Okky F Suryatama
Surabaya(03/05) Makanan khas rakyat Indonesia salah satunya adalah tempe, yang berasal dari bahan baku kedelai. Di Surabaya sendiri ternyata ada yang namanya kampung tempe, kampung tersebut berada tepatnya di Jl Petemon Barat, kecamatan Sawahan, masuk kedalam sebuah gang kecil berukuran lebar 4 meter, di sisi kanan dan kiri ada rumah petak kecil, di sepanjang gang kecil inilah kampung tempe berada. Julukan ini diberikan untuk kampung yang mayoritas penduduknya pembuat dan penjual tempe.
Namanya pak Supri (40) salah satu dari pembuat dan penjual tempe, ia pun tidak sendiri berjuang demi keluarganya untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada kurang lebih 15 orang pembuat tempe sekaligus penjual tempe di gang ini. Pada kesempatan siang itu ketika menemui pak Supri di rumah kontrakannya, ia menjelasakan, pada tahun 1940-an kampung ini sudah menjadi kampung yang memang seluruhnya adalah pembuat dan penjual tempe.
Sedangkan yang menjadi sesepuh di kampung tempe ini adalah pak Sareh (80), dalam sehari ia membeli 18kg kedelai untuk diproses menjadi tempe. Pak Supri menambahkan, untuk sehari – hari pak Sareh yang menjadi sesepuh kampung tempe itu berjualan menggunakan sepeda Jengki berangkat pukul 03:00 pagi, ada juga pak Suprayin (50) yang berasal dari Jombang, rumahnya tepat berhadapan dengan pak Supri, sedangkan untuk berjualan sehari – hari di daerah Simo dekat jalan tol, lalu bu Asih (55) berasal dari lamongan yang berjualan tempe di petemon gang kuburan, serta beberapa warga kampung tempe lainnya di Petemon barat ini.
”Memang sejarah kampung ini dulunya semua pembuat dan penjual tempe mas, waktu dulu itu orang – orang jualan sampai naik kereta kuda yang berisi tempe semua sambil berjualan keliling,” kata pak Supri sambil memberikan segelas air mineral.
Rumah kontrakan yang sudah ditempati selama 6 tahun itu terlihat amat sederhana, disitulah pak supri, istrinya bu Uriyani (36,) serta anaknya kelas 3 SD yang siang itu sedang sekolah. Pak Supri menjelaskan kembali, penjualan tempenya saat ini agak menurun, sejak tahun 1989 ia memulai usaha membuat dan menjual tempe, awal mulanya ikut membantu kakak lalu memutuskan untuk mandiri. “Sudah 19 tahun lamanya mas, membuat dan berjualan tempe, sampai sekarang yang tidak bisa apa – apa, tidak bisa beli rumah sendiri, rumah ini saja masih mengontrak, setiap tahun ya harus bayar 1,5 juta rupiah,” ujarnya sambil tersenyum kecil lalu mempersilahkan minum.
Pak Supri mengatakan, proses untuk membuat tempe sendiri tak ubahnya proses rumit dan lama. Tempe yang dibeli setiap hari di koperasi untuk 1kg-nya Rp 6600 rupiah, saat ini tempe mendapat potongan harga atau subsidi dari pemerintah sebesar Rp 1000 rupiah menjadi Rp 5500 rupiah untuk 1kg kedelai. Sedangkan dalam sehari pak Supri membeli 10kg kedelai jumlah keseluruhan uang yang harus dikeluarkan Rp 55.000 rupiah.
Dengan mengenakan pakaian yang sederhana kaos oblong polos warna biru, pak supri menjelaskan siang itu, untuk proses membuat tempe yang pertama kedelai dicuci bersih dengan air matang, setelah itu kedelai direbus, dalam proses ini kedelai dimasak setengah matang. Sementara itu, di kamar tidur tersekat papan kayu yang bersebelahan dengan dapur disitulah terdapat tong berukuran besar tempatuntuk memasak kedelai, bukan menggunakan kompor minyak tanah atau gas elpiji, melainkan dengan kayu baker, tempatnya sedikit kumuh dan kotor, ini dikarenakan memang usia alat – alatnya terlampau tua, begitu juga kampung tempe yang menjadi sejarah ini.
