Senja Madinah
Mataku mengerjap. Saat udara dingin menelusup kulit keringku. Udara lembab menusuk-nusuk tulang yang hanya dibungkus dengan daging sekelumit. Baju rangkap yang ku kenakan tak membuat gigilku hilang. Bulan ini masuk musim angin. Aku bahkan tak berani menyentuh air laut yang biasanya hangat. Kalau memasuki musim angin begini, air laut bahkan di bawah 0 derajat celcius.
Pandangku berpendar. Sekelebat terlukis bangunan-bangunan bersemen kokoh. Beratap biru. Daratan masih sekitar 100 meter dari tempatku berdiri di perahu kecil ini. Tak sampai sepuluh menit lagi aku akan sampai di pelabuhan Kalabahi. Pelabuhan terbesar di kepulauan Alor, tempat aku tinggal selama ini.
Tidak, aku tidak tinggal di sana, di pulau Alor besar. Meski pulauku masih bagian dari Kabupaten Alor. Aku hanya mengunjungi pusat kabupaten itu setidaknya sebulan sekali, saat mengantarkan mutiara-mutiara nan indah, hasil kami menyelam. Mutiara-mutiara asli, bukan hasil budidaya seperti yang dilakukan di Teluk Mutiara.
Hidupku lebih banyak di perairan dekat pulau Pura Tereweng, berpuluh-puluh mil dari Alor Besar. Bersama laut yang indah, dengan segala biotanya. Bersama lumba-lumba. Bersama alam yang masih perawan, dengan pohon kelapa yang menjulang. Bersama udara yang masih pekat, begitu segar. Bersama bagan keramba ikan. Bersama senja yang magis. Bersama bulan dan ribuan bintang, kala malam. Bersama ayah, ibu dan 4 saudara. Bersama paman dan bibi, serta kerabat hasil mereka beranak pinak. Juga seorang kakek, sahabatku bercerita, tempatku mendengar.
Kami, para lelaki adalah penyelam yang handal. Pencari mutiara. Sementara, perempuan kami bekerja sebagai penumbuk kemiri atau biji kacang. Tak satupun dari kami yang bersantai. Demi sebuah hidup yang entah seperti apa nantinya.
Pekat kabut yang menyelimuti Alor besar dan teluk mutiara mulai tersingkap seiring mendekatnya perahuku ke pelabuhan. Di tempatku berdiri, aku melihat banyak orang-orang berbeda dengan ku. Yang biasanya datang menggunakan kapal veri. Kapal yang jauh lebih besar daripada sampan kami. Tapi, mereka lebih banyak mengunakan pesawat perintis yang mendarat di Mali. Konon, kapal itu membawa mereka dari Kupang, hingga sampai ke Alor. Sebelum dari Kupang, entahlah…
Mereka, yang datang ke pulau ini, orang-orang bertubuh tinggi menjulang. Dari belahan barat, jika Indonesia disebut timur. Dari belahan utara, jika Indonesia disebut selatan. Merekalah yang lebih banyak membeli mutiara-mutiara kami. Tapi, tentu saja, kami tak langsung menjualnya kepada mereka. Karena telah ada majikan yang menunggu hasil mutiara yang kami bawa. Entahlah berapa uang yang kami dapatkan.
Orang bertubuh tinggi menjulang itu, dengan wajah yang tirus dan warna rambut kuning keemasan. Sangat kontras dengan kulit kami yang mendekati legam. Biasanya kami hanya melempar senyum. Karena kami tak pernah mengerti bahasa yang mereka gunakan. Ah, mungkin merekapun tak mengerti yang kami ucapkan. Mereka begitu suka menyorongkan benda berwarna hitam berbentuk kotak pada badannya dan berbentuk tabung pada bagian depan, ke arah kami. Bunyinyapun sangat aneh, cekrek… cekrekkk… Mereka menamainya kamera. Belakangan ada yang digital. Dengan harga yang bervariasi. Mulai dari satu juta hingga 20 jutaan. Lebih gila lagi harga barang elektronik bernama handycam, laptop, ah, dan yang saat ini lagi In, Blackberry… Banyak sekali. Aku sering melihatnya dari surat kabar dan majalah yang aku dapatkan bulan lalu, yang diterbitkan dua bulan sebelumnya.
Dengan sigap, aku melompat ke daratan, saat perahu kami menepi. Membantu bapakku menurunkan sejumlah barang. Ya, selain membawa mutiara, perahu kami juga membawa lima karung kemiri.
“Nak, pergilah mencari surat kabar pesanan kakekmu,” Teriakan tak ramah ayahku menghentikan kegiatanku yang berusah payah memikul sekarung kemiri kupas. Sontak, pamanku, Linus, menurunkan kembali karung kemiri kupas tadi dari punggungku.
Aku berlari, menuju daratan. Mendatangi sebuah toko kecil yang lebih mirip kios milik Yustinus. Kios terbuat dari gerobak. Beroda dua, berkaki tiga.
“Kakak, adakah Koran yang datang pada hari ini?” Sapaku pada laki-laki setengah baya tapi telah beruban di depanku ini.
“Ah, Kau,.. seperti tak pernah tahu saja jika pulau kita ini hanya mendapatkan pasokan surat kabar sebulan sekali. Dan pastilah beritanya sudah basi.” Sergahnya sambil menyorongkan setumpuk Koran berbagai jenis dan judul kepada ku. Aku hanya tertawa mendengarkan gerutunya.
“Untuk apakah kau membacanya, Nak?” Tanyanya.
“Aku ingin pandai, kakak.” Jawabku pendek, sambil membuka-buka Koran terbitan Jakarta.
“Jadi apakah kelak kau jika pandai? Dan berapa lamakah kau membutuhkan waktu akan pandai? Sekolahmu saja harus menunggu guru yang datang untuk mengajar. Lebih sering libur karena alasan badai laut.” Gerutunya tanpa memandangku dan tetap fokus pada pekerjaannya.
Aku tergelak mendengar keluhannya. Ya, di pulau ini, para guru sering kali tidak mengajar jika badai laut datang. Atau juga hujan yang sangat lebat. Aku sering kali harus menunggu sendiri di kelas. Karena di kelasku itu, teman-teman seusiaku akhirnya malas pula masuk sekolah. Mereka mengatakan sia-sia. Mereka lebih suka melaut bersama orang tuanya. Murit yang malas dan guru yang tak peduli,…
“Aku akan menjadi pemimpin negeri ini, kak,” Jawabku sambil memainkan mata dengan jenaka.
“Hah, bisakah kau menggantikan laki-laki tua itu? Sejak aku kecil, bahkan sejak ayahku bujang, laki-laki itu saja yang menjadi presiden,” Aku mengernyit.
“Soeharto?” Gumamku, tak yakin dengan dimaksudnya.
“Siapa lagi? Bukankah dia masih menjadi presiden?” Sergahnya tak peduli. Aku tertawa sekaligus sedih. Meski bekerja di sekitar pelabuhan Kalabahi, laki-laki berambut keriting yang tinggal di pedalaman pulau Pantar Alor itu sama sekali tak tersentuh informasi. Kekayaan dan keindahan alor tak membuatnya, dan kami, turut merasakan kenyamanan seperti yang diberitakan. Tentang diving, tentang snorkling. Permainan-permainan yang banyak dilakukan orang-orang tinggi menjulang itu. Di Pulau Kepa, atau Teluk Mutiara, atau Alor Kecil, atau, entahalah, banyak sekali tempat yang mempesona di pulau ini. Tapi kami, tetap saja harus bekerja keras menghindari kelaparan, meski tetap terjerat kemiskinan.
“ Tidakkah kakak ikut pemilu presiden tahun 2004 lalu? Bahkan sebelumnya, presiden kita telah berganti tiga kali, Kak, setelah Soeharto.” Aku mengingatkannya.
“Ah, masa? Ku kira, sama saja. Lalu siapa presiden kita sekarang? Tidakkah kau merasa mereka mirip?” Jawabnya tetap tak peduli.
