Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

16 Desember 2009

Musik Dalam Definisi Purwa Caraka

Iman D. Nugroho

"Bagaimana Nahla? Apakah grogi?" tanya Purwa Caraka. Nahla menggeleng. Purwa tersenyum dan mulai meminkan intro musik. Hampir bersamaan, Nahla menggesek biolanya. Sebuah lagu bergaya Irlandia milik The Corrs pun mengalun. Penonton terkesima. Kolaborasi Purwa Caraka and dan gadis berusia 14 tahun itu tersaji sempurna.

Applause panjang menyambut berarkhirnya duet Nahla dan Purwa Caraka. Belum selesai penonton menahan napas, kembali Nahla beraksi. Kali ini, lagu asli Jakarta berjudul Jali-Jali mengalun rancak. Goyangan tubuh gadis itu mengambah atraktif aksinya. Beberapa modifikasi violin yang dimainkannya, menambah asyik performa murid Purwa Caraka Music Studio (PCMS) Bintaro itu. Purwa yang saat itu memainkan piano, tidak kalah tangkas. Jemarinya mengikuti kelincahan gesekan biola Nahla. Untuk kesekian kali, tepuk tangan menggema di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Selasa (15/12) malam.

Penampilan Purwa Caraka dalam World Music Fertival IV 2009 ini benar-benar menjadi penutup pagelaran tahunan yang mengasyikkan. Apalagi, dalam pagelaran itu Purwa menyajikan beberapa karya hasil eksplorasi musical yang didapatkannya dari berbagai tempat di dunia. Tidak hanya di Indonesia. Mulai India, Spanyol, Afrika, Irlandia, Inggris, Eropa Timur dan tentu saja Indonesia. Termasuk berbagai genre clasik, pop hingga dangdut.

Purwa jelas tidak sendirian. Dalam acara bertajuk Music My Personal Definition itu Purwa ditemani oleh tim inti music yang sudah 15 tahun malang melintas bersama Purwa Caraka. Tentu saja, hal itu berbuah tampilan yang luar biasa. Pagelaran itu dibuka dengan lagu Ratapan Anak Tiri yang diubah menjadi lebih megah. Dentingan piano Purwa “bertarung” akrab dengan instrument lain. “Saya tidak tahu, apakah generasi sekarang masih mengenal lagu itu,” Purwa berseloroh.

Usai lagi pertama, Purwa menggebrak dengan lagu berjudul Moteno CafĂ© dari Spanyol. Di Indonesia, lagu ini sudah mengalami penggubahan menjadi lagu Kopi Dangdut yang dipopulerkan oleh Fahmi Alatas. “Ini lagu aslinya,” kata Purwa. Suara seruling meliuk-liuk di awal menambah keceriaan lagu ini. Dari 150-an penonton, hampir semuanya menggoyangkan kaki mengikuti irama. Kendang yang ditabuh pun menyuguhkan atmosfir dangdut yang khas. Apalagi, disambung dengan lagu Mawar Merah milik Rhoma Irama. Penyanyi senior Trie Utama hadir dalam lagi ke empat, Dunia. Lagu yang beraransemen India ini memiliki ketukan ¾, sehingga cukup sulit dimainkan.

Usai mengeksplorasi dangdut, Purwa mengajak penonon ke Eropa melalui lagi karangan Redrigo berjudul Concerto de Arangues. Lagu yang dipopulerkan oleh Chic Corea ini sengaja dimodifikasi menjadi lagu baru oleh Purwa dan band-nya. Petikan gitar klasik diawal sangat menyayat. Apalagi ketika berpadu dengan flute dan ketipung di tengah-tengah lagu. Selanjutnya, Nahla, sang violin cilik hadir menggetarkan panggung. Dua lagu milik The Corrs dan Jali-Jali yang menuai applause seperti mengantar manis lagi Eropa Timur berjudul Cardas. Duet piano dan violin dalam lagu ini, seakan tidak terpisahkan.