Selanjutnya, dari dapur kami kembali ke ruang tamu yang memang tanpa ada kursi jadi duduk di ubin tegel, tak terasa waktu pun berjalan dan gema adzan ashar pun berkumandang, lalu pak Supri meminta ijin untuk menunaikan shalat. Setelah itu ia pun menjelaskan kembali, dari kedelai yang setengah matang itu kembali didinginkan perhitungan waktunya kurang lebih 30 menit. Proses demi proses untuk membuat tempe memang perlu diperhitungkan, jika tidak akan sia – sia dan urung menjadi sebuah tempe yang layak untuk diperjualkan. Lalu pak Supri mengatakan, setelah dingin kedelai tersebut harus dibawa keluar untuk digiling, dalam proses menggiling ini kedelai dibawa ke tempat tak jauh jaraknya kira – kira 5 rumah dari tempat pak Supri tinggal.
“Tempat penggilingan itu memang digunakan sudah sejak lama, ada 5 orang yang menggiling disitu, kalau menggiling ya tidak bayar, cuman mengganti biaya listrik sebesar Rp 1000 rupiah satu hari, jadi bayarnya ya bulanan Rp 30.000, kalau pak Sareh (80) sudah punya penggilingan sendiri di rumahnya,” katanya.
Uriyani (36), istri pak Supri pun datang, lalu mempersilahkan memakan jajanan kecil, ia meminta maaf karena keadaan rumahnya yang sangat sederhana. Pak supri mengatakan, setelah proses penggilingan itu, kedelai harus direndam dengan air kemudian diberi ragi, dalam proses ini memakan waktu yang cukup lama sekitar 10 jam. “Ini adalah proses yang rumit dan lama mas, semisal kalau sudah digiling direndam dengan air ragi lalu didiamkan pukul 16:00 sore maka selesainya pukul 02:00 pagi, jam segitu saya sudah bangun untuk mempersiapkan segala sesuatunya mas,” kata pak Supri sambil menunjukkan tempe setengah jadi di dapurnya.
Pria yang berperawakan kecil lahir tahun 1968 dan sudah berjuang untuk hidup dari membuat dan menjual tempe selama 19 tahun ini mengatakan, setelah didiamkan selama 10 jam, tempe yang setengah jadi itu di angin – anginkan dengan kipas angin atau di tempatkan diluar rumah, waktu yang diperlukan kurang lebih selama 30 menit atau 1 jam, setelah itu tempe tentunya belum siap untuk dijual harus menunggu besok, lalu tempe – tempe itu dipotong panjang, dan dikemas dengan plastik agar bersih dan tampak rapi. Pukul 05:30 pagi, usai shalat shubuh, ia berangkat untuk menjual tempe.
“Saya berjualan setelah shalat shubuh, yang lainnya, orang – orang disini sudah berangkat pukul 03:00 pagi, saya yang paling siang berangkatnya, kalau berjualan tempe di daerah kali sosok, lewat Jembatan Merah Plasa, tepatnya di pasar Pesapen, waktu tahun 1995 saya jualan menggunakan sepeda jengki, kira – kira ya 3 tahun naik sepeda jengki, sekarang sudah naik sepeda motor” ungkapnya sambil menunjukkan sepeda motornya di ruang tamu itu.
Sementara itu, pria yang membuat dan menjual tempe, selain itu juga menjadi guru ngaji TPA Libsuttaqwa, didaerah petemon barat, tepatnya di SD Nurul Huda ini mengatakan, tempe yang dijual harganya bervariasi, sesuai dengan potongan tempe, ada yang beli Rp 1000 rupiah, ada juga Rp 2000 rupiah, hasil yang diperoleh dalam penjualan tempe dapat mencapai Rp 100 ribu rupiah sehari, ini merupakan hasil kotor penjualan.
“Uang itu ya tidak cukup mas kalau dihitung – hitung untuk kebutuhan sehari – hari, soalnya belum dipotong untuk ini dan itu, tidak mesti mas untuk pendapatan sehari, tapi saya bersyukur tidak seperti bulan januari lalu, kedelai memang sempat mahal harganya mas sampai Rp 7500 rupiah per kg, wah susah pokoknya,” kata pak Supri sambil tersenyum kembali.
