Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

16 Maret 2010

13 Minggu Menunggu Pemecah Mitos Baru

Jojo Raharjo

Piala Dunia adalah pesta besar. Sejak Presiden FIFA Jules Rimet mencanangkan perhelatan empat tahunan ini digelar pada 1930 di Uruguay, saat itu hanya diikuti enam negara, selanjutnya hajatan ini menjadi pagelaran akbar yang selalu dinanti para penggila bola. Maklum, sepakbola menjadi olahraga yang paling banyak digemari di muka bumi ini.


Total, dari penyelenggaraan Piala Dunia 1930 di Uruguay, 1934 di Italia, 1938 di Perancis, 1950 di Brazil, 1954 di Swiss, 1958 di Swedia, 1962 di Cili, 1966 di Inggris, 1970 di Mexico, 1974 di Jerman, 1978 di Argentina, 1982 di Spanyol, 1986 di Mexico, 1990 di Italia, 1994 di Amerika Serikat, 1998 di Perancis, 2002 di Korea-Jepang dan 2006 di Jerman telah tergelar 18 kali penyelenggaraan Piala Dunia.

Tentu saja, dari setiap Piala Dunia digelar selalu ditunggu siapa yang akan menjadi juaranya, sekaligus menasbihkan diri sebagai kekuatan terbaik sepakbola dunia selama empat tahun ke depan. Uniknya, dari lima benua di jagad ini, distribusi juara Piala Dunia masih menjadi rebutan antara benua Amerika dan Eropa. Dri benua Amerika tradisi juara hanya diwakili tiga negara, yakni Uruguay perebut piala pertama, Brazil si ‘jogo bonito’ alias penyuguh sepakbola cantik dengan tari sambanya, dan Argentina dengan goyang tangonya. Sementara itu, Eropa memiliki lebih banyak kekuatan yakni empat negara masing-masing Italia, Jerman, Inggris, dan Perancis.

Dari 18 kali even Piala Dunia, kini skornya sama. Amerika meraih sembilan piala (masing-masing Brazil lima dan Argentina serta Uruguay dua kali) dan Eropa juga sembilan kali juara (terbagi atas Italia 4, Jerman 3 dan masing-masing sekali oleh Inggris dan Jerman).

Satu fakta lain yang menarik yakni, dari benua manakah peraih juara dan di manakah Piala Dunia digelar? Secara berkembang mitos, saat Piala Dunia digelar di Amerika, maka juaranya selalu dari benua Amerika. Begitupula sebaliknya, saat World Cup mengambil even di Eropa, maka juara pun direbut wakil benua biru itu.

Semua skenario itu berjalan sejak awal Piala Dunia 1930 sampai penyelenggaraan kelima tahun 1954 di Swiss. Saat itu gelar juara terbagi tiga untuk Eropa, yakni dua kali saat Italia menjadi jawara di rumahnya (1934) dan di Perancis, serta Jerman di Swiss (1954). Sementara Uruguay dua kali menjadi pemuncak pada 1930 (di Uruguay) dan 1950 (di Brazil).

Pada gelaran keenam di Swedia tahun 1958, Brazil merusak mitos itu. Debut pertamanya meraih juara dicapai di benua Eropa, setelah meluluhlantakkan tuan rumah 5-2 di partai final. Adapun dua semifinalis lain, Perancis dan Jerman harus puas di posisi ketiga dan keempat.

Demikianlah, mitos itu terus bertahan awet selama 44 tahun. Anggapan itu semakin langgeng terutama saat tuan rumah menjadi juara, yang diraih Inggris (1966), Jerman (1974), Argentina (1978) dan Perancis (1998). Baru pada 2002, kesempatan memecah rekor terbuka saat ”benua ketiga” menjadi tuan rumah. Kali pertama, Piala Dunia digelar di Asia, dengan tuan rumah bersama Korea-Jepang. Dan, lagi-lagi Brazil menjadi pemecah mitos itu dengan menaklukkan Jerman 2-0 lewat sepasang gol ”si plontos” Ronaldo dalam partai final yang berlangsung di Stadion Internasional Yokohama, Jepang.

