Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

10 September 2009

Theme Park Menjadi Ajang Teriak

Maya Mandley

Bukan karena masa kecil kurang bahagia, kalo sekarang aku suka naik Roller Coaster. Saat masih tinggal di Jakarta, aku tak pernah masuk ke Dunia Fantasi (Dufan) di Ancol, karena orang tua tak sanggup beli tiketnya. Jadi kalo aku dan keluarga pergi ke Ancol, lebih sering ke pantainya dan makan makanan yang sengaja bawa dari rumah. Setelah itu kegiatan yang lain berenang di pantai yang emang gak perlu bayar lagi. Meski begitu, aku pernah menyaksikan beberapa pertunjukan hewan laut. Seperti dolphin, singa laut dan sebagainya. Tapi tak pernah masuk seaworld. Kasihan deh gueee,..


Asal tahu saja, keingan masa kecilku untuk masuk Dufan baru kesampaian setelah kami pindah ke Surabaya dan aku sudah bekerja. Jadi bisa deh untuk beli tiket sendiri. Meski saat itu perginya bersama keluarga. Pengalaman pertama naik Roller Coaster, bikin aku kapok-kapok. Rasanya jantungan, dan selama perjalanan kurang dari 1 menit itu, aku cuma memejamkan mata. Gak berani ngapai-ngapain apalagi teriak ! Penakut sih,..

Sampai beberapa tahun di negeri Pak Obama ini, aku sudah lupa dengan yang namanya Roller Coaster. Kesibukan beradaptasi dan cari uang, bikin aku sama sekali gak tertarik untuk pergi ke Theme Park, meski iklannya berulang-ulang ditayangkan saat musim panas. Baru pada sekitar tahun 2007, saat ikut tour, aku sempat mengunjungi Theme Park lagi di Pensilvania. Theme Park yang disponsori salah satu perusahaan coklat terbesar di Amerika itu cukup luas. Permainannya pun beragam. Mulai dari yang tidak menakutkan sampai yang sangat menakutkan. Sayang karena aku perginya saat summer, antrian di setiap permainan cukup panjang. Lagipula saat itu aku masih takut naik roller coaster.

Baru pada awal tahun 2008, saat pergi ke Disneyworld di Orlando Florida, aku mulai menyukai Roller Coaster. Sebab hampir semua permainan di arena itu, dilakukan di dalam ruangan. Namanya Theme Park, tentu saja permainan roller coaster yang ada disitu punya tema sendiri-sendiri. Sesuai dengan film-film MGM studio yang jadi sponsor utama Taman itu. Jadi ada permainan yang diadaptasi dari film ET, Jurassic Park, atau Indiana Jones. Di setiap permainan, kita seperti berada saat di film-film petualangan itu. Ada adegan seperti jatuh, jungkir balik dan sebagainya. Teriak sekencang-kencangnya sangat diizinkan bahkan dianjurkan. Sangat menarik.

Belum lagi karnaval yang diisi tokoh-tokoh film produksi MGM Studio. Jadi ada Putri salju, Donal Bebek dan berbagai aktor-aktris film mulai dari yang kartun sampai yang bukan kartu, lengkap dengan accesoris mobil yang dihias seperti cerita dalam film. Tontonan yang menarik buat para turis. Karena memang Theme Park itu untuk menarik touris. Selain MGM Studio, satu lagi Theme Park di Orlando, yaitu Universal Studio. Gak beda jauh dengan MGM, hanya bedanya permainan di Universal studio diadaptasi dari film-film produksi Universal. Seperti Spiderman, Terminator dan sebagainya. Bahkan ada permainan yang dilengkapi dengan film 3D lengkap dengan kacamatanya. Jangan heran kalo di permainan 3D, adegan yang terjadi seperti betul-betul di depan mata, dan kalo ada adegan yang memancarkan air, air betul-betul memancar meski gak sampek bikin basah kuyup.

Sejak pergi ke Orlando itu lah, aku jadi seneng naik roller coaster. Baru sadar kalo ada theme park yang dekat tempat aku tinggal. Cuma bedanya, kebanyakan permainan di Theme Park dekat tempat aku tinggal itu, hampir semuanya outdoor. Waktu pertama kali ke Them park bernama Six Flags itu, aku gak begitu berani. Tapi setelah beberapa kali mencoba, lama-lama asyik juga. Malah aku punya satu permainan favorit. Roller coaster yang diadaptasi dari film Superman! Sebabnya sederhana, yang istimewa dari Roller Coaster ini, posisi saat di permainan terbaring seperti sedang terbang. Ahhh jadi keranjingan Roller Coaster, dan kali ini, aku sudah berani buka mata meski masih sering terpejam juga.

