Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

20 Juni 2009

Menahan Mual di Antara Para Tim Sukses Capres

Iman D. Nugroho

Entah, dosa apa yang saya perbuat selama ini. Kok bisa-bisanya kumpul dengan para tim sukses calon presiden dan calon wakil presiden 2009 plus para supporternya. Bisa dibayangkan, mereka sama-sama menunjukkan sisi baik kandidat yang mereka dampingi dan pura-pura bego dengan sisi negatif yang ada. Agak-agak memuakkan,..


Malam sudah berlalu, berganti dini hari. Tetap saja pembicaraan pagi ini berkutat masalah si pasangan capres/cawapres ini dan itu. "Memang pasangan ini lebih maju soal pendidikan, tapi masalah lain kan tidak," kata kawan yang tergabung dalam tim capres. "Tapi kalau persoalan Aceh, justru dia (menyebut nama capres) yang berperan," katanya. Kawan yang lain menimpali,"Itukan katamu, bagiku tetap si anu," katanya. Kawan yang lain, dari tim capres yang lain lagi, malah nggerundel. "Kalau memang seperti itu, mengapa tidak dilakukan kemarin-kemarin," katanya.

Begitulah. Kalau kita berada di antara para tim sukses, yang terjadi bisa ditebak. Kalau tidak mendengar nilai plus capres-cawapres, atau malah terhujani dengan hal-hal buruk yang belum pernah kita dengar sebelumnya. "Tahu nggak, kasus monorel itu, itu kan rebutan antara di ini dan si itu," kata seorang kawan. "Lain lagi soal IMF, aku ada data, si ini yang tanda tangan," katanya.

Dalam hati kecil, ingin rasanya mengambil kerupuk ukuran besar dan menyorongkan ke mulut mereka. Selain membuat konsentrasi bicara akan beralih menjadi konsentrasi menggigit kerupuk, juga (rasanya)mendengarkan suara krupuk tergigit lebih indah ketimbang mendengarkan semua hal tentang capres-cawapres. Tentu saja, hal itu tidak aku lakukan. Memilih untuk menjunjung tinggi prinsip dasar demokrasi dengan mendengarkan hasil "kerja" para tim sukses.

Kawan-kawan tim sukses ini lupa. Ada regulasi yang sudah dilanggar, ada kebohongan yang sudah ditebar dan ada persoalan rakyat yang terabaikan saat pilpres menjelang. Meski ada uang bertaburan, tapi juga ada airmata bercucuran. Ada cita-cita yang kandas ditelan hiruk pikuk iklan pilpres di televisi. "Pokoknya si ini yang harus jadi!". "Itu pilihanmu, tapi aku menyarankan si itu,". "Gimana kalau ini saja,"

Alamak,..

18 Juni 2009

Dan Bagi Saya, Jawaban yang Paling Tepat Adalah Golput

Iman D. Nugroho

Tulisan ini dibuat sebelum kantuk menyerang, beberapa jam usai debat(?) calon presiden RI di Trans7 dan TVONE (Transtv juga?). Kesimpulan dari aktivitas menonton tayangan yang menurut saya membosankan dari berbagai sisi itu, adalah golput atau tidak memilih atau mengabaikan pemilihan presiden 2009. Mengapa? (btw, lead pertanyaan seperti ini kayaknya sudah nggak jaman..)


Alasan terkuat dari semua itu adalah peristiwa politik dan hukum yang terjadi sejak pemilu legislative digelar, hingga saat ini. Mulai Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menurut saya tidak independen dan cenderung tidak memahami kerjanya, sehingga memunculkan probem-problem turunan seperti Daftar Pemilih Tetap (DPT) hingga calon-calon legislative dan calon presiden yang bagi saya, sangat layak untuk diabaikan.