Empat tahun kemudian, tradisi lama berulang. Italia menjadi juara saat Piala Dunia di Jerman. Lebih tragis bagi wakil Amerika, tidak satupun di antara jagoan mereka lolos ke semifinal. Italia mengalahkan Perancis 5-3 lewat adu penalti setelah sebelumnya pertandingan berakhir 1-1 hingga masa perpanjangan waktu. Partai final di Stadion Olympia, Berlin, itu akan selalu dikenang karena terjadi insiden tandukan legenda Perancis Zinedine Zidane yang merasa diprovokasi pemain bertahan Italia Marco Materazzi hingga ”Zizou” mendapat kartu merah. Adapun di partai hiburan memperebutkan juara ketiga, tuan rumah Jerman mengalahkan Portugal 3-1.

Itulah sejarah 18 kali Piala Dunia; 9 untuk Amerika dan 9 untuk Eropa. Dengan dua kali pemecahan rekor dipegang Brazil yang sukses menjadi kampiun di luar kontinentalnya. Lalu, apakah kini pasukan Carlos Dunga akan mencetak rekor ketiga saat Piala Dunia ke-19 digelar di ”benua keempat”, Afrika mulai 11 Juni hingga 11 Juli mendatang?

Terserah bagaimana Anda menerka jawabannya sembari menunggu 13 pekan lagi bola bergulir. Hanya saja, dari awal saya tidak berpikiran begitu. Menurut saya, bukan wakil benua Amerika yang akan jadi juara di Afrika.

Btw, situs yang sama dua tahun lalu pernah memprediksi Spanyol menjadi Juara Piala Eropa 2008
| republish | Please Send Email to: [email protected] |

[ Cerita Pendek ] Ibu

Senja Madinah | Bagian II

“Nak, nyingkri, nak. Ndang nyingkri! (Nak, pergi nak, cepat pergi)” Sergah ibu, sambil berusaha memeluk erat kaki bapak, menghalangi serangan berikutnya. Aku tak punya pilihan lain. Aku menyambar tas yang tergolek di lantai. Lari sekencang mungkin. Menerobos kerumunan tetangga. Menuju jalan utama.

Dan begitulah pelarian keempat dalam hidupku. Karena laki-laki yang dinikahi ibuku. Karena laki-laki yang selalu melihat buah dadaku, saat bicara denganku. Ketergesaanku mulai mengendur saat kakiku merasakan panas aspalt hotmix yang mulai merayap hingga lututku. Aku bahkan tak sempat memakai alas kaki. Langkahku terhenti di warung kelontong nyaris tak terlihat di ujung jalan arteri, pinggiran kota menuju ke arah alun-alun kota. Sebatang pohon rindang menyelamatkanku dari sengatan matahari langsung.

Aku merogoh saku. Melihat sisa harta. Sepuluh ribu tiga ratus rupiah. Aku menelan ludah. Rasa lapar menyergap seiring kesadaran kemiskinan yang menyergapku sekarang. Tenggorokanku pun mengalami tuarang. Ludah di mulutpun kupaksakan masuk ke dalamnya untuk membuatnya sedikit basah. Meski gagal. Aku bimbang untuk membeli sandal atau menyelamatkan perutku dari kelaparan atau memberikan pertolongan pada tenggorokanku dari rasa haus.

Aku kembali berjalan melewati toko kelontong. Menghampiri sebuah rumah toko penjual roti. Aku melongok ke dalam toko. Ku lihat seorang pelayan toko sedang melayani lima pembeli. Dan seorang perempuan separuh baya sedang duduk di kursi kasir menghitung uang, sambil tangan kanannya tak lepas dari benda ajaib berisi angka.

“Cik, saya minta air pam di pancuran depan, ya?” Aku meminta ijin pada perempuan yang sedang duduk di kursi kasir itu. Semula ia acuh, tetap memencet-mencet tuts kalkulator. Tetapi, matanya memicing melihat kakiku yang bertelanjang dan kostum awut-awutanku. Jenak berikutnya, ia mengibaskan tangan kanannya, kembali tak peduli.