Iya kakak, mereka sama, batinku. Tidak hanya presiden yang sekarang berkuasa yang mirip dengan presiden Soeharto. Tiga presiden sebelumnya juga sama saja. Kau, aku, dan semua penduduk di Alor ini, tanpa pernah mencecap madu pembangunan, telah menanggung hutang Negara pada lintah darat IMF tanpa pernah tahu telah kita apakan uang pinjaman itu? Akibat ulah mereka. Pertumbuhan dan peningkatan sisi ekonomi sebagai keberhasilan pemerintah, yang digembar-gemborkan di sejumlah koran dan majalah yang aku baca bulan lalu, sama sekali bullshit! Sebab hidup kami tetap saja seperti ini. Di antara kubangan kekurangan dan kemiskinan. Meski kami tetap bahagia. Terpaksa bahagia,…
“Kakak, bahkan kita akan memilih presiden lagi, beberapa hari lagi,” Aku menjelaskan.
“Ah, mengapa dipilih lagi? Apa pengaruhnya bagi kita? Tokh kita, sejak turun-temurun, beginilah nasibnya. Tak berubah. Malah semakin sulit. Orang-orang berkulit putih itu banyak datang kemari. Katanya membayar untuk melihat kehindahan Alor kita. Tapi apa yang ku dapat tokoku tetap saja seperti ini, toko peninggalan ayahku. Malah kemarin aku diberinya surat pemberitahuan penggusuran. Katanya karena tokoku ini tak elok dipandang. Semacam kaki lima atau apalah dia kata. Sudah ku bilang, kaki masih ada dua, kenapa disebut lima? Nah kau, nak, orang-orang yang memberiku surat itu katanya orang berpendidikan. Tapi tak bisa membedakan jumlah kaki seseorang. Beruntunglah dia tak sebut aku berkaki empat macam hewan. Kalau sampai terlontar, ku panggil kawan-kawan sekampungku, ku suruh serang, dan kita berperang,” Protes polosnya semakin membuatku termangu.
Dia benar. Tak ada yang berubah dalam kehidupan kami. Meski presiden telah berganti. Meski wakil rakyat berganti. Koran dan majalah yang aku baca, sebulan sekali datang. Sepeda motor hanya dikenal di masyarakat pelabuhan kalabahi atau ibu kota Mali. Selebihnya, kami mengenal kaki sebagai alat transportasi.
Dulu, waktu jaman pak Tua itu, kami dipaksanya makan nasi. Demi alasan kesejahteraan. Padahal, tanah kami tak bisa menghasilkan padi. Kami bahkan harus muntah selama berbulan-bulan untuk belajar makan nasi. Sekarang, setelah semuanya terbiasa, kami harus menunggu pasokan dari jawa atau tempat lain.
Aku melangkah gontai. Tetap membawa setumpuk Koran dan majalah yang aku pesan tadi. Pikiranku berkecamuk. Memikirkan kembali cita-citaku. Menjadi orang pandai? Menjadi pemimpin negeri ini?
“Pandai saja tidak cukup cucuku, negeri ini telah dipenuhi orang pandai. Tapi tak pernah selesai juga urusan pencurian. Mulai dari pencurian karena urusan perut, sampai pencurian karena urusan serakah,” Itu dikatakan kakekku, saat aku mempertanyakan kenapa aku harus pandai. Di suatu malam saat aku tak bisa lagi menemukan jawaban atas pertanyaan Yustinus.
Ya, Kakeklah yang memintaku untuk menjadi orang pandai. Selalu membaca. Mencekoki ku dengan buku-buku tua yang disorongkannya padaku. Buku-buku koleksinya, yang entah didapatkan dari mana. Membaca Koran-koran juga majalah atau apa saja. Bahkan ia mengajariku membaca situasi, membaca tanda-tanda alam, membaca otak-otak culas atau juga membaca penderitaan orang lain.
“Terlalu banyak kepura-puraan yang dibangun di negeri ini, nak. Kebenaran ditutupi demi kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat. atas nama proletar, atas nama kaum buruh dan pekerja. Atas nama kaum tani dan kaum miskin. Atas nama warna kulit atas nama bangsa atau etnis. Atas nama entah apa lagi,” Itu diceritakannya sebagai dongeng sebelum tidur, di malam-malam sebelumnya.
“Semuanya, cucuku, meletakkan kekuasaan sebagai tujuan. Orang-orang pintar itu, tak pernah miris dengan berpuluh juta korban yang berjatuhan yang diakibatkan. Dan mereka yang berlabuh di singgasana kekuasaan, mengabaikan yang diatasnamakan tadi. Sibuk mengurusi kekuasaan, selingkuh dan memperkaya diri. Mereka bersandiwara dan main komedi,” Itu dikatakannya sambil menatap jauh ke depan. Memandang bintang-bintang di langit kami yang belum tercemar dengan cahaya lampu.
“Jaman ini, atau jaman lalu. Tak ada yang berubah, nak. Sesuatu yang ideal justru digerus jaman. Tengoklah Tan Malaka, orang pertama yang mempunyai ide tentang republik ini. Naar de Republic. Ia, tak pernah menjadi apa-apa. Ia dikhianati oleh orang-orang yang justru menggunakan otaknya untuk memimpin negeri ini. Haha, kuburannya saja tak pernah ditemukan,” Ada nada kemarahan saat ia mengucapkan rangkaian kata terkahir ini.
“Lalu kenapa aku harus pintar, Kek. Tidakkah kakek takut aku seperti mereka?” Tanyaku heran. Lebih heran lagi dengan penjelasannya.
“Untuk sebuah perubahan, cucuku. Kau akan membunuh semua orang yang telah menjual Negara ini. Kau akan memotong generasi yang memperkosa nusantara ini. Karena keserakahan berbungkus intelektualitas mereka hanya akan dilawan dengan kepintaran pula. Tidak dengan kebodohan,” mata tua itu menyorot syarat harap.
Kakek, yang selama ini ku kenal hanya memegang kail untuk memancing ikan di laut lepas, dan sesekali mencatat tentang sajak-sajak di sebuah buku usang. Kakek yang hanya mengeluarkan satu persatu buku yang disimpannya di sebuah peti tua. Untuk ku baca. Menjawab sesekali tentang yang tak ku mengerti dari buku-buku tua itu. Dan lebih suka berbicara banyak saat aku beranjak tidur. Menceritakan tentang nusantara sebagai dongeng. Bumi pertiwi yang sakit. Yang dikhianati oleh anak-anaknya sendiri…
“Tenanglah, kau tidak sendiri. Orang-orang terlupakan itu telah mempersiapkan titisan mereka untuk berjuang bersamamu. Hampir di seluruh negeri ini. Kau akan terhubung dengan mereka, suatu saat nanti. Kami memang harus menunggu dan bersabar. Untuk melakukan perubahan ini.
“Kelak, saat terjadi revolusi, buatlah revolusi yang sempurna. Jangan seperti beberapa perubahan yang terjadi selama ini. Entah revormasi atau orde baru, yang tampak seperti orang operasi Caesar. Tuntaskan semua, cucuku, karena perubahan ini untuk kekekalan,” Tatapnya semakin jauh ke depan, ke laut lepas.
“Lalu siapa kakek, sebenarnya?” Tanyaku penasaran.
“Aku, termasuk dari orang-orang terlupakan itu,” Jawabnya sambil bernafas, berat.
11 Juli 2009
04 Juli 2009
Revolusi Kaum Santri, Sekarang!
Basyirun Adhim
Sebuah potensi yang besar namun belum termanfaatkan secara benar manakala kita melihat temuan data berikut, di Jakarta (19.350 santri), Jawa Barat (620.712 santri), Jawa Tengah (442.862) dan Jawa Timur, (1.169.256). Ya. Ternyata jumlah santri di Jawa Timur menduduki peringkat pertama alias terbanyak se-Indonesia. Mereka tersebar di tiga ribu lima ratus delapan puluh dua pesantren. Para santri ini kebanyakan berusia remaja. Mereka adalah kaum muda potensial yang kenyang ayat-ayat motivasi dari kitab suci, dan menghafal dogma tentang amal berpahala serta imbalan syurga. Dari segi jumlah, mereka ini adalah kader militan sekaligus “carrier” yang bisa menyebarkan virus perubahan positif kepada komunitasnya. Sungguh sebuah potensi yang layak digali. Karena mereka ini akan mewarisi keberlangsungan perjuangan ibu Pertiwi. Mari kita bangunkan mereka dengan semangat pekik revolusi: “Wake up, Bro!”