Belum lagi, tingkah polah mereka, orang-orang yang terkait dengan pemilu itu, sama sekali tidak menunjukkan sikap penghormatan kepada "aturan" yang sudah disepakati, dan lebih parah kepada masyarakat (baca: rakjat Indonesia). Mereka seperti asyik bermain catur di antara tumpukan persoalan yang kini dihadapi oleh masyarakat. Yang paling gampang soal lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Siapa yang memperdulikan mereka? Capres dan cawapres? Serius, aku tidak percaya itu akan terjadi.

Karena itulah, sepertinya bagi saya Golput adalah pilihan rasional. Saya, secara sadar menyimpan hak politik saya. Ada perasaan tidak rela, bila hak politik itu kemudian diberikan begitu saja kepada keadaan yang menurut saya tidak layak untuk menerimanya. Jadi, saya golput tahun ini.

… and, end!

Cerita pendek karya Senja Madinah

Senja ini tak seperti senja kemarin. Tak sedang kulihat akting-akting murahan tayangan televisi. Tak sedang kudengar tangis di dalam box ajaib yang kupelototi menjelang azan. Atau tak ladeni ocehan teman-teman sekost-ku berkomentar tentang mereka, yang tak kami kenal, dalam televisi. Dan, Senja ini begitu indah. Ketika kau duduk di sisiku. Di antara berderet kursi yang melaju. Di antara penumpang lain. Di antara serpihan khayal yang kini nyata. Ah, senja ini menghadirkan moment.