Aku membasahi tenggorokanku dengan air pam itu. ku minum sebanyak-banyaknya, berharap bisa menghilangkan rasa laparku pula. Setelah itu membasuk kaki dan mukaku dengan air itu.

“Kenapa nggak pakai sandal?” Tiba-tiba suara cempreng dari toko kelontong menyapa. Aku menoleh, tak tahu harus menjelakan apa. Tanpa terduga, ia justru menawarkan pekerjaan padaku. Setelah berbaik hati memberiku sandal jepit sebelah kana semua. Aku menerimanya sebagai sebuah berkah.

“Oe bisa antal lu olang ke Tanjung Pinang aa, jadi pelayan lestolan di sana. Gajinya besal, (Saya bisa antar kamu ke Tanjung Pinang, jadi pelayan restoran di sana. Gajinya besar)” Bujuknya dengan suara yang sengau hampir tertindas ludah. Aku ragu.

“Tak usah pikil biaya, Oe bisa sediakan dulu. Nanti kamu bayal pake gaji yang kamu dapat. Dicicil setiap bulan,” Ia seolah bisa membaca pikiranku. Aku mengangkat dagu. Takut-takut melihat seluruh tubuhnya yang gembil berwarna putih dengan gajih di pipi, lengan bahkan mungkin pahanya. Aroma tubuhnya sedikit mengganggu perutku yang keroncongan belum makan.

“Jadi TKW Cik?” Tanyaku meminta penjelasan.

“Haiyaaa… Tolol kali lu ya, Tanjung Pinang masih di wilayah Indonesia, aa. Tapi dekat dengan singapuul, Malaysia,” Jelasnya, geregetan. “Kelja jadi TKW lu cuma dijadiin jongos, di lumah. Jadi gak bisa gaya-gaya. Belum lagi kalo lu dipukuli majikan. Tapi, di Tanjung Pinang, lu jadi pelayan lestolan. Kalau mau jadi altis juga bisa,” Dari penjelasan panjang itu, yang ku mengerti hanya 10 persen.

“Saya nggak bawa ijazah, Cik,”

“Tak usah pikil-pikil ijajah. Di sana mau kelja, bukan mau kasih pamel ijajah,” Ia menepuk-nepun pundakku.

Aku hanya sempat menelephon ibu dan mengatakan niatku untuk bekerja di tanjung pinang. Ada 7 orang lagi bersamaku, saat berangkat ke Tanjug Pinang. Ku lihat mereka. Perbedaan usia yang ekstrim. Aku yang berusia hampir 18 tahun, ada perempuan yang menurutku sekitar 30 tahunan. Seorang ibu-ibu yang duduk bersamaku kini malah berusia hampir 50 tahun! Ah, mungkin ia bertugas sebagai juru masaknya.

Tacik yang penuh dengan gelambir gajih itu berubah sikap saat perjalanan menuju Tanjung Pinang. Menjadi judes dan culas. Tak ada lagi makan gratis setelah kami berada di mini bus dan kapal laut. Uangku yang tinggal sepuluh ribu dirampas, dengan alasan membayar konsumsi. Tak ada lagi sikap ramah dan sok pehatian membesarkan hati, saat kami memasuki dermaga.

Aku sempat memperhatikan rumah makan yang akan menampung kami sebagai pekerja. Keningku mengernyit. Letaknya di deretan paling ujung pantai. Menghadap ke pantai. Sekilas bangunannya tak berbeda dengan gedung-gedung pencakar langit seperti yang pernah ku lihat di Surabaya. Sayang sekali. Karena cirri khas Tanjung Pinang sama sekali tak tampak dari luar bangunan. Restoran yang aneh. Gelap dan lebih banyak lampu warna-warni.

Tak sampai lima menit dari kedatangan kami di kamis justru disuruh mandi dan menggunakan baju yang telah disediakan. Digiring ke sebuah aula, yang terletak di lantai dua, sebelah kanan deretan kamar-kamar. Di Aula itu, ternyata lebih banyak lagi orang yang bernasib sama dengan kami. Ini membuatku ciut, kalau-kalau aku tak diterima bekerja di tempat ini. kami di suruh berdiri saat seorang laki-laki berbadan tambun berkepala botak datang.

