
26 Maret 2010
Hachiko, belajar kesetiaan dari seekor anjing

20 Maret 2010
Hidup Tidak Selamanya Sukses
Iman D. Nugroho | Youtube
Hidup tidak selama sukses. Sepertinya memang demikian adanya. Bahkan,untuk seekor katak pun, gagal dalam menangkap mangsanya (capung) seperti yang tampak dalam video ini. Lihat saja. Sang katak yang sudah menunjukkan seluruh kemampuannya, loncatan indah, lidah menjulur dan kaki depan yang coba merengkuh mangsa,..eh,..gagal juga. Saksikan video di bawah ini.
| republish | Please Send Email to: [email protected] |
Hidup tidak selama sukses. Sepertinya memang demikian adanya. Bahkan,untuk seekor katak pun, gagal dalam menangkap mangsanya (capung) seperti yang tampak dalam video ini. Lihat saja. Sang katak yang sudah menunjukkan seluruh kemampuannya, loncatan indah, lidah menjulur dan kaki depan yang coba merengkuh mangsa,..eh,..gagal juga. Saksikan video di bawah ini.
| republish | Please Send Email to: [email protected] |
19 Maret 2010
Ruang di Antara Perang dan Kebenaran
Jojo Raharjo
Kembali kita membahas film Hollywood yang saat ini sedang “in” diputar di jaringan bioskop 21 maupun XXI. Kali ini kita akan membedah film berjudul ”Green Zone”, yang dibintangi aktor Matt Damon dan mengambil setting tentang Perang Irak tujuh tahun lalu.
”Green Zone” menyampaikan kritik atas invasi tentara Amerika ke Irak untuk mencari senjata pemusnah massal yang tak pernah terbukti keberadaannya. Tokoh utamanya Roy Miller, diperankan Matt Damon, yang berperan sebagai Kepala Pasukan Khusus AS di Irak yang selalu penasaran karena gagal menemukan senjata pemusnah massal seperti dituduhkan dimiliki negeri 1001 malam itu. Sering Miller dan pasukannya mengaduk-aduk sampah dan menyisir jalanan berdasarkan info intelijen, tapi kemudian kembali dengan tangan hampa.
Miller merasa dipermainkan dan yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan badan intelijen yang terkesan memberikan informasi asal-asalan. Hal ini semakin diperkuat dengan dukungan dari kepala CIA di Bagdad, Martin Brown yang menegaskan bahwa semua berkaitan dengan isu politik pemerintahan Amerika. Akhirnya dengan bantuan seorang pemuda lokal Irak bernama Freddy, Miller dan kelompoknya berusaha menguak misteri yang ada.
Green Zone disutradarai oleh Paul Greengrass, yang juga berperan di balik sequel “Bourne” dengan Matt Damon sebagai bintang utamanya. Dengan sutradara dan aktor yang sama, diharapkan penggemar serial “Bourne” datang menonton film ini. Green Zone diadaptasi dari novel karya jurnalis The Washington Post Rajiv Chandra Sekaran.
Film Green Zone juga menarik untuk pelajaran bagi dunia jurnalisme, karena dari film ini didapat pelajaran betapa media memiliki keterlibatan besar dalam kebijakan sebuah negara, termasuk saat sebuah pemerintahan harus mengambil keputusan untuk perang atau tidak.
Diceritakan, wartawan Wall Street Journal, Lawrie Dayne ikut menurunkan tulisan bohong tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak. Selanjutnya, terjadi pergolakan batin dari diri si wartawati. Di satu sisi batinnya menentang kebohongan, namun di sisi lain ada dilema karena pemerintahnya menghendaki seperti itu.
Setelah pemutaran perdana Green Zone khusus untuk kalangan media selesai, saya berbincang dengan Sesilia Nuke Ernawati, wartawati Suara Pembaruan yang menonton pemutaran perdana Green Zone menegaskan, film ini mampu membawa penonton terhindar dari suasana bosan. “Temanya sebenarnya biasa, seperti film-film lain yang mengangkat perang Iran-Irak, bahwa ada misi yang tidak benar dari pemerintah. Bedanya, film ini mampu menggiring penonton hingga ke ending cerita sebelum rasa bosan menyergap,” kata Nuke.
