Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

26 Januari 2010

Ini Lho Tampang Pak Presiden Kalau Marah-Marah

Iman D. Nugroho | Youtube.com

Di balik wajahnya yang kalem, penampilan yang selalu rapi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering juga marah. Empat video yang bisa disaksikan di youtube.com ini memunjukkan SBY yang sedang marah. Semoga, bukan kemarahan seperti ini yang ditunjukkan SBY ketika melihat rakyat menggelar demonstrasi besar pada 28 Januari 2010 ini. "Sabak par,..eh salah,..sabar pak!"



Bekas Rias Tertoreh di Solo, Jawa Tengah

Press Release

Monolog ‘Bekas Rias di Panggung’ Tour on Solo, menampilkan empat aktor sepuh berusia mendekati 60 tahun ke atas. Pementasannya akan berlangsung di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Jl. Ir. Sutami 57 Surakarta, Kamis malam, 28 Januari 2010, mulai pukul 19.00.

Keempat aktor yang akan bermonolog ini, yaitu Multato (60 tahun), Mastohir (65), Fatimah (60) dan Suliswanto (58), masing-masing berasal dari basic seni pertunjukan teater yang berbeda-beda. Multato, misalnya, mendalami teater modern. Dia aktor kawakan dari kelompok Sanggar Teater Nuansa.

Sementara itu, Mastohir, Fatimah dan Suliswanto adalah aktor yang berangkat dari seni teater tradisi. Mastohir adalah anggota Kelompok Srimulat, pernah menjadi Sutradara di kelompok yang membesarkan nama Tarzan, Basuki, Timbul, Asmuni, dan lain sebagainya ini, di tahun 1980 hingga pertengahan 1990-an. Sedangkan Suliswanto adalah pemain Ludruk dan pernah menjadi Sutradara Ludruk RRI selama dua dasawarsa. Sementara itu, Fatimah, di masa mudanya adalah aktris Ketoprak.

Di masanya, mereka adalah aktor yang pernah menjadi kebanggaan Kota Surabaya. Hingga kini, boleh dibilang, mereka adalah orang-orang yang tampaknya sudah mantap memilih jalan hidup lewat teater. Terbukti, meski sudah lama tidak memperoleh ruang tampil, keempatnya masih selalu hadir di setiap peristiwa kebudayaan, khususnya dalam even-even pementasan teater, baik di Surabaya maupun di luar kota, walau sekadar hanya menjadi penonton.

Untuk pentas monolog ‘Bekas Rias di Panggung, 28 Januari di Surakarta nanti, mereka telah menyiapkan perannya masing-masing. Fatimah akan mementaskan lakon 'Sritanjung', sebuah kisah legenda dari Banyuwangi. Mastohir akan menampilkan lakon ‘Jo Kasmo’ yang diilhami naskah Nyanyian Angsa, karya Anton Chekov. Multato akan memainkan lakon ‘Maling’, naskah karya Yulius Siramanual. Sedangkan Suliswanto akan
memungkasinya dengan lakon karyanya sendiri yang berjudul 'Mak Satona’.

Mereka layak diketengahkan kembali dengan format monolog seraya menakar kekuatannya berakting. Karena itu kami sangat mengharap kehadiran Anda untuk menyaksikannya.


[ Think Sport ] Indonesia Tanpa One

Jojo Raharjo | Iman D. Nugroho [photo]

Bonek kembali menjadi bahan pembicaraan. Di Solo, Jawa Tengah, suporter Persebaya Surabaya itu memukuli jurnalis foto Antara. Tak lama kemudian, massa yang marah dengan aksi Bonek menyerang KA yang membawa rombongan Bonek menuju ke Surabaya. Berikut ini pengalaman mengerikan saya tentang suporter yang pernah dimuat di Iddaily.

Sebuah pengalaman kecut nan traumatik saya alami akhir pekan lalu: nyaris ditelanjangi di di kawasan tempat saya tinggal!