Laki-laki itu menunjuk satu persatu dari deretan 50 perempuan di kanan dan kiriku. Kulihat, tiga perempuan tercantik di antara kami yang terpilih. Bertubuh semampai, berkulit putih, dan berambut panjang. Meskipun wajah mereka sama lugunya dengan wajah kami yang kuyu. (bersambung)

*Ibu Bagian I, klik di sini.
*Ibu Bagian III, klik di sini.


| republish | Please Send Email to: [email protected] |

13 Maret 2010

Nyamannya Berkendara di AS, Indonesia Harusnya Juga Bisa

Maya Mandley

Perjalanan jauh dengan menggunakan mobil membelah Benua Amerika, asyik juga. Sejak di sini, beberapa kali Aku melakukannya. Sejauh yang aku ingat, Aku pernah berkendara dari kota Oakhurst di negara bagian New Jersey (di bagian timur benua Amerika), ke kota Fort Wayne, negara bagian Indiana (di arah barat). Jarak sekitar 600 miles atau 1000 Km. Suamiku yang nyupir, mampu menempuh jarak itu 'hanya' dengan 12 jam saja. Cukup lumayan untuk ukuran jalan darat. Selain mobilnya ber-cc besar, jalan yang mulus, juga menjadi salah satu faktor yang membuat perjalanan itu lebih cepat. Sorry, bukan bermaksud membandingkan, tapi, bila perjalanan dengan jarak yang sama di lakukan di Indonesia, mungkin, perlu waktu yang lebih panjang.

Waktu berangkat dari Oakhurst, kami pergi ke arah barat lewat jalan tol dengan melewati 4 negara bagian. Mulai dari New Jersey Turnpike, Pennsylvania Turnpike, Ohio Turnpike dan terakhir Indiana Turnpike. Kondisi jalan tol di 4 negara bagian ini sangat terawat. Karena memang jalan tol ini merupakan jalan penghubung utama antara negara-negara bagian itu. Maka tak heran kalo selama perjalanan banyak sekali truk-truk besar yang mengangkut kontainer. Satu arah paling tidak ada 2 lajur. Bahkan di daerah yang tergolong sibuk, satu arah bisa sampai 4 lajur.

Jadi ingat perjalanan panjang Surabaya-Jakarta yang sering Aku lakukan, dulu. Saat baru saja pindah ke Surabaya, hampir setiap tahun aku dan adik-adikku bersama orang tua, mudik ke Jakarta. Sebagai keluarga besar dengan penghasilan yang pas pasan, kendaraan pertama ayah adalah minbus Daihatsu Hijet 1000. Kendaraan kecil itu yang mengantar kami pergi mudik. Jalur pantai utara pulau Jawa-akrab disebut Pantura- menjadi pilihan tersering. Di jalur dua arah itu, sering minibus kamu harus berhadapan dengan truk besar. Bahkan di beberapa tempat, ada pasar tradisional.. Harus pelan-pelan karena banyak pedagang memanfaatkan jalan untuk menggelar daganganya.

Hal lain yang membedakan di AS adalah cara pembayaran tol nya. Sebagai negara yang mengutamakan teknologi, ada sistem pembayaran tol lewat alat yang namanya EZ Pass. EZ Pass adalah semacam alat sensor yang diletakkan di kaca depan mobil. Dengan alat ini, kepadatan di pintu tol bisa terkuranganl. Sebab, dengan masuk ke booth yang bertanda EZ Pass dengan kecepatan antara 25 miles saja, pengemudi tak perlu berhenti untuk bayar toll. EZ Pass sensor di kaca depan mobil akan secara otomatis terhubung dengan sensor di pintu toll khusus itu. Si pemegang EZ Pass biasanya menerima statement setiap bulan, seperti halnya statemen kartu kredit. Konsumen yang ingin mendapatkannya harus berlangganan pada perusahaan EZ Pass, dengan mencantumkan nomor plat mobil yang akan dipasang dan nomor kartu kredit untuk pembayarannya.