Nuke juga menggarisbawahi sisi khusus dari film Green Zone yakni adanya upaya menyingkap kebenaran seberapa sulitnya usaha itu dilakukan. “Mungkin banyak penyimpangan lain di pemerintahan yang harus diungkap, tak hanya soal perang. Tapi memang masih sulit mengharapkan hal serupa bisa diterapkan di Indonesia, bagaimana mengungkap kebenaran sejarah lewat film,” katanya.
Di sela-sela nonton Green Zone, saya juga berkirim pesan pendek dengan Rommy Fibri, jurnalis yang tiga kali ke Irak, sebelum, saat dan setelah Saddam Hussein jatuh. Saya mengagumi sikap film-film Hollywood yang dengan berani mengkritik kebijakan pemerintah AS, seperti saat mengecam penyerangan ke Iraq tanpa bukti nyata bahwa negara itu memiliki senjata pemusnah massal.
Ah, seandainya saja film-film kita mampu mengkritik peristiwa-peristiwa sosial yang masih misterius, seperti Peristiwa 1965 maupun tragedi-tragedi lainnya. “Ya bedalah. Dunia film Amrik sudah mengalami represi tahun 1960-an saat masa perang dingin. Lha film kita saja masih berkutat soal hantu dan arisan brondong,” balas Rommy dalam pesan pendeknya.
| republish | Please Send Email to: [email protected] |

”Green Zone” menyampaikan kritik atas invasi tentara Amerika ke Irak untuk mencari senjata pemusnah massal yang tak pernah terbukti keberadaannya. Tokoh utamanya Roy Miller, diperankan Matt Damon, yang berperan sebagai Kepala Pasukan Khusus AS di Irak yang selalu penasaran karena gagal menemukan senjata pemusnah massal seperti dituduhkan dimiliki negeri 1001 malam itu. Sering Miller dan pasukannya mengaduk-aduk sampah dan menyisir jalanan berdasarkan info intelijen, tapi kemudian kembali dengan tangan hampa.
Miller merasa dipermainkan dan yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan badan intelijen yang terkesan memberikan informasi asal-asalan. Hal ini semakin diperkuat dengan dukungan dari kepala CIA di Bagdad, Martin Brown yang menegaskan bahwa semua berkaitan dengan isu politik pemerintahan Amerika. Akhirnya dengan bantuan seorang pemuda lokal Irak bernama Freddy, Miller dan kelompoknya berusaha menguak misteri yang ada.
Green Zone disutradarai oleh Paul Greengrass, yang juga berperan di balik sequel “Bourne” dengan Matt Damon sebagai bintang utamanya. Dengan sutradara dan aktor yang sama, diharapkan penggemar serial “Bourne” datang menonton film ini. Green Zone diadaptasi dari novel karya jurnalis The Washington Post Rajiv Chandra Sekaran.
Film Green Zone juga menarik untuk pelajaran bagi dunia jurnalisme, karena dari film ini didapat pelajaran betapa media memiliki keterlibatan besar dalam kebijakan sebuah negara, termasuk saat sebuah pemerintahan harus mengambil keputusan untuk perang atau tidak.
Diceritakan, wartawan Wall Street Journal, Lawrie Dayne ikut menurunkan tulisan bohong tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak. Selanjutnya, terjadi pergolakan batin dari diri si wartawati. Di satu sisi batinnya menentang kebohongan, namun di sisi lain ada dilema karena pemerintahnya menghendaki seperti itu.
Setelah pemutaran perdana Green Zone khusus untuk kalangan media selesai, saya berbincang dengan Sesilia Nuke Ernawati, wartawati Suara Pembaruan yang menonton pemutaran perdana Green Zone menegaskan, film ini mampu membawa penonton terhindar dari suasana bosan. “Temanya sebenarnya biasa, seperti film-film lain yang mengangkat perang Iran-Irak, bahwa ada misi yang tidak benar dari pemerintah. Bedanya, film ini mampu menggiring penonton hingga ke ending cerita sebelum rasa bosan menyergap,” kata Nuke.