Tapi senja ini begitu berharga. Tak seperti moment kemarin atau lusa. Dan aku begitu memujanya…
Tak lagi ku peduli ini mimpi atau nyata. Tak lagi ku peduli pandangan iri dari perempuan-perempuan lain di antara kita. Bahkan tak lagi kupeduli pandangan iri laki-laki lain yang duduk di depan, samping dan di belakang kita. Kau, duduk bersamaku.
Ah senja ini begitu berbeda. Tak lagi kurasa kantuk yang biasa menyerangku. Tak lagi kurasa penat meski ku tempuh puluhan kilometer. Tak lagi kurasa bosan meski hanya bisa duduk manis.
Dan, senja ini begitu tenang. Setenang aku mendengar celotehmu. Tentang masa lalumu. Tentang masa kecilmu. Tentang masa remajamu. Tentang kenakalan-kenakalanmu. Tentang kebodohanmu. Dan semua tentangmu.
Semua, membentuk gerakan. Perlahan tapi pasti. Slow motion… sl ow.. mo ti on… s l o w.. m o t i o n… s l o w .. m o t i o n…
Seiring biola di hatiku yang membentuk nada indah… menyayat!
***
Pagi ini tak seperti pagi kemarin. Tak sedang ku hadapi layar komputer dengan gambar diagram matriks dan hitung-hitungan matematis. Tak sedang kepencet-pencet tuts-tuts keyboardnya. Atau tak lagi kutiduri kasur empuk di kamar tidurku yang hangat, selepas shalat subuh. Tak lagi kudengar ibu-ibu penjual sayur yang bernyanyi tanpa nada, bak penyanyi rock. Tak lagi kudengar nenek tua penjual kerupuk dengan lengkingan suara minor memelas. Atau tak lagi kudengar suara tukang ngamen yang mulai bernyanyi bak artis Indonesian Idol.
Tapi pagi ini begiru berbeda. Bersepeda denganmu. Menyusuri jalan-jalan kampus. Menyusuri masa lalumu. Di antara benda-benda mati bersejarah. Mengantarmu bernostalgia, menenggelami keindahan masa lalumu yang manis dan pahit. Menemui si penjual nasi pecel andalanmu ketika tak punya uang. Mengantarmu melihat kembali bengkel pemandian mobil, tempatmu mengais rejeki. Mengantarmu melihat gedung bioskop favoritmu, yang telah berubah menjadi kantor koperasi. Menyusuri jalan-jalan menuju tempatmu menggantungkan harapan. Menghadapi kenyataan kegagalan yang tak terelakkan. Hingga terdampar di kota yang mempertemukanmu dengan ku…
Dan, pagi ini begitu istimewa. Melihat senyum lepas, binar mata penuh makna. Dengan bangga. Dengan konyol. Dengan haru. Dengan tangis tertahan. Dengan campur aduk emosi yang jarang sekali ku lihat di matamu, di senyummu, di keseharianmu…
Dan semua membentuk gerakan. Perlahan tapi pasti, slow motion… sl ow.. mo ti on.. s l o w … m o t i o n… s l o w … m o t i o n…
Perlahan kuraba tampuk hatiku, dengan gesekan biola yang membentuk nada indah… menyayat!
***
Seperti juga malam ini. Tak seperti malam kemarin. Tak lagi mudah kupejamkan mata kantukku. Diantara kepenatan fisikku. Diantara kepenatan pikirku. Tak lagi ke turn-on komputer sekedar melihat data yang akan ku bawa bimbingan esok pagi. Tak lagi kudengar jeritan dendang-dendang winamp di dalamnya. Atau buku-buku bacaan penghantar tidurku.
Mendengarmu berceloteh dalam pesawat HPku. Sekedar bersenda penghantar tidur. Sekedar mereview beberapa agenda yang menjadi tugas dan tanggung jawab ke depan. Sekedar berpikir ringan tentang rencana organisasi, yang sama-sama kita tekuni. Meski sekedar mendengar order pulsamu yang minta diisi. Di antara akting-akting yang terkemas dalam film tahun delapan puluhan. Di antara iklan-iklan yang bergantian memenuhi layar kotak berukuran 14 inch.
Hingga kau tutup pembicaraan. Tetap saja malam ini tak seperti malam kemarin. Di antara keinginanku untuk merajut mimpi setelah do’a malamku. Di antara kenang jelajah waktu 30 jam yang lalu.
Dan semua membentuk gerakan. Perlahan tapi pasti, slow motion… sl ow.. mo ti on.. s l o w … m o t i o n… s l o w … m o t i o n…
Seiring gapaianku menyentuh relung hatiku. Dengan gesekan biola yang membentuk nada indah… menyayat!
***
Dan begitulah, hari ini tak seperti kemarin. Di antara akting-akting yang penuh dramatisir. Di antara tuts-tuts keyboard komputer. Di antara buku-buku tebal.
Di antara keterjagaan dari kesadaranku. Di antara kegundahan dari rasaku. Di antara khayal dari harapanku.
Tak lagi ku lihat engkau duduk di sisiku. Mendengarmu berceloteh, mengajakku memasuki alam masa lalu. Dengan pandangan iri dari perempuan-perempuan sebayaku. Dengan pandangan tak senang laki-laki yang duduk di depan, samping dan belakang. Tak lagi tak peduli ini mimpi atau sekedar nyata yang irasional.
Tak lagi ku telusuri jalan-jalan kenangan yang membuatmu tertawa lepas dengan campur aduk emosi di dalamnya. Tanpa kekonyolan yang kau ceritakan dengan bangga. Tanpa peras keringat mencuci mobil-mobil demi sesuap nasi, yang kau katakan dengan pahit. Tanpa gedung bioskop yang telah beralih fungsi menjadi koperasi yang kau lihat dengan kecewa.
Tak lagi ku dengar engkau berceloteh di kupingku, lewat kecanggihan HP. Tanpa pembicaraan tentang rencana ke depan, di antara keterjagaan di sepertiga malamku. Tanpa lagi berbicara dengan alasan organisasi sekali pun. Meski tanpa tumpukan buku penghantar tidurku. Meski tanpa akting-akting artis tahun delapan puluhan.
Meski tetap tak kuhadapi layar komputerku. Meski tak lagi ku pencet tombol-tombol dalam keyboard komputerku. Meski tanpa setumpuk buku. Meski ku lantunkan doa di sepertiga malamku.
Di antara ketakpedulianku ini khayal ataukah nyata. Kenyataan, menyeretku pada fenomena berbeda. Bahwa ini benar-benar nyata. Bahwa kau bersamanya adalah nyata. Bahwa kau bukan milikku adalah nyata. Bahwa kau hanya impian di siang bolong adalah nyata. Bahwa kau hanya sebuah harap diantara khayal adalah nyata. Bahwa tepukan sumbang sebelah tangan inipun nyata.
Dan semua membentuk gerakan. Perlahan tapi pasti, slow motion… sl ow.. mo ti on.. s l o w … m o t i o n… s l o w … m o t i o n…
Seiring doa egois yang ku lantunkan, bersama gesekan biola membentuk nada indah… menyayat!
Di antara seripihan keping hati yang hancur tak terelakkan. Doa egois seiring gesekan biola membentuk nada indah menyayat itu tentang…
Tuhan, ijinkan aku memilikinya…

