Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

29 Januari 2010

Penjara Seumur Hidup bagi Pembunuh Wartawan Radio di Filipina

Seapa

Pengadilan Kota Cebu, Filipina telah memutus bersalah Muhammad "Madix" Maulana pembunuh Edgar Amoro, seorang wartawan radio. Edgar Amoro adalah seorang saksi kunci pembunuhan Edgar Damalerio, rekan Edgar Amoro, juga seorang wartawan radio yang berbasis di Kota Pagadian pada Mei 2002.

Dalam dokumen vonis setebal 19 halaman tertanggal 28 Desember 2009, Ketua Majelis Hakim Ester Veloso di Pengadilan Wilayah Kota Cebu menghukum Muhammad "Madix" Maulana dengan penjara seumur hidup atas pembunuhan Amoro yang dilakukan pada 2005. Pengadilan juga memerintahkan Maulana membayar kepada keluaga Amoro uang sebesar 50.000 Peso (sekitar US$ 1.076), membayar 100.000 Peso (US$ 2.151) untuk kehancuran moral (moral damages); 45.000 Peso (US$ 1.000) untuk kerugian lainnya.

Pengadilan menemukan bukti bahwa pada 2 Februari 2005, Maulana dan dua orang yang membantu menyerang Amoro dalam perjalanannya pulang ke rumah dari sebuah sekolah menengah umum (SMU) dimana ia juga menjadi pengajar.The Center for Media Freedom and Responsibility (CMFR) melaporkan bahwa Amoro dibunuh karena ia bisa mengidentifikasi pelaku yang menembak mati Damalerio pada Mei 2002. Amoro dan Edgar Onogue, yang bersama-sama Damalerio ketika mereka diserang orang-orang bersenjata, mengidentifikasi Guillermo Wapile, seorang petugas polisi setempat, sebagai pembunuh Damalerio. Amoro juga selalu mendampingi Gemma, janda Damalerio, selama pengadilan pembunuh suaminya.

Keluarga Amoro menyatakan bahwa Edgar Amoro menerima sejumlah ancaman dari Guillermo Wapile dan kelompoknya sejak 2002. Ironisnya kematian Amoro terjadi ketika perkara hukum Damalerio dipindah ke Cebu untuk keselamatan para saksi. Wapile sudah dihukum pada November 2005.

Anak perempuan Amoro, Edel Grace, menyatakan kepada CMFR bahwa hukuman seumur hidup untuk Maulana membawa keyakinan kepadanya setelah sebelumnya merasa putus harapan memperoleh keadilan. "Ini merupakan pemenuhan janji saya pada ayah untuk mendapatkan keadilan," katanya.


28 Januari 2010

Detik-detik "Memalukan" Siang Tadi

Iman D. Nugroho

Langit sudah mulai condong ke barat ketika dua massa yang berbeda kelompok merangsek ke depan Istana Merdeka, Kamis (28/1/10) ini. Massa dari Front Oposisi Rakyat (FOR) Indonesia dan Gerakan Indonesia Bersih (GIB) sama-sama menyuarakan kekecewaannya pada Pemerintah SBY. Sayang, justru di tempat itulah, keduanya tampak tidak akur.

Secara fisik, saat itu tidak bisa lagi dibedakan, mana massa FOR dan mana GIB. Keduanya sudah melebur menjadi satu. Sesekali, massa FOR ikut menyanyikan lagu yang dikomando oleh orator GIB. Sebaliknya, massa GIB pun meneriakkan yel-yel yang diperintahkan oleh FOR Indonesia. Apalagi bila ada teriakan yang mengkritik SBY, kedua massa seperti tidak memperhatikan lagi mobil komando mana yang meneriakkan, langsung mendapatkan sahutan dan tepuk tangan.

Namun, yang tampak "aneh" justru dua mobil komando yang ada di antara massa itu. Mobil GIB yang di atasnya tampak dimotori oleh Effendi Ghazali, Usman Hamid dan Muhtar Ngabalin serta beberapa orator lain justru justru berkoar-koar mengingatkan kepada massanya untuk fokus pada perintah dari mobil komando GIB. Sementara FOR Indonesia, tak kalah seru. Dengan tegasnya, mereka mengkritik elit-elit politik dan mantan anggota DPR (yang saat itu banyak berada di "kubu" GIB), sebagai bagian dari penindas.

Kejadian itu berlangsung beberapa menit. Saat Usman Hamid GIB mencoba memanggil melalui pengeras suara milik GIB, FOR Indonesia cuek saja. Akhirnya GIB juga pun terus mengomando dengan seruan aksi yang berbeda. Beberapa massa aksi terlihat tidak nyaman dengan kondisi ini. "Kok tidak jadi satu saja?" katanya. Berutung kesepakatan terjadi, kedua mobil komando itu pun memutuskan untuk bersatu dan "mengawinkan" massa aksi yang dibawanya, serta bergantian berorasi mengkritik habis SBY dan "dosa-dosa"-nya.