Sabtu, 18 November 2006, pukul 21.00 WIB, saat berjalan kaki kembali masuk ke dalam gang menuju rumah, setelah mengantarkan seorang sahabat mencari taksi, seorang pemuda memepetku ke tembok gang.“Hei, kamu tinggal di mana-mana?" ia bertanya.

Sekejap, pikiran cepatku bekerja: ini pasti gara-gara badanku memakai kaos hijau dengan tulisan Bonek, kelompok suporter garis keras pendukung Persebaya. Analisa yang tak meleset karena sekilas mataku melirik, pemuda itu memakai kaos putih bertuliskan Jakmania. Maka, skenario terburuk pun melintas dalam angan, "Siap-siap gembuk..."

Maklum saja, daerah Pondok Pinang –- yang hanya berjarak 2 kilometeran dari Stadion Lebak Bulus -- adalah salah satu wilayah di Jakarta yang menjadi basis pendukung fanatik The Jak alias Persija. Bahkan, di tembok tempatku dipepet itu, terpampang grafiti yang mengagungkan The Jak, dan melecehkan Persib Bandung dan kelompok supporter Viking. Ada pula coretan besar terbaca, “Gendut Doni, Tolol…” Gendut Doni, ialah ikon Persija ketika Juara Liga Indonesia VIII, yang pada musim lalu pindah ke Persib, musuh seumur hidup Jakmania.

Kembali ke kisah traumatik tadi. Pemuda ceking itu membentak, berteriak, sambil menunjuk-nunjuk muka, “Gua di Surabaya dihancurin ama bonek.”

Walah, saya semakin tersudut, meski sudah kujelaskan, saya bukan orang baru di kampung itu. Sudah pula kujelaskan, saya ini wartawan yang hobi mengoleksi kaos supporter klub-klub sepakbola seantero nusantrara. Apa daya, pemuda itu tetap tidak terima, memaksaku melepas kaos Bonek. Oke, tanpa perlawanan, kuturuti.

Seorang bapak mencoba mengamankan situasi. “Mas, kalau di sini jangan pakai kaos itu. Ini daerahnya Persija,” katanya, setelah menyaksikan diriku bertelanjang dada.

Namun, belum puas menyaksikanku setengah bugil, pemuda tadi merampas kaos Bonek yang kugenggam. Kaos seharga 30 ribu perak yang kubeli saat menyaksikan Putaran Final Liga Indonesia XI di Senayan tahun lalu.

Hmmm… ya, sudahlah, yang penting tak digembukin, pikirku sambil lari terbirit-birit menuju rumah, bertelanjang dada, seperti turis yang berolahraga kemalaman…

Moral cerita ini sebenarnya adalah, mengapa masih ada perasaan menggebu terhadap fanatisme pada daerah-daerah tertentu di Indonesia? Perasaan, “Kamu berasal dari sana, dan kota itu adalah musuh kami.”

Apalagi, penyebab utamanya adalah sepakbola, sebuah permainan yang diharapkan kompetisinya diharapkan dapat menyatukan bangsa dan meleburkan semua sekat.

Tapi, apa yang terjadi? Bukannya kesatuan yang lahir sebagai produk kompetisi sepakbola. Bentrokan antarsuporter kerap muncul, diiringi fanatisme berlebihan membawa dendam turun temurun sepanjang masa.

Bahkan, hal yang tak ada kaitannya dengan sepakbola pun dibawa-bawa. Sejam sebelum laga Persija melawan Persib di Lebak Bulus, saya pernah menyaksikan kumpulan Jakmania berdiri di atas Metro Mini sambil mengusung spanduk bertuliskan, “Bandung Kota Maksiat”. Lho, apa hubungannya?

Maka, sepakbola kita hanya melahirkan ingar-bingar yang “jalan di tempat”. Bagaimana perasaan Anda saat menyaksikan para pemain nasional -- yang konon produk terbaik dari kompetisi Liga Indonesia- terus-menerus gagal menjadi juara di kelas Asia Tenggara sejak terakhir menyabet medali emas di Sea Games Filipina 1991, sembilan belas tahun lalu!