Sejarah perjalanan panjang pesantren setidaknya telah mengantarkan lembaga pendidikan ini pada dua peran besar, yaitu peran sebagai “lembaga pendidikan agama” dan peran sebagai lembaga sosial kemasyarakatan (Amin Haidari : 2005)
Bila ditarik ke era revolusi kemerdekaan, rekam jejak peran pesantren sungguh luar biasa. Salah satunya adalah sebagai wadah penggodokan ideologi patriotik para pejuang dalam mempertahankan eksistensi republik. Laskar Hizbullah merupakan wadah santri dalam jihad melawan penjajah. Panglima TNI Jendral Sudirman juga pernah berguru di pesantren.
Insitusi pendidikan tertua di negeri ini juga turut andil dalam mendukung berbagai front pertempuran melawan penjajah. The Battle of Surabaya 10 November 1945, menyuguhkan kisah heroik kaum santri yang datang bergelombang dari Gresik, Lamongan, Jombang, Lumajang, Mojokerto, Pasuruan, dan daerah basis santri lainnya dalam rangka mempertahankan Surabaya dari gempuran Sekutu Inggris-Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya hingga kini, pesantren tetap eksis bertahan di tengah kepungan lembaga pendidikan formal (seperti sekolah) yang lebih diakui keberadaannya oleh masyarakat dan fasilitasnya dipermudah pemerintah.
Sayangnnya, usia keberadaan pesantren yang telah mapan belum diiringi kualitas pelayanan masyarakat yang memadai dan riil dirasakan langsung. Setidaknya itu yang terpotret saat ini. Peran Pesantren seolah mengerdil dan tenggelam dalam wacana kitab agama dan pembahas fatwa saja. Sedang peran nyata social lingkungan kemasyarakatan diambil alih oleh instusi sipil seperti CSO (civil society organization), lembaga peduli, akademisi kampus, aktifis LSM, komunitas peduli, individu tertentu, dst.
Kaum santri, kenali Lingkunganmu! Banguankan Potensi dan Catat Prestasi!
Apa yang akan kita lakukan bila melihat rekaman berita seperti di URL berikut ini: ???
Indonesia Juara Perokok Remaja Terbanyak di Dunia
http://www.indonesiaindonesia.com/f/33388-indonesia-juara-perokok-remaja-terbanyak-dunia/
Selama ini pesantren belum tersentuh dalam pemberdayaan kesehatan. Pesantren terkesan kumuh, manakala ada santri yang sakit (menular), tidak menutup kemungkinan santri yang lainpun akan terjangkit penyakit tersebut.
http://www.hupelita.com/baca.php?id=225
Disinyalir terdapat 500 lebih cuplikan film porno yang menggambarkan hubungan sex orang-orang Indonesia yang dibuat dengan menggunakan Handphone dan Vidio Kamera. 90% adegan cuplikan film porno dilakukan oleh anak muda SMA dan Mahasiswa. 8%nya berasal dari rekaman prostitusi, para pejabat pemerintah (DPR dan Pegawai Negeri). 2% nya adalah cuplikan kamera pengintai yang mengambil gambar para wanita-wanita muda yang sedang bugil tanpa sadar di toilet ataupun dikamar hotel.
http://tvlab.blogspot.com/2007/04/kampanye-nasional-anak-muda-indonesia.html
Tentu kita kaum santri akan miris dengan fakta diatas. Sebagai bagian dari kaum muda dan generasi penerus bangsa, sepantasnya kita malu dengan kekonyolan perilaku itu. Namun alangkah baiknya bila kita bijak untuk refleksi ke diri untuk selajutnya mempersiapkan aksi nyata perbaiki segera. Dari pada menyalahkan pihak lain untuk dicaci maki.
Revolusi peran. Dari yang semula hanya berkutat dengan kitab dan meja diskusi, sekarang harus bergerak dinamis dengan rumusan isu strategis. Lekas mengambil peran sosial kemasyarakat yang bisa di lakukan sesuai kompetensi dan kecakapan. Menjadi seorang santri Sosio-Enterpreneur. Kaum santri yang memiliki nalar kecerdasan spiritual, kesalehan sosial, bernilai jual dalam kerja profesional serta berwawasan universal.
Di pesantren Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Lamongan, ada remaja kader Wali Lingkungan yang setiap waktu berkampanye tentang kebersihan dan demo aksi cinta lingkungan. Mereka terwadahi dalam Kelompok Santri Pecinta Alam dan Lingkungan atau KSATRIAKU. Setiap hari mereka berlomba membersihkan kompleks pesantren dan lingkungan RT tanpa tergantung jadwal piket regular. Mereka juga punya program Biogas Santri. Sebuah percontohan pemanfatan limbah manusia untuk energi alternatif/bahan bakar. Untuk aksi peduli dan pendidikan kebencanaan, ada unit kegiatan Santri Tanggap Bencana (SANTANA) yang telah melayani masyarakat dari Aceh hingga Papua.
Mereka mendedikasikan itu sebagai amalan kauniyah sebagai sesama hamba Allah yang harus saling bantu. Itu contoh kecil revolusi peran yang boleh ditiru. Intinya kerja. Jangan banyak bicara. Apalagi hanya hapal dalil agama tanpa ada niat melaksanakannya.
Penulis yang sejak sejak 1997 aktif di berbagai kegiatan community development membuktikan bahwa peran santri sangat luar biasa jika dikelola dengan seksama. Di Aceh selama kurun 2005-2007, penulis banyak terlibat kegiatan pemberdayaan masyarakat yang mengangkat peran santri. A.l kampanye pencegahan dan penghapusan pekerja anak (IPEC-WFCL/International Program on the Elemination of Childlabor-Worst Form Child Labour) bersama UN-ILO. Segitiga dukungan Thaliban (santri), institusi Dayah (pesantren) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) yang menjadi vocal point, sangat membantu suksesnya program tersebut. Keberhasilan yang sama melalui peran mereka juga penulis rasakan ketika menggiatkan program internet masuk gampong dengan fasilitas Pre-Wimax. Sebuah proyek ujicoba bersama Yayasan SPMAA, Yayasan Air Putih dan Intel Corporation.
Dengan peran nyata ini, stigma buruk yang selama ini lekat dengan ‘penampakan’ santri akan terkikis dengan sendirinya. Penulis sendiri beberapa kali mendengar sindiran, “santri tumo sarungan”, “santri nihil prestasi” dan julukan tak enak lainnya.
Revolusi Informasi. Remaja dan kaum muda menjadi bidikan pangsa pasar potensial para penjaja ideology, penyebar informasi dan juga produsen consumers good. Di sinilah informasi menggerojok telinga, mata dan pikiran remaja secara terus-menerus lewat berbagai media. Terutama ajakan melalui iklan. Kalau tidak jeli menyerap informasi, maka remaja dapat tersesat. Contoh sederhana tentang isu kesehatan reproduksi. Kalau tidak hati-hati mengolah-menyampaikan dan menangkap pesannya, kaum muda seolah digiring untuk memasuki wilayah bebas norma bernama ZINA.
Maka para remaja khususnya santri harus revolusi. Imbangi informasi. Jangan hanya puas menerima, membaca, dan mendengar dari buku teks saja. Buatlah informasi pembanding yang setara. Tulislah informasi penyeimbang. Cerahkan benak masyarakat dengan informasi yang kita buat. Tebarkan jejaring informasi di antara puhak peduli.
Ayat-ayat kitab suci yang menukil isu kesehatan, lingkungan, hidup hemat, larangan konsumtif berlebihan dan ajakan kebersihan sangatlah banyak. Pakailah itu sebagai bahan penahan iklan dagangan yang kadang keterlaluan menyesatkan.