Purwa menutup pagelarannya dengan duet bersama composer dan pianis Marusya Nainggolan, Ensemble Drum Purwa Caraka Music Studio Cempaka Putih dan Purwa Caraka Music Studio Choir. Dalam sesi terakhirnya ini, Pemilik Purwa Carakan Musik Studio di berbagai kota besar di Indonesia ini kembali mengeksplorasi music Indonesia. Kali ini dari Batak dan Bali. “Bahasa music adalah bahasa universal. Semua bisa bertemu dalam satu panggung,” kata Purwa.

Di sela-sela pagelaran, Purwa kembali menegaskan pentingnya masyarakat member tempat music-music yang memerlukan talenta luar biasa. Tidak hanya music popular yang banyak beredar di televisi. “Harus ada orang-orang yang peduli dengan music semacam ini, karena talenta asal Indonesia itu luar biasa,” katanya. Untuk itu, Purwa mengingatkan peran pemerintah untuk memberikan anggaran lebih bagi tempat-tempat yang sering menyelenggarakan pagelaran serupa. “Apa mesti menungg saya jadi presiden,” selorohnya disambut applause panjang.

Kelly Kwalik Tertembak, So What?

Iman D. Nugroho | dari berbagai sumber

Betapa kejamnya kita sebagai bangsa, bila kita mengabaikan berita tertembaknya Kelly Kwalik di Mimika, Papua, awal pekan ini. Kalau memang benar, sekali lagi terbukti, kita lebih memilih pendekatan senjata, ketimbang negosiasi atau diplomasi.

Berita tertembaknya Kelly Kwalik (sebagian orang menyebut dia sebagai Jendral Kelly Kwalik) terselip di antara pemberitaan lain yang lebih punya nilai jual. Seperti penghitungan koin Prita Mulyasari dan kasus Bank Century yang kemungkinan menyeret Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wapres Boediono. Apakah tertembaknya Kelly tidak penting?

Tentu saja penting. Kelly Kwalik, bagiku adalah potret kegigihan orang Papua dalam memperjuangkan keyakinannya. Kita tidak harus setuju dengan apa yang dilakukan Kelly, tapi setidaknya kita melihat itu seperti kita melihat perjuangan saudara-saudara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) beberapa tahun lampau.

Atau seperti kita melihat pejuang-pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menuntut penegakan HAM secara penuh di Indonesia. Juga seperti Suciwati dan keluarga orang hilang yang terus meneriakkan tuntutan pengungkapan kasus terbunuhnya Munir dan orang hilang lain. Hanya saja, Kelly memiliki cara dan cita-cita yang berbeda. Itu terserah dia.

Siapa Kelly Kwalik? Nama Kelly dan wakilnya, Daniel Kokoya, mencuat ketika dirinya menculik 20-an orang di areal sekitar Freeport dan Wamena. Lima diantaranya adalah warga negara Inggris dan Belanda. Prabowo Subijanto memimpin pembebasan para sandera itu, dan berhasil. Kelly sendiri melarikan diri ke Papua Nugini untuk mengatur pemberontakan dari sana. Sesekali, Kelly datang ke Propinsi Papua untuk bertemu dengan pendukung mereka.

Nama Kelly sering kembali diingat ketika 1 Desember tiba. Saat itulah, beberapa orang pendukung negara Papua, mengibarkan bendera Bintang Kejora (bendera Organisasi Papua Merdeka-OPM) secara sporadis. Apalagi, ketika ada peristiwa di sekitar jalur menuju penambangan PT. Freeport. Kelly dan kawan-kawannya selalu di salahkan. Padahal, tidak ada bukti penembakan itu dilakukan oleh OPM.

Kelly disebut-sebut sudah terbunuh. Apakah Papua akan lebih baik? Apakah lingkungan yang rusak akan segera baik? Apakah akan lebih aman? Apakah pembangunan akan lebih maju? Apakah pendidikan bakal lebih baik? Apakah kemiskinan akan terhapus? Apakah,..terlalu banyak pertanyaan bila bicara soal Papua?