09 September 2009

[Cerita Pendek] Di Puing Ramadhan

Senja Madinah

Aku mendengar sayup-sayup rapal al Quran, di antara suara musik dangdut dari radio pangkalan Ojek, tak jauh dari dasaran Nik Tija, penjual sayur-mayur. Aku tertawa. Mendengar semua harmoni yang menjadi satu. Tartil al Quran yang dibaca dengan indah dengan lekuk-lekuk suara kearab-araban, beradu lagu genit lagu dangdut yang renyah, rupa-rupa. Satu hal yang menyamakan dua harmoni berbeda ini, mereka saling bergantian untuk mengaji atau pun menyanyi.


Ya, hanya di malam-malam Ramadhan seperti inilah terdengar suara orang mengaji di pasar tradisional di kota ini. Selebihnya, mereka memilih musik dangdut mengiringi hidup mereka. Kendati kedatangan mereka berganti-ganti antara para pedagang pagi dan malam, tetapi, pasar terbesar yang tak jauh dari pondok pesantren ini tak pernah berhenti. Kehidupan di pasar ini, 24 jam penuh! Kuli-kuli itu, penjual-penjual miskin itu, selalu datang silih berganti mengisi sudut-sudut pasar. Hanya untuk satu hal; kesempatan. Kesempatan mengais rejeki. Rejeki untuk satu hal; melanjutkan kehidupan. Melanjutkan roda yang terus berputar. Tapi aneh, mereka tak pernah di atas. Saat roda kehidupan itu menanjak 30 derajat, roda kehidupan itu melesat ke bawah kembali. Seolah tak punya tenaga untuk lebih tinggi lagi.

Dan di pasar yang didatangi oleh orang berupa-rupa ini pula, hanya aku yang tak pernah berganti. Di sudut kegelapan ini, di sebuah toko bahan baku milik Haji Fauzan ini, aku selalu memperhatikan mereka. Gerak-gerik mereka. Keluhan mereka, guyonan murahan mereka, tawa lepas mereka, persaingan dan perseteruan mereka. Tak luput pula ku perhatikan tingkah Zulaiha yang telah bertransformasi menjadi Julie. Entah ke mana ia jika bulan ramadhan begini. Aku akan merindukan tingkah dan triknya saat menarik perhatian pelanggan, sumber rejekinya.

Ah, di pasar yang merupakan tempat berkumpulnya berbagai macam manusia dan bangsa ini, segala macam hal dijual. Mulai dari hasil jarahan bumi, pembunuhan hewan hingga jualan yang paling mandiri dan paling orisinil, jasmani. Di tempat silaturrahmi itu, juga beraneka warna pembeli, sesuai dengan kebutuhan. Di tempat pertemuan ini, mereka saling mengadu kecakapan dan kelihaian lidah untuk saling mengalahkan. Hanya demi satu kata; ekonomi. Si pembeli, tanpa urat malu menawar harga dagangan hingga harga yang tak masuk akal, minta bonus dan gratisan. Melihat gelagat pembelinya, si penjual pun tak mau kalah, dengan menaikkan harga lebih dari dua kali lipat sebelum menjualnya, kembali disertai bonus yang disukai para pelanggan. Hasilnya? Inilah yang membuat pasar ini tetap ramai, tempat di mana sebagian merasa puas dengan kelihaiannya dan harapan agar esok bisa bertransaksi lebih ekonomis lagi. Karena telah terjadi equilibrium antara kebutuhan yang saling melengkapi. Yang perlu diingat, seberapa pun mereka menaikkan harga jual, atau seberapa pun mereka menawar hingga ke dasar jurang, transaksi yang terjadi tetaplah prinsip ekonomi yang sempurna, tidak seperti di mall atau supermarket, di mana tidak ada demokrasi, tawar-menawar, diterapkan.

“Julie, kenapa baru keluar sekarang?” Aku mendengar suara Sugondo, tukang ojek yang tergila-gila pada Julie, berteriak kegirangan. Tangannya mencari-cari kesempata ke tempat-tempat kosong yang dapat terjangkau.