Santri SPMAA terlibat dalam aksi Environment Parliament Watch (EPW). Sebuah aksi pemantauan dan advokasi pengawalan siapa wakil-wakil rakyat di parlemen yang betul-betul peduli lingkungan dan kesehatan. Ini adalah contoh santri bisa melakukan revolusi informasi.
Revolusi informasi juga dapat diejawentah melalui tafsir AlQuran yang relevan dengan dinamika jaman. Selanjutnya tafsir itu diamalkan melalui kegiatan yang bermanfaat nyata untuk umat. Persoalan gap kemiskinan, sistem pendidikan, fatsun politik, madzhab ekonomi, isu lingkungan semuanya pararel dengan misi suci para santri. Tinggal bagaimana upaya connect the unconnect dan melibatkan berbagai potensi yang ada. Itu keterampilan dasar yang belum dimiliki santri saat ini.
Revolusi Waktu. Bila selama ini pola belajar di pesantren harus lama dan menamatkan tumpukan kitab berjenjang-jenjang, maka pemahaman itu harus diubah. Yang benar dan efektif adalah, sekali menerima materi dari kitab suci, amalkan segera. Jangan ditunda sedetikpun. Terima materi langsung dipraktikkan. Satu teori satu praktik perbuatan. Satu dalil satu pekerjaan riil. Mendapat satu ayat harus berwujud satu kerja yang bermanfaat untuk umat. Begitu seterusnya.
Dengan pola belajar seperti ini, maka santri akan menjadi manusia pembelajar yang produktif. Bukan sekadar santri yang hapal dalil aqli dan naqli tapi nihil dari segi pengamalannya. Bukan orang BUTA (Banyak Ucap Tanpa Amal). Dengan pola belajar ‘satu dalil satu pekerjaan riil”, waktu belajar di pesantren bisa dihemat. Selebihnya untuk pelayanan kepada masyarakat.
Kita bisa belajar dari kisah KH. Ahmad Dahlan ketika mengajarkan surat Al Maaun kepada santrinya. Surat Al Quran itu menerangkan pesan bahwa seseorang bohong dengan pengakuan beragamanya jika acuh dan tak mau kampanye peduli nasih anak yatim. Surat/ayat ini terus diajarkan kepada santri meski secara teks mereka sudah hafal.
Suatu saat ada santri yang berani menanyakan tentang hal itu. Lalu KH. Ahmad Dahlan bermaksud menguji mereka. Beliau mengajak para santri jalan-jalan. Saat bersua seorang anak yatim, para santri diam berlalu begitu saja. Mereka abai terhadap keadaan si yatim. Padahal kalau sudah mengerti terjemahan konstektual dari surat/ayat Al Quran yang selalu diajarkan sang Kyai tadi, para santri itu bisa menghibahkan bekal makanan yang dibawanya untuk sedikit mengurangi beban hidup si yatim. Setelah dijelaskan, para santri mengerti kenapa KH. Ahmad Dahlan terus saja mengajarkan surat Al Quran itu kepada para santri.
Revolusi paradigma. Penting untuk menghindari pola pikir santri yang berdiri di menara gading, yang tak tersentuh dan tak menyentuh bumi (baca:kebutuhan umat). Karena selain akan menghadapi murka Allah / kaburo maqtan indallaah an taquuluuna ma laa taf'aluun, juga akan menghadapi stigma masyarakat bahwa menjadi santri itu "tidak produktif".
Otokritik bagi para pengelola pesantren untuk berani mengubah dua paradigma pendidikan pesantren : 1) kelompok Salaf yang memprioritaskan pada ritual dan kajian kitab/tekstual. Sehingga kurang hemat waktu karena butuh masa belajar relatif lama tinggal di pesantren. Keberpihakan riil terhadap isu-isu aktual sosial kemasyarakatan juga lemah. 2) Sementara kelompok modern (Kholaf) merasa sudah modern karena memberikan skill tambahan yang berorientasi ekonomi kewirausahaan. Namun yang luput disadari dari sini adalah lahirnya keluaran alumni yang bermadzhab ”binatang ekonomi”, melupakan ciri khas santri yang lebih mengedepankan kebersamaan. Sehingga yang dihasilkan adalah (lagi-lagi) skilled person yang individualis nan jauh dari kepekaan sosial.
Menarik bila mengamati apa yang ada di pesantren SPMAA. Mereka membangun pondasi kejiwaan santri melalui model pesantren yang mendekatkan santri pada realitas kebutuhan ummat. Yakni dengan cara membangun suatu komunitas kaum papa dalam satu kompleks pendidikan.
Dalam kompleks ini tinggal para penyandang masalah sosial dari usia baliat hingga lanjut usia. Ada anak jalanan, lansia telantar, sexual child abuse, perempuan korban traffickking, suami korban tindak kekerasan, ex nara pidana, bekas pecandu narkoba, anak autis, dst. Sehingga santri benar-benar live in bersentuhan langsung dengan apa yang akan mereka hadapi dan bagaimana seharusnya mereka bersikap. Monitoring bisa dilihat langsung dilakukan atas respon dan prilaku santri bagaimana mereka mengejawantahkan materi ajar yang diterima dengan lingkungan sekitar.
Sebagai usulan dari tulisan ini, kita berharap para pihak yang selama ini concern terhadap pergerakan kaum muda Indonesia supaya melibatkan peran aktif para santri. Sungguh potensi pesantren tidak kalah bagusnya bila dikelola dan di explore secara memadai. Kaum santri lebih fanatik karena mereka menyandarkan (setidaknya dalam teori) pikiran, ucapan dan tindakannya pada teks-teks dogma yang berlaku kontemporer.
Akhirnya seruan kita bersama adalah: WAKE UP BRO!! Saatnya Revolusi Kaum Santri.
Sebuah potensi yang besar namun belum termanfaatkan secara benar manakala kita melihat temuan data berikut, di Jakarta (19.350 santri), Jawa Barat (620.712 santri), Jawa Tengah (442.862) dan Jawa Timur, (1.169.256). Ya. Ternyata jumlah santri di Jawa Timur menduduki peringkat pertama alias terbanyak se-Indonesia. Mereka tersebar di tiga ribu lima ratus delapan puluh dua pesantren. Para santri ini kebanyakan berusia remaja. Mereka adalah kaum muda potensial yang kenyang ayat-ayat motivasi dari kitab suci, dan menghafal dogma tentang amal berpahala serta imbalan syurga. Dari segi jumlah, mereka ini adalah kader militan sekaligus “carrier” yang bisa menyebarkan virus perubahan positif kepada komunitasnya. Sungguh sebuah potensi yang layak digali. Karena mereka ini akan mewarisi keberlangsungan perjuangan ibu Pertiwi. Mari kita bangunkan mereka dengan semangat pekik revolusi: “Wake up, Bro!”
Sejarah perjalanan panjang pesantren setidaknya telah mengantarkan lembaga pendidikan ini pada dua peran besar, yaitu peran sebagai “lembaga pendidikan agama” dan peran sebagai lembaga sosial kemasyarakatan (Amin Haidari : 2005)
Bila ditarik ke era revolusi kemerdekaan, rekam jejak peran pesantren sungguh luar biasa. Salah satunya adalah sebagai wadah penggodokan ideologi patriotik para pejuang dalam mempertahankan eksistensi republik. Laskar Hizbullah merupakan wadah santri dalam jihad melawan penjajah. Panglima TNI Jendral Sudirman juga pernah berguru di pesantren.
Insitusi pendidikan tertua di negeri ini juga turut andil dalam mendukung berbagai front pertempuran melawan penjajah. The Battle of Surabaya 10 November 1945, menyuguhkan kisah heroik kaum santri yang datang bergelombang dari Gresik, Lamongan, Jombang, Lumajang, Mojokerto, Pasuruan, dan daerah basis santri lainnya dalam rangka mempertahankan Surabaya dari gempuran Sekutu Inggris-Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya hingga kini, pesantren tetap eksis bertahan di tengah kepungan lembaga pendidikan formal (seperti sekolah) yang lebih diakui keberadaannya oleh masyarakat dan fasilitasnya dipermudah pemerintah.