"Beginikan lebih enak dilihat, wong isunya juga sama," kata seorang kawan. Dari tadi kek!

100 Hari yang Gagal!

Iman D. Nugroho

Mahasiswa dari berbagai universitas menggelar demontrasi di depan Istana Negara Jakarta, dalam 100 hari pemerintahan SBY, Kamis (28/01). Demonstrasi itu sempat diwarnai dengan bentrokan antara demonstran dan polisi. Tiga orang ditangkap dalam peristiwa itu. Demonstrasi serupa juga terjadi di setiap kota besar di Indonesia.


27 Januari 2010

Malam Renungan Forum Alumni Perguruan Tinggi

Iman D. Nugroho

Forum Komunikasi Perguruan Tinggi se-Indonesia menggelar Malam Renungan Penderitaan Rakyat di kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, Kamis (27/01/2010) malam. Acara yang digelar di antara gelap tempat parkir mobil UI Salemba itu merupakan pemanasan demonstrasi 100 hari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang akan berlangsung Kamis (28/01) ini.


AJI Serukan Jurnalisme Dengan Perspektif Anak

Press Release

Dalam beberapa hari terakhir, media massa ramai memberitakan kasus penculikan, mutilasi, dan kekerasan seksual dengan korban anak-anak. Kasus paling menonjol adalah kasus mutilasi Baekuni dengan korban 10 anak.

Berita tentang kejahatan yang menimpa anak-anak biasanya selalu menarik perhatian pembaca/pemirsa. Soalnya, ada kedekatan secara psikologis antara subjek berita (anak) dengan pembaca/pemirsa yang tidak lain adalah orang tua, paman/bibi, atau saudara tua dari anak-anak. Paling tidak, semua pembaca/pemirsa pernah melewati masa kanak-kanak.

Masalahnya, pemberitaan tentang anak kerap kurang mempertimbangkan kemungkinan si anak menjadi korban secara berulang-ulang. Anak yang telah menjadi korban kekerasan, bisa juga menjadi korban pemberitaan. Dalam kasus berita anak pengidap HIV/AIDS, misalnya, si anak yang telah menjadi korban ketidaktahuan atau ketidakhati-hatian orang tuanya, setelah diberitakan, bisa juga menjadi korban stigma dan perlakuan buruk dari masyarakat sekitarnya. Misalnya, ketika si anak dan keluarganya dikucilkan dari lingkungan tempat tinggalnya.

Begitu pula dengan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Setelah wajah si anak difoto dan ditampilkan secara utuh tanpa dikaburkan, atau identitas (seperti nama, alamat, dan sekolah) si anak dimuat tanpa disamarkan, setelah diberitakan, dia dipaksa menanggung rasa malu atau kembali mengingat peristiwa traumatik yang pernah dia alami.

Munculnya istilah 'razia dubur' bagi anak jalanan, juga berbagai pemberitaan tentang razia tersebut, sangat berpotensi membuat si anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual untuk kembali menjadi korban pemberitaan. Padahal, jangankan dalam kasus anak-anak yang jadi korban. Dalam memberitakan anak-anak yang menjadi pelaku tindak kriminal pun, kemasan beritanya tetap harus memposisikan si anak sebagai korban (korban kekacauan rumah tangga, korban salah asuh, korban dari sistem pendidikan yang teramat mahal sehingga si anak tidak bisa sekolah, dan seterusnya).

Di lapangan, masih ditemui jurnalis yang tidak menggunakan jurnalisme perspektif anak. Misalnya masih ada wartawan yang bertanya pada anak, “Apakah kamu pernah disodomi?”, “Apa yang ada dalam benak kamu kalau di sodomi”. Kalimat itu dilontarkan kepada anak jalanan secara langsung. Itu pun dengan mengggunakan cara bertanya yang kasar. Tak ada empati sama sekali dari jurnalis. Ini tentu bukan perilaku jurnalis yang menerapkan jurnalisme perspektif anak.

Berkaitan dengan pemberitaan anak sebagai korban kejahatan susila atau anak yang menjadi pelaku tindak kejahatan, bersama ini kami dari Aliansi Jurnalis Independen kembali mengingatkan para jurnalis (reporter, redaktur, dan produser) serta penanggung jawab ruang redaksi untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Jurnalis menerapkan Kode Etik Jurnalistik pasal 5 yang berbunyi :”Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

2. Jurnalis menerapkan prinsip dasar meliput anak yang dikeluarkan oleh International Federation of Journalists (IFJ). Beberapa di antaranya adalah menghindari eksploitasi dan sensualisme anak, menghindari seksual image terhadap anak di media. Serta tidak mengekspose anak secara berlebihan.