Last question: Apakah Papua akan terus menjadi bagian dari Indonesia?

Purwa Caraka Personal Difinition

Iman D. Nugroho

Purwa Caraka mengisi World Music Festival di Gedung Kesenian Jakarta [GKJ], Selasa [15/12] malam. Dalam pagelaran itu, Purwa didukung oleh puluhan musisi dan menyajikan sembila komposisi yang diramu dalam berbagai aroma. Mulai jazz, pop, tradisional hingga klasik. Seperti tampak pada gambar, Purwa berkolaborasi dengan PCMS Choir yang sedang bergaya tari kecak Bali.

15 Desember 2009

Patung Obama Kecil di Taman Menteng itu,..

Jojo Raharjo (photo), Iman D. Nugroho (text)

Ini adalah pertama kalinya, Indonesia memiliki patung masa kecil presiden dari negara lain. Apalagi kalau bukan patung Presiden AS Barrack Obama yang ditempatkan di Taman Menteng, Jakarta Pusat.

Entah, apa maksud dari pendirian patung ini. Tulisan di bawah patung ini menjelaskan, patung ini dibuat karena Barrack Obama pernah tinggal di Indonesia.

"Si kecil Berry (panggilan kecil Barrack Obama) bermain bersama ibunya Ann di daerah Menteng ini. Dia tumbuh dewasa menjadi Presiden Amerikat Serikat ke-44 dan menerima Nobel Perdamaian."

Barrack Obama memang dianggap dekat oleh Indonesia karena pernah tinggal di Jakarta di masa kecilnya. Namun, pembuatan patung itu dianggap berlebihan mengingat presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat itu terbukti tidak memihak kepada negara berkembang dan terus menggalakkan perang di Afghanistan dengan menyetujui pengiriman pasukan AS.

Memutarbalikkan Legenda Untuk Haha-hihi

Iman D. Nugroho

Bagaimana bila cerita legenda di bolak-balik? Film Bukan Malin Kundang adalah jawabannya. Di film ini, cerita anak durhaka yang menjadi batu dimodifikasi. Justru sang ibu yang menjadi batu.

Ryan (Ringgo Agus Rahman) terperanjat. Setelah dicari-cari, sang ibu ternyata sudah berubah menjadi batu. Dua sahabat Ryan, Ado (Desta) dan Luna (Sissy Priscillia) tak kuasa melihat kesedihan sahabatnya, dan berusaha mencari solusi untuk masalah Ryan. “Seperti legenda Malin Kundang,” kata Luna meyakinkan Ryan. Ketiganya pun berusaha mencari cara untuk mengubah sang ibu kembali menjadi manusia. Petualangan pun dimulai.

Penggalan kisah di atas adalah titik awal cerita dalam film Bukan Malin Kundang. Film yang menceritakan kisah Ryan, Ado dan Luna itu memang menarik perhatian. Terutama judul dan temanya yang dekat dengan cerita legenda termasyur di Indonesia, Malin Kundang. Malin Kundang adalah legenda dari daerah Minangkabau, Padang, Sumatera Barat, yang menceritakan sosok Malin, anak durhaka.

Malin yang sejak kecil diasuh sang ibu, tiba-tiba saja menjadi sombong saat sudah kaya raya. Apalagi, Malin memiliki istri anak seorang raja. Suatu ketika, Malin bertemu dengan ibunya, setelah bertahun-tahun merantau. Sayang, Malin tidak mau mengakui sosok perempuan tua dan miskin itu adalah ibu kandungnya. Sang ibu yang murka, mengutuk Malin dan seluruh kekayaannya menjadi batu.

Sebagian orang meyakini cerita ini sebagai sebuah kebenaran, lantaran sampai saat ini batu Malin Kundang itu bisa ditemui di pantai Air Manis, Padang, Sumatera. Sebagian lain menilai kisah itu hanya rekaan semata. Apapun itu, cerita tentang Malin Kundang tetap ada sampai sekarang.