Nuke juga menggarisbawahi sisi khusus dari film Green Zone yakni adanya upaya menyingkap kebenaran seberapa sulitnya usaha itu dilakukan. “Mungkin banyak penyimpangan lain di pemerintahan yang harus diungkap, tak hanya soal perang. Tapi memang masih sulit mengharapkan hal serupa bisa diterapkan di Indonesia, bagaimana mengungkap kebenaran sejarah lewat film,” katanya.
Di sela-sela nonton Green Zone, saya juga berkirim pesan pendek dengan Rommy Fibri, jurnalis yang tiga kali ke Irak, sebelum, saat dan setelah Saddam Hussein jatuh. Saya mengagumi sikap film-film Hollywood yang dengan berani mengkritik kebijakan pemerintah AS, seperti saat mengecam penyerangan ke Iraq tanpa bukti nyata bahwa negara itu memiliki senjata pemusnah massal.
Ah, seandainya saja film-film kita mampu mengkritik peristiwa-peristiwa sosial yang masih misterius, seperti Peristiwa 1965 maupun tragedi-tragedi lainnya. “Ya bedalah. Dunia film Amrik sudah mengalami represi tahun 1960-an saat masa perang dingin. Lha film kita saja masih berkutat soal hantu dan arisan brondong,” balas Rommy dalam pesan pendeknya.
| republish | Please Send Email to: [email protected] |
Badai, Banjir dan,...capek deh!
Maya Mandley
Banjir bisa terjadi di mana-mana. Tidak cuma di Indonesia yang (sorry to say) tidak terlalu peduli sama yang namanya kelestarian lingkungan. Di negara maju seperti Amerika, mother nature jenis itu juga ikut mampir.
Ingatanku terlempar ketika tinggal di dekat sungai yang katanya sambungan Kali Ciliwung. Sungai yang selalu meluap saat hujan lebat. Kalau nggak salah, tanpa hujan pun, rumah kami tahu-tahu didatangi tamu tak diundang, tanpa kenal waktu. Termasuk saat tengah malam saat semua anggota keluarga tertidur lelap.
Untunglah, saat Aku kelas 1 SMA, ayah mulai sanggup membeli rumah di daerah yang tidak banjir. Cuma ya gitu, saat itu jalannya masih sirtu alias pasir batu. Jadi saat hujan bukan banjir lagi yang harus dihadapi, tapi sepatu becek yang kadang solnya jadi tinggi karena tanah merah. Tapi sekarang sudah aspal. Menurut gossip yang aku dengar, karena warga sekitar memilih salah satu partai dan jadi pemenang pemilu. Dan partai ini memenuhi janjinya untuk mengaspal jalan di daerah pinggiran Jakarta tersebut. Nggak tahulah! Politics bikin rumit.
Kini, tinggal di New Jersey, AS, setengah gak percaya waktu melihat ketika di AS, pun ada banjir. Di TV, aksi national guard (sipil militer) melakukan evakuasi warga saat banjir menenjang AS. Modelnya persis seperti saat rumahku kebanjiran di Jakarta. Aksi reporternya pun tak kalah heboh. Kadang sambil berada di atas perahu, kadang berdiri di atas genangan air setinggi dengkulnya.
Beruntung, Aku tinggal bukan di daerah langganan banjir. Jadi banjir yang jadi berita tak begitu mengganggu aktivitasku. Namun badai nor'easter yang melanda akhir pekan pertengahan Maret sebagai "gantinya". Memang sih, beberapa hari sebelumnya weathermen atau peramal cuaca mengingatkan soal ancaman badai ini. Termasuk di tempat Aku tinggal. Pada hari Sabtu pagi, Aku sempat keluar rumah untuk cari sarapan dan belanja bulanan. Saat itu angin yang berkecepatan sekitar 40 miles/jam itu datang sekali-sekali.
Namun semakin siang, angin semakin kencang. Aku sampai merasakan sendiri rumah tempat aku tinggal seperti bergoyang. Suamiku sempat khawatir dengan pohon besar di belakang rumah. Keadaan ini baru berhenti sehari kemudian. Aku melihat beberapa tiang listrik atau tiang telpon di dekat rumah rubuh.
New York City dan New Jersey diberitakan dalam kondisi parah pasca badai ini. Banyak pohon roboh. Bahkan ada yang menimpa rumah. Belum lagi tiang listrik dan tiang telpon. Bisa ditebak akibatnya. Banyak warga yang listriknya padam. Di beberapa daerah, sekolah bahkan tutup. Karena selain tiang dan pohon roboh, sisa salju yang lumer ditambah hujan (meski tak begitu deras) membuat daerah langganan banjir jadi terendam.
