Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Keroncong Kenangan
       

19 Maret 2010

Sekilas Kardus Jakarta

Foto-foto: Iman D. Nugroho

| republish | Please Send Email to: [email protected] |

[ Cerita Pendek ] Ibu

Senja Madinah | Bagian III (tamat)

“Sebelumnya sudah pernah dik?” Tanya seorang perempuan berusia 30 tahunan di sebelahku. Aku menggeleng ragu. Aku semakin ciut. mungkin, hanya mereka yang berpengalaman bekerja yang diterima untuk bekerja.

“Kalau belum pernah, lebih baik diurungkan saja,” Tukasnya takut-takut sambil melihat ke arahku. “Nggak ada ceritanya pulang dari sini jadi kaya. Yang ada, pulang-pulang bawa penyakit,” tambahnya. Aku mengernyit kebingungan. Tak bisa kaya, yang penting cukup, pikirku. Tapi membawa penyakit?

“Iya, kalau nggak penyakit kelamin ya penyakit AIDS,” Jawabnya, sambil memperkecil volume suaranya. Seketika wajahku memerah. Berlari ke pintu keluar tanpa mempedulikan gerombolan laki-laki sebesar Rambo yang berusaha menghentikan dan mengejarku. Aku berlari. Terus berlari. Hingga terdampar di koordinat 0º5' Lintang Utara dan 104º27' Bujur Timur ini. Tanjung Pinang.

Aku merasa dipecundangi oleh nasib. Jauh-jauh aku datang ke tempat ini, hanya untuk membuktikan pada ibu bahwa aku bisa menjadi manusia yang dibanggakan dan sayangi. Sebagaimana mimpiku yang terbawa ke liang lahat oleh Yaris. Menikah dengan laki-laki yang tak pernah menjamah lenganku dengan kasar. Aku hanya ingin menunjukkan laki-laki seperti apa yang pantas dicintai.

Tapi apa yang ku dapat? Selaput dara yang berusaha ku pelihara sejak usiaku delapan tahun, justru akan dilelang oleh Tacik taik itu! Ya, sejak usia delapan tahun aku berusaha menjaganya. Saat itulah aku tahu bahwa aku perempuan, meski menstruasi pertamaku baru ku dapat di usia sebelas tahun. Saat itu pulalah pelarian pertamaku. Pelarian karena seorang laki-laki. Yang ku panggil Kakek.

Kakek. Ayah dari Ayahku itu. Entah apa yang merasuki otaknya. Hingga birahinya memuncak melihat buah dadaku yang bahkan belum tumbuh. Hingga menindihku dan akan menelusupkan zakarnya pada vaginaku yang bahkan belum ditumbuhi rumput. Pada suatu malam yang buta. Hingga aku menjerit dan membangunkan nenekku.

Dan ibu dari ayahku itu, bukannya membelaku, justru melemparku dengan dandang. Hingga aku terbirit. Berusaha menemukan jalan mencari rumah ibuku, yang telah kawin dengan laki-laki yang tak pernah ingin ku sebut ayah. Itulah pelarian pertamaku.

Dan, tahukan kau, bagaimana sikap ibuku saat mendapatiku kelelahan, tanpa alas kaki, dehidrasi, dan kelaparan? Pipiku, lenganku, pahaku, dan kakiku. Bersemu merah. Perlahan tapi pasti. Menjadi lebam. Semuanya, hasil karya ibu dengan menggunakan tangan dan sapu lidi.

Ibu.
Ibu yang selalu ingin ku ku peluk dan berlindung di balik ketiaknya. Ibu yang selalu ingin ku kusampaikan rasa takut saat mimpi buruk. Ibu. Yang menjadi satu-satunya alasan balik pelarian yang ku lakukan karena laki-laki. Ibu. Yang membuatku merasa tak bisa lepas dari perempuan yang ku sebut ibu itu..

Ibu. Yang justru menjauhkan ku dari rasa hangat, saat aku merasa dingin dari getirnya hidup. Ibu. Yang justru meninggalkanku sendiri. Tidak hanya di kamar yang pengap. Tapi, di rumah sendiri. Benar-benar sendiri. Tanpa makanan. Tanpa nasi. Tanpa uang untuk membeli sepotong roti. Ibu. Yang justru meninggalkanku sendiri hanya untuk bertemu ibu dari ayah tiriku, lelaki ketiga ibuku.