3 juni 2006

17 Juni 2009

Apakah Blog Akan Terlunta-lunta?

Iman D. Nugroho

Belakangan ini, popularitas blog, perlahan-lahan surut. Banyak situs pertemanan dan situs interactive yang bisa memberikan pelayanan lebih kepada netter untuk bisa secara instan memberi ruang berekspresi. Sudah habiskan masa hidup blog? Sepertinya, justru tidak seperti itu.


Waktu pertama kali berkecimpung di dunia internet, pada tahun 2000 dengan Tehmanis.com, sudah ada feeling bahwa dunia internet di Indonesia akan menghantar negeri ini ke babak baru. Babak tanpa batas wilayah, dan sekat-sekat waktu. Ternyata, hal itu ada benarnya. Betapa internet bisa melipat jarak dan mendekatkan waktu. Belum lagi persoalan benefit lain berupa ilmu pengetahuan yang seakan tak habis-habisnya disajikan melalui internet.

Analogi yang sering saya pakai, internet ibarat kolam, yang di dalamnya berisi berbagai macam benda. Mulai ikan, tanaman air, hingga kotoran manusia dan binatang yang ketampul-ketampul (baca: mengambang)di permukaan air. Terserah kita yang menggunakannya. Bisa sangat bermanfaat, atau hanya melihat gambar bokep artis terkenal (lebih banyak yang nggak jelas).

Saat era blog datang, terlebih lagi. Kalau awalnya kita membutuhkan uang jutaan untuk sekedar memiliki beberapa halaman di internet, kini dengan adanya blog dengan berbagai situs blog, kita bisa secara gratis mendapatkan halaman kita sendiri. Apakah menguntungkan? Jelas. JELAS SEKALI. Ada yang bilang, kita bisa mencari uang dengan menggunakan blog. Ada berbagai fasilitas pencari uang, sebut saja google Adsense atau program banner exchange lainnya.

Saya bukan termasuk yang mencari uang dengan cara seperti itu. Blog, bagi saya adalah "ruang pamer" karya jurnalistik. Di sinilah, saya menggelar semua karya jurnalistik saya. Sebagian saya jual, sebagian lagi sebagai porto folio pribadi. Selain itu, blog juga menjadi sarana curriculum vitae online bagi saya. Misalnya, saya selalu meng-link situs www.iddaily.net dengan idnugroho.blogspot.com. Bermanfaat? Sekali lagi: SANGAT BERMANFAAT.

Sudah beberapa kali saya mendapatkan benefit tidak langsung dari blog. Dalam sebuah side job di Nanggroe Aceh Darrussalam misalnya, kawan dari sebuah NGO internasional melihat karya-karya saya di blog. Juga ketika ada side job lain yang sifatnya lokal, melainkan tetap memerlukan contoh tulisan dan foto.

Karena itulah, bagi saya, blog akan tetap ada gunanya, meski berbagai situs interaktif semakin tampak sexy di depan kita. Jadi, apa alamat blog anda?