“Najis! Bulan puasa, Ndo. Bukan muhrim kok pegang-pegang,” Tangan Julie menepis tangan nakal Sugondo, ketus. Berdetik kemudian, tertawa cekikikan.

Aku berjalan mendekat, ingin mendengar pembicaraan mereka lebih dekat. Melihat kelakuan dua insan keturunan Adam itu. Aku menyelinap di antara karung-karung beras, gula, dan tepung. Terselip di sela-sela sirap-sirap kayu toko. Menghindari terang yang sangat membahayakanku. Berhenti di balik bangku usang tempat Sugondo melepas penat saat menunggu penumpang.

“Waduh, kena demam Ramadhan juga to? Terus ngapain ke sini?” Sugondo tak mau kehilangan kesempatan memuaskan lapar birahinya. Memandangi molek tubuh pengusaha independen itu dengan kotor.

“Ya Kerja to, Ndo. Fredy makan apa?” Jawabnya tetap ketus sambil mengibaskan rambutnya yang telah berubah warna kemerahan.

“Wah, nggak takut diciduk satpol PP atau polisi to? Puasa-puasa gini kok tetep jualan,” Sergah Sugondo, mengulur waktu.

“Nggak mungkin. Kan kita udah bayar uang keamanan?” Jawabnya genit.

Aku tertawa mendengar percakapan mereka. Julieku kembali. Hanya saja, jadwal kedatangannya lebih malam. Ba’dah tarawih, dia bilang.

“Ya shalat tarawih dulu lah. Gimana pun, aku kan takut masuk neraka.” Jawabnya menanggapi pertanyaan Sugondo yang tak kunjung usai.

Julie beranjak, tak lagi memperdulikan pertanyaan Sugondo yang bertubi-tubi.

“Paket Spesial Ramadhan dan lebaran, Ndo, ngobrol sama aku juga harus bayar,” Tukasnya tanpa menoleh, tanpa perasaan.

Aku tertawa mendengarnya. Sembari kembali ke rumahku, di kegelapan.

Ah, di Pasar tradisional ini,… sebejat apapun kelakuan mereka, tak satupun dari mereka yang melewatkan puasa. Kau tahu kenapa? Karena mereka memang berpuasa sepanjang tahun. Kemiskinan yang membuat mereka harus tetap mengencangkan ikat pinggang untuk tetap bertahan hidup. Bahkan, mereka nyaris tak pernah mengkonsumsi dagangan mereka sendiri, khawatir rugi. Hidup tak hanya urusan makan. Tapi hidup juga melarang mereka sakit. Jadi lupakan tentang pengobatan gratis!

Hahaha,… Kau tahu, hanya aku yang selalu banyak makanan di ujung gelap toko milik Haji Fauzan ini. Hanya aku yang bisa tidur dengan tenang, kecuali ajal menjemput melalui tangan-tangan yang menganggapku di ciptakan tanpa guna. Ini sekali gus menjawab pertanyaan dari kalian semua yang meragukan kenapa Tuhan menciptakanku.

“Assalamualaikum, Ji.” Sapaan khas Julie, tiba-tiba nongol di depan toko, keesokan paginya. Haji Fauzan menatapnya sekilas, lalu larut dalam pekerjaannya membereskan pembukuan yang dibuat dengan berantakan.

“Ah, kamu. Bikin aku sial aja hari ini.” Gerutu Haji Fauzan mengingatkan beberapa hutang yang belum dibayar oleh salah satu pelanggannya ini. Perempuan bertubuh seksi dengan rambut yang awut-awutan itu ditinggalan begitu saja.

“Maaf Ji, minggu kemarin kan anak ku sakit. Jadi uangnya aku pakai dulu untuk berobat,” Ucap Julie memelas sambil mengikutinya dari belakang.

“Ini mau lebaran. Kalau kamu nggak bayar cash aku dapat untung apa? Mana barang-barang kulakan pada naik semua dari distributor.” Sergah Haji Fauzan, beralih tempat memeriksa stok beras dan memperhatikan kinerja Sholeh yang sedang menurunkan telur ayam dari Chevrolet cokelat. Teriakan cempreng penyiar radio menambah kebisingan yang terjadi. Sementara pembeli yang lain mulai berdatangan, memandangi perempuan itu tak senang.

Julie merogoh kantongnya, menyerahkan uang dua puluh ribuan lecek 2 lembar, ditambah dengan uang sepuluh ribuan 2 lembar. Uang lima ribu tiga lembar yang tersisa dimasukkan kembali di saku.