Sialnya, Apunya janji mengunjungi teman di daerah New Jersey utara dekat dengan daerah yang terkena banjir. Gosh! Itulah baru pertama kalinya selama hampir 7 tahun tinggal di Amerika, aku melihat yang namanya kebanjiran. Jalan utama macet karena banyak jalan yang ditutup. Temanku yang mengantar harus cari jalan. Selama dia muter-muter itu aku bisa liat bagaimana rumah-rumah terendam. Lumayan tinggi. Bisa mencapai seperempat bangunan. Dari pantauan camera helicopter berita TV, terlihat daerah yang terendam lumayan luas. Warga pun memilih untuk mengungsi. National guard juga melakukan evakuasi. Ribut di sana- sini karena banjir.
Bagaimana dengan listrik yang padam? Petugas perusahaan listrik juga butuh waktu lumayan lama untuk memperbaiki tiang yang roboh. Sebab kadang mereka juga harus menyingkirkan batang pohon yang lumayan besar. Ahh ..badai oh badai mengapa kau senang sekali mampir dan meninggalkan bekas yang bikin susah semua orang?
| republish | Please Send Email to: [email protected] |

Ingatanku terlempar ketika tinggal di dekat sungai yang katanya sambungan Kali Ciliwung. Sungai yang selalu meluap saat hujan lebat. Kalau nggak salah, tanpa hujan pun, rumah kami tahu-tahu didatangi tamu tak diundang, tanpa kenal waktu. Termasuk saat tengah malam saat semua anggota keluarga tertidur lelap.
Untunglah, saat Aku kelas 1 SMA, ayah mulai sanggup membeli rumah di daerah yang tidak banjir. Cuma ya gitu, saat itu jalannya masih sirtu alias pasir batu. Jadi saat hujan bukan banjir lagi yang harus dihadapi, tapi sepatu becek yang kadang solnya jadi tinggi karena tanah merah. Tapi sekarang sudah aspal. Menurut gossip yang aku dengar, karena warga sekitar memilih salah satu partai dan jadi pemenang pemilu. Dan partai ini memenuhi janjinya untuk mengaspal jalan di daerah pinggiran Jakarta tersebut. Nggak tahulah! Politics bikin rumit.
Kini, tinggal di New Jersey, AS, setengah gak percaya waktu melihat ketika di AS, pun ada banjir. Di TV, aksi national guard (sipil militer) melakukan evakuasi warga saat banjir menenjang AS. Modelnya persis seperti saat rumahku kebanjiran di Jakarta. Aksi reporternya pun tak kalah heboh. Kadang sambil berada di atas perahu, kadang berdiri di atas genangan air setinggi dengkulnya.
Beruntung, Aku tinggal bukan di daerah langganan banjir. Jadi banjir yang jadi berita tak begitu mengganggu aktivitasku. Namun badai nor'easter yang melanda akhir pekan pertengahan Maret sebagai "gantinya". Memang sih, beberapa hari sebelumnya weathermen atau peramal cuaca mengingatkan soal ancaman badai ini. Termasuk di tempat Aku tinggal. Pada hari Sabtu pagi, Aku sempat keluar rumah untuk cari sarapan dan belanja bulanan. Saat itu angin yang berkecepatan sekitar 40 miles/jam itu datang sekali-sekali.
Namun semakin siang, angin semakin kencang. Aku sampai merasakan sendiri rumah tempat aku tinggal seperti bergoyang. Suamiku sempat khawatir dengan pohon besar di belakang rumah. Keadaan ini baru berhenti sehari kemudian. Aku melihat beberapa tiang listrik atau tiang telpon di dekat rumah rubuh.
New York City dan New Jersey diberitakan dalam kondisi parah pasca badai ini. Banyak pohon roboh. Bahkan ada yang menimpa rumah. Belum lagi tiang listrik dan tiang telpon. Bisa ditebak akibatnya. Banyak warga yang listriknya padam. Di beberapa daerah, sekolah bahkan tutup. Karena selain tiang dan pohon roboh, sisa salju yang lumer ditambah hujan (meski tak begitu deras) membuat daerah langganan banjir jadi terendam.