Sayangnnya, usia keberadaan pesantren yang telah mapan belum diiringi kualitas pelayanan masyarakat yang memadai dan riil dirasakan langsung. Setidaknya itu yang terpotret saat ini. Peran Pesantren seolah mengerdil dan tenggelam dalam wacana kitab agama dan pembahas fatwa saja. Sedang peran nyata social lingkungan kemasyarakatan diambil alih oleh instusi sipil seperti CSO (civil society organization), lembaga peduli, akademisi kampus, aktifis LSM, komunitas peduli, individu tertentu, dst.
Kaum santri, kenali Lingkunganmu! Banguankan Potensi dan Catat Prestasi!
Apa yang akan kita lakukan bila melihat rekaman berita seperti di URL berikut ini: ???
Indonesia Juara Perokok Remaja Terbanyak di Dunia
http://www.indonesiaindonesia.com/f/33388-indonesia-juara-perokok-remaja-terbanyak-dunia/
Selama ini pesantren belum tersentuh dalam pemberdayaan kesehatan. Pesantren terkesan kumuh, manakala ada santri yang sakit (menular), tidak menutup kemungkinan santri yang lainpun akan terjangkit penyakit tersebut.
http://www.hupelita.com/baca.php?id=225
Disinyalir terdapat 500 lebih cuplikan film porno yang menggambarkan hubungan sex orang-orang Indonesia yang dibuat dengan menggunakan Handphone dan Vidio Kamera. 90% adegan cuplikan film porno dilakukan oleh anak muda SMA dan Mahasiswa. 8%nya berasal dari rekaman prostitusi, para pejabat pemerintah (DPR dan Pegawai Negeri). 2% nya adalah cuplikan kamera pengintai yang mengambil gambar para wanita-wanita muda yang sedang bugil tanpa sadar di toilet ataupun dikamar hotel.
http://tvlab.blogspot.com/2007/04/kampanye-nasional-anak-muda-indonesia.html
Tentu kita kaum santri akan miris dengan fakta diatas. Sebagai bagian dari kaum muda dan generasi penerus bangsa, sepantasnya kita malu dengan kekonyolan perilaku itu. Namun alangkah baiknya bila kita bijak untuk refleksi ke diri untuk selajutnya mempersiapkan aksi nyata perbaiki segera. Dari pada menyalahkan pihak lain untuk dicaci maki.
Revolusi peran. Dari yang semula hanya berkutat dengan kitab dan meja diskusi, sekarang harus bergerak dinamis dengan rumusan isu strategis. Lekas mengambil peran sosial kemasyarakat yang bisa di lakukan sesuai kompetensi dan kecakapan. Menjadi seorang santri Sosio-Enterpreneur. Kaum santri yang memiliki nalar kecerdasan spiritual, kesalehan sosial, bernilai jual dalam kerja profesional serta berwawasan universal.
Di pesantren Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Lamongan, ada remaja kader Wali Lingkungan yang setiap waktu berkampanye tentang kebersihan dan demo aksi cinta lingkungan. Mereka terwadahi dalam Kelompok Santri Pecinta Alam dan Lingkungan atau KSATRIAKU. Setiap hari mereka berlomba membersihkan kompleks pesantren dan lingkungan RT tanpa tergantung jadwal piket regular. Mereka juga punya program Biogas Santri. Sebuah percontohan pemanfatan limbah manusia untuk energi alternatif/bahan bakar. Untuk aksi peduli dan pendidikan kebencanaan, ada unit kegiatan Santri Tanggap Bencana (SANTANA) yang telah melayani masyarakat dari Aceh hingga Papua.
Mereka mendedikasikan itu sebagai amalan kauniyah sebagai sesama hamba Allah yang harus saling bantu. Itu contoh kecil revolusi peran yang boleh ditiru. Intinya kerja. Jangan banyak bicara. Apalagi hanya hapal dalil agama tanpa ada niat melaksanakannya.
Penulis yang sejak sejak 1997 aktif di berbagai kegiatan community development membuktikan bahwa peran santri sangat luar biasa jika dikelola dengan seksama. Di Aceh selama kurun 2005-2007, penulis banyak terlibat kegiatan pemberdayaan masyarakat yang mengangkat peran santri. A.l kampanye pencegahan dan penghapusan pekerja anak (IPEC-WFCL/International Program on the Elemination of Childlabor-Worst Form Child Labour) bersama UN-ILO. Segitiga dukungan Thaliban (santri), institusi Dayah (pesantren) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) yang menjadi vocal point, sangat membantu suksesnya program tersebut. Keberhasilan yang sama melalui peran mereka juga penulis rasakan ketika menggiatkan program internet masuk gampong dengan fasilitas Pre-Wimax. Sebuah proyek ujicoba bersama Yayasan SPMAA, Yayasan Air Putih dan Intel Corporation.
Dengan peran nyata ini, stigma buruk yang selama ini lekat dengan ‘penampakan’ santri akan terkikis dengan sendirinya. Penulis sendiri beberapa kali mendengar sindiran, “santri tumo sarungan”, “santri nihil prestasi” dan julukan tak enak lainnya.
Revolusi Informasi. Remaja dan kaum muda menjadi bidikan pangsa pasar potensial para penjaja ideology, penyebar informasi dan juga produsen consumers good. Di sinilah informasi menggerojok telinga, mata dan pikiran remaja secara terus-menerus lewat berbagai media. Terutama ajakan melalui iklan. Kalau tidak jeli menyerap informasi, maka remaja dapat tersesat. Contoh sederhana tentang isu kesehatan reproduksi. Kalau tidak hati-hati mengolah-menyampaikan dan menangkap pesannya, kaum muda seolah digiring untuk memasuki wilayah bebas norma bernama ZINA.
Maka para remaja khususnya santri harus revolusi. Imbangi informasi. Jangan hanya puas menerima, membaca, dan mendengar dari buku teks saja. Buatlah informasi pembanding yang setara. Tulislah informasi penyeimbang. Cerahkan benak masyarakat dengan informasi yang kita buat. Tebarkan jejaring informasi di antara puhak peduli.
Ayat-ayat kitab suci yang menukil isu kesehatan, lingkungan, hidup hemat, larangan konsumtif berlebihan dan ajakan kebersihan sangatlah banyak. Pakailah itu sebagai bahan penahan iklan dagangan yang kadang keterlaluan menyesatkan.
Santri SPMAA terlibat dalam aksi Environment Parliament Watch (EPW). Sebuah aksi pemantauan dan advokasi pengawalan siapa wakil-wakil rakyat di parlemen yang betul-betul peduli lingkungan dan kesehatan. Ini adalah contoh santri bisa melakukan revolusi informasi.
Revolusi informasi juga dapat diejawentah melalui tafsir AlQuran yang relevan dengan dinamika jaman. Selanjutnya tafsir itu diamalkan melalui kegiatan yang bermanfaat nyata untuk umat. Persoalan gap kemiskinan, sistem pendidikan, fatsun politik, madzhab ekonomi, isu lingkungan semuanya pararel dengan misi suci para santri. Tinggal bagaimana upaya connect the unconnect dan melibatkan berbagai potensi yang ada. Itu keterampilan dasar yang belum dimiliki santri saat ini.
Revolusi Waktu. Bila selama ini pola belajar di pesantren harus lama dan menamatkan tumpukan kitab berjenjang-jenjang, maka pemahaman itu harus diubah. Yang benar dan efektif adalah, sekali menerima materi dari kitab suci, amalkan segera. Jangan ditunda sedetikpun. Terima materi langsung dipraktikkan. Satu teori satu praktik perbuatan. Satu dalil satu pekerjaan riil. Mendapat satu ayat harus berwujud satu kerja yang bermanfaat untuk umat. Begitu seterusnya.
Dengan pola belajar seperti ini, maka santri akan menjadi manusia pembelajar yang produktif. Bukan sekadar santri yang hapal dalil aqli dan naqli tapi nihil dari segi pengamalannya. Bukan orang BUTA (Banyak Ucap Tanpa Amal). Dengan pola belajar ‘satu dalil satu pekerjaan riil”, waktu belajar di pesantren bisa dihemat. Selebihnya untuk pelayanan kepada masyarakat.