Meski sudah ada EZ pass, cara pembayaran manual seperti halnya jalan tol di Indonesia juga ada. Jumlahnya tidak sebanyak pintu toll EZ Pass. Di Indiana, cara pembayarannya lebih unik lagi. Waktu masuk ke jalan tol, pengemudi mengambil tiket (seperti di Indonesia) dan di akhir tujuan, tiket itu dimasukkan sebuah mesin. Mesin itu akan secara otomatis "membaca" tiket, dan menjelaskan berapa yang harus dibayar. Pilihannya, kartu kredit atau cash. Kalau ingin ada tanda terimanya, tinggal pencet tombol receipt, dan tanda terima akan muncul.

Tarifnya reasonable. Waktu lewat NJ Turnpike, kami hanya dikenakan USD 1 (atau Rp.10 ribu) karena tak begitu panjang. Sementara di Pennsylvania Turnpike, kami dikenakan USD. 24 (atau sekitar Rp.240 ribu), karena kami melewati jalan tol dari batas timur negara bagian Pennsylvania, hingga batas baratnya sejauh 532 miles atau 855 km. Dari akhir Pennsylvania Turnpike ke Ohio Turnpike, hanya membayar USD. 3 (atau 30 ribu). Sisanya, di Indiana Turnpike, hanya USD 75 cents .s

Seperti jalan tol di Indonesia, jalan tol di Amerika juga punya batas kecepatan maksimal. Batas kecepatan paling rendah adalah 55 miles/jam (90 km/jam) dan yang tercepat adalah 70 miles/jam (115 km/jam). Tapi umumnya adalah 65 miiles/jam (110 km/jam). Sepanjang jalan tol itu juga ada tempat istirahat dengan bensin (biasanya ada 4 pompa), kamar mandi (yang sangat bersih karena dirawat) dan juga ada kedai makanan cepat saji. Di beberapa tempat juga ada toko yang menjual souvenir. Tentu saja lapangan parkir di tempat istirahat ini sangat luas.

Dan yang paling penting, di Indonesia, perjalanan Surabaya-Jakarta, bertujuan kumpul-kumpul sanak keluarga yang sudah setahun tak bertemu. Rasa capek dalam perjalanan, terobati dengan pertemuan indah lebaran. Sementara di Amerika, yang dikejar adalah kasur empuk hotel karena aku jalan jauh untuk menemani suami dinas! :)

*tulisan Kabar Dari Seberang lainnya, klik di sini.

| republish | Please Send Email to: [email protected] |

[ Photo Corner ] Simbolisasi

Fully Syafi

Seperti yang pernah dibahas sebelumnya, kali ini simbolisasi menjadi sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Dalam sebuah demonstrasi di Surabaya, saya mencoba memperkuat simbolisasi itu dengan hanya menampilkan sosok seorang demonstran berpenutup kepala bergambar obama dan kartun setan. "Kekuatan" foto coba saya munculkan dengan kawat berduri. Not bad,..

*analisa foto lain dalam Photo Corner Iddaily, klik di sini.

| republish | Please Send Email to: [email protected] |

12 Maret 2010

12 Maret, Hari Tanpa Sensor Internet se-Dunia

Iman D. Nugroho | Youtube.com

Jumat (12/3) ini, adalah Hari Tanpa Sensor Internet se-Dunia. Menurut data yang dilansir Reporter San Frontieres, di seluruh dunia ada 12 negara yang telah memenjarakan jurnalis/blogger/aktivis. Di antaranya Azerbaijan, Birma, China, Maroko, Rusia, Siria, Thailand dan Vietnam. Persoalan ini penting untuk diingat dalam konteks ke-Indonesiaan. Apalagi, pagi-pagi Menkominfo Tiffatul Sembiring merencanakan RUU IT dan RUU Konten yang membatasi penggunaan internet. Akankan Indonesia menjadi salah satu negara yang membatasi kebebasan informasi di internet?



| republish | Please Send Email to: [email protected] |