05 Mei 2009
04 Mei 2009
Photo for Sale: Pedicab Waiting For Passengers

Ukuran Asli: 3441 x 2271 Px / Inch
Caption: Sebelum matahari tenggelam bapak ini mencari penumpang terakhir, lokasi di Pantai Parangtritis Yogjakarta.
Harga Jual: Rp 400 Ribu (Nego)
Email: [email protected]
No Telp: 081 331 62 1166
03 Mei 2009
Intervensi Pemerintah China Menjadi Catatan LBH Pers
Iman D. Nugroho
Intervensi Pemerintah China dalam kasus radio Era Baru Provinsi Kepulauan Riau, menjadi catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Minggu (3/5) ini di Jakarta. Ikut campurnya Pemerintah China adalah satu-satunya kasus keterlibatan negara asing dalam menghalangi kebebasan pers di Indonesia. "KPI dan Depkominfo harusnya melindungi kedaulatan hukum di Indonesia, tapi justru menuruti keinginan pemerintah China," kata Direktur LBH Pers, Hendrayana.
Kasus radio Era Baru berawal pada tahun 2005 ketika radio yang mengisi frekuensi 106.1 MHz itu mengajukan permohonan ijin penyiaran kepada KPID Kepulauan Riau dan Menteri Komunikasi dan Informasi. Setelah dilakukan verifikasi faktual, administrasi dan dengar pendapat, Radio Era Baru berhasil mendapatkan Sertifikat Rekomendasi Kelayakan dari KPID Kepulauan Riau. Namun, pada Mei 2007, tiba-tiba muncul berita di website KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tentang permintaan Kedubes China agar KPI menutup siaran Radio Erabaru karena menyiarkan propaganda politik yang mendeskreditkan pemerintah China dan menuduh radio Erabaru dibiayai oleh Falun Gong.
Bagai sebuah kebetulan, pada Juni 2007 KPID Kepulauan Riau menilai penggunaan bahasa Mandarin dalam program siaran Radio Era Baru terlalu banyak dan hal itu melanggar peraturan KPI tentang penggunaan bahasa siaran. Puncaknya, pada Desember 2007, KPID menyatakan radio Era Baru tidak lolos seleksi. Didampingi LBH Pers, Radio Era Baru mempersoalkan kasus ini ke pengadilan, dan kalah dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). "Kasus ini terus berlanjut hingga sekarang, kami akan terus mengajukan banding atas intervensi asing dalam kasus ini," kata Hendrayana.
Sementara itu, secara nasional, LBH Pers juga mencatat adanya upaya dari beberapa pihak untuk terus mengontrol pers. Terutama, upaya pemerintah untuk merevisi UU no.40 tahun 1999 tentang pers yang merupakan bukti nyata akan hal itu. Termasuk juga upaya pembentukan UU Rahasia Negara oleh DPR RI. UU Rahasia Negara itu mengatur tentang kategori informasi rahasia. Hal ini bertentangan dengan UU no.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). "Akan terjadi kerancuan hukum di Indonesia," kata Hendrayana. Belum lagi, penetapan rahasia negara yang dilakukan oleh Presiden RI. Hal itu jelas membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.
Kasus terbaru yang juga menjadi catatan adalah kasus yang menimpa Koordinator Koalisi Tolak Kriminalisasi Pers Makassar, Jupriadi Asmaradhana. Mantan wartawan Metro TV ini didakwa di pengadilan atas kasus pencemaran nama baik mantan Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Sisno Adiwinoto. Belum selesai kasus itu, Sisno bahkan kembali menggugat Upi dengan kasus perdata dengan gugatan imaterial senilai Rp.10 miliar.
Sementara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam Laporan Kebebasan Pers 2009 mencatat adanya 44 kasus kekerasan yang terjadi pada Mei 2008 hingga Mei 2009. Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak adalah pemukulan (19 kali). Sedang kekerasan verbal yang paling sering terjadi adalah ancaman (9 kali) dan larangan meliput (8 kali) serta perampasan alat (7 kali). Di samping itu, terjadi satu kasus pembunuhan dan penyanderaan. Kekerasan paling sering terjadi di Jakarta (6 kali), Sulawesi Selatan (5 kali) Maluku Utara, Riau (meliputi juga Kepulauan Riau) dan Jawa Timur (masing-masing terjadi 4 kali), Jawa Barat, Sumatera Utara dan Papua serta Irian Jaya Tengah (masing-masing terjadi 3 kali).