Kita bisa belajar dari kisah KH. Ahmad Dahlan ketika mengajarkan surat Al Maaun kepada santrinya. Surat Al Quran itu menerangkan pesan bahwa seseorang bohong dengan pengakuan beragamanya jika acuh dan tak mau kampanye peduli nasih anak yatim. Surat/ayat ini terus diajarkan kepada santri meski secara teks mereka sudah hafal.
Suatu saat ada santri yang berani menanyakan tentang hal itu. Lalu KH. Ahmad Dahlan bermaksud menguji mereka. Beliau mengajak para santri jalan-jalan. Saat bersua seorang anak yatim, para santri diam berlalu begitu saja. Mereka abai terhadap keadaan si yatim. Padahal kalau sudah mengerti terjemahan konstektual dari surat/ayat Al Quran yang selalu diajarkan sang Kyai tadi, para santri itu bisa menghibahkan bekal makanan yang dibawanya untuk sedikit mengurangi beban hidup si yatim. Setelah dijelaskan, para santri mengerti kenapa KH. Ahmad Dahlan terus saja mengajarkan surat Al Quran itu kepada para santri.
Revolusi paradigma. Penting untuk menghindari pola pikir santri yang berdiri di menara gading, yang tak tersentuh dan tak menyentuh bumi (baca:kebutuhan umat). Karena selain akan menghadapi murka Allah / kaburo maqtan indallaah an taquuluuna ma laa taf'aluun, juga akan menghadapi stigma masyarakat bahwa menjadi santri itu "tidak produktif".
Otokritik bagi para pengelola pesantren untuk berani mengubah dua paradigma pendidikan pesantren : 1) kelompok Salaf yang memprioritaskan pada ritual dan kajian kitab/tekstual. Sehingga kurang hemat waktu karena butuh masa belajar relatif lama tinggal di pesantren. Keberpihakan riil terhadap isu-isu aktual sosial kemasyarakatan juga lemah. 2) Sementara kelompok modern (Kholaf) merasa sudah modern karena memberikan skill tambahan yang berorientasi ekonomi kewirausahaan. Namun yang luput disadari dari sini adalah lahirnya keluaran alumni yang bermadzhab ”binatang ekonomi”, melupakan ciri khas santri yang lebih mengedepankan kebersamaan. Sehingga yang dihasilkan adalah (lagi-lagi) skilled person yang individualis nan jauh dari kepekaan sosial.
Menarik bila mengamati apa yang ada di pesantren SPMAA. Mereka membangun pondasi kejiwaan santri melalui model pesantren yang mendekatkan santri pada realitas kebutuhan ummat. Yakni dengan cara membangun suatu komunitas kaum papa dalam satu kompleks pendidikan.
Dalam kompleks ini tinggal para penyandang masalah sosial dari usia baliat hingga lanjut usia. Ada anak jalanan, lansia telantar, sexual child abuse, perempuan korban traffickking, suami korban tindak kekerasan, ex nara pidana, bekas pecandu narkoba, anak autis, dst. Sehingga santri benar-benar live in bersentuhan langsung dengan apa yang akan mereka hadapi dan bagaimana seharusnya mereka bersikap. Monitoring bisa dilihat langsung dilakukan atas respon dan prilaku santri bagaimana mereka mengejawantahkan materi ajar yang diterima dengan lingkungan sekitar.
Sebagai usulan dari tulisan ini, kita berharap para pihak yang selama ini concern terhadap pergerakan kaum muda Indonesia supaya melibatkan peran aktif para santri. Sungguh potensi pesantren tidak kalah bagusnya bila dikelola dan di explore secara memadai. Kaum santri lebih fanatik karena mereka menyandarkan (setidaknya dalam teori) pikiran, ucapan dan tindakannya pada teks-teks dogma yang berlaku kontemporer.
Akhirnya seruan kita bersama adalah: WAKE UP BRO!! Saatnya Revolusi Kaum Santri.
Kampanye Terakhir JK Dibumbui Janji Politik Merebut Kembali Perusahaan Rokok
Senja Madinah, Bondowoso
Calon presiden Jusuf Kalla, berjanji akan merebut kembali perusahaan-perusahaan rokok nasional yang saat ini banyak dikuasai oleh asing. Janji ini akan terlaksana jika JK terpilih sebagai presiden periode mendatang, di depan 8000 buruh tembakau dalam acara silaturrahmi capres JK bersama unsur kyai dan santri, buruh tembakau, pengusaha tembakau dan warga organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kabupaten Bondowoso, di kecamatan Maesan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.
“Indonesia sebenarnya merupakan penghasil tembakau terbesar di dunia. Tetapi, ternyata, petani tembakaunya justru banyak yang berada di bawah garis kemiskinan,” kata JK dalam sambutannya. Kondisi ini, lanjut JK, semakin memburuk ketika sejumlah perusahaan rokok yang dulu dimiliki oleh pengusaha dalam negeri, kini justru dijual kepemilikan sahamnya dan didominasi oleh asing. Seharusnya bangsa Indonesia setidaknya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Pernyataan ini banyak mendapatkan apresiasi dari pengusaha dan buruh tembakau yang hadir pada acara kampanye terakhir JK tadi. Salah satu pengusaha tembakau, bernama Sutikno alias Cuntik misalnya, sangat berharap jika sejumlah aturan cukai rokok yang banyak memberatkan pengusaha dalam negeri. Sementara, pengusaha luar negeri yang rata-rata menjual rokok putih, tidak terkena bea cukai. “Bagaimana pengusaha dan petani tembakau kita akan sejahtera, jika secara aturan saja kita sangat dirugikan,” ujarnya. Karena itu, ia berharap jika JK terpilih, janji politiknya tadi dapat terwujud.
Selain menjanjikan perebutan kembali sejumlah perusahaan rokok, JK juga berjanji akan memberikan pendidikan gratis. Tidak hanya untuk tingkat pendidikan SD dan SMP yang saat ini mendapatkan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), untuk siswa SMA pun akan digratiskan. “Tingkat SMP dan SMA, baik Umum maupun Madrasah, akan mendapatkan pendidikan gratis,” Ungkapnya, yang disambut dengan tepukan tangan dari para peserta kampanye yang hadir.
Karena itu, ia meminta agar masyarakat tidak kehilangan hak pilihnya pada pilpres yang akan digelar 8 juli mendatang. Ia meminta masyarakat meluangkan waktunya untuk ikut berpartisipasi dalam pilpres mendatang. “Hanya satu menit, saya membutuhkan waktu anda sekalian, untuk ikut mencontreng pada pilpres mendatang,” harapnya.
Calon presiden Jusuf Kalla, berjanji akan merebut kembali perusahaan-perusahaan rokok nasional yang saat ini banyak dikuasai oleh asing. Janji ini akan terlaksana jika JK terpilih sebagai presiden periode mendatang, di depan 8000 buruh tembakau dalam acara silaturrahmi capres JK bersama unsur kyai dan santri, buruh tembakau, pengusaha tembakau dan warga organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kabupaten Bondowoso, di kecamatan Maesan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.
“Indonesia sebenarnya merupakan penghasil tembakau terbesar di dunia. Tetapi, ternyata, petani tembakaunya justru banyak yang berada di bawah garis kemiskinan,” kata JK dalam sambutannya. Kondisi ini, lanjut JK, semakin memburuk ketika sejumlah perusahaan rokok yang dulu dimiliki oleh pengusaha dalam negeri, kini justru dijual kepemilikan sahamnya dan didominasi oleh asing. Seharusnya bangsa Indonesia setidaknya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Pernyataan ini banyak mendapatkan apresiasi dari pengusaha dan buruh tembakau yang hadir pada acara kampanye terakhir JK tadi. Salah satu pengusaha tembakau, bernama Sutikno alias Cuntik misalnya, sangat berharap jika sejumlah aturan cukai rokok yang banyak memberatkan pengusaha dalam negeri. Sementara, pengusaha luar negeri yang rata-rata menjual rokok putih, tidak terkena bea cukai. “Bagaimana pengusaha dan petani tembakau kita akan sejahtera, jika secara aturan saja kita sangat dirugikan,” ujarnya. Karena itu, ia berharap jika JK terpilih, janji politiknya tadi dapat terwujud.