“Ji, beri aku apa saja. Nanti, hutangnku ku bayar kalau sudah ada rejeki, Ji.” Inilah senjata terakhir perempuan yang tampak lebih tua dari umurnya itu. Melihat uang tadi, Haji Fauzan langsung menyerahkan pada asistennya. Memberikan sejumlah barang kebutuhan seperti sekarung beras kualitas rendah ukuran 3 kg, setengah karung gula ukuran seperempat, tepung terigu, minyak goreng setengah liter, dan sejumlah kebutuhan lainnya yang diberikan dengan ukuran serba mini. Selepas itu, Sholeh menyerahkan pada Julie yang terbelalak kaget.

“Ji, kok cuma segini, Ji?” Ia menahan emosi.

“Heh, Jul, sekarang barang-barang kan sudah pada naik. Gula aja sekarang Rp. 10.000 perkilogram. Itu dari distributor. Kamu mau aku jual berapa? Belum barang-barang lainnya juga ikut naik. Bawang putih juga Rp. 12.000 perkilo. Kalau mau protes, bilang sana ke pemerintah. Kenapa ada harga gula yang sampe Rp. 10.000,” Sergahnya tanpa tedeng aling-aling menahan amarah. Julie hanya bisa menggaruk-garuk kepala.

Aku menyaksikan semua drama ini, hampir setiap hari. Kesedihan Julie, juga kolega lainnya yang juga kulakan di toko haji Fauzan. Kesedihan para pembeli yang hanya mampu gigit jari tanpa mampu mewujudkan angan-angan dalam dirinya untuk membeli sekerat daging yang harganya juga mulai melambung.

“Tidakkah ini bulan puasa, Ji?” ucapan Julie lebih mirip untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Yang puasa kan Cuma makan siang, Jul. Orang-orang ya tambah buas kalau udah buka,” Bantah Haji Fauzan lebih mirip ketakpedulian. Tetap mencatat semua barang yang baru saja dikeluarkannya. Julie pun segera berlalu dari hadapan pria tak ramah pemilik toko tempatku bernaung.

“Jangan lupa segera bayar hutangnya! Sekali-sekali bayar hutangnya itu pake uang halal,” Sindiran dengan suara keras itu mengalir begitu saja dari mulut Haji Fauzan yang diikuti dengan bisikan-bisikan dari sejumlah pembeli. Jenang kemudian Julie berbalik.

“Saya tidak korupsi, Ji. Saya tidak mencuri uang sampeyan yang dibayarkan melalui pajak. Saya tidak menjual tetangga saya ke luar negeri. Saya juga tidak mencuri timbangan,” Sindiran dua kalimat terakhir tadi telah bersarang di jantung haji Fauzan yang juga memiliki usaha PJTKI illegal dikelola istrinya dan sering mengurangi berat timbangan para pembeli.

Haha, baru kali ini aku melihat wajah Haji Fauzan seperti kepiting rebus tersulut kepedasan kata Julie ku yang manis.

“Ji, beli beras yang paling bagus ya. Jangan seperti biasanya Ji, yang lebih bagus. Gula, minyak goreng yang kemasan Ji,” Seorang ibu berusia 40 tahunan, dengan pakaian compang-camping.

“Ji, sebentar ya, saya mau beli daging dulu,.. Suami saya minta dibuatkan steak,” Juhariyah, yang bekerja dengan menadahkan tangan di depan toko departemen store itu, bikin Steak? Oh my God,… Please deh?

“Gaya amat, memang dapat togel?” Cibir Haji Fauzan.

“Nggak, Ji. Tapi, kalau ramadhan gini kan musim panen, Ji.” Terang Juhariyah tanpa malu.

Kondisi itu ibu-ibu tadi sebetulnya tidak telalu menyedihkan. Ia terlampau gemuk untuk dikatakan sebagai orang miskin. Ia juga masih terlihat kuat untuk membuat orang iba kepadanya. Sejenak ku perhatikan apa yang membuat orang menjadi iba padanya, sampai aku melihat sesosok balita yang menyembul dari balik roknya, menggelendot di tangan kanan Juhariyah. Tampang balita sekitar 3 tahun itu tak kalah dekil dibanding ibunya. Lendir flu turun malu-malu mengikuti irama nafas yang dihembuskan hidung peseknya. Akupun mahfum. Balita itulah yang digunakan sebagai alat dalam bisnis rasa kasihan ini.