Nganthi Wani, Selepas Widji Thukulku Hilang

Iman D. Nugroho

…Dan dari semua itu adikku
Jangan lemah walau ayah tidak ada
Jadikan semua ini awal dari perjalanan hidupmu
Untuk menjadi lelaki sejati dan pemberani


Paragraf terakhir puisi berjudul Rindu Adik Pada Ayah yang dibuat pada 7 Desember 2005 itu, menutup dengan manis performa Fitri Nganthi Wani, Selasa (16/06) malam. Anak perempuan seniman asal Solo Widji Thukul itu membuat pengunjung terpesona. Tak sedikit dari mereka yang meneteskan air mata karena terharu. Termasuk Suciwati, istri aktivis HAM Alm. Munir, yang hadir pada malam peluncuran buku puisi karya Fitri Nganthi Wani yang diberi judul Selepas Bapakku Hilang itu.

Taman Ismail Marzuki Jakarta Selasa malam, adalah malam yang tidak terlupakan bagi Wani, panggilan akrab Fitri Nganthi Wani. Tidak terbayangkan bagi gadis kelahiran Solo Jawa tengah 6 Mei 1989 ini, acara peluncuran bukunya bisa sedemikian meriah. Tak kurang Iwan Fals dan Oppie Andaresta, menunjukkan kebolehannya dalam acara itu. Iwan Fals bahkan menyanyikan lagi baru yang syairnya dikutip dari salah satu puisi Wani. “Saya tidak menyangka bisa seperti itu,” katanya.

Wani dan puisi memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Terutama dengan sejarah hidupnya beserta keluarga yang sangat kental dengan dunia kesastrawanan. Widji Thukul, sang ayah adalah seorang seniman yang hingga saat ini masih hilang. Kabar terakhir, Thukul dinyatakan sebagai buronan oleh Pemerintah di bawah Mantan Presiden Soeharto. Meski demikian, semangat berpuisi Thukul yang juga dikenal dengan penggalan kalimat, “Hanya satu kata, lawan!” itu, tetap melekat pada Wani. “Saya ingat betul, bapak sangat suka kalau saya menulis,” kenang Wani.

Ketika Thukul hilang, Wani masih berumur 9 tahun. Gadis itu tinggal bersama Diyah Sujirah alias Sipon untuk membesarkan adiknya, Fajar Merah. Meski hanya sembilan tahun tinggal bersama sang ayah, Wani masih bisa dengan jelas mengingat sosok ayahnya. Terutama pada masa-masa terakhir ketika Thukul sudah tergabung dalam Jaringan Kesenian Rakyat atau Jaker dan selalu dicari-cari polisi dan tentara.

“Saya ingat, bapak mengajari saya untuk teriak keras kalau ada polisi datang, biar polisinya dikira maling, haha,” katanya. Suatu hari ditahun 1996, Wani kecil pernah menyaksikan rumah mereka di Solo, diobrak-abrik oleh petugas keamanan untuk mencari Widji Thukul. Aparat juga menyita surat dan buku-buku milik Thukul. Kenangan itu masih tertanam hingga kini.

Ketika Wani sudah bisa menulis dan corat-coret gambar sederhana pada umur 6 tahun, Thukul dan Sipon istrinya menyediakan berbagai kebutuhan seperdi kertas gambar dan buku-buku. Kebetulan, saat itu Thukul memiliki sanggar kesenian bernama Sanggar Suka Banjir. Salah satu gambar gadis yang kini sudah duduk di semester dua Universitas Sanata Dharma Yogjakarta ini dimuat sebagai cover bukunya. Puisi-pusi sederhana yang dihasilkan Wani pun dengan telaten dikumpulkan oleh sang ibu, Sipon. “Karya puisi saya berserakan di mana-mana, tapi ibu yang mengumpulkannya,” kenang Wani.