Pelaku kekerasan paling banyak adalah polisi (12 kali), pejabat sipil (7 kali), dan tentara (5 kali). Di samping itu terjadi kekerasan oleh massa pendukung calon gubernur dan buruh (masing-masing 3 kali), oleh mahasiswa, pengusaha dan preman (masing-masing 2 kali). Motivasi kekerasan tersebut paling banyak karena pelaku tidak ingin jurnalis meliput suatu peristiwa tertentu (34 kali), pelaku kecewa dengan hasil liputan jurnalis (5 kali) dan ingin jurnalis mengungkap identitas narasumber yang dirahasiakan (2 kali).
Intervensi Pemerintah China dalam kasus radio Era Baru Provinsi Kepulauan Riau, menjadi catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Minggu (3/5) ini di Jakarta. Ikut campurnya Pemerintah China adalah satu-satunya kasus keterlibatan negara asing dalam menghalangi kebebasan pers di Indonesia. "KPI dan Depkominfo harusnya melindungi kedaulatan hukum di Indonesia, tapi justru menuruti keinginan pemerintah China," kata Direktur LBH Pers, Hendrayana.
Kasus radio Era Baru berawal pada tahun 2005 ketika radio yang mengisi frekuensi 106.1 MHz itu mengajukan permohonan ijin penyiaran kepada KPID Kepulauan Riau dan Menteri Komunikasi dan Informasi. Setelah dilakukan verifikasi faktual, administrasi dan dengar pendapat, Radio Era Baru berhasil mendapatkan Sertifikat Rekomendasi Kelayakan dari KPID Kepulauan Riau. Namun, pada Mei 2007, tiba-tiba muncul berita di website KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tentang permintaan Kedubes China agar KPI menutup siaran Radio Erabaru karena menyiarkan propaganda politik yang mendeskreditkan pemerintah China dan menuduh radio Erabaru dibiayai oleh Falun Gong.
Bagai sebuah kebetulan, pada Juni 2007 KPID Kepulauan Riau menilai penggunaan bahasa Mandarin dalam program siaran Radio Era Baru terlalu banyak dan hal itu melanggar peraturan KPI tentang penggunaan bahasa siaran. Puncaknya, pada Desember 2007, KPID menyatakan radio Era Baru tidak lolos seleksi. Didampingi LBH Pers, Radio Era Baru mempersoalkan kasus ini ke pengadilan, dan kalah dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). "Kasus ini terus berlanjut hingga sekarang, kami akan terus mengajukan banding atas intervensi asing dalam kasus ini," kata Hendrayana.
Sementara itu, secara nasional, LBH Pers juga mencatat adanya upaya dari beberapa pihak untuk terus mengontrol pers. Terutama, upaya pemerintah untuk merevisi UU no.40 tahun 1999 tentang pers yang merupakan bukti nyata akan hal itu. Termasuk juga upaya pembentukan UU Rahasia Negara oleh DPR RI. UU Rahasia Negara itu mengatur tentang kategori informasi rahasia. Hal ini bertentangan dengan UU no.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). "Akan terjadi kerancuan hukum di Indonesia," kata Hendrayana. Belum lagi, penetapan rahasia negara yang dilakukan oleh Presiden RI. Hal itu jelas membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.
Kasus terbaru yang juga menjadi catatan adalah kasus yang menimpa Koordinator Koalisi Tolak Kriminalisasi Pers Makassar, Jupriadi Asmaradhana. Mantan wartawan Metro TV ini didakwa di pengadilan atas kasus pencemaran nama baik mantan Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Sisno Adiwinoto. Belum selesai kasus itu, Sisno bahkan kembali menggugat Upi dengan kasus perdata dengan gugatan imaterial senilai Rp.10 miliar.
Sementara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam Laporan Kebebasan Pers 2009 mencatat adanya 44 kasus kekerasan yang terjadi pada Mei 2008 hingga Mei 2009. Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak adalah pemukulan (19 kali). Sedang kekerasan verbal yang paling sering terjadi adalah ancaman (9 kali) dan larangan meliput (8 kali) serta perampasan alat (7 kali). Di samping itu, terjadi satu kasus pembunuhan dan penyanderaan. Kekerasan paling sering terjadi di Jakarta (6 kali), Sulawesi Selatan (5 kali) Maluku Utara, Riau (meliputi juga Kepulauan Riau) dan Jawa Timur (masing-masing terjadi 4 kali), Jawa Barat, Sumatera Utara dan Papua serta Irian Jaya Tengah (masing-masing terjadi 3 kali).