Selain menjanjikan perebutan kembali sejumlah perusahaan rokok, JK juga berjanji akan memberikan pendidikan gratis. Tidak hanya untuk tingkat pendidikan SD dan SMP yang saat ini mendapatkan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), untuk siswa SMA pun akan digratiskan. “Tingkat SMP dan SMA, baik Umum maupun Madrasah, akan mendapatkan pendidikan gratis,” Ungkapnya, yang disambut dengan tepukan tangan dari para peserta kampanye yang hadir.
Karena itu, ia meminta agar masyarakat tidak kehilangan hak pilihnya pada pilpres yang akan digelar 8 juli mendatang. Ia meminta masyarakat meluangkan waktunya untuk ikut berpartisipasi dalam pilpres mendatang. “Hanya satu menit, saya membutuhkan waktu anda sekalian, untuk ikut mencontreng pada pilpres mendatang,” harapnya.
03 Juli 2009
Luthfi Assyaukanie coba Menjaga Sisi Humanisasi
Iman D. Nugroho
Bagi banyak orang, "pekerjaan"-kalau memang bisa disebut sebagai pekerjaan- yang dilakukan Luthfi Assyaukanie memang tergolong "nggak banget". Bagaimana tidak, laki-laki kelahiran 27 Agustus 1967 ini memilih untuk “bekerja” sebagai penjaga kemanusiaan dalam terminologi agama Islam. Tidak hanya sulit karena harus berhadapan dengan berbagai sudut pandang yang beragam, tapi sekaligus menciptakan ketidaksukaan kelompok yang tidak sepaham. “Memang pernah ada ancaman, tapi itu dulu. Setelah tahun 2005 tidak ada lagi ancaman yang serius,” katanya.
Kemanusiaan atau humanisme memang tidak pernah habis dibicarakan. Ilmu yang memiliki arti gerakan untuk membangkitkan kembali ilmu-ilmu kemanusiaan dan hal lain yang berhubungan dengan manusia itu selalu muncul dalam berbagai persoalan. Dalam dunia global, kemanusiaan selalu menjadi bagian terdasar. Pelanggaran terhadap kemanusiaan, bisa memunculkan reaksi dari berbagai kelompok. Di Indonesia, hal tentang kemanusiaan juga tidak pernah surut dibicarakan. Dalam ranah kemanusiaan yang berhubungan dengan agama Islam inilah seorang Luthfi Assyaukanie berada.
“Kalau ada anggapan agama Islam tidak humanis, itu justru keliru. Karena kalau kita kaji dalam kitab umat Islam, al Quran, banyak sekali pendekatan kemanusiaan,” kata Luthfi pada The Jakarta Post. Bahkan, dalam catatan Direktur Freedom Institute ini gerakan kemanusiaan dalam Islam pun dimulai jauh sebelum gerakan kemanudiaan barat muncul. Yakni ketika seorang filsuf besar Islam bernama Ibn Nadim menerbitkan al Fihrist pada pertengahan abad ke sepuluh. Dan berbagai karya lain dari ilmuwan-ilmuwan berbasis keislaman yang juga memuliakan manusia.
Sayang, dalam perkembangannya justru seringkali pendekatan kemanusiaan dalam Islam itu dirusak oleh umat Islam sendiri. Pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) bersama Ulil Abshar Abdalla ini mengingatkan protes kelompok Organisasion of Islamic Conference atau OKI pada Piagam Hak Asasi Manusia (HAM) tentang pindah agama. “OKI mengatakan pasal kebebasan beragama itu tidak seiring dengan al Quran, padahal dalam al Quran jelas mengatur tidak ada paksaan dalam beragama,” katanya.
Kedekatan dosen senior di Universitas Paramadina, Jakarta ini dengan dunia analisa Islam berasal dari background keislaman di keluarga. “Keluarga besar saya adalah keluarga santri. Kakek saya seorang kiai. Kami dididik secara religius dan cukup konservatif,” kenangnya. Kemampuan berislam ayah tiga anak ini semakin terasah ketika dirinya masuk ke Pesantren Attaqwa, Bekasi. Apalagi ketika melanjutkan pendidikannya di University of Jordan, Yordania. Hingga berlanjut ke jenjang lebih tinggi di jurusan Philosophy, International Islamic University, Malaysia dan University of Melbourne, Australia untuk mendalami Political Islam.
Pengetahuan yang dimiliki dan pandangan-pandangan pria berkacamata ini mendorong dirinya untuk mendirikan Jaringan Islam Liberal pada tahun 2001. Bersama intelektual muda Islam lain, seperti Ulil Abshar Abdalla. Melalui JIL, Luthfi dan kawan-kawannya menyebarluaskan keislaman yang lebih memiliki pendekatan manusiawi. Para aktivis JIL meyakini, dialog yang bebas dari tekanan konservatisme akan membuka pikiran dan gerakan Islam yang sehat. Dan pada akhirnya menciptakan struktur sosial yang adil dan manusiawi. Jauh dari image Islam yang selama ini dikenal.
Pandangan “baru” dan jauh menyimpang dari muslim kebanyakan yang masih konservatif itu mendapat dukungan penuh dari pihak keluarga. Sang ayah, Muhali dan ibunda Hamidah merupakan dua orang yang cukup toleran. Di mata Luthfi, sang ibu pun tetap mempercayai dirinya ketimbang orang lain. “Orang lain yang menyebarluaskan isu tidak benar. Mereka selalu mendukung saya, dan tidak pernah memusuhi apalagi mengkafirkan. Hubungan kami sangat baik,” katanya. Dukungan yang sama juga didapatkan dari istri Titi Sukriyah (35) dan anak-anaknya, Gabriel Shaukan (13), Melika Bilqis (11) dan Amadea Ayunina (5).
Hukum Qisas, atau hukuman setimpal, sering dianggap sebagai hal yang tidak memanusiakan dalam Islam. Bagi Luthfi, itu cara pandang yang keliru. Karena dalam qisas menyaratkan adanya sisi legal yang disepakati bersama. Harus ada upaya membangun argumen dengan perdebatan tentang hal itu. Bila disepakati akan ditetapkan menjadi hukum positif di sebuah negara. “Kalau memang tidak disepakati, ya tidak ditetapkan. Di negara yang menetapkan hukum Qisas sendiri ada banyak aliran,”kata pengarang buku Islam Benar versus Islam Salah (Right Islam versus Wrong Islam) ini.
Dalam perkembangan politik belakangan, Islam kembali menjadi bahan pembicaraan, ketika ada partai politik yang mengaitkan kebiasaan berjilbab istri calon presiden dengan sisi religius mereka. Bahkan, ada juga mengusung isu mengganti sistem parlementer dengan sistem kekhilafahan. Bagi Luthfi, hal itu seperti kembali seperti masa-masa lalu, saat Indonesia belum tegas sistem pemerintahannya. “Hal itu erat hubungannya dengan pencarian massa di tingkat grassroad yang masih saja "membeli" isu-isu seperti ini. Termasuk isu syariat Islam, yang sudah "selesai" ditingkat pusat,” jelasnya.
Luthfi menyadari, apa yang dilakukan adalah bagian dari perjalanan panjang umat Islam di Indonesia untuk benar-benar memahami esensi dari keislaman. Juga untuk tidak terjebak dalam politisasi simbol-simbol keislaman semata. “Jangan sampai sisi humanis Islam hilang karena hal-hal semacam itu,” katanya. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah.

Kemanusiaan atau humanisme memang tidak pernah habis dibicarakan. Ilmu yang memiliki arti gerakan untuk membangkitkan kembali ilmu-ilmu kemanusiaan dan hal lain yang berhubungan dengan manusia itu selalu muncul dalam berbagai persoalan. Dalam dunia global, kemanusiaan selalu menjadi bagian terdasar. Pelanggaran terhadap kemanusiaan, bisa memunculkan reaksi dari berbagai kelompok. Di Indonesia, hal tentang kemanusiaan juga tidak pernah surut dibicarakan. Dalam ranah kemanusiaan yang berhubungan dengan agama Islam inilah seorang Luthfi Assyaukanie berada.