Ingatanku melayang. Pada sebuah pagi sebelum aku berangkat sekolah.

“Mak, aku maem (aku mau makan),..” Aku merengek. Berharap suara lembut menyambut rengekanku.

“Njiko’o dhewe kono lho. Ngalem iki! (Ambil sendiri di sana lho. Anak manja!),” Suara membentak yang keluar dari tenggorokan ibuku itu, membuatku berjalan gontai ke tudung saji yang tertelungkup.

Ku lihat pemandangan di depanku. Hanya ada sebakul kecil nasi. Tak ada lauk untuk nasiku. Atau sekedar kerupuk pink sebagai pemanis. Hanya ada cairan berwarna cokelat kehitaman pada sebuah bungkus plastic bertuliskan ABC.

“Mak, lawuhe opo? (Bu, lauknya apa?)” Aku merajuk. Meminta ibu untuk memberikanku telur atau sekedar kerupuk. Sebagai teman nasiku. Tapi, ia justru menghujaniku dengan omelan. Dengan cercaan. Dengan makian.

Aku memilih diam. Agar ocehannya tak semakin panjang dan memekakan telinga. Aku mogok makan. Tapi, saat melihatku bersiap untuk berangkat sekolah tanpa menyentuh nasi yang telah ku pindah dalam piring, ibu menjauhiku. Mencari batang sapu di balik pintu.

Aku mempunyai firasat tak nyaman. Sebab aku telah menyapu lantai rumah sebelum mandi, pagi ini. Dan benar saja. Batang itu di arahkan pada pahaku. Dengan membabi buta ia memukulku. Aku tak mempunyai kesempatan untuk berlari. Saat batang sapu yang terbuat dari kayu itu patah, ibu menjambak rambutku yang keriting. Mengangkat tubuh ringkihku ke meja tempat sepiring nasi dan sebungkus kecap.

“Entekno! Lek Gak entek tak bandemno ning raimu! (Habiskan! Kalau tidak akan ku lempar ke wajahmu!),” Suaranya semakin keras menggelegar. Melebihi petir dan halilintar yang membuatku takut, saat harus melewatkan malam sendiri di rumah.

Aku bahkan tak punya gambaran sebagaimana lagu digambarkan tentang hubungan keluarga bahagia dan penuh kasih sayang, yang banyak diceritakan dalam pelajaran bahasa Indonesia dan Pendidikan Moral Pancasila. Aku hanya mempunyai bayang ketakutan akan masuk neraka jika membantah ibu sebagaimana gambaran pelajaran agama: Surga berada di telapak kaki ibu.

Akibatnya, aku berkali-kali berucap maaf pada sesuatu yang tak pernah ku lihat tapi mempunyai efek menekan dan menimbulkan rasa takut, saat sebersit pemikiran hadir dalam otakku: ibu pasti menggerutu saat aku dalam kandungnya. Ibu pasti berucap serapah saat berusaha mengeluarkanku dari rahimnya.

Tapi entahlah. Saat aku di ujung tanduk seperti saat ini. Saat seorang pendeta yang menolongku dari cengkraman prostitusi. Ia yang membayar semua tebusan. Ia bahkan yang mencarikanku pekerjaan pada sebuah bengkel kecil di ujung jalan menuju dermaga. Aku justru merasa membutuhkan perempuan bernama Ibu itu. Aku ingin ia adalah orang pertama yang merasa bangga mendengar aku akan menjadi anak terpandang dalam sebuah strata social kelas satu. Meninggalkan kasta sudra yang turun temurun ku sandang. Bahkan akan menempati posisi melebihi kasta kesatria kaum raja.

Aku justru merasa ingin pulang. Aku ingin berlari. Lagi… (tamat)

*Ibu Bagian II, klik di sini.
*Ibu Bagian I, klik di sini.


| republish | Please Send Email to: [email protected] |

16 Maret 2010

13 Minggu Menunggu Pemecah Mitos Baru

Jojo Raharjo

Piala Dunia adalah pesta besar. Sejak Presiden FIFA Jules Rimet mencanangkan perhelatan empat tahunan ini digelar pada 1930 di Uruguay, saat itu hanya diikuti enam negara, selanjutnya hajatan ini menjadi pagelaran akbar yang selalu dinanti para penggila bola. Maklum, sepakbola menjadi olahraga yang paling banyak digemari di muka bumi ini.