Peran Sipon memang menjadi kunci bagi keluarga Widji Thukul. Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit di Kawasan Sorogenen, Solo Jawa Tengah itu harus menjadi ibu dan ayah di saat bersamaan. Bagi Wani dan Fajar Merah, Sipon itu benar-benar Wonder Woman di keluarganya. “Pokoknya ibu adalah Wonder Woman, benar-benar my hero deh..” kata Wani. Terutama dalam persoalan puisi. Sipon-lah yang menjadi “organizer” dari lembaran-lembaran berjumlah puluhan milik Wani. “Apa jadinya kalau tanpa ibu,” kenangnya.

Hingga kemudian Wani mendapatkan hadiah agenda dari Richard Curtis, warga Australia yang juga sahabat Widji Thukul. Sejak saat itu puisi-puisi milik Wani tidak lagi berserakan. Dalam kata pengantar di buku Selepas Bapakku Hilang, Richard mengatakan, menulis puisi bagi Wani sekaligus sebagai salah satu upaya untuk keluar dari trauma yang dirasakan pada masa-masa Thukul masih menjadi buronan. “Wani mengalami trauma berat dalam jangka waktu yang panjang akibat dari kekerasan dan intimidasi yang tertuju pada keluarganya,” tulis Richard Curtis.

Untungnya, Wani sangat menyukai aktivitasnya itu. Hingga pada tahun 2002 di Jakarta, Wani diundang untuk membacakan sebuah puisi dalam acara penganugerakan Yap Thiam Hien Award. Saat itu, Widji Thukul menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award. Dalam kesempatan itu, Wani membawa sebuah puisi berjudul Untukmu, Bapak dan Orde Baru. “Salah siapa: Bapakku atau Orde Baru? Bapakmu membela rakyat tertindas. Bapakku membela hak buruh dan rakyat. Termasuk kami, kami golongan rendah. Sedangkan Orde Baru. Apa yang dilakukannya? Memeras otak rakyat. Menindas hak rakyat. Merampas tanah rakyat. Adilkah ini?” teriak lantang Wani ketika itu.

Nama Wani sebagai seorang sastrawan muda pun mulai berkibar sejak itu. Undangan membaca puisi datang silih berganti. Mulai tahun 2003 di Hari Bumi Salatiga, 2004 pada acara IKOHI, hingga pada 2005 menjadi juara lomba menulis Gramedia. Di televisi, Wani muncul di Metro TV pada acara Kick Andy dan di Trans TV. Di luar negeri, khususnya di Australia, puisi-puisi Wani digunakan sebagai kurikulim bahasa Indonesia di Regional Univercities Indonesian Language Initiative (RUILI). “Semua itu benar-benar di luar dugaanku,” kata Wani merendah. Dan puncak dari prestasi Wani itu adalah dibukukannya puisi karya Wani oleh Universitas Sanata Dharma Yogjakarta.

Namun, dibalik semua prestasi itu, duka masih saja dirasakan Wani dan keluarganya, ketika dirinya diajak bicara soal ayahnya, Widji Thukul. Sang ibu Sipon misalnya, masih tidak memahami mengapa kebencian pemerintah Orde Baru begitu rupa kepada suaminya. “Bahkan, sampai putriku (Wani) sudah siap dinikahi, ayahnya tetap tidak pulang,” kata Sipon. “Saya masih kangen sama bapak, tapi saya rasa bapak sudah tidak ada (meninggal),” katanya sambil berkaca-kaca.

Meski sedih, Wani bertekad tetap ada pada “jalur”nya, sebagai sastrawan muda. Wani menginginkan teman-teman seusianya, yang mungkin bernasib buruk dengan tidak memiliki orang tua, tetap tegar seperti dirinya. “Tidak perlu berkecil hati, dan bisa tetap melawan keadaan itu dengan hal postif, seperti membuat puisi,” kata Wani. Semangat perlawanan yang sama dalam puisi berjudul “Peringatan” yang ditulis Widji Thukul pada tahun 1986.

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!