“Kalau ada anggapan agama Islam tidak humanis, itu justru keliru. Karena kalau kita kaji dalam kitab umat Islam, al Quran, banyak sekali pendekatan kemanusiaan,” kata Luthfi pada The Jakarta Post. Bahkan, dalam catatan Direktur Freedom Institute ini gerakan kemanusiaan dalam Islam pun dimulai jauh sebelum gerakan kemanudiaan barat muncul. Yakni ketika seorang filsuf besar Islam bernama Ibn Nadim menerbitkan al Fihrist pada pertengahan abad ke sepuluh. Dan berbagai karya lain dari ilmuwan-ilmuwan berbasis keislaman yang juga memuliakan manusia.
Sayang, dalam perkembangannya justru seringkali pendekatan kemanusiaan dalam Islam itu dirusak oleh umat Islam sendiri. Pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) bersama Ulil Abshar Abdalla ini mengingatkan protes kelompok Organisasion of Islamic Conference atau OKI pada Piagam Hak Asasi Manusia (HAM) tentang pindah agama. “OKI mengatakan pasal kebebasan beragama itu tidak seiring dengan al Quran, padahal dalam al Quran jelas mengatur tidak ada paksaan dalam beragama,” katanya.
Kedekatan dosen senior di Universitas Paramadina, Jakarta ini dengan dunia analisa Islam berasal dari background keislaman di keluarga. “Keluarga besar saya adalah keluarga santri. Kakek saya seorang kiai. Kami dididik secara religius dan cukup konservatif,” kenangnya. Kemampuan berislam ayah tiga anak ini semakin terasah ketika dirinya masuk ke Pesantren Attaqwa, Bekasi. Apalagi ketika melanjutkan pendidikannya di University of Jordan, Yordania. Hingga berlanjut ke jenjang lebih tinggi di jurusan Philosophy, International Islamic University, Malaysia dan University of Melbourne, Australia untuk mendalami Political Islam.
Pengetahuan yang dimiliki dan pandangan-pandangan pria berkacamata ini mendorong dirinya untuk mendirikan Jaringan Islam Liberal pada tahun 2001. Bersama intelektual muda Islam lain, seperti Ulil Abshar Abdalla. Melalui JIL, Luthfi dan kawan-kawannya menyebarluaskan keislaman yang lebih memiliki pendekatan manusiawi. Para aktivis JIL meyakini, dialog yang bebas dari tekanan konservatisme akan membuka pikiran dan gerakan Islam yang sehat. Dan pada akhirnya menciptakan struktur sosial yang adil dan manusiawi. Jauh dari image Islam yang selama ini dikenal.
Pandangan “baru” dan jauh menyimpang dari muslim kebanyakan yang masih konservatif itu mendapat dukungan penuh dari pihak keluarga. Sang ayah, Muhali dan ibunda Hamidah merupakan dua orang yang cukup toleran. Di mata Luthfi, sang ibu pun tetap mempercayai dirinya ketimbang orang lain. “Orang lain yang menyebarluaskan isu tidak benar. Mereka selalu mendukung saya, dan tidak pernah memusuhi apalagi mengkafirkan. Hubungan kami sangat baik,” katanya. Dukungan yang sama juga didapatkan dari istri Titi Sukriyah (35) dan anak-anaknya, Gabriel Shaukan (13), Melika Bilqis (11) dan Amadea Ayunina (5).
Hukum Qisas, atau hukuman setimpal, sering dianggap sebagai hal yang tidak memanusiakan dalam Islam. Bagi Luthfi, itu cara pandang yang keliru. Karena dalam qisas menyaratkan adanya sisi legal yang disepakati bersama. Harus ada upaya membangun argumen dengan perdebatan tentang hal itu. Bila disepakati akan ditetapkan menjadi hukum positif di sebuah negara. “Kalau memang tidak disepakati, ya tidak ditetapkan. Di negara yang menetapkan hukum Qisas sendiri ada banyak aliran,”kata pengarang buku Islam Benar versus Islam Salah (Right Islam versus Wrong Islam) ini.
Dalam perkembangan politik belakangan, Islam kembali menjadi bahan pembicaraan, ketika ada partai politik yang mengaitkan kebiasaan berjilbab istri calon presiden dengan sisi religius mereka. Bahkan, ada juga mengusung isu mengganti sistem parlementer dengan sistem kekhilafahan. Bagi Luthfi, hal itu seperti kembali seperti masa-masa lalu, saat Indonesia belum tegas sistem pemerintahannya. “Hal itu erat hubungannya dengan pencarian massa di tingkat grassroad yang masih saja "membeli" isu-isu seperti ini. Termasuk isu syariat Islam, yang sudah "selesai" ditingkat pusat,” jelasnya.
Luthfi menyadari, apa yang dilakukan adalah bagian dari perjalanan panjang umat Islam di Indonesia untuk benar-benar memahami esensi dari keislaman. Juga untuk tidak terjebak dalam politisasi simbol-simbol keislaman semata. “Jangan sampai sisi humanis Islam hilang karena hal-hal semacam itu,” katanya. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah.
Jeffrey Winters Dan Permainan Kata-katanya

Kehadiran pengamat politik dan ekonomi Jeffrey Winter dalam diskusi Pilihan Paradigma Ekonomi Indonesia yang Bermartabat dan Berdaulat di Gedung Dewan Pers, Kamis (2/06) ini benar-benar menghibur. Bukan karena analisa-analisa tajamnya sebagai pengamat seperti yang selama ini dikenal orang, melainkan permainan kata-kata dengan perumpamaan yang mengundang gelak tawa. Ketika moderator meminta Jeffrey menggambarkan kondisi Indonesia misalnya, pria asal AS itu justru mengibaratkan Indonesia seperti seorang petinju.
"Indonesia itu seperti petinju kelas berat yang sampai saat ini masih memilih untuk bertanding dengan petinju kelas ringan," Jelasnya.Seharusnya, dengan potensi yang dimiliki, Indonesia bisa menjadi sekelas Brazil, Rusia, India dan China atau BRIC. Namun, entah mengapa Indonesia masih saja asyik dengan memposisikan diri sebagai negara sekelas negara kecil seperti Chili, Costarika dan Honduras. "Indonesia itu saya menyebutnya sebagai missing BRIC, seharusnya menjadi bagian dari BRIC (Brazil, Rusia, India dan China," katanya.
Belum lagi gelak tawa dari peserta seminar itu mereda, Jeffrey kembali membuat joke-joke lain menyangkut posisi ekonomi dihadapan lembaga donor seperti International Monitory Fund (IMF), dan World Bank. Lembaga-lembaga itu menurut Jeffrey adalah "dokter" ekonomi bagi Indonesia. Namun, cara Indonesia memperlakukan "dokter" ini sungguh aneh, yakni enggan untuk berpindah dokter meskipun dokternya terbukti gagal. "Apa perlu empat puluh tahun lagi untuk membuktikan kalau dokternya benar-benar gagal," katanya menuai tawa. Hal lain yang menurut Professor dari Yale University ini unik adalah bagaimana para ekonom di Indonesia mencoba menyelesaikan.
"Seperti bertanya dimana harus menempelkan handyplast untuk orang yang kena kanker," katanya. Jeffrey pertama kali dikenal menjelang gerakan Reformasi tahun 1998, setelah buku pertamanya berjudul "Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State" terbit pada tahun 1996. Namanya semakin terkenal saat dia dekat dengan tokoh politik yang melawan dominasi Orde Baru. Jeffrey juga menulis dua buku berjudul "Dosa-Dosa Politik Orde Baru" [Political Sins of Suharto's New Order] pada tahun 1999 dan "Orba Jatuh, Orba Bertahan?" [Indonesia's "New Order" Falls or Endures?] pada tahun 2004. Penelitian Jeffrey Winters juga dilakukan di United States, Russia, Indonesia, Philippines, Vietnam, Singapore dan Mexico.