Total, dari penyelenggaraan Piala Dunia 1930 di Uruguay, 1934 di Italia, 1938 di Perancis, 1950 di Brazil, 1954 di Swiss, 1958 di Swedia, 1962 di Cili, 1966 di Inggris, 1970 di Mexico, 1974 di Jerman, 1978 di Argentina, 1982 di Spanyol, 1986 di Mexico, 1990 di Italia, 1994 di Amerika Serikat, 1998 di Perancis, 2002 di Korea-Jepang dan 2006 di Jerman telah tergelar 18 kali penyelenggaraan Piala Dunia.

Tentu saja, dari setiap Piala Dunia digelar selalu ditunggu siapa yang akan menjadi juaranya, sekaligus menasbihkan diri sebagai kekuatan terbaik sepakbola dunia selama empat tahun ke depan. Uniknya, dari lima benua di jagad ini, distribusi juara Piala Dunia masih menjadi rebutan antara benua Amerika dan Eropa. Dri benua Amerika tradisi juara hanya diwakili tiga negara, yakni Uruguay perebut piala pertama, Brazil si ‘jogo bonito’ alias penyuguh sepakbola cantik dengan tari sambanya, dan Argentina dengan goyang tangonya. Sementara itu, Eropa memiliki lebih banyak kekuatan yakni empat negara masing-masing Italia, Jerman, Inggris, dan Perancis.

Dari 18 kali even Piala Dunia, kini skornya sama. Amerika meraih sembilan piala (masing-masing Brazil lima dan Argentina serta Uruguay dua kali) dan Eropa juga sembilan kali juara (terbagi atas Italia 4, Jerman 3 dan masing-masing sekali oleh Inggris dan Jerman).

Satu fakta lain yang menarik yakni, dari benua manakah peraih juara dan di manakah Piala Dunia digelar? Secara berkembang mitos, saat Piala Dunia digelar di Amerika, maka juaranya selalu dari benua Amerika. Begitupula sebaliknya, saat World Cup mengambil even di Eropa, maka juara pun direbut wakil benua biru itu.

Semua skenario itu berjalan sejak awal Piala Dunia 1930 sampai penyelenggaraan kelima tahun 1954 di Swiss. Saat itu gelar juara terbagi tiga untuk Eropa, yakni dua kali saat Italia menjadi jawara di rumahnya (1934) dan di Perancis, serta Jerman di Swiss (1954). Sementara Uruguay dua kali menjadi pemuncak pada 1930 (di Uruguay) dan 1950 (di Brazil).

Pada gelaran keenam di Swedia tahun 1958, Brazil merusak mitos itu. Debut pertamanya meraih juara dicapai di benua Eropa, setelah meluluhlantakkan tuan rumah 5-2 di partai final. Adapun dua semifinalis lain, Perancis dan Jerman harus puas di posisi ketiga dan keempat.

Demikianlah, mitos itu terus bertahan awet selama 44 tahun. Anggapan itu semakin langgeng terutama saat tuan rumah menjadi juara, yang diraih Inggris (1966), Jerman (1974), Argentina (1978) dan Perancis (1998). Baru pada 2002, kesempatan memecah rekor terbuka saat ”benua ketiga” menjadi tuan rumah. Kali pertama, Piala Dunia digelar di Asia, dengan tuan rumah bersama Korea-Jepang. Dan, lagi-lagi Brazil menjadi pemecah mitos itu dengan menaklukkan Jerman 2-0 lewat sepasang gol ”si plontos” Ronaldo dalam partai final yang berlangsung di Stadion Internasional Yokohama, Jepang.