Nah, berbeda dengan cerita Malin Kundang asli, film Bukan Malin Kundang garapan sutradara Igbal Rais ini justru berbeda. Ryan, Ado dan Luna menjadi tokoh utama dalam film yang naskahnya ditulis oleh Semali dan Hilman Rais ini. Ketiga sahabat ini adalah mahasiswa yang jarang ke kampus dan memiliki kebiasaan jahil.

Ryan hidup berdua bersama ibunya. Pemuda manja ini selalu memperlakukan sang ibu yang single parent itu dengan semena-mena. Sementara, Ado memiliki keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sangat banyak. Karena itulah, Ado merasa tidak pernah mendapat perhatian. Luna lain lagi. Perempuan satu-satunya dalam tiga sahabat itu justru merasakan over protective dari kedua orang tuanya.

Hobi mereka yang suka menjahili orang kini kena batunya. Ryan dengan semena-mena mengikat Rapiah, seorang nenek renta (Aming) di atas tiang listrik. Hanya gara-gara menghalangi jalan. Nenek yang marah itu mengutuk Ryan. Saat pulang, Ryan mendapati sang ibu tidak ada di rumah.

Hingga akhirnya, keesokan ketiga sahabat itu menemukan sebuah patung yang dinilai sebagai patung sang ibu. Ketiganya berusaha keras mencari cara menyembuhkan kutukan itu. Mulai membawanya ke Dukun (Joe P Project) hingga menculik Nenek Rapiah untuk dipaksa memaafkan Ryan dan menarik kutukannya.

Untuk sebuah film komedi, cerita Bukan Malin Kundang terasa lebih fresh, dibanding cerita film komedi yang belakangan hanya dibuat bertemakan persoalan cinta semata. Apalagi film ini juga mengusung nilai-nilai lama yang, mungkin, sudah jarang sekali dibicarakan. “Karena itulah, saya merasa tertantang mengerjakan film ini,” kata Iqbal Rais, sang sutradara. Apalagi, tantangan lain yang dihadapi adalah tidak mengabaikan cerita asli, Malin Kundang yang syarat nilai.

Bagi Semali dan Hilman Mutasi, pembuatan naskah film yang didasari oleh cerita sebuah daerah tertentu, dan kemudian dipelesetkan, menjadi tantangan tersendiri. Tak heran, bila dalam proses membuat naskah ini, Semali dan Hilman perlu berbulan-bulan diskusi. “Sharing sangat penting, untuk tidak meninggalkan esensi cerita asli, tapi dengan sentuhan baru versi kekinian,” kata Semali. Bila meleset sedikit saja, bisa jadi akan mendapatkan cap pelecehan.

Namun, saat film itu sudah selesai dibuat, justru Igbal Rais, Semali maupun Hilman malah bangga. Penggarapan dan peran artis yang bermain dalam film ini berhasil menambah bobot film yang akan ditayangkan pada 23 Desember 2009 ini. Tidak jauh dari Hari Ibu Nasional pada 22 Desember. Ringgo Agus Rahman, Desta dan Sissy Priscillia menjadi sosok yang tidak bisa dilepaskan dari film yang mulai digarap pada awal Oktober 2009 ini.

Ringgo Agus Rahman yang dalam film itu diceritakan sebagai anak manja dan bengal, menilai film ini pantas ditonton anak muda agar lebih mengerti arti orang tua di masa sekarang. “Kalau Aku sih, melihat film ini sebagai dedikasi untuk orang tua, terutama ibuku,” katanya. Ringgo mengaku, hubungannya sangat dekat dengan sang ibu. “Sampai kelas 1 SMP, aku masih tidur sama ibuku lho,” kenangnya.

Meski diwarnai dengan kedalaman makna, film Bukan Malin Kundang tetap saja memiliki kekurangan. Penggambaran ketiga tokoh utama sebagai sosok yang manja dan bengal, terlalu berlebihan dengan seringnya ketiganya memaki di sela-sela parody sarkasme. Film ini juga mengabaikan nilai-nilai lain berupa penghapusan stereotypes karakter etnis tertentu.