Aku menggeleng. Melihat mereka, rasanya aku bisa memahami fatwa MUI yang mengharamkan memberikan santunan bagi pengemis. Walaupun, sekali lagi, fatwa tadi tampak sangat bodoh kalau tidak ingin dibilang tolol, karena kemiskinan structural yang terjadi adalah persoalan ketiadaan lapangan pekerjaan yang kalau dikembalikan lagi, menjadi tanggung jawab pemerintah.

Aku kembali menggeleng. Tiba-tiba otak nakalku bekerja saat kelebat bayang Julie tertangkap. Mempertanyakan sikap Tuhan terhadap dua makhluk yang sama-sama ingin bertahan hidup ini. Kira-kira Tuhan lebih sayang yang mana ya, antara keduanya? Juhariyah yang hanya memangku tangannya untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain, mengeksploitasi anak menjadi salah satu alat produksinya mencari kenyamanan dan kemakmuran, ataukah pada Julie-ku sayang, yang menjadikan reproduksinya menjadi alat produksi andalan mempertahankan hidup. Julie, tidak sedang merugikan orang lain, tidak sedang mengeksploitasi alam semesta dan hanya mengeksplorasi yang ada pada dirinya. Juhariyah yang memberikan kerja lembur bagi anaknya saat musim puasa dan Julie yang rela mengurangi jadwal prakteknya untuk menghormati puasa.

Ah, manusia,… makhluk unik yang diciptakan dengan segala kelebihan tetapi justru terpuruk dengan kelebihan yang dimilikinya. Tak saling melengkapi, justru saling mengurangi. Tak saling menguatkan justru saling menghancurkan.

Belum selesai aku memaknai kehidupan yang sedang berlangsung di depan mataku, segerombolan laki-laki berseragam biru dongker datang dengan membawa pentungan. Sirine dan peluit beradu kekuatan, memekakkan telinga.

Gerombolan yang bagai kesetanan itu menghancurkan lapak-lapak milik puluhan pedagang beraneka sayur, daging ayam, hingga pakaian dalam. Tanpa melihat jenis dagangannya, mereka langsung melempar ke dalam truk yang mereka bawa. Jerit tangis dan kemarahan para pedagangpun bersahut-sahutan dengan suara lantang para petugas yang mengaku mendapatkan kuasa.

Para pengemis tak luput dari serangan mereka. Anak-anak, orang tua, laki-laki, perempuan ditangkap dan dimasukkan ke dalam truk berbeda yang lebih tertutup. Hanya Juhariyah dan anaknya yang absent dari garukan tadi. Pemain sinetron kawakan itu diuntungkan dengan kedatangannya membawa barang belanjaan, sehingga tidak ditangkap meskipun mempunyai cirri-ciri sama dengan pengemis yang lain.

Oh, tidak. Ia menuju ke sebuah tempat. Oh, tidak, Oh, my God! Mereka menyeret Julie-ku dari sebuah bangunan sederhana tempat Julie hidup bersama anak laki-lakinya selama ini. perempuan yang tampak lebih manis tanpa riasa make up itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

“Pak, saya salah apa, pak?” Tanya Julie ketus sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan petugas bertubuh tambun.

“Ikut, kamu perek kan?” Sergah petugas tadi dengan suara geram.

“Tapi kan saya tidak sedang praktek, pak? Saya sedang menyiapkan buka puasa untuk anak saya,” Balas Julie membentak laki-laki tadi.

“Heh, operasi ini dilakukan bagi mereka yang menjadi sampah masyarakat dan mereka yang melanggar peraturan. Ya PSK, ya pengemis, ya penjual yang nggak punya ijin usaha di sini,” Jelasnya sambil menyeret Julie masuk ke dalam truk.

“Tapi saya tidak sedang menerima pelanggan pak,” Suara geram Julie semakin meraung saat petugas tadi dengan sengaja memukul pantat Julie.

“Heh, aturannya yang ditangkap itu PSK, sampah masyarakat seperti kamu, nggak peduli sedang praktek atau nggak! Kan semua orang bisa jadi saksi kalau kamu itu memang PSK! Nah kalau nggak ingin ditangkap ya, ganti profesi dong!” Petugas bertahilalat besar di hidungnya itu kewalahan mengatasi Julie yang terus meronta. Otak dangkalnya jutru memanggil empat kawannya menggotong tubuh Julie untuk dilempar ke dalam truk.