Sialnya, Apunya janji mengunjungi teman di daerah New Jersey utara dekat dengan daerah yang terkena banjir. Gosh! Itulah baru pertama kalinya selama hampir 7 tahun tinggal di Amerika, aku melihat yang namanya kebanjiran. Jalan utama macet karena banyak jalan yang ditutup. Temanku yang mengantar harus cari jalan. Selama dia muter-muter itu aku bisa liat bagaimana rumah-rumah terendam. Lumayan tinggi. Bisa mencapai seperempat bangunan. Dari pantauan camera helicopter berita TV, terlihat daerah yang terendam lumayan luas. Warga pun memilih untuk mengungsi. National guard juga melakukan evakuasi. Ribut di sana- sini karena banjir.
Bagaimana dengan listrik yang padam? Petugas perusahaan listrik juga butuh waktu lumayan lama untuk memperbaiki tiang yang roboh. Sebab kadang mereka juga harus menyingkirkan batang pohon yang lumayan besar. Ahh ..badai oh badai mengapa kau senang sekali mampir dan meninggalkan bekas yang bikin susah semua orang?
| republish | Please Send Email to: [email protected] |
[ Cerita Pendek ] Ibu
Senja Madinah | Bagian III (tamat)
“Sebelumnya sudah pernah dik?” Tanya seorang perempuan berusia 30 tahunan di sebelahku. Aku menggeleng ragu. Aku semakin ciut. mungkin, hanya mereka yang berpengalaman bekerja yang diterima untuk bekerja.
“Kalau belum pernah, lebih baik diurungkan saja,” Tukasnya takut-takut sambil melihat ke arahku. “Nggak ada ceritanya pulang dari sini jadi kaya. Yang ada, pulang-pulang bawa penyakit,” tambahnya. Aku mengernyit kebingungan. Tak bisa kaya, yang penting cukup, pikirku. Tapi membawa penyakit?
“Iya, kalau nggak penyakit kelamin ya penyakit AIDS,” Jawabnya, sambil memperkecil volume suaranya. Seketika wajahku memerah. Berlari ke pintu keluar tanpa mempedulikan gerombolan laki-laki sebesar Rambo yang berusaha menghentikan dan mengejarku. Aku berlari. Terus berlari. Hingga terdampar di koordinat 0º5' Lintang Utara dan 104º27' Bujur Timur ini. Tanjung Pinang.
Aku merasa dipecundangi oleh nasib. Jauh-jauh aku datang ke tempat ini, hanya untuk membuktikan pada ibu bahwa aku bisa menjadi manusia yang dibanggakan dan sayangi. Sebagaimana mimpiku yang terbawa ke liang lahat oleh Yaris. Menikah dengan laki-laki yang tak pernah menjamah lenganku dengan kasar. Aku hanya ingin menunjukkan laki-laki seperti apa yang pantas dicintai.
Tapi apa yang ku dapat? Selaput dara yang berusaha ku pelihara sejak usiaku delapan tahun, justru akan dilelang oleh Tacik taik itu! Ya, sejak usia delapan tahun aku berusaha menjaganya. Saat itulah aku tahu bahwa aku perempuan, meski menstruasi pertamaku baru ku dapat di usia sebelas tahun. Saat itu pulalah pelarian pertamaku. Pelarian karena seorang laki-laki. Yang ku panggil Kakek.
Kakek. Ayah dari Ayahku itu. Entah apa yang merasuki otaknya. Hingga birahinya memuncak melihat buah dadaku yang bahkan belum tumbuh. Hingga menindihku dan akan menelusupkan zakarnya pada vaginaku yang bahkan belum ditumbuhi rumput. Pada suatu malam yang buta. Hingga aku menjerit dan membangunkan nenekku.
Dan ibu dari ayahku itu, bukannya membelaku, justru melemparku dengan dandang. Hingga aku terbirit. Berusaha menemukan jalan mencari rumah ibuku, yang telah kawin dengan laki-laki yang tak pernah ingin ku sebut ayah. Itulah pelarian pertamaku.