Empat tahun kemudian, tradisi lama berulang. Italia menjadi juara saat Piala Dunia di Jerman. Lebih tragis bagi wakil Amerika, tidak satupun di antara jagoan mereka lolos ke semifinal. Italia mengalahkan Perancis 5-3 lewat adu penalti setelah sebelumnya pertandingan berakhir 1-1 hingga masa perpanjangan waktu. Partai final di Stadion Olympia, Berlin, itu akan selalu dikenang karena terjadi insiden tandukan legenda Perancis Zinedine Zidane yang merasa diprovokasi pemain bertahan Italia Marco Materazzi hingga ”Zizou” mendapat kartu merah. Adapun di partai hiburan memperebutkan juara ketiga, tuan rumah Jerman mengalahkan Portugal 3-1.

Itulah sejarah 18 kali Piala Dunia; 9 untuk Amerika dan 9 untuk Eropa. Dengan dua kali pemecahan rekor dipegang Brazil yang sukses menjadi kampiun di luar kontinentalnya. Lalu, apakah kini pasukan Carlos Dunga akan mencetak rekor ketiga saat Piala Dunia ke-19 digelar di ”benua keempat”, Afrika mulai 11 Juni hingga 11 Juli mendatang?

Terserah bagaimana Anda menerka jawabannya sembari menunggu 13 pekan lagi bola bergulir. Hanya saja, dari awal saya tidak berpikiran begitu. Menurut saya, bukan wakil benua Amerika yang akan jadi juara di Afrika.

Btw, situs yang sama dua tahun lalu pernah memprediksi Spanyol menjadi Juara Piala Eropa 2008
| republish | Please Send Email to: [email protected] |

[ Cerita Pendek ] Ibu

Senja Madinah | Bagian II

“Nak, nyingkri, nak. Ndang nyingkri! (Nak, pergi nak, cepat pergi)” Sergah ibu, sambil berusaha memeluk erat kaki bapak, menghalangi serangan berikutnya. Aku tak punya pilihan lain. Aku menyambar tas yang tergolek di lantai. Lari sekencang mungkin. Menerobos kerumunan tetangga. Menuju jalan utama.

Dan begitulah pelarian keempat dalam hidupku. Karena laki-laki yang dinikahi ibuku. Karena laki-laki yang selalu melihat buah dadaku, saat bicara denganku. Ketergesaanku mulai mengendur saat kakiku merasakan panas aspalt hotmix yang mulai merayap hingga lututku. Aku bahkan tak sempat memakai alas kaki. Langkahku terhenti di warung kelontong nyaris tak terlihat di ujung jalan arteri, pinggiran kota menuju ke arah alun-alun kota. Sebatang pohon rindang menyelamatkanku dari sengatan matahari langsung.

Aku merogoh saku. Melihat sisa harta. Sepuluh ribu tiga ratus rupiah. Aku menelan ludah. Rasa lapar menyergap seiring kesadaran kemiskinan yang menyergapku sekarang. Tenggorokanku pun mengalami tuarang. Ludah di mulutpun kupaksakan masuk ke dalamnya untuk membuatnya sedikit basah. Meski gagal. Aku bimbang untuk membeli sandal atau menyelamatkan perutku dari kelaparan atau memberikan pertolongan pada tenggorokanku dari rasa haus.

Aku kembali berjalan melewati toko kelontong. Menghampiri sebuah rumah toko penjual roti. Aku melongok ke dalam toko. Ku lihat seorang pelayan toko sedang melayani lima pembeli. Dan seorang perempuan separuh baya sedang duduk di kursi kasir menghitung uang, sambil tangan kanannya tak lepas dari benda ajaib berisi angka.

“Cik, saya minta air pam di pancuran depan, ya?” Aku meminta ijin pada perempuan yang sedang duduk di kursi kasir itu. Semula ia acuh, tetap memencet-mencet tuts kalkulator. Tetapi, matanya memicing melihat kakiku yang bertelanjang dan kostum awut-awutanku. Jenak berikutnya, ia mengibaskan tangan kanannya, kembali tak peduli.

Aku membasahi tenggorokanku dengan air pam itu. ku minum sebanyak-banyaknya, berharap bisa menghilangkan rasa laparku pula. Setelah itu membasuk kaki dan mukaku dengan air itu.

“Kenapa nggak pakai sandal?” Tiba-tiba suara cempreng dari toko kelontong menyapa. Aku menoleh, tak tahu harus menjelakan apa. Tanpa terduga, ia justru menawarkan pekerjaan padaku. Setelah berbaik hati memberiku sandal jepit sebelah kana semua. Aku menerimanya sebagai sebuah berkah.