Rasa penasaranku tak terbendung. Aku tahu, sebentar lagi truk tadi akan berjalan. Dengan berhati-hati, aku berusaha melompat ke dalam truk tempat Julie dilempar tadi. Secepat kilat aku keluar dari persembunyian di kegelapan sela-sela karung-karung beras, menuju ke karung gula, melompat ke drum minyak goring, sedikit berbelok ke drum minyak tanah, bergerak ke atas disela-sela siku atap toko yang dipenuhi dengan jejaring laba-laba. Saat ku lihat pintu truk petugas itu akan ditutup, dengan sekuat tenaga aku menerjang. Tapi, belum sempat aku berhasil masuk ke dalam truk dan menemukan tempat yang aman untuk bersembunyi,

Auuucchhh…!!!

Pentungan petugas menghentikan langkah sekaligus nyawaku.

“Lihat, hanya Coro yang berempati pada kalian para sampah masyarakat,” aku mendengar Petugas tambun itu menghardik para pengemis dan PSK yang tertangkap seraya mengangkat tubuhku, sebelum aku meregang nyawa. Tersungkur…

Tidak Ada Joki 3 in 1 di AS!

Maya Mandley

Aku meninggalkan Jakarta sekitar tahun 1991. Tepatnya setelah lulus SMA. Tak banyak yang bisa aku ingat di Jakarta. Satu hal dari yang sedikit itu, peraturan three in one, di jalan utama di Jakarta. Di AS, regulasi itu disebut, High Occupancy Vehicle (HOV). Bedanya, di kawasan HOV itu tidak menjadi ajang bisnis tersendiri buat anak-anak maupun orang tua sebagai joki. Satu-satunya joki di dunia yang nggak ada kudanya! :)


HOV diberlakukan di jalan-jalan utama (Highway) di NY area dan New Jersey. Seperti halnya di Jakarta, HOV juga berlaku di jam-jam sibuk alias rush hour dan pada weekdays only. Aku gak tahu pasti jalan apa aja yang punya kawasan HOV. Yang aku ingat, satu daerah di NJ yang akan masuk ke NY. Di sekitar George Washington Bridge (jembatan yang menghubungkan antara NJ dan NYC). Dan satu lagi di highway LIE (Long Island Expressway). Jalan yang menghubungkan antara Long Island (pulau kecil di timur NYC) dengan NYC. Kedua jalan ini termasuk jalan yang padat.

Aku gak tahu bagaimana HOV di Jakarta diberlakukan. Yang jelas LIE satu arah memiliki 4 ruas jalan. Dan satu ruas dipakai untuk HOV. Jadi pengendara yang melintas di ruas itu harus berpenumpang 3 orang. Sepanjang pengalamanku jadi penunpang saat rush hour di LIE, jalur HOV tidak sepadat 3 lajur non HOV. Meski begitu, mereka yang tidak berpenumpang 3 orang, tak akan coba-coba menerobos ke lajur HOV, meski tak ada tembok penghalang untuk masuk ke lajur itu. Menurut pengamatanku, pengendara di sini cukup disiplin dalam berkendara meski banyak juga yang ngawur. Selain itu, polisi juga cukup siaga dan tak segan-segan memberi ticket alias tilang. Administrasi yang rapi disini, membuat pengendara harus hati-hati dengan ticket. Sebab bisa jadi kebanyakan tiket dan pelanggaran lain, bisa menyebabkan mereka tidak diperbolehkan lagi punya SIM. Tak peduli dimana mereka melanggar. Karena SIM mereka bisa di cek dimanapun.

Ada satu kasus yang menurutku cukup menarik soal HOV ini. Sekitar tahun lalu, ada seorang warga yang tinggal di kawasan Long Island yang ditangkap polisi lalu lintas di kawasan HOV. Alasannya menurutku lucu. Sebab dia kedapatan membawa boneka yang didandani persis seperti orang, lengkap dengan jas dan dasi, dan 'didudukkan' di kursi penumpang. Menurut berita yang aku dapat, dia sudah melakukan 'kegiatan' ini sekitar 2 tahunan sebelum ketahuan polisi lalu lintas. Menurut petugas yang menangkap orang ini, dia curiga dengan mobil yang membawa 'dummy' ini. Sebab 'sang penumpang' ketahuan tidak bergerak dan keliatan aneh. Ada-ada saja. Coba orang ini ke kawasan HOV di Jakarta, pasti gak akan ketangkap karena banyak orang yang bersedia jadi penumpang. Betul gak ?