3. Jurnalis menerapkan isi Pedoman Perilaku Penyiaran, khususnya pasal 5 ayat f yang menyebutkan, "Lembaga penyiaran melindungi kehidupan anak-anak, remaja dan perempuan," dan Pasal 18 soal 'Narasumber Anak dan Remaja' yang menyebutkan lembaga penyiaran harus mengikuti sejumlah ketentuan seperti:

a. Anak dan remaja, di bawah 18 tahun, tidak boleh diwawancarai mengenai hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya.

b. Keamanan dan masa depan anak dan remaja yang menjadi narasumber harus dipertimbangkan.

c. Anak dan remaja yang terkait permasalahan dengan polisi atau proses pengadilan terlibat dengan kejahatan seksual atau korban dari kejahatan seksual harus disamarkan atau dilindungi identitasnya.

Demo 28 Januari yang Sangat Penting, itu,..

Iman D. Nugroho

Tanggal 28 Januari ini, bisa jadi menjadi hari yang sangat bersejarah bagi Indonesia. Setelah mantan Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBYlah yang akan didemo oleh puluhan ribuan orang. Seratus hari masa kepemimpinan presiden yang pernah mengklaim diri sebagai Presiden dengan dukungan mayoritas rakyat dalam Pemilu itu, akan benar-benar akan diwarnai dengan ungkapan kekecewaan.

Mengapa demonstrasi? Pertanyaan ini selalu saja ada ketika sebuah demonstrasi akan digelar. Jawabannya sangat sederhana: karena cara inilah yang terbukti sangat efektif untuk menunjukkan ekspresi tentang sesuatu. Apalagi di Indonesia. Sejauh yang Saya tahu, demonstrasi masih menjadi mekanisme yang paling tepat untuk mengekspresikan rasa yang kita punya. Dalam konteks pemerintahan sekarang apalagi. Apa masih mau bersandar pada DPR/MPR yang hampir semuanya mendeklarasikan diri menjadi anggota koalisi pro SBY? Hmm,..jelas tidak.

Belum lagi, DPR/MPR adalah arena ganas bola liar politik. Setiap persoalan yang digulirkan di Senayan, akan dinilai benefit apa yang mungkin akan didapatkan, bila diurus di Senayan. Bukannya berpikir rakyat sebagai ukurannya. Sangat menjijikkan. Lihat saja persoalan Bank Century. Semangat untuk mencari kebenaran dalam kasus itu, menjadi bergeser manjadi semangat untuk menjatuhkan Pemerintahan. Saat ada usulan memanggil SBY sebagai orang yang dianggap tahu, justru dimaknai beragam, berlawanan.

Karena itulah, gerakan politik demonstrasi, memang masih menjadi pilihan. Saya tidak menutup mata, demonstrasi juga bisa "dijual". Dengan broker yang memainkan harga Rp.25 ribu/kepala misalnya akan mudah menggelar demonstrasi tergantung pesanan. Tapi, itu tidak semuanya. Sangat gampang membedakan mana demonstrasi asli, dan mana yang bayaran. Secara fisik, lihat saja massa demonstrasi. Apakah mereka cukup memiliki kapasitas untuk meneriakkan isu yang diusungnya? Lalu, lihat yang berorasi. Kalau hanya orang-orang itu-itu juga, tanpa ada perwakilan dari elemen massa aksi, berarti ada yang "aneh".

Dan yang terakhir, lihatlah isunya. Ini butuh analisa sedikit. Misalnya, ketika atmosfir politik mengecam X, sementara demonstrasi itu justru membela X, maka lagi-lagi, ada yang "aneh". Namun, demokrasi adalah arena perbedaan. Silahkan saja mengusung isu apa saja, asalkan dilaksanakan dengan demokratis. Dan untuk yang akan didemo, tenang saja. Tidak usah panik, takut atau bahkan mencurigai ini dan itu.

Rakyat Indonesia yang sudah pintar ini cinta negerinya. Semua dilakukan atas dasar masa depan yang lebih baik. Jadi, yang sepakat dengan demo 28 Januari, ayo bergabung. Untuk yang tidak sepakat, lanjutkan kehidupan, sambil berdoa agar kebaikan tetap terjadi di Indonesia. Bagi SBY yang akan di demo, kalau urusan Banten sudah selesai, segera balik ke Istana Merdeka ya,... :P