Well, apapun, tak ada salahnya melihat Malin Kundang dalam bentuk lain.

*photo by Rapi Film

Memang Bukan Malin Kundang, kok,..

Iman D. Nugroho

Film ini memang bukan tentang legenda Malin Kundang namun ceritanya hampir mirip, terutama dalam hal “Patung Batu” dan “Kutukan”. Bedanya, kalau dalam legenda Malin Kundang diceritakan sang anak yang menjadi batu, dalam film ini, justru sang ibu yang membatu. Kok?

Kisah ini dibawa oleh karakter anak-anak muda bernama RYAN (Ringgo Agus Rahman), ADO (Desta) dan LUNA (Sissy Priscillia), mereka ini boleh dibilang anak kuliahan yang jarang ke kampus atau anak kampus yang jarang kuliah. Mereka bersahabat, karena sama-sama suka nongkrong dan suka jahil. Ryan hidup berdua bersama ibunya, Ryan anaknya manja ngga ketulungan, semua kebutuhan Ryan disediakan oleh Ibunya yang nota bene Single Parent. Lain halnya dengan Ado, yang berasal dari keluarga besar.

Kayaknya Ibu dan Bapak Ado tak mengenal istilah KB (Keluarga Berencana) atau bagi mereka KB itu mungkin artinya Keluarga Besar dan membuat Ado kurang mendapat perhatian dari orang tuanya. Beda lagi sama Luna, orang tua Luna amat sangat memperhatikan Luna, malah cenderung over protective, setiap saat Luna dipantau keberadaannya, Luna menjadi pribadi yang Manis Di Dalam Liar Di Luar.

Hobi mereka yang suka menjahili orang kini kena batunya, karena kejahilan mereka sudah melewati batas. Suatu hari Ryan dengan semena-mena mengikat seorang Nenek-nenek renta (Aming) di atas tiang listrik, hanya gara-gara menghalangi jalan. Bagi Ryan hal itu buat lucu-lucuan aja…Nenek yang emosi lantas mengutuk Ryan. .

Saat Ryan pulang, rumahnya kosong Ibunya entah ke mana, Ryan malah senang, Ia mengajak Ado dan Luna untuk datang ke rumahnya. Sepanjang malam mereka bercanda, heboh dan gila-gilaan. Hingga esok harinya mereka menemukan Patung Batu perempuan yang berwujud Ibu Ryan. Dengan bantuan internet dan ke’sok-tahu’an mereka, kejadian ini mereka hubungkan dengan Kutukan seperti legenda Malin Kundang, tapi bedanya yang menjadi batu bukan anaknya tapi ibunya.

Untuk mengembalikan Ibunya menjadi manusia, Ado membawa mereka termasuk Patung Ibu Ryan ke Poliklenik, tempat praktek dukun-dukun paranormal. Dari salah seorang Dukun paling top (Joe P Project) Ryan diharuskan mencari Nenek-nenek yang pernah dijahili untuk menarik kutukannya.

Mencari nenek-nenek di kota Jakarta bukanlah pekerjaaan yang mudah, yang mereka ingat hanyalah sang nenek suka memakai topi kembang. Manakala bertemu dengan Pak Sabeni (Jaja Miharja), lelaki 5 jaman, kakek satu ini sudah pernah mengencani wanita sejak jaman kemerdekaan hingga jaman reformasi. Lewat informasi dari Sabeni, Ryan berhasil menemukan Nenek bertopi kembang, Nenek Rapiah namanya.

Perjalanan pencarian Nenek Rapiah (Aming) menjadi petualangan seru, emosional dan menggelikan. Persahabatan Ryan, Ado & Luna pun menjadi taruhannya. Apa yang akan terjadi dengan patung ibu Ryan?

*photo caption: Ryan, Ado dan Luna berdiri di samping patung sang ibu.