Blog Kok Menjadi Sasaran Pemberantasan Terorisme?

Iman D. Nugroho

Setidaknya, sudah dua kali polisi menyebut blog yang diduga terkait dengan terorisme. Mediaislam-bushro.blogspot.com dan Suarajihad.wordpress.com. Ini sebuah gejala baru di dunia blog. Ketika tiba-tiba aktivitas penumpahan ekspresi melalui media internet (baca: maya), terkoneksi dengan aktivitas lain yang lebih nyata (baca: riil) dan melanggar aturan hukum. Memasuki era "bredel" blog?


Ketika pimpinan Arrahmah.com, Muhammad Jibril ditangkap dengan tuduhan terlibat terorisme, mau tidak mau situs yang bergerak dalam posisi "penyeimbang berita Islam" itu pun terpengaruh. Meskipun banyak pihak mengatakan ditangkapnya Jibril tidak berhubungan dengan Arrahmah.com, namun efek itu tetap ada. Apalagi ketika CPU dan server di kantor Arrahmah.com yang disita polisi untuk diperiksa. Redaksi Arrahmah.com
mengerjakan seluruh aktivitas situsnya melalui warung internet atau warnet. Tidak hanya itu, server Arrahmah.com yang awalnya dimiliki sendiri, dialihkan ke wordpress.

Kalau kita cermati, Arrahmah.com memiliki "jenis kelamin" yang berbeda dengan dua blog terakhir yang disebut oleh polisi, Mediaislam-bushro.blogspot.com dan Suarajihad.wordpress.com. Dua blog terakhir yang memiliki napas sama dengan Arrahmah.com itu mencantolkan seluruh datanya ke server milik Blogspot/Google dan Wordpress. Kebetulan, dua server itu berada di luar Indonesia. Dalam hal identitas, Arrahmah.com juga sangat berbeda. Meski diprotect, Arrahmah.com tetap bisa diketahui secara pasti siapa pemiliknya melalui networksollution.com.

Dalam meta data itu tercatat, data Arrahmah.com dipegang oleh Publicdomainregistry.com dan di kendalikan secara penuh oleh
IP Address 121.52.xxx.xx dari Jakarta. Sementara Mediaislam-bushro.blogspot.com dan Suarajihad.wordpress.com hanya tercatat dalam bentuk account email dari google dan yahoo. Artinya, pemilik Arrahmah.com officially tercatat dan bisa dilacak siapa pemiliknya.

Di balik semua perbedaan itu, hal paling mengkhawatirkan dari dijadikannya blog sebagai sasaran pemberantasan terorisme, adalah menyempitnya atmosfir kebebasan berekspresi melalui blog. Seperti kita ketahui, blog ibarat pers mahasiswa di jaman orde baru. Ketika media mainstream menyajikan sesuatu yang beragam, pers mahasiswa menawarkan ide dan content lain. Nah, mari kita melihat blog dalam angle yang sama. Terlepas, apakah blog tidak patuh dengan aturan pers kebanyakan, seperti UU Pers, Kode Etik Jurnalistik ataupun UU Internet dan Transaksi Elektronik (ITE), namun inilah out of the box itu.

Nah, ketika saluran alternatif ini sudah mulai dijadikan sasaran, apa kata dunia! Ruang ekspresi masyarakat pun sudah mulai sempit. Bahkan, untuk media massa mainstream, wilayah itu sudah didistorsi oleh banyak hal. Dalam persoalan terorisme misalnya. Apakah mungkin kelompok yang tidak sepakat dengan aksi Densus 88 Anti Teror menggunakan TVONE dan METROTV untuk mengekspresikan ketidaksetujuan itu? Hell no!

08 September 2009

Atmosphere: Yang Melengkapi

Syarif Wadja Bae

Seperti sempurnanya lagu yang kau nyanyikan,
sajak itu begitu mengendap jauh kedalam cahaya mata rasa.
Untuk keseratus kalinya peraduan itu terus membuat kita berkaca pada laut dan tanah.
Semoga kita tak saling mencuri kemurnian.
Sudah terlalu banyak novel yang menulis tentang penghianatan.

