain dengan gaya menyesuaiak karakter kotametropolis, cafe menjadi pilihannya. Diharapkan, kedepan, SRAWUNG ART dapat dimanfaatkan sebagai ruang bereksplorasi dan unjuk karya bagi setiap komunitas. Tujuannya agar terjadi tukar informasi dan perluasan jaringan sehingga pergerakan budaya dapat lebih bersinergi dan tidak menjadi gerakan yang berjalan sendiri-sendiri.

Dipandegani oleh komunitas ESOK(Emperan Sastra Cok-Cepetan Ojo Keri) bekerjasama dengan DBUKU (Gallery buku Bibliopolis), maka malam ini (15/4)"SRAWUNG ART menandai kemunculan pertamanya di Art Cafe, Jl Brigjend Katamso 222, Waru Sidoarjo dengan menggelar TEMU KOMUNITAS SENIBUDAYA dan LITERASI.

Hadir dalam acara ini adalah Komunitas Perkusi (Jajan Pasar, Phsyconoise), Musikalisasi Puisi SMU Bina Bangsa, Band-band Indie, OI DKSH Surabaya(Iwan Fals Fans Club), Insan Baca (literasi), Arek Museum (Senirupa), Forum Rebo Sore (sastra dan literasi UNESA), C2O Library and Cinemateque, Komunitas Komik Bunuh Diri, dan lain-lain.

Turut hadir pula penulis novel asal Surabaya yang tinggal lama di Jakarta, Kirana Kejora. Kemudian juga penulis novel Ferry Herlambang Zanzad (Elle Eleanor), dan Mahwi Air Tawar (cerpenis,jogja).

"SRAWUNG ART kami cita-citakan mampu menjadi ajang tukar ide sehingga antar komunitas dapat saling merespon gagasan. Dengan begitu, sebuah karya akan menjadi lebih kaya. Komunitas musik mungkin sekali waktu dapat merespon karya teman-teman senirupa, komunitas penulis dapat merespon fotografi, dan sebagainya", kata Gita Pratama, Koordinator ESOK.

Dalam diskusi yang dimoderatori Diana Sasa dari DBUKU, Ilham J Baday perwakilan dari Arek Museum mengatakan "Setiap komunitas mengalami dua masalah pokok, yaitu jaringan dan ruang berekspresi. Dan kehadiran SRAWUNG ART ini kiranya dapat menjembatani hal itu, menjadi ajang komunikasi dan tukar wacana antar lintas komunitas sekaligus ruang apresiasi karya"

SRAWUNG ART direncakan akan menggelar kegiatan apresiasi karya secara rutin setiap Kamis malam, minggu ke dua tiap bulannya.


| republish | Please Send Email to: [email protected] |