Pelaku kekerasan paling banyak adalah polisi (12 kali), pejabat sipil (7 kali), dan tentara (5 kali). Di samping itu terjadi kekerasan oleh massa pendukung calon gubernur dan buruh (masing-masing 3 kali), oleh mahasiswa, pengusaha dan preman (masing-masing 2 kali). Motivasi kekerasan tersebut paling banyak karena pelaku tidak ingin jurnalis meliput suatu peristiwa tertentu (34 kali), pelaku kecewa dengan hasil liputan jurnalis (5 kali) dan ingin jurnalis mengungkap identitas narasumber yang dirahasiakan (2 kali).
Press Freedom Day, Cita-cita yang Selalu Terseok
Iman D. Nugroho
Pada Minggu (3/5) ini, jurnalis di seluruh dunia merayakan Hari Kebebasan Pers se-Dunia atau Press Freedom Day. Bagi kita, jurnalis di Indonesia, hari ini adalah sebuah semangat untuk terus mengingat kembali pentingnya menjaga kebebasan pers di negeri ini. Meskipun kita tahu, masih banyak berbagai kejadian di Indonesia yang justru merusak kebebasan pers.
Apa itu Press Freedom Day? Press Freedom Day adalah hari kebebasan pers yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 3 Mei 1993. Dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dan terus menerus menjadi upaya mengingatkan rezim yang berkuasa untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak kebebasan berekspresi. Sebagaimana termuat dalam Artikel 19 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Serta mengingatkan Deklarasi Windhoek, Namibia, Afrika, yang dilakukan pada 1991. Dalam deklarasi itu, jurnalis dari seluruh dunia berkumpul di Afrika mendeklarasikan perlawanan terhadap tindakan intimidasi, pemenjaraan dan sensor yang dialami seluruh media di Afrika oleh penguasa setempat. Kebebasan pers sangat penting sebagai penyanggah demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia.
--------------------------------------------------------
Siaran Pers --untuk diterbitkan segera
Jakarta, 3 Mei 2009. Kekerasan masih menjadi ancaman bagi kebebasan pers di Indonesia, disamping peradilan dan regulasi. Demikian catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam Laporan Kebebasan Pers 2009.
Kekerasan masih merupakan hambatan utama bagi jurnalis Indonesia. Sepanjang Mei 2008 hingga Mei 2009, terdapat 44 kasus kekerasan. Kekerasan tersebut terdiri dari kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak adalah pemukulan (19 kali). Sedang kekerasan verbal yang paling sering terjadi adalah ancaman (9 kali) dan larangan meliput (8 kali) serta perampasan alat (7 kali). Disampig itu, terjadi satu kasus pembunuhan dan penyanderaan.
Kekerasan paling sering terjadi di Jakarta (6 kali), Sulawesi Selatan (5 kal Maluku Utara, Riau (meliputi juga Kepulauan Riau) dan Jawa Timur (masing-masing terjadi 4 kali), Jawa Barat, Sumatera Utara dan Papua (meliputi Irian Jaya Tengah) (masing-masing terjadi 3 kali).
Pelaku kekerasan paling banyak adalah polisi (12 kali), pejabat sipil (7 kali), dan tentara (5 kali). Disamping itu terjadi kekerasan oleh massa pendukung calon gubernur dan buruh (masing-masing 3 kali), oleh mahasiswa, pengusaha dan preman (masing-masing 2 kali).
Motivasi kekerasan tersebut paling banyak karena pelaku tidak ingin jurnalis meliput suatu peristiwa tertentu (34 kali), pelaku kecewa dengan hasil liputan jurnalis (5 kali) dan ingin jurnalis mengungkap identitas narasumber yang dirahasiakan (2 kali).