Dan, tahukan kau, bagaimana sikap ibuku saat mendapatiku kelelahan, tanpa alas kaki, dehidrasi, dan kelaparan? Pipiku, lenganku, pahaku, dan kakiku. Bersemu merah. Perlahan tapi pasti. Menjadi lebam. Semuanya, hasil karya ibu dengan menggunakan tangan dan sapu lidi.
Ibu.
Ibu yang selalu ingin ku ku peluk dan berlindung di balik ketiaknya. Ibu yang selalu ingin ku kusampaikan rasa takut saat mimpi buruk. Ibu. Yang menjadi satu-satunya alasan balik pelarian yang ku lakukan karena laki-laki. Ibu. Yang membuatku merasa tak bisa lepas dari perempuan yang ku sebut ibu itu..
Ibu. Yang justru menjauhkan ku dari rasa hangat, saat aku merasa dingin dari getirnya hidup. Ibu. Yang justru meninggalkanku sendiri. Tidak hanya di kamar yang pengap. Tapi, di rumah sendiri. Benar-benar sendiri. Tanpa makanan. Tanpa nasi. Tanpa uang untuk membeli sepotong roti. Ibu. Yang justru meninggalkanku sendiri hanya untuk bertemu ibu dari ayah tiriku, lelaki ketiga ibuku.
Ingatanku melayang. Pada sebuah pagi sebelum aku berangkat sekolah.
“Mak, aku maem (aku mau makan),..” Aku merengek. Berharap suara lembut menyambut rengekanku.
“Njiko’o dhewe kono lho. Ngalem iki! (Ambil sendiri di sana lho. Anak manja!),” Suara membentak yang keluar dari tenggorokan ibuku itu, membuatku berjalan gontai ke tudung saji yang tertelungkup.
Ku lihat pemandangan di depanku. Hanya ada sebakul kecil nasi. Tak ada lauk untuk nasiku. Atau sekedar kerupuk pink sebagai pemanis. Hanya ada cairan berwarna cokelat kehitaman pada sebuah bungkus plastic bertuliskan ABC.
“Mak, lawuhe opo? (Bu, lauknya apa?)” Aku merajuk. Meminta ibu untuk memberikanku telur atau sekedar kerupuk. Sebagai teman nasiku. Tapi, ia justru menghujaniku dengan omelan. Dengan cercaan. Dengan makian.
Aku memilih diam. Agar ocehannya tak semakin panjang dan memekakan telinga. Aku mogok makan. Tapi, saat melihatku bersiap untuk berangkat sekolah tanpa menyentuh nasi yang telah ku pindah dalam piring, ibu menjauhiku. Mencari batang sapu di balik pintu.
Aku mempunyai firasat tak nyaman. Sebab aku telah menyapu lantai rumah sebelum mandi, pagi ini. Dan benar saja. Batang itu di arahkan pada pahaku. Dengan membabi buta ia memukulku. Aku tak mempunyai kesempatan untuk berlari. Saat batang sapu yang terbuat dari kayu itu patah, ibu menjambak rambutku yang keriting. Mengangkat tubuh ringkihku ke meja tempat sepiring nasi dan sebungkus kecap.
“Entekno! Lek Gak entek tak bandemno ning raimu! (Habiskan! Kalau tidak akan ku lempar ke wajahmu!),” Suaranya semakin keras menggelegar. Melebihi petir dan halilintar yang membuatku takut, saat harus melewatkan malam sendiri di rumah.
Aku bahkan tak punya gambaran sebagaimana lagu digambarkan tentang hubungan keluarga bahagia dan penuh kasih sayang, yang banyak diceritakan dalam pelajaran bahasa Indonesia dan Pendidikan Moral Pancasila. Aku hanya mempunyai bayang ketakutan akan masuk neraka jika membantah ibu sebagaimana gambaran pelajaran agama: Surga berada di telapak kaki ibu.
Akibatnya, aku berkali-kali berucap maaf pada sesuatu yang tak pernah ku lihat tapi mempunyai efek menekan dan menimbulkan rasa takut, saat sebersit pemikiran hadir dalam otakku: ibu pasti menggerutu saat aku dalam kandungnya. Ibu pasti berucap serapah saat berusaha mengeluarkanku dari rahimnya.