Belajar Untuk Menikmati Televisi

Maya Mandley

Masih kuat di ingatanku, waktu awal-awal aku datang di AS, aku masih struggle dengan bahasa Inggrisku. Pelajaran bahasa mulai SMP ini, seperti tidak berbekas. Tantangan terbesarku saat pertama kali datang di negara besar ini adalah listening comprehension, alias kemampuan untuk mengerti si bule ngomong. Tak heran, bila di awal-awal, acara favoritku cuma tayangan olahraga. Selain emang hobby nonton olahraga, juga karena aku gak perlu ngerti apa yang diomongin sang komentator. Bagiku itu gak penting. Tanpa itu pun, aksi para atlet di layar TV, cukup jelas maksudnya.


Tapi karena mantan orang media, mau gak mau aku harus tetap memantau apa yang terjadi di dunia. Meski kadang isinya cuma perang dan janji manis politikus. Jadi meski aku masih struggle dengan listening comprhension, aku usahakan tetap memantau berita di stasiun TV lokal. Nggak sombong nih, channel favoritku adalah channel 2 alias CBS. Gak ada alasannya sih. Cuma waktu pencat-pencet cari channel, kebetulan channel ini muncul pertama. Dan pada waktu itu anchornya lumayan ganteng (ehem!). Jadilah sejak itu aku jadi fans setia channel yang emang ada di nomor 2 di remote ini.

Bicara soal TV, Saluran TV di AS menggunakan cable dengan beragam pilihan program, tergantung paket yang dipilih untuk langganan. Nggak beda jauh dengan Jakarta kan? Memang tak semua rumah tangga memiliki cable, karena harus berlangganan. Sepengetahuanku hanya 15 channel yang bisa dinikmati tanpa berlangganan TV cabel. Tapi umumnya, hampir semua rumah tangga berlangganan cabel. Apalagi sejak 12 Juni kemarin, semua channel TV sudah masuk digital. Meski begitu, pemerintah memiliki program untuk membantu rumah tangga yang tak mampu berlangganan kabel, untuk meng-convert TV mereka ke program digital.

Sebenarnya selain CBS, ada 2 channel lain yaitu ABC dan NBC yang format berita nasionalnya sama. Selain di dalam ruangan, mereka juga siaran langsung dari luar studio dengan melibatkan masyarakat umum. Biasanya mereka juga mengundang entertainer untuk menghibur pemirsa secara langsung. Aku sendiri setelah sekian lama cuma jadi fans lewat TV, baru pada tahun 2008 sempat ikutan jadi fans secara langsung. Artinya aku ikutan jadi penonton langsung di siaran live. Karena memang acara di tempat terbuka di luar studio itu terbuka untuk umum.

Fans yang kebanyakan tourist dari luar kota NY, tak lupa membawa berbagai poster unik dan menarik, dengan harapan bisa dilihat teman, saudara atau siapa pun di kampung halaman mereka. Tentu saja para fans dadakan ini harus ikut pengarah lapangan. Seperti saat bertepuk tangan atau disuruh teriak-teriak biar rame. Malah pernah ada warga Indonesia di NY yang ikutan jad penonton live lengkap dengan pakaian adat daerah kita. Seperti dari Padang, Batak dan Jawa. Satu diantara mereka sempet diwawancarai salah satu anchor.

Senang juga sih ada warga Indonesia yang berani mengenalkan salah satu budaya kita lewat TV nasional Amerika meski itu cuma kurang dari satu menit. Aku sendiri saat jadi fans dadakan itu sempet melihat secara langsung beberapa aktor dan aktris yang kebetulan diwawancara. Yang aku ingat waktu itu, Antonio Banderas dan Cameron Diaz. Waktu itu mereka sedang promo film terbaru mereka Shrek 3. Baru kali itu aku ketemu bintang sekelas Hollywood. Jangan ditanya antusias orang Amerika sendiri pada bintang pujaan mereka.

Aku sendiri sih cuek aja, alias jaim. Karena memang menurutku, tak ada yang istimewa untuk Cameron Diaz. Bedanya cuma nasib aja. Dia jadi aktres dan terkenal. Sementara Antonio Banderas emang ganteng dan macho. Ahh sayang Om Antonio is not on the market and I am taken too. So, aku cuma bisa mengaguni ke-machoan nya aja lewat film-film yang dibintanginya aja. Om Antonio, I am waiting for your next movie ! Cup... cup.. muah..muahhh ! (apaan sih,.. :)