Di kualifikasi Asian Games, tim yunior Indonesia yang dimasak secara instan di Belanda, belum-belum sudah dihajar setengah lusin gol tanpa balas dari Irak, negeri yang belum pulih benar dari hajaran perang lima tahun terakhir!

Inilah akibatnya, kalau semua lupa, bahwa di antara deretan huruf-huruf yang membentuk kata I-N-D-O-N-E-S-I-A, ada tiga huruf O-N-E secara berurutan! Indonesia adalah satu. Menghilangkan rasa kesatuan antarwarga, berarti sama dengan mencopot tiga huruf ONE itu dari INDONESIA.

Selayaknyalah, perasaan primordialisme terlalu tinggi segera kita singkirkan, kalau tak mau negeri ini kehilangan tuah karena tak ada lagi semangat bergandeng tangan antarinsan dengan perbedaan asal, agama, warna kulit dan pembatas-pembatas lainnya.

Tiba-tiba saya teringat ucapan pakar ekonomi Tanri Abeng dalam sebuah seminar bisnis awal bulan lalu, “Orang kita ini sulit sekali dalam bekerjasama. Makanya, Indonesia jarang sekali bisa menang di olahraga yang mempertandingkan lebih dari dua orang dalam satu tim.”

*analisa olahraga lain klik di sini.


Ayo Kenali Komik Indonesia!

Press Release

Persoalan mandeknya perkembangan komik (cergam) Indonesia tidak terletak pada minimnya produksi atau kualitas komik lokal. Salah satu penyebab kemandekan tersebut adalah terbatasnya pengenalan dan pemasaran tokoh-tokoh komik lokal Indonesia kepada masyarakat.

Di beberapa tempat, kita bisa dengan mudah melihat tokoh komik dari luar negeri. Boneka mereka dijadikan bonus di beberapa restoran fastfood. Kaos dengan gambar Doraemon, atau Spiderman dapat dengan mudah kita temukan dimana-mana. Kegiatan-kegiatan terkait komik luar juga banyak diselenggarakan. Seperti baru-baru ini terdapat X-Men live action di Dufan, dan juga acara cosplay tokoh-tokoh komik asing di berbagai acara. Semua itu diminati karena masyarakat telah mengenal tokoh-tokoh komik luar negeri, khususnya Jepang dan Amerika.

Sedangkan tokoh-tokoh komik Indonesia, tidak banyak masyarakat yang mengenalnya. Tokoh-tokoh seperti Gundala, Si Buta dari Goa Hantu, dan kawan-kawannya sulit dicari batang hidungnya. Mengenal saja tidak, tentu sulit berharap mereka akan suka komik Indonesia.

Padahal sejak dulu Indonesia sesungguhnya terus memproduksi karya-karya komik yang berkualitas. Sayangnya, anak sekarang banyak yang tidak tahu Gundala, si Jampang, dan tidak banyak dari mereka tahu tentang tokoh komik terbaru seperti Jagoan Comic, atau Gibug dan Oncom.

Oleh karena itu, pengenalan komik Indonesia kepada publik perlu terus diupayakan. Kami berusaha mengakomodir kebutuhan tersebut. Kami bermaksud mengajak masyarakat untuk mengenal komik-komik Indonesia yang tenggelam diantara komik-komik asing. Agar masyarakat menyadari kebangkitan komik Indonesia!

Melanjutkan kesuksesan Pameran Cergam 2009 lalu, sekaligus menyambut perayaan Festival Komik Indonesia di bulan Februari nanti, dengan bangga kembali kami menyelenggarakan Pameran Cergam 2010: Komik Indonesia Bangkit II. Pameran kali ini diadakan di Museum Bank Mandiri pada tanggal 26-31 Januari 2010. Kali ini kami menampilkan lebih banyak materi pameran dibanding sebelumnya. Selain itu kami juga mengadakan diskon buku komik dan pemutaran film yang diangkat dari tokoh-tokoh komik seperti Gundala, Si Jampang, dll.