“Oe bisa antal lu olang ke Tanjung Pinang aa, jadi pelayan lestolan di sana. Gajinya besal, (Saya bisa antar kamu ke Tanjung Pinang, jadi pelayan restoran di sana. Gajinya besar)” Bujuknya dengan suara yang sengau hampir tertindas ludah. Aku ragu.

“Tak usah pikil biaya, Oe bisa sediakan dulu. Nanti kamu bayal pake gaji yang kamu dapat. Dicicil setiap bulan,” Ia seolah bisa membaca pikiranku. Aku mengangkat dagu. Takut-takut melihat seluruh tubuhnya yang gembil berwarna putih dengan gajih di pipi, lengan bahkan mungkin pahanya. Aroma tubuhnya sedikit mengganggu perutku yang keroncongan belum makan.

“Jadi TKW Cik?” Tanyaku meminta penjelasan.

“Haiyaaa… Tolol kali lu ya, Tanjung Pinang masih di wilayah Indonesia, aa. Tapi dekat dengan singapuul, Malaysia,” Jelasnya, geregetan. “Kelja jadi TKW lu cuma dijadiin jongos, di lumah. Jadi gak bisa gaya-gaya. Belum lagi kalo lu dipukuli majikan. Tapi, di Tanjung Pinang, lu jadi pelayan lestolan. Kalau mau jadi altis juga bisa,” Dari penjelasan panjang itu, yang ku mengerti hanya 10 persen.

“Saya nggak bawa ijazah, Cik,”

“Tak usah pikil-pikil ijajah. Di sana mau kelja, bukan mau kasih pamel ijajah,” Ia menepuk-nepun pundakku.

Aku hanya sempat menelephon ibu dan mengatakan niatku untuk bekerja di tanjung pinang. Ada 7 orang lagi bersamaku, saat berangkat ke Tanjug Pinang. Ku lihat mereka. Perbedaan usia yang ekstrim. Aku yang berusia hampir 18 tahun, ada perempuan yang menurutku sekitar 30 tahunan. Seorang ibu-ibu yang duduk bersamaku kini malah berusia hampir 50 tahun! Ah, mungkin ia bertugas sebagai juru masaknya.

Tacik yang penuh dengan gelambir gajih itu berubah sikap saat perjalanan menuju Tanjung Pinang. Menjadi judes dan culas. Tak ada lagi makan gratis setelah kami berada di mini bus dan kapal laut. Uangku yang tinggal sepuluh ribu dirampas, dengan alasan membayar konsumsi. Tak ada lagi sikap ramah dan sok pehatian membesarkan hati, saat kami memasuki dermaga.

Aku sempat memperhatikan rumah makan yang akan menampung kami sebagai pekerja. Keningku mengernyit. Letaknya di deretan paling ujung pantai. Menghadap ke pantai. Sekilas bangunannya tak berbeda dengan gedung-gedung pencakar langit seperti yang pernah ku lihat di Surabaya. Sayang sekali. Karena cirri khas Tanjung Pinang sama sekali tak tampak dari luar bangunan. Restoran yang aneh. Gelap dan lebih banyak lampu warna-warni.

Tak sampai lima menit dari kedatangan kami di kamis justru disuruh mandi dan menggunakan baju yang telah disediakan. Digiring ke sebuah aula, yang terletak di lantai dua, sebelah kanan deretan kamar-kamar. Di Aula itu, ternyata lebih banyak lagi orang yang bernasib sama dengan kami. Ini membuatku ciut, kalau-kalau aku tak diterima bekerja di tempat ini. kami di suruh berdiri saat seorang laki-laki berbadan tambun berkepala botak datang.

Laki-laki itu menunjuk satu persatu dari deretan 50 perempuan di kanan dan kiriku. Kulihat, tiga perempuan tercantik di antara kami yang terpilih. Bertubuh semampai, berkulit putih, dan berambut panjang. Meskipun wajah mereka sama lugunya dengan wajah kami yang kuyu. (bersambung)

*Ibu Bagian I, klik di sini.
*Ibu Bagian III, klik di sini.


| republish | Please Send Email to: [email protected] |