Tapi entahlah. Saat aku di ujung tanduk seperti saat ini. Saat seorang pendeta yang menolongku dari cengkraman prostitusi. Ia yang membayar semua tebusan. Ia bahkan yang mencarikanku pekerjaan pada sebuah bengkel kecil di ujung jalan menuju dermaga. Aku justru merasa membutuhkan perempuan bernama Ibu itu. Aku ingin ia adalah orang pertama yang merasa bangga mendengar aku akan menjadi anak terpandang dalam sebuah strata social kelas satu. Meninggalkan kasta sudra yang turun temurun ku sandang. Bahkan akan menempati posisi melebihi kasta kesatria kaum raja.
Aku justru merasa ingin pulang. Aku ingin berlari. Lagi… (tamat)
*Ibu Bagian II, klik di sini.
*Ibu Bagian I, klik di sini.
| republish | Please Send Email to: [email protected] |

“Kalau belum pernah, lebih baik diurungkan saja,” Tukasnya takut-takut sambil melihat ke arahku. “Nggak ada ceritanya pulang dari sini jadi kaya. Yang ada, pulang-pulang bawa penyakit,” tambahnya. Aku mengernyit kebingungan. Tak bisa kaya, yang penting cukup, pikirku. Tapi membawa penyakit?
“Iya, kalau nggak penyakit kelamin ya penyakit AIDS,” Jawabnya, sambil memperkecil volume suaranya. Seketika wajahku memerah. Berlari ke pintu keluar tanpa mempedulikan gerombolan laki-laki sebesar Rambo yang berusaha menghentikan dan mengejarku. Aku berlari. Terus berlari. Hingga terdampar di koordinat 0º5' Lintang Utara dan 104º27' Bujur Timur ini. Tanjung Pinang.
Aku merasa dipecundangi oleh nasib. Jauh-jauh aku datang ke tempat ini, hanya untuk membuktikan pada ibu bahwa aku bisa menjadi manusia yang dibanggakan dan sayangi. Sebagaimana mimpiku yang terbawa ke liang lahat oleh Yaris. Menikah dengan laki-laki yang tak pernah menjamah lenganku dengan kasar. Aku hanya ingin menunjukkan laki-laki seperti apa yang pantas dicintai.
Tapi apa yang ku dapat? Selaput dara yang berusaha ku pelihara sejak usiaku delapan tahun, justru akan dilelang oleh Tacik taik itu! Ya, sejak usia delapan tahun aku berusaha menjaganya. Saat itulah aku tahu bahwa aku perempuan, meski menstruasi pertamaku baru ku dapat di usia sebelas tahun. Saat itu pulalah pelarian pertamaku. Pelarian karena seorang laki-laki. Yang ku panggil Kakek.
Kakek. Ayah dari Ayahku itu. Entah apa yang merasuki otaknya. Hingga birahinya memuncak melihat buah dadaku yang bahkan belum tumbuh. Hingga menindihku dan akan menelusupkan zakarnya pada vaginaku yang bahkan belum ditumbuhi rumput. Pada suatu malam yang buta. Hingga aku menjerit dan membangunkan nenekku.
Dan ibu dari ayahku itu, bukannya membelaku, justru melemparku dengan dandang. Hingga aku terbirit. Berusaha menemukan jalan mencari rumah ibuku, yang telah kawin dengan laki-laki yang tak pernah ingin ku sebut ayah. Itulah pelarian pertamaku.
Dan, tahukan kau, bagaimana sikap ibuku saat mendapatiku kelelahan, tanpa alas kaki, dehidrasi, dan kelaparan? Pipiku, lenganku, pahaku, dan kakiku. Bersemu merah. Perlahan tapi pasti. Menjadi lebam. Semuanya, hasil karya ibu dengan menggunakan tangan dan sapu lidi.
Ibu.
Ibu yang selalu ingin ku ku peluk dan berlindung di balik ketiaknya. Ibu yang selalu ingin ku kusampaikan rasa takut saat mimpi buruk. Ibu. Yang menjadi satu-satunya alasan balik pelarian yang ku lakukan karena laki-laki. Ibu. Yang membuatku merasa tak bisa lepas dari perempuan yang ku sebut ibu itu..