Pameran Cergam 2010: Komik Indonesia Bangkit II merupakan salah satu rangkaian acara menuju Festival Komik Indonesia yang akan diselenggarakan pada 22-28 Februari 2010 di Pasar Festival (Kuningan, Jakarta). Festival Komik Indonesia akan menjadi ajang perayaan komik dengan tema “Berani Ngomik!”. Dalam Festival ini kami mengajak masyarakat untuk berani berkarya melalui komik dan turut dalam barisan membangkitkan perkomikan Indonesia. Festival Komik Indonesia akan diramaikan dengan acara bursa dan pameran komik, talk show, lomba-lomba, temu penggemar dan book signing, peluncuran komik, putar film dan hiburan.

Menumbuhkan Semangat Film di Purbalingga

Iman D. Nugroho

Festival Film South to South 2010 “dikejutkan” dengan hadirnya film berjudul Pawang Air karya sutradara asal Purbalingga, Bowo Leksono. Film berdurasi 18 menit 09 detik itu berhasil memperoleh penghargaan khusus dalam event dua tahunan itu. Film ini dianggap memiliki nilai yang tidak dimiliki film lain yang berkompetisi dalam event itu: Special Mention.

Dalam dunia film Indonesia, nama Bowo Leksono mungkin bagaikan jarum di tumpukan jerami. Hampir tidak terlihat. Apalagi, sutradara berusia 33 tahun ini memang menekuni film independen, yang sulit membuatnya muncul ke permukaan. “Entahlah, dunia film independen sepertinya lebih pas untuk saya, karena itu saya memilih jenis film ini,” kata Bowo Leksono pada The Jakarta Post, belum lama ini.

Meski demikian, nama Bowo Leksono di dunia film independen cukup terkenal. Film besutannya berjudul Peronika, hampir pasti diputar di setiap festival film independen yang digelar di Indonesia. Film yang bercerita tentang gagap teknologi canggih itu juga dianggap sebagai film yang bisa dijadikan contoh film independen berkualitas, meski dikerjakan dengan biaya dan peralatan yang sangat sederhana. “Haha,..memang membanggakan bila bicara soal Peronika,” kenangnya.

Peronika bercerita tentang sebuah keluarga kecil yang terlilit konflik karena handphone baru milik sang anak laki-laki di keluarga itu. Saat orang tua sang anak coba menelepon handphone, tapi justru dijawab oleh Veronica, yang tak lain merupakan layanan otomatis milik operator kartu telepon yang dipakai sang anak. Karena pengetahuan yang terbatas, sang bapak merasa anaknya berselingkuh dengan perempuan bernama Veronica (dalam bahasa Jawa disebut Peronika). Konflik pun muncul. Kelucuan pun terjadi. “Banyak orang suka dengan tema sederhana ini,” kenang Bowo.

Sejarah perkenalan Bowo di dunia film berawal dari seringnya laki-laki pendiam ini dengan komunitas film di tahun 2002. Bowo yang ketika itu bekerja sebagai jurnalis di sebuah Koran harian di Jakarta ini tertarik dengan dunia film. Apalagi, Bowo sempat menekuni dunia teater sejak dirinya menjadi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Ketertarikan itu semakin menjadi-jadi, ketika Bowo memiliki kesempatan kembali daerah asalnya di Purbalingga, Jawa Tengah. “Saya melihat, banyak hal di Purbalingga yang bisa difilmkan,” kata Bowo.

Bowo pun memutuskan untuk berhenti dari profesinya sebagai jurnalis dan menjadi filmmaker. Berbekal kamera analog S-VHS, Bowo memulai memproduksi film pertamanya berjudul Orang Buta dan Penuntunnya. Film pendek yang diilhami novel karta Ahmad Jauhari ini memang bukan karya terbaiknya. Hanya saja, film ini seakan menjadi kunci dari terbukanya kotak pandoro dunia film yang sangat menarik.