Sementara itu, tindakan hukum juga menjadi hambatan terhadap kekebasan pers. Tindakan hukum tersebut meliputi pemidanaan dan gugatan perdata. Sepanjang Mei 2008 sampai Mei 2009, terdapat 13 kasus hukum yang sedang diadili di berbagai tingkat peradilan. Semua kasus hukum tersebut merupakan kasus hukum pencemaran nama baik (defamation law), baik itu pidana (criminal defamation) maupun perdata (civil defamation).
Laporan Kebebasan Pers dibuat AJI untuk menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei. Laporan lebih lengkap akan disampaikan Ketua AJI pada perayaan World Press Freedom Day di Jakarta Media Center/Kompleks Dewan Pers Jl. Kebon Sirih No. 32-34, Jakarta Pusat pada tanggal 6 Mei 2009 pukul 11.00 WIB sampai selesai.
Informasi lebih lanjut:
1. Nezar Patria (Ketua AJI Indonesia): 0811829135, email: [email protected];
2. Margiyono (Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia): 08161370180, email: [email protected]
Pada Minggu (3/5) ini, jurnalis di seluruh dunia merayakan Hari Kebebasan Pers se-Dunia atau Press Freedom Day. Bagi kita, jurnalis di Indonesia, hari ini adalah sebuah semangat untuk terus mengingat kembali pentingnya menjaga kebebasan pers di negeri ini. Meskipun kita tahu, masih banyak berbagai kejadian di Indonesia yang justru merusak kebebasan pers.
Apa itu Press Freedom Day? Press Freedom Day adalah hari kebebasan pers yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 3 Mei 1993. Dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dan terus menerus menjadi upaya mengingatkan rezim yang berkuasa untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak kebebasan berekspresi. Sebagaimana termuat dalam Artikel 19 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Serta mengingatkan Deklarasi Windhoek, Namibia, Afrika, yang dilakukan pada 1991. Dalam deklarasi itu, jurnalis dari seluruh dunia berkumpul di Afrika mendeklarasikan perlawanan terhadap tindakan intimidasi, pemenjaraan dan sensor yang dialami seluruh media di Afrika oleh penguasa setempat. Kebebasan pers sangat penting sebagai penyanggah demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia.
--------------------------------------------------------
Siaran Pers --untuk diterbitkan segera
Jakarta, 3 Mei 2009. Kekerasan masih menjadi ancaman bagi kebebasan pers di Indonesia, disamping peradilan dan regulasi. Demikian catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam Laporan Kebebasan Pers 2009.
Kekerasan masih merupakan hambatan utama bagi jurnalis Indonesia. Sepanjang Mei 2008 hingga Mei 2009, terdapat 44 kasus kekerasan. Kekerasan tersebut terdiri dari kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak adalah pemukulan (19 kali). Sedang kekerasan verbal yang paling sering terjadi adalah ancaman (9 kali) dan larangan meliput (8 kali) serta perampasan alat (7 kali). Disampig itu, terjadi satu kasus pembunuhan dan penyanderaan.
Kekerasan paling sering terjadi di Jakarta (6 kali), Sulawesi Selatan (5 kal Maluku Utara, Riau (meliputi juga Kepulauan Riau) dan Jawa Timur (masing-masing terjadi 4 kali), Jawa Barat, Sumatera Utara dan Papua (meliputi Irian Jaya Tengah) (masing-masing terjadi 3 kali).
Pelaku kekerasan paling banyak adalah polisi (12 kali), pejabat sipil (7 kali), dan tentara (5 kali). Disamping itu terjadi kekerasan oleh massa pendukung calon gubernur dan buruh (masing-masing 3 kali), oleh mahasiswa, pengusaha dan preman (masing-masing 2 kali).
Motivasi kekerasan tersebut paling banyak karena pelaku tidak ingin jurnalis meliput suatu peristiwa tertentu (34 kali), pelaku kecewa dengan hasil liputan jurnalis (5 kali) dan ingin jurnalis mengungkap identitas narasumber yang dirahasiakan (2 kali).
Sementara itu, tindakan hukum juga menjadi hambatan terhadap kekebasan pers. Tindakan hukum tersebut meliputi pemidanaan dan gugatan perdata. Sepanjang Mei 2008 sampai Mei 2009, terdapat 13 kasus hukum yang sedang diadili di berbagai tingkat peradilan. Semua kasus hukum tersebut merupakan kasus hukum pencemaran nama baik (defamation law), baik itu pidana (criminal defamation) maupun perdata (civil defamation).