Ibu. Yang justru menjauhkan ku dari rasa hangat, saat aku merasa dingin dari getirnya hidup. Ibu. Yang justru meninggalkanku sendiri. Tidak hanya di kamar yang pengap. Tapi, di rumah sendiri. Benar-benar sendiri. Tanpa makanan. Tanpa nasi. Tanpa uang untuk membeli sepotong roti. Ibu. Yang justru meninggalkanku sendiri hanya untuk bertemu ibu dari ayah tiriku, lelaki ketiga ibuku.
Ingatanku melayang. Pada sebuah pagi sebelum aku berangkat sekolah.
“Mak, aku maem (aku mau makan),..” Aku merengek. Berharap suara lembut menyambut rengekanku.
“Njiko’o dhewe kono lho. Ngalem iki! (Ambil sendiri di sana lho. Anak manja!),” Suara membentak yang keluar dari tenggorokan ibuku itu, membuatku berjalan gontai ke tudung saji yang tertelungkup.
Ku lihat pemandangan di depanku. Hanya ada sebakul kecil nasi. Tak ada lauk untuk nasiku. Atau sekedar kerupuk pink sebagai pemanis. Hanya ada cairan berwarna cokelat kehitaman pada sebuah bungkus plastic bertuliskan ABC.
“Mak, lawuhe opo? (Bu, lauknya apa?)” Aku merajuk. Meminta ibu untuk memberikanku telur atau sekedar kerupuk. Sebagai teman nasiku. Tapi, ia justru menghujaniku dengan omelan. Dengan cercaan. Dengan makian.
Aku memilih diam. Agar ocehannya tak semakin panjang dan memekakan telinga. Aku mogok makan. Tapi, saat melihatku bersiap untuk berangkat sekolah tanpa menyentuh nasi yang telah ku pindah dalam piring, ibu menjauhiku. Mencari batang sapu di balik pintu.
Aku mempunyai firasat tak nyaman. Sebab aku telah menyapu lantai rumah sebelum mandi, pagi ini. Dan benar saja. Batang itu di arahkan pada pahaku. Dengan membabi buta ia memukulku. Aku tak mempunyai kesempatan untuk berlari. Saat batang sapu yang terbuat dari kayu itu patah, ibu menjambak rambutku yang keriting. Mengangkat tubuh ringkihku ke meja tempat sepiring nasi dan sebungkus kecap.
“Entekno! Lek Gak entek tak bandemno ning raimu! (Habiskan! Kalau tidak akan ku lempar ke wajahmu!),” Suaranya semakin keras menggelegar. Melebihi petir dan halilintar yang membuatku takut, saat harus melewatkan malam sendiri di rumah.
Aku bahkan tak punya gambaran sebagaimana lagu digambarkan tentang hubungan keluarga bahagia dan penuh kasih sayang, yang banyak diceritakan dalam pelajaran bahasa Indonesia dan Pendidikan Moral Pancasila. Aku hanya mempunyai bayang ketakutan akan masuk neraka jika membantah ibu sebagaimana gambaran pelajaran agama: Surga berada di telapak kaki ibu.
Akibatnya, aku berkali-kali berucap maaf pada sesuatu yang tak pernah ku lihat tapi mempunyai efek menekan dan menimbulkan rasa takut, saat sebersit pemikiran hadir dalam otakku: ibu pasti menggerutu saat aku dalam kandungnya. Ibu pasti berucap serapah saat berusaha mengeluarkanku dari rahimnya.
Tapi entahlah. Saat aku di ujung tanduk seperti saat ini. Saat seorang pendeta yang menolongku dari cengkraman prostitusi. Ia yang membayar semua tebusan. Ia bahkan yang mencarikanku pekerjaan pada sebuah bengkel kecil di ujung jalan menuju dermaga. Aku justru merasa membutuhkan perempuan bernama Ibu itu. Aku ingin ia adalah orang pertama yang merasa bangga mendengar aku akan menjadi anak terpandang dalam sebuah strata social kelas satu. Meninggalkan kasta sudra yang turun temurun ku sandang. Bahkan akan menempati posisi melebihi kasta kesatria kaum raja.
Aku justru merasa ingin pulang. Aku ingin berlari. Lagi… (tamat)
*Ibu Bagian II, klik di sini.
*Ibu Bagian I, klik di sini.
| republish | Please Send Email to: [email protected] |