“Di film itulah saya mulai belajar bagaimana film yang ternyata tidak hanya urusan gambar, melainkan juga persoalan sound system, dan editing yang serius,” kenangnya. Beruntung, pertemanan Bowo dengan komunitas film maker independen asal Yogjakarta membuatnya bisa menggali lebih banyak tentang film. Semua “ilmu” otodidak yang didapatkannya itu diwujudkan dalam Peronika. “Lumayan juga, Peronika muncul sebagai film pembuka di festival film pendek bergengsi, Confident,” kenang lulusan Universitas Diponegoro, Semarang Jawa Tengah ini.

Semangat Bowo pun semakin terpelecut. Kali ini, Bowo berencana melebarkan pengetahuan dunia filmnya kepada komunitas anak muda Purbalingga. Dengan biaya sendiri, plus membawa dua filmnya, Bowo melakukan road show ke beberapa sekolah untuk berdialog dengan siswa di sekolah tersebut. “Tujuan saya Cuma satu, ingin menunjukkan kepada anak-anak muda itu tentang mudahnya membuat film dan hasilnya jauh lebih bagus dari pada sinetron di televisi,” katanya.

Langkah itu membuahkan hasil saat beberapa anak SMU di Purbalingga bersepakat untuk membuat komunitas film bernama Cinema Lovers Community atau CLC. Komunitas yang dipimin oleh Bowo ini memiliki satu “agama”: membuat film independen sebanyak-banyaknya. “Saya terpesona dengan semangat anak muda di CLC, sudah tidak terhitung lagi berapa film independen yang sudah dihasilkan, dan beberapa diantaranya menyabet juara dalam festival film,” katanya. Sekitar Midnight, film garapan CLC memebangkan Tawuran Film Nasional, Confident di Surabaya.

Antusiasme itu juga yang membuat CLC memberanikan diri untuk membuka acara nonton bersama di Gedung Pemerintah Kabupaten Purbalingga pada Maret 2006. Acara yang disebut Bioskop Kita itu pun memperoleh sambutan baik dari publik Purbalingga. “Masyarakat yang sudah bosan dengan film mainstream menonton Bioskop Kita yang diputar di ruang tamu gedung Pemkab,” kenanya. Sayang, semua itu hanya berjalan selama tiga bulan. Tanpa alasan yang jelas, Pemkab Purbalingga menghentikan Bioskop Kita. “Kami sempat demo untuk menolak penutupan, tapi kita orang kecil, tetap kalah,” katanya.

Namun, seperti sebuah film, show must go on. CLC tetap berjalan meski tidak ada lagi tempat untuk memutas film karyanya. “Saya hanya meyakinkan kawan-kawan CLC, untuk tetap bersemangat,” kenangnya. Dewi keberuntungan berpihak padanya. Dengan biaya sendiri, CLC mengcreate sebuah festival film local. Festival bertajuk Purbalingga Film Festival pada tahun 2007 yang juga disertai dengan kompetisi local. “Sekaligus untuk mengasah kemampuang film anggota CLC,” katanya merendah. Dan hasilnya pun tidak mengecewakan Bowo Leksono menyabet penghargaan khusus di South to South Film Festival kali ini.

25 Januari 2010

Osama Bin Laden Bertanggungjawab?

Iman D. Nugroho | Youtube |AP



Pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden kembali disalahkan dalam aksi terorisme. Kali ini Osama dinilai bertanggungjawab dalam aksi peledakan pesawat terbang Delta Air di Michigan, AS pada 25 Desember 2009 lalu. Seperti diberitakan kantor berita AP, pihak intelejen AS menangkap bukti audio percakapan kelompok AL Qaeda yang di dalamnya memuat ancaman pada AS.