Laporan Kebebasan Pers dibuat AJI untuk menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei. Laporan lebih lengkap akan disampaikan Ketua AJI pada perayaan World Press Freedom Day di Jakarta Media Center/Kompleks Dewan Pers Jl. Kebon Sirih No. 32-34, Jakarta Pusat pada tanggal 6 Mei 2009 pukul 11.00 WIB sampai selesai.
Informasi lebih lanjut:
1. Nezar Patria (Ketua AJI Indonesia): 0811829135, email: [email protected];
2. Margiyono (Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia): 08161370180, email: [email protected]
KPU Jawa Timur Kembali Digelandang ke Arena "Perang"
Okky F. Suryatama
Bagai tidak ada kata menyerah, tiga calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jawa Timur, Didik Prasetyono, Jalil Latuconsina dan Ahmad Heri mendatangi kantor KPU Jatim di Jl. Tanggulangin Surabaya, Kamis (30/4). Kedatangan tiga calon anggota DPD yang berdasarkan hasil rekapitulasi suara berada di urutan kelima hingga ketujuh itu, dengan didampingi kuasa hukumnya, M Sholeh. Mereka berencana menggugat hasil Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2009 ke Mahkamah Konstitusi dan menuntut pencontrengan ulang di Jatim untuk DPD. Bagi ketiganya, telah terjadi penggelembungan dan pencurian suara yang terstruktur seperti di Pilgub Jatim yakni di daerah Bangkalan dan Sampang.
Jalil Latuconsina bahkan berani menuduh bahwa yang melakukan pencurian suara tersebut adalah Haruna Soemitro (calon nomor urut 16) dan Ahmad Badrud Tamam (calon nomor urut 9). Tak ayal, akibat kecurangan itu, Jalil mengaku kehilangan 60.000 suara di dua kabupaten tersebut. Begitu juga Ahmad Heri yang mengaku, kehilangan 40.000 di Sampang dan Bangkalan. Sebab meskipun suara Haruna dan Badrud Tamam tidak lolos, dengan adanya hal itu justru berpengaruh pada suaranya sehingga berkurang. Jalil memaparkan, memiliki bukti kuat berupa SMS dari oknum PPK Sampang soal tawaran jual beli suara senilai Rp 2,500 per suara. Selain itu, ketiga calon tersebut juga menyalahkan KPU Jatim karena kurang mensosialisasikan wajah-wajah atau gambar-gambar para calon anggota DPD. Sebab akibat minimnya sosialisasi itu, banyak pemilih yang mencoblos anggota calon DPD sesuai nomor partai.
Tidak hanya Didik dkk, puluhan saksi dari 25 partai politik juga mendatangi kantor KPU Jatim. Mereka menuntut diadakannya pemilu legislatif ulang, dan menolak hasil rekapitulasi penghitungan suara. "Kalau itu diteruskan, jadikan saja Presiden SBY tanpa Pemilu Presiden, percuma saja!" kata Koordinator aksi, yang juga ketua PNBK Jatim, Rudi Sapulette, Kamis (30/4). Gabungan 25 partai ini meminta, KPU Jatim agar mau mendesak KPU Pusat untuk menggelar pemilu ulang. Sebab, pemilu 9 April lalu dianggap amburadul. Mereka juga mendesak agar KPU Jatim mengembalikan hasil rekapitulasi Kota Surabaya. "Kalau tidak, Arief Budiman turun saja dari jabatannya," ujarnya.
Gabungan partai itu di antaranya Partai Patriot, Partai Buruh, PPRN, PSI, PNBK, PKNU, PIS, Partai Kedaulatan, PPNUI, PBR dan PMB. Sedangkan pihak Anggota KPU Jatim, Arief Budiman yang menemui para saksi itu mengatakan, akan menampung aspirasi para saksi. "Tapi kami minta menunggu hasil dari penghitungan suara ini selesai," kata Arief. Sementara itu, Komisi II DPR RI mendatangi kantor Gubernur Jatim di jalan Pahlawan Surabaya. Mereka ingin mengecek kebenaran kabar tentang terjadinya kecurangan saat Pemilu, 9 April lalu. "Kami banyak menerima laporan adanya pelanggaran sebelum pemilihan. Terutama masalah adanya DPT ganda," kata Ida Fauzi, ketua komisi II DPR RI yang membidangi Politik dan Keamanan, Kamis (30/4). Ida Fauzi berpendapat, hal tersebut harus diselesaikan secepatnya. Jika tidak, dikhawatirkan bakal terulang dalam Pemilu Presiden nanti.
Bagai tidak ada kata menyerah, tiga calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jawa Timur, Didik Prasetyono, Jalil Latuconsina dan Ahmad Heri mendatangi kantor KPU Jatim di Jl. Tanggulangin Surabaya, Kamis (30/4). Kedatangan tiga calon anggota DPD yang berdasarkan hasil rekapitulasi suara berada di urutan kelima hingga ketujuh itu, dengan didampingi kuasa hukumnya, M Sholeh. Mereka berencana menggugat hasil Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2009 ke Mahkamah Konstitusi dan menuntut pencontrengan ulang di Jatim untuk DPD. Bagi ketiganya, telah terjadi penggelembungan dan pencurian suara yang terstruktur seperti di Pilgub Jatim yakni di daerah Bangkalan dan Sampang.
Jalil Latuconsina bahkan berani menuduh bahwa yang melakukan pencurian suara tersebut adalah Haruna Soemitro (calon nomor urut 16) dan Ahmad Badrud Tamam (calon nomor urut 9). Tak ayal, akibat kecurangan itu, Jalil mengaku kehilangan 60.000 suara di dua kabupaten tersebut. Begitu juga Ahmad Heri yang mengaku, kehilangan 40.000 di Sampang dan Bangkalan. Sebab meskipun suara Haruna dan Badrud Tamam tidak lolos, dengan adanya hal itu justru berpengaruh pada suaranya sehingga berkurang. Jalil memaparkan, memiliki bukti kuat berupa SMS dari oknum PPK Sampang soal tawaran jual beli suara senilai Rp 2,500 per suara. Selain itu, ketiga calon tersebut juga menyalahkan KPU Jatim karena kurang mensosialisasikan wajah-wajah atau gambar-gambar para calon anggota DPD. Sebab akibat minimnya sosialisasi itu, banyak pemilih yang mencoblos anggota calon DPD sesuai nomor partai.
Tidak hanya Didik dkk, puluhan saksi dari 25 partai politik juga mendatangi kantor KPU Jatim. Mereka menuntut diadakannya pemilu legislatif ulang, dan menolak hasil rekapitulasi penghitungan suara. "Kalau itu diteruskan, jadikan saja Presiden SBY tanpa Pemilu Presiden, percuma saja!" kata Koordinator aksi, yang juga ketua PNBK Jatim, Rudi Sapulette, Kamis (30/4). Gabungan 25 partai ini meminta, KPU Jatim agar mau mendesak KPU Pusat untuk menggelar pemilu ulang. Sebab, pemilu 9 April lalu dianggap amburadul. Mereka juga mendesak agar KPU Jatim mengembalikan hasil rekapitulasi Kota Surabaya. "Kalau tidak, Arief Budiman turun saja dari jabatannya," ujarnya.
Gabungan partai itu di antaranya Partai Patriot, Partai Buruh, PPRN, PSI, PNBK, PKNU, PIS, Partai Kedaulatan, PPNUI, PBR dan PMB. Sedangkan pihak Anggota KPU Jatim, Arief Budiman yang menemui para saksi itu mengatakan, akan menampung aspirasi para saksi. "Tapi kami minta menunggu hasil dari penghitungan suara ini selesai," kata Arief. Sementara itu, Komisi II DPR RI mendatangi kantor Gubernur Jatim di jalan Pahlawan Surabaya. Mereka ingin mengecek kebenaran kabar tentang terjadinya kecurangan saat Pemilu, 9 April lalu. "Kami banyak menerima laporan adanya pelanggaran sebelum pemilihan. Terutama masalah adanya DPT ganda," kata Ida Fauzi, ketua komisi II DPR RI yang membidangi Politik dan Keamanan, Kamis (30/4). Ida Fauzi berpendapat, hal tersebut harus diselesaikan secepatnya. Jika tidak, dikhawatirkan bakal terulang dalam Pemilu Presiden nanti.